Senin, 02 September 2013

Kereta Yang Membawaku Pulang Malam Ini

Oleh: Aj. Susmana
ereta ekonomi membawaku pulang malam ini. Sudah empat jam yang lalu meninggalkan Jakarta dan tinggal dalam hitungan menit memasuki Cirebon.
Ibu di kampung sebenarnya tak memintaku pulang. Hanya aku, perasaanku, yang menginginkan aku pulang meninggalkan kesumpekan Jakarta. Aku sendiri merasa Ibu tak pernah kangen padaku. Dia tak pernah meneleponku atau sekedar titip salam atau tanya kabar melalui SMS. Ibu memang pernah bilang secara tak sengaja kepadaku ketika aku pulang enam bulan yang lalu.
            “Anak lelaki-ku tak pernah bikin aku kangen. Kubiarkan dia pergi kemana dia suka dan aku tak pernah bertanya. Kalau dia pulang juga tak pernah bawa uang atau sekedar oleh-oleh untuk ibunya.” Kata-kata itu memang disampaikan kepada tetangga yang kebetulan main ke rumah. Dan aku hanya tersenyum sambil terus membaca “Simfoni Pastoral” karya Andre Gide. Namun yang kusuka dari Ibu dan betapa jelas ia menunjukkan kasih-sayangnya kepadaku, ia selalu memberikan hidangan yang terbaik buatku bila aku tiba dan tinggal di rumah yang sering tak lebih dari tiga hari. Perlakuan yang istimewa ibuku itu sering membikin cemburu saudara-saudaraku. Tetanggaku yang tak pernah mengerti apa pekerjaanku sebenarnya biasanya hanya bisa menjawab: “Nanti, Bu. Nanti. Sabar. Kalau sudah dapat pekerjaan, pastilah dia juga membalas.”
            Enam bulan yang lalu itu juga aku pamit ke Aceh. Ada kelompok mahasiswa yang mengundangku kesana untuk diskusi Kebudayaan. Aku bilang juga mungkin enam bulan aku akan ada di Aceh. Ibuku tersenyum dan bertanya: “Enam bulan di Aceh? Kebudayaan? Apakah itu juga tak menghasilkan uang?”
            “Tidak. Mereka yang mengundangku juga tak punya uang. Hanya cukup untuk biaya ongkos bolak-balik Jakarta-Aceh,” jawabku.
            “Terus bagaimana kamu makan di sana?”
            “Ah… Ibu seperti tak mengerti saja?” balik aku bertanya.
            “Jangan bilang: burung-burung di udara tak menanam tapi makan ya?”
            Aku tersenyum mendengar canda ibuku. Di desaku burung-burung, terutama burung pipit adalah burung yang paling dibenci walau untuk itu tak perlu ada pembantaian. Bila padi-padi telah mulai menguning, kami sekeluarga dan juga orang-orang desa lainnya terpaksa harus berteriak keras-keras mengusir kawanan pipit itu sampai suara serak sambil menarik-narik dan menggoyang-goyangkan memedi sawah yang sudah dikalungi kaleng-kaleng bekas. Begitulah dulu masa kanak-kanakku sampai sekolah menengah pertama.
“Ibu tak perlu khawatir. Aku bisa makan di mana saja walau tak punya uang. Mereka akan menanggungku. Nanti kalau aku pulang kubawakan Ibu selendang Aceh.”
            “Huu, kamu ini. Tak usah. Mending kamu bawa calon istri saja. Ibu ingin melihat kamu menikah.”
            Menikah. Menikah. Itulah yang selalu ditagih ibuku. Tak hanya enam bulan yang lalu. Tapi juga sebelumnya dan sebelumnya setiap kali aku pulang ke rumah. Walau untuk ini, Ibu tak begitu menuntut amat. Ibu hanya bertanya dan mengingatkan saja bahwa dalam hidup bermasyarakat ini salah satunya adalah menikah. Barangkali jalan pikiran ibuku kira-kira begini: menikah adalah jalan menjadi orang desa yang dewasa. Semacam inisiasi. Aku sendiri merasakan bila pulang ke desa. Tak pernah aku mendapat kewajiban untuk menyumbang pesta pernikahan misalnya sementara adikku yang lebih muda justru berkewajiban menyumbang. Soalnya hanya satu: aku belum menikah dan karenanya masih menjadi tanggungan orang tua. Lagi, bila aku menikah pasti aku segera mencari pekerjaan yang mapan untuk menghidupi isteri dan anak-anak yang dilahirkan.
