Slarongan
dibuat gempar hari ini. Sudah sejak setengah jam para tua-tua, pemuda-pemudi
bahkan para anak berdiri di pertigaan batas desa. Ibu-ibu yang bunting
sekaligus punya anak yang masih bayi-bayi rela berdiri panas-panas sembari memeluk
anak mereka dalam pelukan. Para bapak, juga nongkrong di tempat yang sama.
Sembari menghisap dan menghembuskan asap rokok, mereka duduk di bawah pohon
trembesi tua yang selama ini dijadikan patokan batas desa Slarongan dan
Jonggrangan. Sementara para anak, mereka tampak berlarian kesana-kemari,
blusukan di semak-semak, main delikan. Seperti biasa, tanpa busana. Semuanya
panas-panasan. Tak apa panas-panas, asal bisa lihat sesuatu yang belum pernah
mereka lihat. Itu prinsip mereka.
Yang
mereka tunggu nampak sebagai sebuah titik hitam yang semakin lama semakin
mendekat, melayang samar-samar dari jalan setapak Jonggrangan. Mereka bersamaan
berdiri, semuanya memandang ke satu titik yang sama. Wajah penuh peluh dan
kusut, bola mata yang makin lama makin membesar penuh keingintahuan, bibir yang
menganga karena kekaguman, mereka tunjukkan ketika titik hitam itu telah
menjelma sebagai sebuah mobil bercat hitam mengkilat yang berhenti di hadapan
mereka.
Pintu
mobil hitam dengan cap mengkilat itu terbuka sedikit, nampak kaki jenjang
beralaskan sepatu berhak tinggi bewarna merah dengan manik-manik secerah
permata turun dari mobil. Sedikit demi sedikit, sosok pemiliknya turun dan
terlihat nyata di hadapan mata.
Amboi,
cantiknya! Aku menganga. Belum pernah aku lihat wanita secantik dia! Untuk
pertama kali dalam hidupku, aku melihat salah seorang wanita cantik yang
biasanya aku lihat di teve. Bibirnya merah polesan gincu, pipinya juga merona,
di kelopak matanya ada warna merah muda, matanya besar dengan bulu mata yang
begitu tebal. Diakah Sundari yang pernah aku kenal dulu?
Terakhir
aku bertemu dengannya adalah ketika ia berangkat ke Jakarta, dengan tampang
kusut ala perempuan desa, kulit yang kusam karena dia sering membantu ibu dan
almarhum bapaknya mengolah gabah, dengan memakai setelan seadanya. Kini, dia
telah bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Aku yakin, para pemuda desa
tengah memikirkan seribu cara agar mendapatkan dia atau malah pikiran mesum
yang ingin menguasai si cantik Sundari.
Sundari
tampaknya tak ingin berlama-lama di bawah teriknya sinar mata hari, terbukti
sopirnya buru-buru keluar dengan payung terbuka dalam genggaman tangan. Sundari
memakai kacamata hitam. Lalu, dia membalikkan tubuh dan berjalan hati-hati
diikuti sopir dan para warga Slarongan.
***
Aku
ingat hari itu, tak aku sengaja aku melewati rumah Sundari yang rupanya telah
direnovasi sejak kepulangannya ke Slarongan. Dia melihat aku. Dengan ramah, dia
sapa aku dan meminta aku mampir ke rumahnya. Jika aku boleh menyombongkan diri,
pria desa pertama yang diajak mengunjungi rumah perempuan kaya itu adalah aku.
Memang aku.
Aku
mampir. Dengan sedikit canggung, karena lama aku tak bertemu dengannya, aku
duduk di teras. Sundari tersenyum. “Tak usah canggung-canggung, Mas. Memang
telah lama kita tak bertemu, tapi kita tetangga satu kampung bukan?” ucapnya
ramah sembari menuangkan teh ke dalam cangkir.
Aku
mengangguk.
Sundari
duduk di sampingku, masih saja tersenyum manis. “Diminum Mas, tehnya,” ujarnya
lagi, lalu memandang ke halaman rumah. Dia menghembuskan nafas. “Tiga tahun
Sundari pergi, ternyata Slarongan tak banyak berubah ya?”
“Memang
tidak, bahkan jumlah murid sekolah dasar di Jonggrangan saat ini hanya tujuh
belas.”
“Memang
desa ini tak banyak berkembang.”
“Ya
begitulah, barangkali para warga berpikir tak ada gunanya bersekolah kalau
ujung-ujungnya hanya bertani,” ujarku filosofis.
Sundari
tertawa. “Tak apa, Mas. Bertani pun baik. Toh tiap manusia punya nasibnya
sendiri bukan?”
“Ya,
kau benar. Dan siapa saja tiada yang tahu nasib bakal berujung. Kita lihat
Ahmad, anak Pak Haji Samad. Dia dulu begitu kaya dan menghamburkan uang, kini
dia jadi petani sama seperti aku.” Aku menatap Sundari yang rupanya menatap
aku. “Kau pun begitu. Dulu kau perempuan yang biasa saja. Tapi kini kau
bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Kau kini cantik, kaya dan aku yakin
para pemuda banyak yang menyukaimu. Kau bermetamorfosis sebagai kupu-kupu.”
Sundari
tampak merona. Dia tersenyum malu-malu, barangkali aku terlalu berlebihan
memuji dia. “Aku tak sesempurna itu, Mas,” ucapnya lembut.
Aku
mengambil caping yang aku letakkan di sebelahku. Dari sitje, aku beranjak
berdiri. Sundari ikut berdiri. Dia mengerutkan kening.
“Sedemikian
cepat kamu pergi, Mas?”
“Ya,
aku tak bisa duduk lama-lama. Aku janji datang ke rumah Pak Dukuh pagi ini.
Lain kali kalau ada waktu, aku pasti mampir.”
Sundari
tersenyum dan mengangguk.
Aku
berjalan meninggalkan dia, menghampiri sepeda tuaku dan naik ke atasnya.
Sembari melambaikan tangan kepada Sundari yang mengantar kepergianku, aku mulai
mengayuh sepeda, perlahan-lahan meninggalkan rumah itu sekaligus pemiliknya
yang amat cantik.
***
Sundari
memang begitu kaya! Duitnya kini banyak dan di desa ini dia melakukan apa yang
dia mau. Terakhir aku dengar dari obrolan ringan para petani yang menggarap
sawah Pak Dukuh, Sundari tengah memugar kuburan almarhum bapaknya. Terakhir aku
lewat di Kuburan Sorogenen, makam almarhum bapak Sundari yang awalnya hanya
berupa tanah dilindungi tumpukan batu bata kini sudah berubah jadi mewah,
seperti rumah kecil dengan taburan bunga segar setiap harinya.
Aku
begitu ternganga melihat perubahan yang dialami Sundari. Hanya butuh waktu tiga
tahun merantau ke Jakarta, Sundari sudah bisa mandi duit! Merenovasi rumah,
memugar makam, membeli mobil, memakai baju yang penuh pernak-pernik mewah
bahkan lebih dari itu bisa dia lakukan! Apalagi, kini sebuah gelang dan cincin
emas selalu melingkar di pergelangan tangan dan jarinya, selalu dia pakai kalau
dia pergi ke Pasar Ngijon, membuat ibu-ibu yang berdagang di sana jadi gigit jari
dan ingin bermetamorfosis macam Sundari.
Sundari
menjadi momok untuk desa ini. Aku dengar, hampir separuh warga desa memutuskan
untuk berhenti menjadi petani dan merantau ke Jakarta. Hanya modal nekat dan
keberanian, tanpa membawa modal yang lain seperti kepandaian dan keterampilan.
Toh, Sundari juga begitu. Dia ke Jakarta dengan tangan hampa beberapa tahun
yang lalu, kata mereka meremehkan Jakarta.
Aku
duduk di sitje, menghisap rokok dan menghembuskan asapnya membentuk bayang-bayang
lingkaran di udara. Aku berpikir sekaligus mengandai-andai. Dalam hatiku, aku
cukup tertarik mengikuti jejak para perantau dari desaku. Aku juga ingin
mengadu nasib di Jakarta. Barangkali aku beruntung, siapa tahu?
Bayangkan
saja aku memakai jas hitam seperti eksekutif muda yang sering tampil di TVRI,
bayangkan saja aku naik mobil mewah, duduk di belakang kemudi dan memakai
kacamata hitam. Bayangkan saja aku memakai sepatu hitam yang mengkilap. Ah, aku
terlalu pandai mengkhayal. Memakai sandal saja sudah barang mewah buatku,
apalagi sepatu hitam yang mengkilap? Lebih berani aku bermimpi!
Aku
memutuskan untuk tidur ketika gelap semakin merayap atas cakrawala. Besok pagi,
akan aku temui Sundari dan bertanya kepada gadis itu di mana dia bekerja. Dan
kalau ada peluang untuk aku masuk, aku akan bergabung dengan perusahaan tempat
gadis itu bekerja.
***
Aku
datang ke rumah Sundari pagi-pagi sekali. Sopirnya tampak sedang mencuci mobil,
hingga warnanya makin mengkilap dan memberikan efek kinclong bagai iklan-iklan
sabun cuci mobil di teve. Sundari tampak berdandan di depan rumah, memakai
bedak dan gincu warna merah merekah. Saking sibuknya berdandan, dia tak lihat
aku berdiri di beranda.
“Sibuk,
Ri?”tanyaku menyapa, membuat Sundari agak terkejut. Nasib baik gincunya tak
sampai mencoret pipinya karena kebablasan.
“Eh,
Mas Seno? Tidak, tidak sibuk. Silakan duduk,” balas Sundari ramah. Dia
menggeser posisi dan aku duduk di sebelahnya. Aku lepaskan caping di kepalaku
sebelum mengutarakan tujuanku datang menemui dia.
“Jadi
begini, aku hanya tertarik pada perubahanmu sejak kau pulang dari Jakarta. Kau
begitu berduit dan nasibmu benar-benar berubah sekarang,” ucapku, membuat
Sundari mengerutkan kening. “Langsung saja, apa pekerjaanmu, Ri?”
Kerutan
di kening Sundari perlahan-lahan pudar. Tatapannya padaku jadi gugup. Tidak,
tidak lagi gugup. Bahkan dia cepat-cepat memalingkan wajah dan tak lagi
memandang kepadaku. Dia menggigit bibir dan jemarinya berpeluk cemas.
“Aku,”
dia menelan ludah. “Aku karyawan pabrik, Mas.”
Aku
mengerutkan kening. “Karyawan pabrik?” ulangku tak percaya. “Mana ada karyawan
pabrik bisa sekaya kau? Punya mobil, bisa merenovasi rumah...”
“Sungguh,
Mas. Aku memang karyawan biasa, hanya saja aku rajin menabung untuk beli ini
dan beli itu.”
Aku
mengerutkan kening. Hati kecilku sebenarnya tak begitu percaya pada Sundari.
Mana ada karyawan pabrik sekaya itu? Bahkan salah satu warga di Slarongan yang
anaknya juga karyawan pabrik tekstil di Malioboro masih terlilit utang
rentenir.
“Sepertinya
menarik, Ri. Menjadi karyawan dengan gaji besar. Masihkah ada peluang untuk
karyawan baru di pabrik itu? Maksud kedatanganku kemari adalah bertanya,
barangkali pabrik tempatmu bekerja membutuhkan karyawan baru dan aku berpeluang
untuk bekerja di sana.”
“Tidak
mas,” jawab Sundari terburu-buru. “Lamaran itu baru saja ditutup tiga hari yang
lalu.”
Aku
mengerutkan kening, masih tak percaya dengan argumentasi Sundari. “Hmm, begitu.
Barangkali nasibku memang jadi petani,” ucapku, membuat Sundari langsung
menatapku dengan perasaan tak nyaman.
“Maaf,
Mas. Harusnya sejak dulu aku memberitahumu.”
Aku
tersenyum. “Tak apa. Tak masalah, toh aku belum bosan jadi petani,” kataku,
kemudian menatap Sundari dengan sorot mata ingin tahu. “Kau mau pergi?”
“Ya,
Mas. Aku pulang ke Jakarta hari ini,” jawab Sundari.
“Oh,
kalau begitu, aku pulang sajalah. Tak mau aku mengganggumu bersiap pulang ke
Jakarta. Liburanmu menyenangkan bukan walau hanya ke kampung?”
“Alhamdullilah,
Mas. Menyenangkan sekali, sama kala aku masih tinggal di kampung dan belum
berangkat ke Jakarta.”
“Aku
mengerti.”
Aku
beranjak dari sitje, Sundari mengekor di belakang. Kuhampiri sepeda tuaku dan
naik ke atasnya. Sembari melambaikan tangan, aku mengayuh sepeda dan
meninggalkan Sundari dengan senyumnya yang amat menggoda.
***
Kepergian
Sundari beberapa bulan yang lalu diikuti kepergian satu per satu warga desa
yang ingin berubah sebagai Sundari. Berangsur-angsur desa ini sepi, juga sawah
dan ladang. Biasanya, pagi-pagi begini para ibu sedang membuat besek atau
apapun yang dianyam dari bambu, sementara para bapak sudah siap dengan cangkul,
sabit dan sepeda jengkinya menuju ke sawah atau ladang dan bertani.
Hari
itu, Bu Sakarya memintaku datang ke rumahnya. Ibu Sundari sudah tua,
orang-orang pun tahu dia sudah sakit-sakitan. Aku agak bingung juga ketika
mengetahui wanita tua itu memanggil aku dan kini ia tengah berdiri di serambi
rumahnya dengan penuh harap.
“Seno,
aku tahu kau teman dekat Sundari sejak dia masih kecil,” ucapnya. Bahkan
sebelum aku sampai di teras, dia sudah berjalan buru-buru menghampiri aku.
“Ada
apa, Bu?”
“Duduklah
dulu,” Bu Sakarya memintaku duduk di sitje sementara dia menuangkan teh ke
dalam cangkir. “Minumlah dulu.”
Aku
minum sedikit. “Ada kepentingan apa Bu Sakarya memanggil Seno kemari?”
“Begini
lho. Kau tahu, Sundari beberapa bulan yang lalu sudah pulang. Tapi, ibu masih
merasa rindu dengan dia. Tiga tahun tidak bertemu dengan Ndari, dia hanya
pulang beberapa hari di sini. Rasanya, belum cukup aku bertemu dengan dia.”
Aku
mengerutkan kening. “Lalu?”
“Aku
harap, kau mau menemani aku ke Jakarta dan bertemu dengan Ndari. Tak mungkin
kan aku pergi ke sana sendirian? Aku belum pernah ke Jakarta dan aku takut
berada di sana.”
Aku
menggeleng. “Tapi Seno juga belum pernah ke Jakarta. Kenapa ibu tak minta ditemani
oleh Hamid? Dia pernah ke Jakarta.”
Bu
Sakarya menghembuskan nafas panjang. “Dari seluruh warga desa di Slarongan,
hanya kau yang aku percaya. Aku mohon Seno, temani aku ke Jakarta.”
Aku
terdiam cukup lama, berpikir matang-matang. Aku belum pernah ke Jakarta
sebelumnya, tak dapat aku bayangkan bagaimana kota itu berada. Tapi, kesempatan
ini tak boleh aku lewatkan. Barangkali sembari menunggu Bu Sakarya melepas rasa
rindunya kepada Sundari selama dia tinggal di Jakarta, aku bisa mencari kerja.
Ide
bagus. Aku menatap Bu Sakarya dan aku katakan kepadanya, aku bersedia
menemaninya ke Jakarta.
***
Aku
dan Bu Sakarya menunggu bus Prayogo di Kolowenang. Hampir lima belas menit kami
menunggu di bawah naungan pohon akasia yang tumbuh di sana. Tak lama kemudian,
bus yang tengah kami tunggu itu datang. Kami naik ke dalamnya, agak kesulitan
karena bus sudah penuh dan kondekturnya tetap meminta siapa saja yang menunggu
bus itu naik. Dia pikir kami ikan teri, diperlakukan sedemikian rupa. Terpaksa
aku tak duduk dan bergantung di pintu bus.
Untuk
pertama kali dalam hidupku, aku menginjak Stasiun Tugu. Bangunannya begitu
megah dan mewah. Aku membelikan tiket kereta api untuk aku dan Bu Sakarya.
Dengan kereta ekonomi yang kondisinya tak jauh berbeda dengan naik bus, aku dan
Bu Sakarya resmi melancong ke Jakarta.
***
Sibuknya
Stasiun Gambir membuat Bu Sakarya jadi panik. Dia sama sekali tak melepaskan
genggaman tangannya dari lenganku. Dia begitu takut, belum pernah dia berada di
antara keramaian yang sedemikian rupa.
Agak
bingung mencari jalan keluar stasiun, aku dan Bu Sakarya malah berputar-putar
entah ke mana.
Gambaran
kota Jakarta terpampang jelas di stasiun ini. Ada yang berdiri layaknya
Sundari, dengan gaya dan penampilan necis dan modis, sepatu bermerk dan pakaian
warna-warni. Tapi di sekitar mereka, ada yang mondar-mandir berpakaian lusuh,
membawa barang dagangan dengan peluh mengalir dan terjatuh di tanah Jakarta.
Jerih payah mereka melebihi orang-orang berpenampilan layaknya Sundari, tapi
apa yang mereka dapat tak sama seperti Sundari.
Gambaran
ketidakadilan hidup terlukis jelas di mataku. Muncul ketakutan dan kecemasan
dalam diriku, andai saja aku tak berhasil bagai Sundari malah menjadi buruh
dengan peluh yang membuat wajah makin kusut dan badan makin bau penguk. Ah,
nasib baik aku jadi petani. Dapat jatah beras tiap musim panen, sedangkan
mereka? Mereka harus berdesak-desakan, pingsan, terinjak bahkan mati hanya
karena berebut beras seperti yang aku lihat pada berita-berita di teve.
“Seno,
harus kemana lagi kita?”
Aku
mengangkat bahu. “Kita tanya saja pada petugas stasiun, Bu. Mereka pasti mau
membantu. Ibu tunggu di sini,” ucapku, lalu meninggalkan Bu Sakarya berdiri di
tepi rel kereta api.
Aku
menghampiri seorang pria berseragam yang berdiri di sebelah tiang. Kutanya
kepadanya, di mana pintu keluar stasiun. Dia menjelaskan dengan begitu rinci
dan saking bersemangatnya, aku berbalik dan berlari buru-buru menghampiri Bu
Sakarya hingga pada akhirnya aku menubruk seorang pedagang koran dan majalah
yang sedang berjalan.
Semua
korannya terjatuh, dia memunguti dagangannya sembari uring-uringan. Aku jadi
tak enak hati. Kubeli satu majalahnya secara acak sebagai permintaan maafku dan
kusuruh dia mengambil kembalian yang seharusnya menjadi hakku.
Aku
berjalan sembari membuka-buka isi majalah yang aku beli, penasaran juga dengan
isinya. Ternyata majalah yang aku beli secara tak sengaja itu majalah dewasa. Aku
membuka halaman terakhir majalah itu tanpa sengaja. Toh walaupun kulihat tanpa
sengaja, rubrik itu membuat kedua mataku terbelalak tak percaya dan mulutku
menganga lebar. Bukan karena modelnya yang berpose tanpa mengenakan sehelai
pakaian pun selain celana dalam, tapi lebih penting dari itu.
Aku
menghampiri Bu Sakarya. Dia tampak berbinar melihat kedatanganku dan segera
mengajakku keluar dari stasiun dan menemui anak gadisnya. Namun ketika melihat
binar di wajahku untuk bertemu dengan Sundari telah sirna, Bu Sakarya bertanya
kepadaku dengan kening berkerut. “Ada apa, Seno?”
Aku
tak enak hati. Kuulurkan majalah di tanganku kepadanya dengan raut kecewa.
Majalah dewasa itu kini berada di genggaman tangan Bu Sakarya. Dia lihat
halaman yang aku buka. Matanya langsung terbelalak kaget dan dia bekap mulutnya
yang menganga lebar. Dia benar-benar tak percaya dan tangis tiada bisa dia
tahan. Ya, wanita yang berpose tanpa busana itu adalah anak gadisnya.