Aku memandang wajah manis Pamor
melalui foto yang berbingkai di atas meja belajarku. Sebuah senyum
melengkungkan bibirku. Aku memutuskan untuk memejamkan mata, hati mulai
bertugas tuk meraba-raba. Ada
sebuah rasa yang gila dan menggelitik di dalam dada, orang banyak menyebutnya
cinta.
Lagu
yang dilantunkan oleh Mandy Moore berjudul The
Way To My Heart mengalun pelan dari mp3 kecil di sampingku. Malam yang
dingin membuat aku menyadari bahwa aku sedang merindu, rindu pada seseorang
yang berada di jauh sana ,
di Surabaya.
Sudah
dua tahun aku dan Pamor menjalin hubungan jarak jauh. Susah
menjalaninya, butuh komunikasi yang baik agar hubungan tetap berjalan lancar.
Apalagi kalau sudah kangen begini, susah untuk mengatasinya. Segala perasaan
tidak akan selamanya terasa lega bila tidak diselesaikan dengan tatap muka,
begitulah aku.
Biasanya,
jika rindu sedang menelusup dalam ruang hatiku dan membuat pikiranku
bernostalgi tentang kenangan kami selama masih tinggal dalam hubungan yang tak
berjarak seperti ini, aku langsung menghubunginya; menelfon untuk melepas rindu
atau sekedar mengirim pesan singkat untuk melegakan hati yang bertanya-tanya
tentang keadaannya.
Tapi
tidak untuk malam ini.
Pamor
bagaikan menghilang ditelan bumi. Gadis itu tidak mengangkat telefon atau
sekedar mengirim sms. Aku menghembuskan nafas. Pikiranku jadi melayang-layang
tak menentu. PR yang sejak tadi berada di hadapanku sama sekali tidak
tersentuh. Aku hanya diam sambil memandangi bintang-bintang yang menghias
langit malam itu.
Hubungan
jarak jauh. Hmm, aku berpikir lagi. Tak semua pasangan bisa menjalani hubungan
rumit ini. Berarti aku termasuk golongan orang hebat? Ya. Aku memberikan
apresiasi yang besar pada mereka, pasangan-pasangan yang mampu menjalani
hubungan jarak jauh dengan penuh kesabaran.
Rindu
untuk saling bertatap muka seringkali menghantui pada malam hari, terutama pada
malam yang terasa sepi dan dingin begini. Tetapi apa yang bisa dilakukan? Hanya
menatap bingkai foto saja sudah cukup.
Kenangan-kenangan
selama masih sangat dekat pun juga sering melayang dalam benak dan pikiran.
Sialnya, hati ikut-ikutan memanas-manasi dan bilang bahwa kamu harus menghubungi dia, siapa tau dia lagi cari gebetan lain…
Aku tertawa
membayangkan pikiran itu. Hubungan jarak jauh lucu juga, ya? Dijalani tanpa
tatap muka, dijalani hanya dengan sebatas pesan singkat dan telefon, dijalani
hanya dengan rindu yang terukir dalam hati tanpa setiap waktu bisa disampaikan
pada empunya pemilik hati.
Asa
merengut nyawa, mimpi merengut imaji. Ketika bayang mendambakannya, aku tau aku
sedang merindu. Hubungan jarak jauh membuat kita bisa merasa kangen pada
seseorang tiap detik. Karena rasa kangen bisa menelusup sewaktu-waktu, meski
tanpa perantara.
Mataku
melirik lagi ke arah handphone yang
masih sepi. Handphone itu sama sekali
tak bergeming dari diamnya. Aku kembali menghembuskan nafas panjang. Beginilah
sulitnya menjalani hubungan jarak jauh. Hati selalu dipenuhi rasa kecewa,
kecewa, dan kecewa apabila sang pemilik hati tak memberi kabar, tetapi sedetik
kemudian merasa sangat amat lega ketika dia akhirnya memberi tahu keadaanya
meski hanya melalui pesan singkat, meski rasa lega itu hanya terjadi beberapa
saat karena rindu tak mau pergi dan selalu menelusup dalam dasar hati disertai
pikiran tentang raga sang kekasih.
Jantungku
berdegup; teringat pertama kali aku terpesona pada Pamor. Teringat pertama kali
aku mulai menyukai senyumnya, terpana pada tatapan matanya, terpaku saat
mendengar ucap dari bibirnya, hingga akhirnya aku tahu, aku sadar, dan aku
merasa; aku jatuh cinta.
Dan
akhirnya kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.
Pengalaman
jatuh cinta yang selalu membuatku melengkungkan bibir kemudian tersenyum, atau
bahkan tertawa kecil jika mengingatnya.
Malam
makin larut. Handphone masih belum
berdering. Rindu semakin menjadi-jadi. Aku kesal. Kemana dia? Apa yang sedang
dia lakukan? Kenapa dia tak memberi kabar? Apa dia tidak rindu kepadaku? Apa
dia…. Sejuta pertanyaan tentang apa, mengapa, dimana, sedang apa, dan lain-lain
melayang dalam pikiranku: membuatku berpikir lebih sulit dan menerka sesuatu
yang tak pasti; sesuatu yang lebih rumit dibanding Matematika.
Hingga
akhirnya, aku meraih handphone-ku.
Siap-siap marah karena Pamor tak kunjung memberi kabar, dan kemudian mematikan handphone itu sampai esok pagi dan
membaca sms minta maaf dari Pamor karena tak memberi kabar. Tetapi niat itu
batal ketika handphone akhirnya
berdering juga.
Aku
mengangkat telefon dari Pamor, siap-siap marah.
“Menunggu
kerinduan, mendamba kesabaran. Apa malam ini kamu menanti kabarku, Sayang?”
Pamor tertawa.
Sial.
Dia berusaha mengujiku. Aku langsung bersungut-sungut kesal.
“Iyalah,
kamu kemana aja sih?”
“Hehe,
di rumah aja. Tapi sengaja nggak telfon biar aku tau respon kamu. Marah, ya?”
godanya.
Aku
uring-uringan dalam hati, tapi lega juga ketika suaranya terdengar dalam
telinga.
“Iyalah,
marah.”
Aku
mendengar Pamor tertawa kecil.
“Sayang,
jangan marah-marah lagi, ya? Aku tau kamu kangen, aku juga kok. Tapi sekarang, aku
disini, melalui saluran telefon, aku membalas dan menjawab segala tanya yang
melayang dalam pikiran kamu. Aku menjelma jadi jawaban, atas pertanyaan gimana
kabarku. Aku selalu baik-baik aja, meski jauh dari kamu. Rindumu dan rinduku
yang menyatu adalah kekuatan yang tak akan pernah membuat aku goyah.”
Aku
terdiam membiarkan Pamor bercerita dengan kalimat indahnya. Hingga akhirnya dia
berhenti, dan aku berkata, “Aku kangen sama kamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar