Selasa, 21 April 2015

Anak Emak

            Slarongan dibuat gempar hari ini. Sudah sejak setengah jam para tua-tua, pemuda-pemudi bahkan para anak berdiri di pertigaan batas desa. Ibu-ibu yang bunting sekaligus punya anak yang masih bayi-bayi rela berdiri panas-panas sembari memeluk anak mereka dalam pelukan. Para bapak, juga nongkrong di tempat yang sama. Sembari menghisap dan menghembuskan asap rokok, mereka duduk di bawah pohon trembesi tua yang selama ini dijadikan patokan batas desa Slarongan dan Jonggrangan. Sementara para anak, mereka tampak berlarian kesana-kemari, blusukan di semak-semak, main delikan. Seperti biasa, tanpa busana. Semuanya panas-panasan. Tak apa panas-panas, asal bisa lihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat. Itu prinsip mereka.
            Yang mereka tunggu nampak sebagai sebuah titik hitam yang semakin lama semakin mendekat, melayang samar-samar dari jalan setapak Jonggrangan. Mereka bersamaan berdiri, semuanya memandang ke satu titik yang sama. Wajah penuh peluh dan kusut, bola mata yang makin lama makin membesar penuh keingintahuan, bibir yang menganga karena kekaguman, mereka tunjukkan ketika titik hitam itu telah menjelma sebagai sebuah mobil bercat hitam mengkilat yang berhenti di hadapan mereka.
            Pintu mobil hitam dengan cap mengkilat itu terbuka sedikit, nampak kaki jenjang beralaskan sepatu berhak tinggi bewarna merah dengan manik-manik secerah permata turun dari mobil. Sedikit demi sedikit, sosok pemiliknya turun dan terlihat nyata di hadapan mata.
            Amboi, cantiknya! Aku menganga. Belum pernah aku lihat wanita secantik dia! Untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihat salah seorang wanita cantik yang biasanya aku lihat di teve. Bibirnya merah polesan gincu, pipinya juga merona, di kelopak matanya ada warna merah muda, matanya besar dengan bulu mata yang begitu tebal. Diakah Sundari yang pernah aku kenal dulu?
            Terakhir aku bertemu dengannya adalah ketika ia berangkat ke Jakarta, dengan tampang kusut ala perempuan desa, kulit yang kusam karena dia sering membantu ibu dan almarhum bapaknya mengolah gabah, dengan memakai setelan seadanya. Kini, dia telah bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Aku yakin, para pemuda desa tengah memikirkan seribu cara agar mendapatkan dia atau malah pikiran mesum yang ingin menguasai si cantik Sundari.
            Sundari tampaknya tak ingin berlama-lama di bawah teriknya sinar mata hari, terbukti sopirnya buru-buru keluar dengan payung terbuka dalam genggaman tangan. Sundari memakai kacamata hitam. Lalu, dia membalikkan tubuh dan berjalan hati-hati diikuti sopir dan para warga Slarongan.
***
            Aku ingat hari itu, tak aku sengaja aku melewati rumah Sundari yang rupanya telah direnovasi sejak kepulangannya ke Slarongan. Dia melihat aku. Dengan ramah, dia sapa aku dan meminta aku mampir ke rumahnya. Jika aku boleh menyombongkan diri, pria desa pertama yang diajak mengunjungi rumah perempuan kaya itu adalah aku. Memang aku.
            Aku mampir. Dengan sedikit canggung, karena lama aku tak bertemu dengannya, aku duduk di teras. Sundari tersenyum. “Tak usah canggung-canggung, Mas. Memang telah lama kita tak bertemu, tapi kita tetangga satu kampung bukan?” ucapnya ramah sembari menuangkan teh ke dalam cangkir.
            Aku mengangguk.
            Sundari duduk di sampingku, masih saja tersenyum manis. “Diminum Mas, tehnya,” ujarnya lagi, lalu memandang ke halaman rumah. Dia menghembuskan nafas. “Tiga tahun Sundari pergi, ternyata Slarongan tak banyak berubah ya?”
            “Memang tidak, bahkan jumlah murid sekolah dasar di Jonggrangan saat ini hanya tujuh belas.”
            “Memang desa ini tak banyak berkembang.”
            “Ya begitulah, barangkali para warga berpikir tak ada gunanya bersekolah kalau ujung-ujungnya hanya bertani,” ujarku filosofis.
            Sundari tertawa. “Tak apa, Mas. Bertani pun baik. Toh tiap manusia punya nasibnya sendiri bukan?”
            “Ya, kau benar. Dan siapa saja tiada yang tahu nasib bakal berujung. Kita lihat Ahmad, anak Pak Haji Samad. Dia dulu begitu kaya dan menghamburkan uang, kini dia jadi petani sama seperti aku.” Aku menatap Sundari yang rupanya menatap aku. “Kau pun begitu. Dulu kau perempuan yang biasa saja. Tapi kini kau bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Kau kini cantik, kaya dan aku yakin para pemuda banyak yang menyukaimu. Kau bermetamorfosis sebagai kupu-kupu.”
            Sundari tampak merona. Dia tersenyum malu-malu, barangkali aku terlalu berlebihan memuji dia. “Aku tak sesempurna itu, Mas,” ucapnya lembut.
            Aku mengambil caping yang aku letakkan di sebelahku. Dari sitje, aku beranjak berdiri. Sundari ikut berdiri. Dia mengerutkan kening.
            “Sedemikian cepat kamu pergi, Mas?”
            “Ya, aku tak bisa duduk lama-lama. Aku janji datang ke rumah Pak Dukuh pagi ini. Lain kali kalau ada waktu, aku pasti mampir.”
            Sundari tersenyum dan mengangguk.
            Aku berjalan meninggalkan dia, menghampiri sepeda tuaku dan naik ke atasnya. Sembari melambaikan tangan kepada Sundari yang mengantar kepergianku, aku mulai mengayuh sepeda, perlahan-lahan meninggalkan rumah itu sekaligus pemiliknya yang amat cantik.
***
            Sundari memang begitu kaya! Duitnya kini banyak dan di desa ini dia melakukan apa yang dia mau. Terakhir aku dengar dari obrolan ringan para petani yang menggarap sawah Pak Dukuh, Sundari tengah memugar kuburan almarhum bapaknya. Terakhir aku lewat di Kuburan Sorogenen, makam almarhum bapak Sundari yang awalnya hanya berupa tanah dilindungi tumpukan batu bata kini sudah berubah jadi mewah, seperti rumah kecil dengan taburan bunga segar setiap harinya.
            Aku begitu ternganga melihat perubahan yang dialami Sundari. Hanya butuh waktu tiga tahun merantau ke Jakarta, Sundari sudah bisa mandi duit! Merenovasi rumah, memugar makam, membeli mobil, memakai baju yang penuh pernak-pernik mewah bahkan lebih dari itu bisa dia lakukan! Apalagi, kini sebuah gelang dan cincin emas selalu melingkar di pergelangan tangan dan jarinya, selalu dia pakai kalau dia pergi ke Pasar Ngijon, membuat ibu-ibu yang berdagang di sana jadi gigit jari dan ingin bermetamorfosis macam Sundari.
            Sundari menjadi momok untuk desa ini. Aku dengar, hampir separuh warga desa memutuskan untuk berhenti menjadi petani dan merantau ke Jakarta. Hanya modal nekat dan keberanian, tanpa membawa modal yang lain seperti kepandaian dan keterampilan. Toh, Sundari juga begitu. Dia ke Jakarta dengan tangan hampa beberapa tahun yang lalu, kata mereka meremehkan Jakarta.
            Aku duduk di sitje, menghisap rokok dan menghembuskan asapnya membentuk bayang-bayang lingkaran di udara. Aku berpikir sekaligus mengandai-andai. Dalam hatiku, aku cukup tertarik mengikuti jejak para perantau dari desaku. Aku juga ingin mengadu nasib di Jakarta. Barangkali aku beruntung, siapa tahu?
            Bayangkan saja aku memakai jas hitam seperti eksekutif muda yang sering tampil di TVRI, bayangkan saja aku naik mobil mewah, duduk di belakang kemudi dan memakai kacamata hitam. Bayangkan saja aku memakai sepatu hitam yang mengkilap. Ah, aku terlalu pandai mengkhayal. Memakai sandal saja sudah barang mewah buatku, apalagi sepatu hitam yang mengkilap? Lebih berani aku bermimpi!
            Aku memutuskan untuk tidur ketika gelap semakin merayap atas cakrawala. Besok pagi, akan aku temui Sundari dan bertanya kepada gadis itu di mana dia bekerja. Dan kalau ada peluang untuk aku masuk, aku akan bergabung dengan perusahaan tempat gadis itu bekerja.
***
            Aku datang ke rumah Sundari pagi-pagi sekali. Sopirnya tampak sedang mencuci mobil, hingga warnanya makin mengkilap dan memberikan efek kinclong bagai iklan-iklan sabun cuci mobil di teve. Sundari tampak berdandan di depan rumah, memakai bedak dan gincu warna merah merekah. Saking sibuknya berdandan, dia tak lihat aku berdiri di beranda.
            “Sibuk, Ri?”tanyaku menyapa, membuat Sundari agak terkejut. Nasib baik gincunya tak sampai mencoret pipinya karena kebablasan.
            “Eh, Mas Seno? Tidak, tidak sibuk. Silakan duduk,” balas Sundari ramah. Dia menggeser posisi dan aku duduk di sebelahnya. Aku lepaskan caping di kepalaku sebelum mengutarakan tujuanku datang menemui dia.
            “Jadi begini, aku hanya tertarik pada perubahanmu sejak kau pulang dari Jakarta. Kau begitu berduit dan nasibmu benar-benar berubah sekarang,” ucapku, membuat Sundari mengerutkan kening. “Langsung saja, apa pekerjaanmu, Ri?”
            Kerutan di kening Sundari perlahan-lahan pudar. Tatapannya padaku jadi gugup. Tidak, tidak lagi gugup. Bahkan dia cepat-cepat memalingkan wajah dan tak lagi memandang kepadaku. Dia menggigit bibir dan jemarinya berpeluk cemas.
            “Aku,” dia menelan ludah. “Aku karyawan pabrik, Mas.”
            Aku mengerutkan kening. “Karyawan pabrik?” ulangku tak percaya. “Mana ada karyawan pabrik bisa sekaya kau? Punya mobil, bisa merenovasi rumah...”
            “Sungguh, Mas. Aku memang karyawan biasa, hanya saja aku rajin menabung untuk beli ini dan beli itu.”
            Aku mengerutkan kening. Hati kecilku sebenarnya tak begitu percaya pada Sundari. Mana ada karyawan pabrik sekaya itu? Bahkan salah satu warga di Slarongan yang anaknya juga karyawan pabrik tekstil di Malioboro masih terlilit utang rentenir.
            “Sepertinya menarik, Ri. Menjadi karyawan dengan gaji besar. Masihkah ada peluang untuk karyawan baru di pabrik itu? Maksud kedatanganku kemari adalah bertanya, barangkali pabrik tempatmu bekerja membutuhkan karyawan baru dan aku berpeluang untuk bekerja di sana.”
            “Tidak mas,” jawab Sundari terburu-buru. “Lamaran itu baru saja ditutup tiga hari yang lalu.”
            Aku mengerutkan kening, masih tak percaya dengan argumentasi Sundari. “Hmm, begitu. Barangkali nasibku memang jadi petani,” ucapku, membuat Sundari langsung menatapku dengan perasaan tak nyaman.
            “Maaf, Mas. Harusnya sejak dulu aku memberitahumu.”
            Aku tersenyum. “Tak apa. Tak masalah, toh aku belum bosan jadi petani,” kataku, kemudian menatap Sundari dengan sorot mata ingin tahu. “Kau mau pergi?”
            “Ya, Mas. Aku pulang ke Jakarta hari ini,” jawab Sundari.
            “Oh, kalau begitu, aku pulang sajalah. Tak mau aku mengganggumu bersiap pulang ke Jakarta. Liburanmu menyenangkan bukan walau hanya ke kampung?”
            “Alhamdullilah, Mas. Menyenangkan sekali, sama kala aku masih tinggal di kampung dan belum berangkat ke Jakarta.”
            “Aku mengerti.”
            Aku beranjak dari sitje, Sundari mengekor di belakang. Kuhampiri sepeda tuaku dan naik ke atasnya. Sembari melambaikan tangan, aku mengayuh sepeda dan meninggalkan Sundari dengan senyumnya yang amat menggoda.
***
            Kepergian Sundari beberapa bulan yang lalu diikuti kepergian satu per satu warga desa yang ingin berubah sebagai Sundari. Berangsur-angsur desa ini sepi, juga sawah dan ladang. Biasanya, pagi-pagi begini para ibu sedang membuat besek atau apapun yang dianyam dari bambu, sementara para bapak sudah siap dengan cangkul, sabit dan sepeda jengkinya menuju ke sawah atau ladang dan bertani.
            Hari itu, Bu Sakarya memintaku datang ke rumahnya. Ibu Sundari sudah tua, orang-orang pun tahu dia sudah sakit-sakitan. Aku agak bingung juga ketika mengetahui wanita tua itu memanggil aku dan kini ia tengah berdiri di serambi rumahnya dengan penuh harap.
            “Seno, aku tahu kau teman dekat Sundari sejak dia masih kecil,” ucapnya. Bahkan sebelum aku sampai di teras, dia sudah berjalan buru-buru menghampiri aku.
            “Ada apa, Bu?”
            “Duduklah dulu,” Bu Sakarya memintaku duduk di sitje sementara dia menuangkan teh ke dalam cangkir. “Minumlah dulu.”
            Aku minum sedikit. “Ada kepentingan apa Bu Sakarya memanggil Seno kemari?”
            “Begini lho. Kau tahu, Sundari beberapa bulan yang lalu sudah pulang. Tapi, ibu masih merasa rindu dengan dia. Tiga tahun tidak bertemu dengan Ndari, dia hanya pulang beberapa hari di sini. Rasanya, belum cukup aku bertemu dengan dia.”
            Aku mengerutkan kening. “Lalu?”
            “Aku harap, kau mau menemani aku ke Jakarta dan bertemu dengan Ndari. Tak mungkin kan aku pergi ke sana sendirian? Aku belum pernah ke Jakarta dan aku takut berada di sana.”
            Aku menggeleng. “Tapi Seno juga belum pernah ke Jakarta. Kenapa ibu tak minta ditemani oleh Hamid? Dia pernah ke Jakarta.”
            Bu Sakarya menghembuskan nafas panjang. “Dari seluruh warga desa di Slarongan, hanya kau yang aku percaya. Aku mohon Seno, temani aku ke Jakarta.”
            Aku terdiam cukup lama, berpikir matang-matang. Aku belum pernah ke Jakarta sebelumnya, tak dapat aku bayangkan bagaimana kota itu berada. Tapi, kesempatan ini tak boleh aku lewatkan. Barangkali sembari menunggu Bu Sakarya melepas rasa rindunya kepada Sundari selama dia tinggal di Jakarta, aku bisa mencari kerja.
            Ide bagus. Aku menatap Bu Sakarya dan aku katakan kepadanya, aku bersedia menemaninya ke Jakarta.
***
            Aku dan Bu Sakarya menunggu bus Prayogo di Kolowenang. Hampir lima belas menit kami menunggu di bawah naungan pohon akasia yang tumbuh di sana. Tak lama kemudian, bus yang tengah kami tunggu itu datang. Kami naik ke dalamnya, agak kesulitan karena bus sudah penuh dan kondekturnya tetap meminta siapa saja yang menunggu bus itu naik. Dia pikir kami ikan teri, diperlakukan sedemikian rupa. Terpaksa aku tak duduk dan bergantung di pintu bus.
            Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menginjak Stasiun Tugu. Bangunannya begitu megah dan mewah. Aku membelikan tiket kereta api untuk aku dan Bu Sakarya. Dengan kereta ekonomi yang kondisinya tak jauh berbeda dengan naik bus, aku dan Bu Sakarya resmi melancong ke Jakarta.
***
            Sibuknya Stasiun Gambir membuat Bu Sakarya jadi panik. Dia sama sekali tak melepaskan genggaman tangannya dari lenganku. Dia begitu takut, belum pernah dia berada di antara keramaian yang sedemikian rupa.
            Agak bingung mencari jalan keluar stasiun, aku dan Bu Sakarya malah berputar-putar entah ke mana.
            Gambaran kota Jakarta terpampang jelas di stasiun ini. Ada yang berdiri layaknya Sundari, dengan gaya dan penampilan necis dan modis, sepatu bermerk dan pakaian warna-warni. Tapi di sekitar mereka, ada yang mondar-mandir berpakaian lusuh, membawa barang dagangan dengan peluh mengalir dan terjatuh di tanah Jakarta. Jerih payah mereka melebihi orang-orang berpenampilan layaknya Sundari, tapi apa yang mereka dapat tak sama seperti Sundari.
            Gambaran ketidakadilan hidup terlukis jelas di mataku. Muncul ketakutan dan kecemasan dalam diriku, andai saja aku tak berhasil bagai Sundari malah menjadi buruh dengan peluh yang membuat wajah makin kusut dan badan makin bau penguk. Ah, nasib baik aku jadi petani. Dapat jatah beras tiap musim panen, sedangkan mereka? Mereka harus berdesak-desakan, pingsan, terinjak bahkan mati hanya karena berebut beras seperti yang aku lihat pada berita-berita di teve.
            “Seno, harus kemana lagi kita?”
            Aku mengangkat bahu. “Kita tanya saja pada petugas stasiun, Bu. Mereka pasti mau membantu. Ibu tunggu di sini,” ucapku, lalu meninggalkan Bu Sakarya berdiri di tepi rel kereta api.
            Aku menghampiri seorang pria berseragam yang berdiri di sebelah tiang. Kutanya kepadanya, di mana pintu keluar stasiun. Dia menjelaskan dengan begitu rinci dan saking bersemangatnya, aku berbalik dan berlari buru-buru menghampiri Bu Sakarya hingga pada akhirnya aku menubruk seorang pedagang koran dan majalah yang sedang berjalan.
            Semua korannya terjatuh, dia memunguti dagangannya sembari uring-uringan. Aku jadi tak enak hati. Kubeli satu majalahnya secara acak sebagai permintaan maafku dan kusuruh dia mengambil kembalian yang seharusnya menjadi hakku.
            Aku berjalan sembari membuka-buka isi majalah yang aku beli, penasaran juga dengan isinya. Ternyata majalah yang aku beli secara tak sengaja itu majalah dewasa. Aku membuka halaman terakhir majalah itu tanpa sengaja. Toh walaupun kulihat tanpa sengaja, rubrik itu membuat kedua mataku terbelalak tak percaya dan mulutku menganga lebar. Bukan karena modelnya yang berpose tanpa mengenakan sehelai pakaian pun selain celana dalam, tapi lebih penting dari itu.
            Aku menghampiri Bu Sakarya. Dia tampak berbinar melihat kedatanganku dan segera mengajakku keluar dari stasiun dan menemui anak gadisnya. Namun ketika melihat binar di wajahku untuk bertemu dengan Sundari telah sirna, Bu Sakarya bertanya kepadaku dengan kening berkerut. “Ada apa, Seno?”
            Aku tak enak hati. Kuulurkan majalah di tanganku kepadanya dengan raut kecewa. Majalah dewasa itu kini berada di genggaman tangan Bu Sakarya. Dia lihat halaman yang aku buka. Matanya langsung terbelalak kaget dan dia bekap mulutnya yang menganga lebar. Dia benar-benar tak percaya dan tangis tiada bisa dia tahan. Ya, wanita yang berpose tanpa busana itu adalah anak gadisnya.

Kamis, 16 April 2015

Untuk Cungkring

Selamat malam, Stevanus.
Selamat atas satu tahun yang pernah kita lewati bersama. Selamat atas dua belas bulan yang penuh cinta. Selamat atas ribuan hari yang bahkan aku malas untuk menghitungya. Terima kasih untuk segala cinta, terima kasih untuk semua ketulusan yang selama ini kamu berikan untuk aku.

Aku masih ingat, hari itu hari Jumat, bulan Maret, masih tahun dua ribu empat belas. Untuk pertama kali, kamu datang ke rumahku. Dengan motor beat merah mudamu, kamu bingung mencari rumahku. Kita janjian pukul tujuh malam, tapi kamu datang nyaris jam setengah sembilan malam. Untuk pertama kali pada malam itu, aku merasa canggung bicara pada lawan jenis. Kamu canggung, aku canggung. Kita terlalu banyak diam malam itu. Dan dari sekian tamu yang datang untuk aku, kamu yang pertama berani pulang larut malam. Pukul sepuluh lebih, kamu meninggalkan rumahku setelah jutaan detik kamu duduk di sampingku.

Aku masih ingat, hari Minggu, tanggal 13 April, masih tahun dua ribu empat belas. Kali kedua kamu datang, aku menyuguhkan kepadamu segelas coklat panas. Kamu nurut pada pesan galakku, “Jangan lupa bawa laptop!”. Setelah suguhan siap, kamu nyalakan laptopmu dan aku tancapkan flash disk­-ku. Kita dengan asyik nonton film Kata Hati, sebuah film yang sudah pernah aku tonton lebih dari sepuluh kali dan tak pernah membuatku merasa jenuh, karena latar tempat pengambilan film berada di Jogja. Kamu tahu, aku suka Jogja.

Sebelum film selesai, aku ingat betul aku memberanikan diri bertanya kepadamu, “Kalo kamu, mas. Pernah nggak jatuh cinta?” Pertanyaan yang sama dengan yang ada di film. Dan kamu menjawab pernah, membuatku sedikit kecewa. Karena aku bukan yang pertama untuk kamu. Ketika kamu menanyakan hal yang sama dan aku menjawab hal yang sama, entah apakah kamu kecewa. Apakah jawabanku berpengaruh pada hatimu. Sepertinya kamu tidak begitu peduli.

Ketika film selesai, aku ingat, kita berdua sama-sama terdiam. Kamu berbasa-basi meminum segelas coklat panasmu dan aku sibuk memainkan flash disk-ku, bingung mau bilang apa. Lalu kamu punya inisiatif, kamu berusaha menarik perhatianku, mengajakku ngobrol sesuatu yang menurutmu menarik untuk aku. Tapi ternyata aku tidak tertarik sama sekali dan itu terlihat jelas dari matamu. Seperti yang sering kamu katakan, aku judes.

Tiba-tiba, ketika aku masih sibuk bermain dengan flash disk­ di tanganku, kamu menarik tanganku, membuat aku menoleh. Dan ketika aku melihatmu, kamu tersenyum dan menggenggam tanganku begitu erat. Kamu harus tahu, hingga saat ini, kejadian itu masih menjadi momen paling utama dalam pikiranku. Sebuah momen yang tak akan pernah aku lupakan, satu momen termanis dalam hidupku.

Kamu masih tersenyum dan aku masih memandangi kamu. Pada malam yang begitu sepi, aku tahu, tanpa sedikitpun keraguan kamu mengatakan padaku sesuatu yang selama ini aku anggap sebagai mimpi. “Maria Lalita, mau nggak kamu jadi pacarku?”

Satu kalimat tanya, hanya tujuh kata. Tapi efeknya luar biasa. Kamu harus tahu, kalimat tanya itu, walau hanya sederhana, diucapkan tanpa sepucuk mawar, tanpa kejutan manis yang luar biasa, tanpa taburan bunga ditengah lilin yang membentuk simbol cinta, kamu membuatnya sarat dengan makna. Kamu mencintai aku, meski kita baru dua kali bertemu.

Sebenarnya aku agak ragu, kita baru sebentar saling tahu. Kamu tak tahu apa kata teman-temanku, mereka bilang aku harus menolak kamu dulu dan melihatmu berjuang untuk aku. Namun, senyummu yang begitu tulus dan genggaman tanganmu yang begitu hangat di setiap sela jemariku, membuat otak dan hatiku tak ingin membuatmu menunggu terlalu lama. Aku menerima kamu, aku mau jadi pacarmu. Detik itu juga, aku sadar. Aku juga mencintai kamu.

Terima kasih untuk semua kenangan yang kamu beri untuk aku, entah ketika kamu ada di sisiku atau tidak. Segala kenangan bersamamu, meski pahit, akan selalu terasa manis.

Terima kasih atas segala perjalanan yang sedikit demi sedikit mendewasakan aku. Bersama kamu, segala sesuatu terasa mudah, karena meski kamu jauh, kamu ada untuk aku. Semoga, aku juga begitu.

Terima kasih untuk semua pesan manis yang kamu ucapkan padaku, meski banyak typo dan ketika kamu mencoba membuat puisi untuk aku, malah menjadikannya sederet kalimat wagu, lebay, aneh, lucu. Bukannya bikin terharu, malah bikin ngakak terbahak-bahak! Biar begitu, kamu harus tahu, hidupku berwarna karena puisi-puisimu.

Untuk Stevanus Aditya Pangestu,
Terima kasih atas segala cinta.

Dari pacarmu yang katanya galak, judes, bawel tapi sebenernya kalem, imut, lucu, unyu-unyu dan bikin gemes.

Lalita, akan selalu sayang sama kamu.
*tanda tangan*