Ini bukanlah kisah cinta ala
Romeo dan Juliet. Ini juga bukanlah kisah cinta yang terjalin karena pertemuan
disebuah pesta dansa. Dan ini bukan kisah cinta yang terjadi karena
kejadian-kejadian istimewa sama seperti yang terjadi dalam film-film drama.
Tetapi
ini hanyalah kisah cinta biasa, yang terasa luar biasa. Sebuah kisah cinta
sederhana ala aku dan kekasihku, Raga.
Malam
minggu datang lagi. Setelah mengalami berbagai perdebatan tentang kemana kami
akan pergi untuk melewati malam spesial bagi kami berdua ini, aku dan Raga
memutuskan untuk singgah di sebuah hik dekat Taman Budaya Surakarta, hik Budi
Anduk.
Sama
seperti biasa, warung lesehan itu terlihat ramai oleh mahasiswa-mahasiswa yang
sedang beristirahat dari kelelahan mereka hari ini. Tawa mereka bercampur
dengan tawa kami, tawa gembira antara aku dan Raga yang sedang berbagi cerita
berdua. Sambil menikmati es tape dan berbagai macam sate serta gorengan, kami
sama-sama bersahut canda, sesekali saling menggoda, sewaktu-waktu saling
bertengkar kecil karena hal sepele.
Tiga
hal pokok yang selalu kami lakukan. Biasa, tapi terasa luar biasa.
Aku
akhirnya terdiam, membiarkan Raga sejenak menikmati sate ayamnya. Bibir cowok
itu dipenuhi kecap, membuat aku tertawa kecil sehingga Raga menoleh dengan
kening berkerut dan bertanya, “Kamu kenapa?”
Aku
mengulum senyum. “Nggak apa-apa,” jawabku kemudian tertawa lagi sambil melirik
bibir Raga.
Raga
yang menyadari lirikanku pun menyentuh bibirnya dan menyadari kalau kecap
belepotan di sekitar bibirnya. “Sial,” ucapnya kemudian menorehkan kecap di
jarinya ke wajahku.
Aku
langsung pura-pura judes. “Apaan sih? Norak!”
Raga
tertawa, kemudian menikmati kembali sate ayamnya sambil sesekali meneguk es
tape.
Aku
memandanginya lagi. Senyum mengembang dibibirku, ada rasa sayang yang luar
biasa di dalam sudut penggalih rena. Aku sangat menyayangi Raga. Cowok itu
selalu mengerti aku, selalu bisa membuatku tertawa, selalu bisa membuatku
tersenyum. Sudah dua tahun kami menjalani hubungan ini, tak pernah ada kata
putus. Hingga akhirnya aku sadar, Raga tak pernah main-main padaku. Raga juga
menyayangi aku.
Namun,
senyum di bibirku seketika pudar ketika aku menyadari sesuatu. Kami bukanlah
pasangan terkenal di sekolah. Tak ada yang tahu kalau kami berpacaran. Aku
menghembuskan nafas kecewa, mengetahui bahwa kami bukanlah pasangan gaul yang
bisa menciptakan romansa di sekolah kami. Kami pasangan yang tersembunyi di
seantero sekolah. Kami adalah pasangan yang tak kasat mata di antara
teman-teman kami.
Sebagai
remaja, aku juga ingin orang lain bilang kalau aku dan Raga adalah sepasang
manusia yang romantis. Sebagai cewek, aku juga ingin orang lain bilang kalau
mereka suka gaya
berpacaran kami. Tetapi, Raga tak pernah secara terang-terangan mengumbar
hubungan kami di depan orang banyak, Raga hanya mengatakan status kami kepada
teman-temannya. Tak tahulah aku bagaimana kisah yang ia ceritakan kepada
mereka.
Aku
meremas-remas tanganku. Jari-jariku saling berpeluk tak nyaman. Aku resah. Apa
jangan-jangan, Raga malu punya pacar seperti aku? Apa jangan-jangan, Raga
sebenarnya tak ingin punya pacar yang tak cantik? Aku memang tidak cantik. Aku
memang tidak sempurna. Apa jangan-jangan Raga hanya bermain menggunakan
perasaanku?
Aku
tidak tahu.
Hingga
pada akhirnya, Raga menyadari kebisuanku. Ia menatapku dengan cemas.
“Kamu
kenapa?” tanyanya singkat.
Aku
langsung menoleh dan menatapnya. “Hm? Enggak, aku nggak kenapa-kenapa, kok.”
Raga
mengibaskan tangan. “Halah, nggak usah bohong. Kita udah dua tahun pacaran, aku
udah kenal gimana kamu yang enggak kenapa-kenapa, gimana kamu yang lagi sedih.
Jujur aja deh.”
Aku
menatap Raga dengan ragu-ragu, kemudian menggigit bibir bawahku. Aku gugup mau
berbagi cerita. Ini baru yang pertama kali.
“Sebenernya
aku…”
Raga
tak melepaskan pandangannya daripadaku.
“Sebenernya
aku kecewa sama sikap kamu.”
Sejenak,
Raga langsung mengerutkan kening. “Kecewa gimana? Kenapa?”
Aku
menelan ludah. “Aku nggak yakin kalau kamu beneran sayang sama aku.”
“Why?”
Aku
mengangkat bahu lemas. “I don’t know. Kamu
nggak pernah ngajak aku terang-terangan pacaran di sekolah, kamu nggak
nyantumin nama aku di bio twitter-mu,
kamu juga nggak ngajak aku buat merubah status hubungan kita di facebook. Nggak ada yang tahu kalau kita
berdua pacaran.”
Raga
terdiam, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat alis.
Kenapa harus tertawa? Untuk yang pertama kali, aku merasa Raga tidak bisa
memahami aku.
“Jadi
kamu ngerasa kecewa karena empat hal itu?” Raga kembali tertawa. “Lita, Lita.
Kamu lucu.”
“Aku
nggak lagi bercanda, Ga. ”
Raga
terdiam. Bisu. Ia menatapku dengan keseriusan, kemudian ia menyadari kalau aku
memang sedang tidak bercanda. Sama seperti biasa, tatapan matanya berubah jadi
bijaksana. Ia menghembuskan nafas.
“Aku
sayang kamu apa adanya.”
“Bukan
masalah itu, aku cuma pengen…”
“Jadi
pasangan terkenal di sekolah? Jadi pasangan yang dibilang romantis?”
Aku
diam. Raga menepuk-nepuk ujung kepalaku dengan lembut.
“Kamu
percaya nggak sama aku?”
Aku
hanya bisa diam.
“Rasa
sayang yang tulus nggak didasari sebetapa sering kamu nulis nama pacar kamu di
bio twitter, nulis status kalau kamu
sayang banget sama pacar kamu di facebook,
dan foto sebanyak-banyaknya sama pacar kamu kemudian di share di media sosial. Tetapi, rasa
sayang yang tulus ditunjukkan dari betapa besar kamu percaya sama pacar kamu,
dan betapa kuat perjuangan kamu untuk mempertahankan dia.”
Aku
menatap Raga. Menatap matanya, menatap maniknya yang bewarna hitam.
Raga
tersenyum. “Aku lebih nyaman nulis nama kamu di hatiku, daripada nulis nama
kamu di bio twitter. Percaya itu, Lita.”
Aku
menelan ludah. Belum pernah Raga berbicara dengan nada sedalam dan seserius
ini.
“Biarkan
kisah kita jadi kisah kita, biarkan ini mengalir, hingga akhirnya kala kita
berdua sama-sama dewasa, kita bikin mereka terkejut dengan romansa tentang aku
dan kamu.”
Raga
melebarkan senyumannya.
“Biarkan
ini jadi…”
Aku
meletakkan telunjukku di bibirnya, kemudian tersenyum, “Cinta versi kita,”
sahutku lembut.
Raga
tertawa. “Cinta versi kita, biarkan jadi milik kita. Jadi rahasia kita, jadi surprise buat mereka. Aku sayang sama
kamu.”
Senyumku
semakin lebar.
Ceritanya bagus, tapi fontnya bikin pedih dimata :'))
BalasHapussederhana itu indah :)
BalasHapus