            “Ingat. Umurmu sudah kepala tiga. Semua pemuda seangkatanmu pun sudah menikah. Tinggal kamu yang belum. Apa kamu tidak malu?”
            “Jangan-jangan ibu sendiri yang malu?”
            “Kamu ini bisanya hanya balik bertanya? Apa itu pelajaran filsafat?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan kritis tak terduga dari ibuku.
            “Jangan bilang kamu: kalau aku pernah mengijinkan dalam hidupmu untuk tidak menikah.”
            Aku pun tertawa ngakak mendengar jawaban Ibuku yang sudah memagari jawabanku begitu rupa.
            “Tidak. Memang belum ada, Ibu. Bukankah aku harus mendapatkan calon istri yang baik, berani dan pintar sehingga tidak membuat malu Ibu?”
            “Alasan saja kamu. Semua kawan kuliahmu yang mampir ke sini semuanya baik di mata ibumu yang bodoh ini. Dimana mereka?”
            “Mereka punya pilihan hidup sendiri,” jawabku cepat. Ibuku pun tak segera melanjutkan bertanya dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sambilannya: membikin roti bila ada pesanan. Biasanya aku hanya membantu mengocok telurnya sampai lembut sebelum dijadikan adonan. Tapi hari ini tidak karena aku sendiri sedang bersiap balik ke Jakarta. Pertanyaan ibuku yang terakhir mengingatkanku pada Wani, satu-satunya kawan perempuan di kampus yang pernah mampir ke rumahku dan aku tak suka membahasnya.Bukan benci tetapi merasa kosong bila mendengar namanya. Seperti kembali ke titik nol dan belajar kembali berkenalan dan mulai menjalani proses mengenal. Jadinya, mengecewakan dan melelahkan. Aku tak mau Ibu tahu sebabnya.
            Ketika aku sudah siap berangkat, aku pamit. “Bu, berangkat sekarang aku. Ke Jakarta.”
            “Ada ongkos?”
            “Ada.”
            “Kapan pulang?”
            “Ya… sekitar enam bulan mungkin. Kalau jadi ke Aceh. Sekalian kubawakan menantu.” Ia tersenyum dan tampak semakin tua dengan rambut panjangnya yang memutih. Aku bersalaman. Lalu pergi.
            Kereta ekonomi yang membawaku malam ini sudah meninggalkan Cirebon tiga jam yang lalu. Seorang perempuan tampak lebih muda dariku, cantik, duduk di sampingku. Mungkin dia naik dari Cirebon dan mendapatkan tempat duduk kosong disampingku dan aku baru menyadarinya sekarang karena sedari tadi mataku lebih banyak terpejam wakau tak dapat tidur. Kereta memang tak berjubel malam ini. Aku iseng bertanya, “Naik dari mana?”
            “Cikampek,” jawabnya pelan. Ya ampun aku tak menyadarinya.
            “Ke Yogya juga?”
            “Iya. Mas, sendiri?”
            “Sama. Kuliah?”
            “Tak lagi. Sedang melamar kerja.”
            “Mending kalau aku jadi perempuan menunggu dilamar saja, kan lebih enak?” Aku menggoda. Dan ia tak menyahut.
            Aku menyesal jadinya. Kenapa yang keluar pertanyaan bodoh yang merendahkan derajat perempuan itu? Beberapa menit kami terdiam. Aku jadi tersiksa menghadapi situasi ini. Bukankah lebih baik jika aku tadi bertanya mengapa melamar kerja di Jakarta. Bukankah Yogya kota yang nyaman untuk bekerja sekaligus bisa melanjutkan kuliah? Lagi, bukankah pertanyaan mengapa membuat orang harus menjawab dengan uraian sehingga ia banyak mengeluarkan kata-kata dan terus menjadi perdebatan. Tidak berhenti senyap seperti ini.
            “Kenapa memilih naik kereta ekonomi? Bukankah tak aman?” Aku beranikan lagi memulai daripada diam membeku sampai Yogyakarta.
            “Kamu sendiri kenapa?” Ai ya, ia justru balik bertanya. Aku jawab sekenanya.
            “Hari seperti ib\ni biasanya sepi. Daripada naik bisnis lebih baik naik ekonomi, toh pelayanan bisnis sekarang hampir tak jauh beda dari kereta ekonomi?”
            “Iya. Sama. Barangkali yang beda cuma…” Ia tak melanjutkan.
            “Cuma apa?”
            Ia tersenyum tipis sehingga tambah manis.
            “Cuma banyak membawa kematian.”
            Aku terkejut perempuan ini punya keberanian mengatakan seperti itu. Bercanda dengan maut di tengah perjalanan hampir dikatakan sebagai tindakan yang sembrono dalam kebudayaan Jawa. Tapi aku tak mau kalah. “Memang lebih baik mati daripada hanya membuat kita cacat dan menjadi beban orang lain.” Lagi, ia tersenyum tipis tanpa menoleh kepadaku.
            “Sudah banyak kereta ekonomi yang menyengsarakan rakyat akhir-akhir ini,” katanya yakin. “Padahal seharusnya dengan penumpang yang selalu berjubel pemerintah bisa menaikkan kualitas mesin kereta api termasuk pelayanannya,” tambahnya. Aku mengangguk-angguk membenarkan.
            “Korupsi. Itulah awal mula dari bencana. Jawatan kereta api juga tak luput dari korupsi. Nyawa manusia pun dianggap murah dengan tindakan tak memperbarui dan merawat secara maksimal mesin-mesin kereta api yang sudah kuno ini.” Ia memandangku. Dan memang cantik.
            “Tentu. Ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi-politik yang dianut dan dijalankan pemerintah,” balasku. Dan ia pun mengangguk membenarkan. Tapi tak segera keluar juga kata-kata dari mulutnya.
            Perempuan disampingku ini kupikir-pikir luar biasa. Ia tampak tak mengenal takut dan cerdas. Mungkin selama mahasiswa ia aktif dalam kegiatan politik atau setidaknya kegiatan politik di kampus. Tapi sekarang sedang melamar kerja? Tak mungkin. Ia bisa berbohong kepadaku atau barangkali ia wartawati yang suka mencari suasana lain karena sudah sering naik kereta eksekutif atau bisa juga ia sedang membikin tulisan-tulisan tentang kecelakaan kereta api yang banyak membawa kematian rakyat ini dan naik kereta api ekonomi ini hanyalah jalan untuk mempertajam reportasenya saja. Tapi aku tak ingin tahu.
            “Kita sudah naik kereta yang bisa membawa celaka ini bahkan sampai pada kematian. Kalau itu terjadi, apa yang kamu inginkan?”
            Aku langsung menyahut pantun gaul, “Edi Sud Rahmat Kartolo.”
            “Maksud lo?” dan kami tertawa ngakak bareng. Menyenangkan sekali bertemu dengan perempuan seperti ini apalagi di kereta ekonomi; membuat perjalanan jadi tak nelangsa. Masih dalam sisa-sisa tawanya ia menjawab:
            “Mungkin tak ada yang aku inginkan dan aku tak berpikir itu akan terjadi.” Ia terdiam mengambil nafas.“Dan toh bila itu terjadi, aku ingin terbang bersama malaikat ke surga.” Ia tersenyum.
            “Kamu sendiri?”
            “Aku? Aku ingin menikah denganmu dan mencium bibirmu,” jawabku pelan sambil memandang matanya yang tampak tak percaya pada kata-kataku.
            “Baik. Kamu orang suka pada kebetulan ya?” Ia bertanya untuk menguasai diri.
            “Kadang-kadang. Dalam hidup selalu ada kebetulan dalam arti lain kecelakaan dan kita harus percaya kepadanya ketika ilmu pengetahuan tak sanggup memastikannya atau belum sanggup membuatnya menjadi pasti, termasuk dalam hal cinta. Kenapa?”
            “Kamu bahkan belum mengenal namaku?”
            “Tinggal berkenalan kan kita?” aku mengajukan tanganku untuk bersalaman. Tangan kanannya pun menyambut.
            “Gita.”
            “Nyali.”
            Kereta yang membawaku pulang malam ini melaju menderu. Terseok-seok melintasi bukit-bukit. Mengaduh-aduh seperti kuda-kuda yang hanya berlari bila dicambuk cemeti berduri. Sudah hampir delapan jam meninggalkan Jakarta. Jeritnya membelah bukit-bukit. Ketika memasuki lorong gelap, jeritannya semakin keras menyayat seperti suara anak-anak manusia yang terluka. Aku pun mendengar jeritan-jeritan terluka itu semakin dekat di telingaku. Lorong gelap itu semakin tampak tak berujung dan tak berakhir. Jeritan-jeritan pun semakin menjauh. Menjauh. Menjauh.
***
“Ibu, inilah anak lelakimu. Pulang membawa istri pilihan, menantu yang ibu nanti-nantikan. Ibu tak akan kecewa.” Aku melihat wajah Ibu tersenyum, semakin tua dengan rambut panjangnya yang semakin memutih.


Jakarta, 20 Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar