Selasa, 03 September 2013

Cinta yang Berjarak

Aku memandang wajah manis Pamor melalui foto yang berbingkai di atas meja belajarku. Sebuah senyum melengkungkan bibirku. Aku memutuskan untuk memejamkan mata, hati mulai bertugas tuk meraba-raba. Ada sebuah rasa yang gila dan menggelitik di dalam dada, orang banyak menyebutnya cinta.
            Lagu yang dilantunkan oleh Mandy Moore berjudul The Way To My Heart mengalun pelan dari mp3 kecil di sampingku. Malam yang dingin membuat aku menyadari bahwa aku sedang merindu, rindu pada seseorang yang berada di jauh sana, di Surabaya.
            Sudah dua tahun aku dan Pamor menjalin hubungan jarak jauh. Susah menjalaninya, butuh komunikasi yang baik agar hubungan tetap berjalan lancar. Apalagi kalau sudah kangen begini, susah untuk mengatasinya. Segala perasaan tidak akan selamanya terasa lega bila tidak diselesaikan dengan tatap muka, begitulah aku.
            Biasanya, jika rindu sedang menelusup dalam ruang hatiku dan membuat pikiranku bernostalgi tentang kenangan kami selama masih tinggal dalam hubungan yang tak berjarak seperti ini, aku langsung menghubunginya; menelfon untuk melepas rindu atau sekedar mengirim pesan singkat untuk melegakan hati yang bertanya-tanya tentang keadaannya.
            Tapi tidak untuk malam ini.
            Pamor bagaikan menghilang ditelan bumi. Gadis itu tidak mengangkat telefon atau sekedar mengirim sms. Aku menghembuskan nafas. Pikiranku jadi melayang-layang tak menentu. PR yang sejak tadi berada di hadapanku sama sekali tidak tersentuh. Aku hanya diam sambil memandangi bintang-bintang yang menghias langit malam itu.
            Hubungan jarak jauh. Hmm, aku berpikir lagi. Tak semua pasangan bisa menjalani hubungan rumit ini. Berarti aku termasuk golongan orang hebat? Ya. Aku memberikan apresiasi yang besar pada mereka, pasangan-pasangan yang mampu menjalani hubungan jarak jauh dengan penuh kesabaran.
            Rindu untuk saling bertatap muka seringkali menghantui pada malam hari, terutama pada malam yang terasa sepi dan dingin begini. Tetapi apa yang bisa dilakukan? Hanya menatap bingkai foto saja sudah cukup.
            Kenangan-kenangan selama masih sangat dekat pun juga sering melayang dalam benak dan pikiran. Sialnya, hati ikut-ikutan memanas-manasi dan bilang bahwa kamu harus menghubungi dia, siapa tau dia lagi cari gebetan lain…
            Aku tertawa membayangkan pikiran itu. Hubungan jarak jauh lucu juga, ya? Dijalani tanpa tatap muka, dijalani hanya dengan sebatas pesan singkat dan telefon, dijalani hanya dengan rindu yang terukir dalam hati tanpa setiap waktu bisa disampaikan pada empunya pemilik hati.
            Asa merengut nyawa, mimpi merengut imaji. Ketika bayang mendambakannya, aku tau aku sedang merindu. Hubungan jarak jauh membuat kita bisa merasa kangen pada seseorang tiap detik. Karena rasa kangen bisa menelusup sewaktu-waktu, meski tanpa perantara.
            Mataku melirik lagi ke arah handphone yang masih sepi. Handphone itu sama sekali tak bergeming dari diamnya. Aku kembali menghembuskan nafas panjang. Beginilah sulitnya menjalani hubungan jarak jauh. Hati selalu dipenuhi rasa kecewa, kecewa, dan kecewa apabila sang pemilik hati tak memberi kabar, tetapi sedetik kemudian merasa sangat amat lega ketika dia akhirnya memberi tahu keadaanya meski hanya melalui pesan singkat, meski rasa lega itu hanya terjadi beberapa saat karena rindu tak mau pergi dan selalu menelusup dalam dasar hati disertai pikiran tentang raga sang kekasih.
            Jantungku berdegup; teringat pertama kali aku terpesona pada Pamor. Teringat pertama kali aku mulai menyukai senyumnya, terpana pada tatapan matanya, terpaku saat mendengar ucap dari bibirnya, hingga akhirnya aku tahu, aku sadar, dan aku merasa; aku jatuh cinta.
            Dan akhirnya kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.
            Pengalaman jatuh cinta yang selalu membuatku melengkungkan bibir kemudian tersenyum, atau bahkan tertawa kecil jika mengingatnya.
            Malam makin larut. Handphone masih belum berdering. Rindu semakin menjadi-jadi. Aku kesal. Kemana dia? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa dia tak memberi kabar? Apa dia tidak rindu kepadaku? Apa dia…. Sejuta pertanyaan tentang apa, mengapa, dimana, sedang apa, dan lain-lain melayang dalam pikiranku: membuatku berpikir lebih sulit dan menerka sesuatu yang tak pasti; sesuatu yang lebih rumit dibanding Matematika.
            Hingga akhirnya, aku meraih handphone-ku. Siap-siap marah karena Pamor tak kunjung memberi kabar, dan kemudian mematikan handphone itu sampai esok pagi dan membaca sms minta maaf dari Pamor karena tak memberi kabar. Tetapi niat itu batal ketika handphone akhirnya berdering juga.
            Aku mengangkat telefon dari Pamor, siap-siap marah.
            “Menunggu kerinduan, mendamba kesabaran. Apa malam ini kamu menanti kabarku, Sayang?” Pamor tertawa.
            Sial. Dia berusaha mengujiku. Aku langsung bersungut-sungut kesal.
            “Iyalah, kamu kemana aja sih?”
            “Hehe, di rumah aja. Tapi sengaja nggak telfon biar aku tau respon kamu. Marah, ya?” godanya.
            Aku uring-uringan dalam hati, tapi lega juga ketika suaranya terdengar dalam telinga.
            “Iyalah, marah.”
            Aku mendengar Pamor tertawa kecil.
            “Sayang, jangan marah-marah lagi, ya? Aku tau kamu kangen, aku juga kok. Tapi sekarang, aku disini, melalui saluran telefon, aku membalas dan menjawab segala tanya yang melayang dalam pikiran kamu. Aku menjelma jadi jawaban, atas pertanyaan gimana kabarku. Aku selalu baik-baik aja, meski jauh dari kamu. Rindumu dan rinduku yang menyatu adalah kekuatan yang tak akan pernah membuat aku goyah.”

            Aku terdiam membiarkan Pamor bercerita dengan kalimat indahnya. Hingga akhirnya dia berhenti, dan aku berkata, “Aku kangen sama kamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar