Minggu, 08 September 2013

Cinta Versi Kita

Ini bukanlah kisah cinta ala Romeo dan Juliet. Ini juga bukanlah kisah cinta yang terjalin karena pertemuan disebuah pesta dansa. Dan ini bukan kisah cinta yang terjadi karena kejadian-kejadian istimewa sama seperti yang terjadi dalam film-film drama.
            Tetapi ini hanyalah kisah cinta biasa, yang terasa luar biasa. Sebuah kisah cinta sederhana ala aku dan kekasihku, Raga.
            Malam minggu datang lagi. Setelah mengalami berbagai perdebatan tentang kemana kami akan pergi untuk melewati malam spesial bagi kami berdua ini, aku dan Raga memutuskan untuk singgah di sebuah hik dekat Taman Budaya Surakarta, hik Budi Anduk.
            Sama seperti biasa, warung lesehan itu terlihat ramai oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang beristirahat dari kelelahan mereka hari ini. Tawa mereka bercampur dengan tawa kami, tawa gembira antara aku dan Raga yang sedang berbagi cerita berdua. Sambil menikmati es tape dan berbagai macam sate serta gorengan, kami sama-sama bersahut canda, sesekali saling menggoda, sewaktu-waktu saling bertengkar kecil karena hal sepele.
            Tiga hal pokok yang selalu kami lakukan. Biasa, tapi terasa luar biasa.
            Aku akhirnya terdiam, membiarkan Raga sejenak menikmati sate ayamnya. Bibir cowok itu dipenuhi kecap, membuat aku tertawa kecil sehingga Raga menoleh dengan kening berkerut dan bertanya, “Kamu kenapa?”
            Aku mengulum senyum. “Nggak apa-apa,” jawabku kemudian tertawa lagi sambil melirik bibir Raga.
            Raga yang menyadari lirikanku pun menyentuh bibirnya dan menyadari kalau kecap belepotan di sekitar bibirnya. “Sial,” ucapnya kemudian menorehkan kecap di jarinya ke wajahku.
            Aku langsung pura-pura judes. “Apaan sih? Norak!”
            Raga tertawa, kemudian menikmati kembali sate ayamnya sambil sesekali meneguk es tape.
            Aku memandanginya lagi. Senyum mengembang dibibirku, ada rasa sayang yang luar biasa di dalam sudut penggalih rena. Aku sangat menyayangi Raga. Cowok itu selalu mengerti aku, selalu bisa membuatku tertawa, selalu bisa membuatku tersenyum. Sudah dua tahun kami menjalani hubungan ini, tak pernah ada kata putus. Hingga akhirnya aku sadar, Raga tak pernah main-main padaku. Raga juga menyayangi aku.
            Namun, senyum di bibirku seketika pudar ketika aku menyadari sesuatu. Kami bukanlah pasangan terkenal di sekolah. Tak ada yang tahu kalau kami berpacaran. Aku menghembuskan nafas kecewa, mengetahui bahwa kami bukanlah pasangan gaul yang bisa menciptakan romansa di sekolah kami. Kami pasangan yang tersembunyi di seantero sekolah. Kami adalah pasangan yang tak kasat mata di antara teman-teman kami.
            Sebagai remaja, aku juga ingin orang lain bilang kalau aku dan Raga adalah sepasang manusia yang romantis. Sebagai cewek, aku juga ingin orang lain bilang kalau mereka suka gaya berpacaran kami. Tetapi, Raga tak pernah secara terang-terangan mengumbar hubungan kami di depan orang banyak, Raga hanya mengatakan status kami kepada teman-temannya. Tak tahulah aku bagaimana kisah yang ia ceritakan kepada mereka.
            Aku meremas-remas tanganku. Jari-jariku saling berpeluk tak nyaman. Aku resah. Apa jangan-jangan, Raga malu punya pacar seperti aku? Apa jangan-jangan, Raga sebenarnya tak ingin punya pacar yang tak cantik? Aku memang tidak cantik. Aku memang tidak sempurna. Apa jangan-jangan Raga hanya bermain menggunakan perasaanku?
            Aku tidak tahu.
            Hingga pada akhirnya, Raga menyadari kebisuanku. Ia menatapku dengan cemas.
            “Kamu kenapa?” tanyanya singkat.
            Aku langsung menoleh dan menatapnya. “Hm? Enggak, aku nggak kenapa-kenapa, kok.”
            Raga mengibaskan tangan. “Halah, nggak usah bohong. Kita udah dua tahun pacaran, aku udah kenal gimana kamu yang enggak kenapa-kenapa, gimana kamu yang lagi sedih. Jujur aja deh.”
            Aku menatap Raga dengan ragu-ragu, kemudian menggigit bibir bawahku. Aku gugup mau berbagi cerita. Ini baru yang pertama kali.
            “Sebenernya aku…”
            Raga tak melepaskan pandangannya daripadaku.
            “Sebenernya aku kecewa sama sikap kamu.”
            Sejenak, Raga langsung mengerutkan kening. “Kecewa gimana? Kenapa?”
            Aku menelan ludah. “Aku nggak yakin kalau kamu beneran sayang sama aku.”
            “Why?”
            Aku mengangkat bahu lemas. “I don’t know. Kamu nggak pernah ngajak aku terang-terangan pacaran di sekolah, kamu nggak nyantumin nama aku di bio twitter-mu, kamu juga nggak ngajak aku buat merubah status hubungan kita di facebook. Nggak ada yang tahu kalau kita berdua pacaran.”
            Raga terdiam, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat alis. Kenapa harus tertawa? Untuk yang pertama kali, aku merasa Raga tidak bisa memahami aku.
            “Jadi kamu ngerasa kecewa karena empat hal itu?” Raga kembali tertawa. “Lita, Lita. Kamu lucu.”
            “Aku nggak lagi bercanda, Ga.
            Raga terdiam. Bisu. Ia menatapku dengan keseriusan, kemudian ia menyadari kalau aku memang sedang tidak bercanda. Sama seperti biasa, tatapan matanya berubah jadi bijaksana. Ia menghembuskan nafas.
            “Aku sayang kamu apa adanya.”
            “Bukan masalah itu, aku cuma pengen…”
            “Jadi pasangan terkenal di sekolah? Jadi pasangan yang dibilang romantis?”
            Aku diam. Raga menepuk-nepuk ujung kepalaku dengan lembut.
            “Kamu percaya nggak sama aku?”
            Aku hanya bisa diam.
            “Rasa sayang yang tulus nggak didasari sebetapa sering kamu nulis nama pacar kamu di bio twitter, nulis status kalau kamu sayang banget sama pacar kamu di facebook, dan foto sebanyak-banyaknya sama pacar kamu kemudian di share di media sosial. Tetapi, rasa sayang yang tulus ditunjukkan dari betapa besar kamu percaya sama pacar kamu, dan betapa kuat perjuangan kamu untuk mempertahankan dia.”
            Aku menatap Raga. Menatap matanya, menatap maniknya yang bewarna hitam.
            Raga tersenyum. “Aku lebih nyaman nulis nama kamu di hatiku, daripada nulis nama kamu di bio twitter. Percaya itu, Lita.”
            Aku menelan ludah. Belum pernah Raga berbicara dengan nada sedalam dan seserius ini.
            “Biarkan kisah kita jadi kisah kita, biarkan ini mengalir, hingga akhirnya kala kita berdua sama-sama dewasa, kita bikin mereka terkejut dengan romansa tentang aku dan kamu.”
            Raga melebarkan senyumannya.
            “Biarkan ini jadi…”
            Aku meletakkan telunjukku di bibirnya, kemudian tersenyum, “Cinta versi kita,” sahutku lembut.
            Raga tertawa. “Cinta versi kita, biarkan jadi milik kita. Jadi rahasia kita, jadi surprise buat mereka. Aku sayang sama kamu.”

            Senyumku semakin lebar.          

2 komentar:

  1. Ceritanya bagus, tapi fontnya bikin pedih dimata :'))

    BalasHapus
  2. sederhana itu indah :)

    BalasHapus