Oleh: Aj. Susmana
ereta ekonomi membawaku pulang
malam ini. Sudah empat jam yang lalu meninggalkan Jakarta
dan tinggal dalam hitungan menit memasuki Cirebon .
Ibu di kampung
sebenarnya tak memintaku pulang. Hanya aku, perasaanku, yang menginginkan aku
pulang meninggalkan kesumpekan Jakarta .
Aku sendiri merasa Ibu tak pernah kangen padaku. Dia tak pernah meneleponku
atau sekedar titip salam atau tanya kabar melalui SMS. Ibu memang pernah bilang
secara tak sengaja kepadaku ketika aku pulang enam bulan yang lalu.
“Anak
lelaki-ku tak pernah bikin aku kangen. Kubiarkan dia pergi kemana dia suka dan
aku tak pernah bertanya. Kalau dia pulang juga tak pernah bawa uang atau
sekedar oleh-oleh untuk ibunya.” Kata-kata itu memang disampaikan kepada
tetangga yang kebetulan main ke rumah. Dan aku hanya tersenyum sambil terus
membaca “Simfoni Pastoral” karya Andre Gide. Namun yang kusuka dari Ibu dan
betapa jelas ia menunjukkan kasih-sayangnya kepadaku, ia selalu memberikan
hidangan yang terbaik buatku bila aku tiba dan tinggal di rumah yang sering tak
lebih dari tiga hari. Perlakuan yang istimewa ibuku itu sering membikin cemburu
saudara-saudaraku. Tetanggaku yang tak pernah mengerti apa pekerjaanku
sebenarnya biasanya hanya bisa menjawab: “Nanti, Bu. Nanti. Sabar. Kalau sudah
dapat pekerjaan, pastilah dia juga membalas.”
Enam
bulan yang lalu itu juga aku pamit ke Aceh. Ada kelompok mahasiswa yang mengundangku
kesana untuk diskusi Kebudayaan. Aku bilang juga mungkin enam bulan aku akan
ada di Aceh. Ibuku tersenyum dan bertanya: “Enam bulan di Aceh? Kebudayaan?
Apakah itu juga tak menghasilkan uang?”
“Tidak.
Mereka yang mengundangku juga tak punya uang. Hanya cukup untuk biaya ongkos
bolak-balik Jakarta-Aceh,” jawabku.
“Terus
bagaimana kamu makan di sana ?”
“Ah…
Ibu seperti tak mengerti saja?” balik aku bertanya.
“Jangan
bilang: burung-burung di udara tak menanam tapi makan ya?”
Aku
tersenyum mendengar canda ibuku. Di desaku burung-burung, terutama burung pipit
adalah burung yang paling dibenci walau untuk itu tak perlu ada pembantaian.
Bila padi-padi telah mulai menguning, kami sekeluarga dan juga orang-orang desa
lainnya terpaksa harus berteriak keras-keras mengusir kawanan pipit itu sampai
suara serak sambil menarik-narik dan menggoyang-goyangkan memedi sawah yang
sudah dikalungi kaleng-kaleng bekas. Begitulah dulu masa kanak-kanakku sampai
sekolah menengah pertama.
“Ibu tak perlu khawatir. Aku bisa
makan di mana saja walau tak punya uang. Mereka akan menanggungku. Nanti kalau
aku pulang kubawakan Ibu selendang Aceh.”
“Huu,
kamu ini. Tak usah. Mending kamu bawa calon istri saja. Ibu ingin melihat kamu
menikah.”
Menikah.
Menikah. Itulah yang selalu ditagih ibuku. Tak hanya enam bulan yang lalu. Tapi
juga sebelumnya dan sebelumnya setiap kali aku pulang ke rumah. Walau untuk
ini, Ibu tak begitu menuntut amat. Ibu hanya bertanya dan mengingatkan saja
bahwa dalam hidup bermasyarakat ini salah satunya adalah menikah. Barangkali
jalan pikiran ibuku kira-kira begini: menikah adalah jalan menjadi orang desa
yang dewasa. Semacam inisiasi. Aku sendiri merasakan bila pulang ke desa. Tak
pernah aku mendapat kewajiban untuk menyumbang pesta pernikahan misalnya
sementara adikku yang lebih muda justru berkewajiban menyumbang. Soalnya hanya
satu: aku belum menikah dan karenanya masih menjadi tanggungan orang tua. Lagi,
bila aku menikah pasti aku segera mencari pekerjaan yang mapan untuk menghidupi
isteri dan anak-anak yang dilahirkan.
“Ingat.
Umurmu sudah kepala tiga. Semua pemuda seangkatanmu pun sudah menikah. Tinggal
kamu yang belum. Apa kamu tidak malu?”
“Jangan-jangan
ibu sendiri yang malu?”
“Kamu
ini bisanya hanya balik bertanya? Apa itu pelajaran filsafat?” Aku tersenyum
mendengar pertanyaan kritis tak terduga dari ibuku.
“Jangan
bilang kamu: kalau aku pernah mengijinkan dalam hidupmu untuk tidak menikah.”
Aku
pun tertawa ngakak mendengar jawaban Ibuku yang sudah memagari jawabanku begitu
rupa.
“Tidak.
Memang belum ada, Ibu. Bukankah aku harus mendapatkan calon istri yang baik,
berani dan pintar sehingga tidak membuat malu Ibu?”
“Alasan
saja kamu. Semua kawan kuliahmu yang mampir ke sini semuanya baik di mata ibumu
yang bodoh ini. Dimana mereka?”
“Mereka
punya pilihan hidup sendiri,” jawabku cepat. Ibuku pun tak segera melanjutkan
bertanya dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sambilannya: membikin roti bila
ada pesanan. Biasanya aku hanya membantu mengocok telurnya sampai lembut
sebelum dijadikan adonan. Tapi hari ini tidak karena aku sendiri sedang bersiap
balik ke Jakarta .
Pertanyaan ibuku yang terakhir mengingatkanku pada Wani, satu-satunya kawan
perempuan di kampus yang pernah mampir ke rumahku dan aku tak suka
membahasnya.Bukan benci tetapi merasa kosong bila mendengar namanya. Seperti
kembali ke titik nol dan belajar kembali berkenalan dan mulai menjalani proses
mengenal. Jadinya, mengecewakan dan melelahkan. Aku tak mau Ibu tahu sebabnya.
Ketika
aku sudah siap berangkat, aku pamit. “Bu, berangkat sekarang aku. Ke Jakarta.”
“Ada ongkos?”
“Ada .”
“Kapan
pulang?”
“Ya…
sekitar enam bulan mungkin. Kalau jadi ke Aceh. Sekalian kubawakan menantu.” Ia
tersenyum dan tampak semakin tua dengan rambut panjangnya yang memutih. Aku
bersalaman. Lalu pergi.
Kereta
ekonomi yang membawaku malam ini sudah meninggalkan Cirebon tiga jam yang lalu. Seorang perempuan
tampak lebih muda dariku, cantik, duduk di sampingku. Mungkin dia naik dari Cirebon dan mendapatkan
tempat duduk kosong disampingku dan aku baru menyadarinya sekarang karena
sedari tadi mataku lebih banyak terpejam wakau tak dapat tidur. Kereta memang
tak berjubel malam ini. Aku iseng bertanya, “Naik dari mana?”
“Cikampek,”
jawabnya pelan. Ya ampun aku tak menyadarinya.
“Ke
Yogya juga?”
“Iya.
Mas, sendiri?”
“Sama.
Kuliah?”
“Tak
lagi. Sedang melamar kerja.”
“Mending
kalau aku jadi perempuan menunggu dilamar saja, kan lebih enak?” Aku menggoda. Dan ia tak
menyahut.
Aku
menyesal jadinya. Kenapa yang keluar pertanyaan bodoh yang merendahkan derajat
perempuan itu? Beberapa menit kami terdiam. Aku jadi tersiksa menghadapi
situasi ini. Bukankah lebih baik jika aku tadi bertanya mengapa melamar kerja
di Jakarta .
Bukankah Yogya kota
yang nyaman untuk bekerja sekaligus bisa melanjutkan kuliah? Lagi, bukankah
pertanyaan mengapa membuat orang harus menjawab dengan uraian sehingga ia
banyak mengeluarkan kata-kata dan terus menjadi perdebatan. Tidak berhenti
senyap seperti ini.
“Kenapa
memilih naik kereta ekonomi? Bukankah tak aman?” Aku beranikan lagi memulai
daripada diam membeku sampai Yogyakarta .
“Kamu
sendiri kenapa?” Ai ya, ia justru balik bertanya. Aku jawab sekenanya.
“Hari
seperti ib\ni biasanya sepi. Daripada naik bisnis lebih baik naik ekonomi, toh
pelayanan bisnis sekarang hampir tak jauh beda dari kereta ekonomi?”
“Iya.
Sama. Barangkali yang beda cuma…” Ia tak melanjutkan.
“Cuma
apa?”
Ia
tersenyum tipis sehingga tambah manis.
“Cuma
banyak membawa kematian.”
Aku
terkejut perempuan ini punya keberanian mengatakan seperti itu. Bercanda dengan
maut di tengah perjalanan hampir dikatakan sebagai tindakan yang sembrono dalam
kebudayaan Jawa. Tapi aku tak mau kalah. “Memang lebih baik mati daripada hanya
membuat kita cacat dan menjadi beban orang lain.” Lagi, ia tersenyum tipis
tanpa menoleh kepadaku.
“Sudah
banyak kereta ekonomi yang menyengsarakan rakyat akhir-akhir ini,” katanya
yakin. “Padahal seharusnya dengan penumpang yang selalu berjubel pemerintah
bisa menaikkan kualitas mesin kereta api termasuk pelayanannya,” tambahnya. Aku
mengangguk-angguk membenarkan.
“Korupsi.
Itulah awal mula dari bencana. Jawatan kereta api juga tak luput dari korupsi.
Nyawa manusia pun dianggap murah dengan tindakan tak memperbarui dan merawat
secara maksimal mesin-mesin kereta api yang sudah kuno ini.” Ia memandangku.
Dan memang cantik.
“Tentu.
Ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi-politik yang dianut dan
dijalankan pemerintah,” balasku. Dan ia pun mengangguk membenarkan. Tapi tak
segera keluar juga kata-kata dari mulutnya.
Perempuan
disampingku ini kupikir-pikir luar biasa. Ia tampak tak mengenal takut dan
cerdas. Mungkin selama mahasiswa ia aktif dalam kegiatan politik atau
setidaknya kegiatan politik di kampus. Tapi sekarang sedang melamar kerja? Tak
mungkin. Ia bisa berbohong kepadaku atau barangkali ia wartawati yang suka
mencari suasana lain karena sudah sering naik kereta eksekutif atau bisa juga
ia sedang membikin tulisan-tulisan tentang kecelakaan kereta api yang banyak
membawa kematian rakyat ini dan naik kereta api ekonomi ini hanyalah jalan
untuk mempertajam reportasenya saja. Tapi aku tak ingin tahu.
“Kita
sudah naik kereta yang bisa membawa celaka ini bahkan sampai pada kematian.
Kalau itu terjadi, apa yang kamu inginkan?”
Aku
langsung menyahut pantun gaul, “Edi Sud Rahmat Kartolo.”
“Maksud
lo?” dan kami tertawa ngakak bareng. Menyenangkan sekali bertemu dengan
perempuan seperti ini apalagi di kereta ekonomi; membuat perjalanan jadi tak
nelangsa. Masih dalam sisa-sisa tawanya ia menjawab:
“Mungkin
tak ada yang aku inginkan dan aku tak berpikir itu akan terjadi.” Ia terdiam
mengambil nafas.“Dan toh bila itu terjadi, aku ingin terbang bersama malaikat
ke surga.” Ia tersenyum.
“Kamu
sendiri?”
“Aku?
Aku ingin menikah denganmu dan mencium bibirmu,” jawabku pelan sambil memandang
matanya yang tampak tak percaya pada kata-kataku.
“Baik.
Kamu orang suka pada kebetulan ya?” Ia bertanya untuk menguasai diri.
“Kadang-kadang.
Dalam hidup selalu ada kebetulan dalam arti lain kecelakaan dan kita harus
percaya kepadanya ketika ilmu pengetahuan tak sanggup memastikannya atau belum
sanggup membuatnya menjadi pasti, termasuk dalam hal cinta. Kenapa?”
“Kamu
bahkan belum mengenal namaku?”
“Tinggal
berkenalan kan
kita?” aku mengajukan tanganku untuk bersalaman. Tangan kanannya pun menyambut.
“Gita.”
“Nyali.”
Kereta
yang membawaku pulang malam ini melaju menderu. Terseok-seok melintasi
bukit-bukit. Mengaduh-aduh seperti kuda-kuda yang hanya berlari bila dicambuk
cemeti berduri. Sudah hampir delapan jam meninggalkan Jakarta . Jeritnya membelah bukit-bukit.
Ketika memasuki lorong gelap, jeritannya semakin keras menyayat seperti suara
anak-anak manusia yang terluka. Aku pun mendengar jeritan-jeritan terluka itu
semakin dekat di telingaku. Lorong gelap itu semakin tampak tak berujung dan
tak berakhir. Jeritan-jeritan pun semakin menjauh. Menjauh. Menjauh.
***
“Ibu, inilah anak lelakimu.
Pulang membawa istri pilihan, menantu yang ibu nanti-nantikan. Ibu tak akan
kecewa.” Aku melihat wajah Ibu tersenyum, semakin tua dengan rambut panjangnya
yang semakin memutih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar