Selasa, 27 Agustus 2013

Melati Bangsa

Bentrok masih saja terjadi dimana-mana. Katanya, Indonesia sudah merdeka, tak lagi mau dijajah. Tetapi, tentara Jepang dan Belanda masih saja datang untuk kembali menghasut pemerintahan negara cincin api ini.
            Tahun 1945 masih bertengger di kalender tahunan. Kabar berita dari berbagai koran dan radio berucap bahwa kemerdekaan Indonesia pasti sanggup dipertahankan. Bahkan, berbagai pertempuran terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Di Ambarawa, di Bandung, di Yogyakarta, di Surabaya, dan di seluruh daerah di Indonesia, semua demi satu tujuan; Merdeka.
            Senja mulai tiba. Kumasukkan koran ke dalam kolong meja. Kedua mata yang menghias wajahku ini memandang ke langit jingga yang mulai tampak teduh. Suara radio yang keras mengalunkan lagu-lagu keroncong tanpa biduan. Sesekali, berita tentang terjadinya bentrok di suatu tempat diumumkan. Terakhir kudengar, berita tentang Brigjen Mallaby berkumandang. Rakyat Surabaya makin bersemangat untuk merebut kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya.
            Mataku beralih kepada sang empunya kedaulatan negara, merah-putih yang terjahit dari kain-kain bekas yang sedang melambai-lambai di halaman rumah tetangga. Betapa agungnya bendera kemerdekaan ibu pertiwi ini.
            Pikiran dan pandanganku kembali beralih. Kini, beralih kepada sepucuk surat yang sedari tadi berada di jarik baju kebayaku. Aku tersenyum memandang nama yang tertera di kertas pembungkus surat itu.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Senyumku makin mengembang. Kerinduan dalam hatiku semakin mengembang, teringat pada seorang kekasih di medan perang yang sedang merebut kemerdekaan. Aku membuka pembungkus surat bergambar melati putih itu.
            Untuk Riyanti,
            Mas akan pulang sebagai pejuang.
            Mas akan pulang dengan sirat wajah penuh dengan kebahagiaan.
            Kemerdekaan akan diraih sebentar lagi
            Bukan hanya sekedar penyampaian proklamasi bulan Agustus kemarin
            Mas sudah rindu kepada Riyanti, mas sudah tak tahan bertemu dengan Riyanti
            Surabaya memanans, semoga kau baik saja di Jogja
            Terus sembahyang, dik. Mas pasti pulang.
            Aku tersenyum. Cinta dan rindu bergelora jadi satu menghasilkan candu. Kulirik kebaya yang aku pakai. Bermotif melati putih, salah satu kebaya kesayangan pemberian Mas Pram sebelum ia berangkat ke Surabaya untuk raih kemerdekaan.
            Pikiran berkhayal, melemparkan diri ke dalam nostalgia. Aku rasakan hawa penuh katresnan, kemudian melambungkan pandangan kepada tanaman melati putih yang telah berbunga dan menghasilkan bau yang semerbak harumnya. Melati, lambang bahwa Mas Pram selalu ada di sisi, di sisi seorang Riyanti yang setia menanti sang kekasih.
            Kebahagiaan selalu ada kala aku berdiri dan melakukan segalanya bersama Mas Pram. Pria yang umurnya tak jauh dari aku tersebut meninggalkan berbagai kenangan yang membekas dalam penggalih rena ini.
            Aku beranjak dari tempat dudukku. Kuhampiri tanaman melati yang ada di teras rumahku. Kupetik satu kembangnya. Kuselipkan di dalam rambutku yang tergelung sempurna. Ini yang selalu Mas Pram lakukan bersamaku, pecinta bunga melati itu selalu tersenyum ketika menyelipkan bunga melati putih disela-sela rambutku. Dia bilang, aku tampak cantik.
            Melati putih adalah lambang kesucian beserta kebahagiaan. Mas Pram yang empunya pecinta bunga melati mengatakan, dimana ada melati disitu ada kebahagiaan.
***
Satu pesan lagi di pagi berikutnya. Sepeda onthel berpenumpang seorang tukang pos desa itu jadi keranjingan menuju ke rumahku untuk mengantarkan surat sejak Mas Pram pergi ke Surabaya.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Untuk Riyanti,
            Dik, masihkan menunggu Mas?
            Masihkah sabar?
            Kau tetap sembahyang kan untuk kekasihmu ini?
            Tentara Inggris semakin kuat, korban mulai berjatuhan.
            Senjata Inggris lebih kuat, sementara Indonesia hanyalah bermodal raga.
            Namun apalah arti raga dibanding kemerdekaan?
            Mas tetap akan berjuang demi negeri ini.
            Tak kuat rasanya lihat ibu pertiwi selalu menangis terjajah oleh negeri tetangga.
            Tunggulah aku, dik. Aku pasti pulang.
            Aku tersenyum kemudian memeluk surat itu dalam dekapan hangat penuh rasa sayang. Kerinduan tak dapat lagi ditahan, tapi beginilah nasib sang kekasih pejuang. Aku memandang keluar jendela. Bunga melati putih tampak makin mekar. Baunya lebih semerbak dari kemarin, Mas Pram bilang kalau bunganya makin semerbak berarti kebahagiaan juga makin mekar. Aku tersenyum.
***
Hingga setelah sebulan lamanya, sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu tak datang lagi tuk sampaikan surat dari Surabaya. Bukan jarang lagi, tapi tak pernah.
            Padahal, berita di koran serta radio mengatakan bahwa keadaan Surabaya hampir stabil. Inggris berhasil di depak minggir. Namun, Mas Pram tak berbagi kebahagiaan. Ia juga tak kunjung pulang.
Aku selalu menunggu di depan rumah sambil memandangi bunga melati yang makin lama makin semerbak harumnya. Wanginya tidak biasa, sangat wangi. Mungkin memang Surabaya sudah berbahagia, dan Mas Pram terhanyut di dalamnya tanpa ingat lagi kepada sang kekasih yang menanti di Jogja sendirian.
***
Esok hari aku kembali menanti. Aku duduk di teras rumah. Hal ini yang selalu aku lakukan selama berjam-jam setiap hari dengan harapan Mas Pram muncul dari balik pagar dengan senyum bahagianya dan bersorak bahwa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan.
            Tapi, dia tak pernah datang.
Hingga esok pagi, esoknya lagi, esoknya lagi, hingga sebulan kembali berlalu.
***
Pada akhirnya, yang kutunggu akhirnya tiba. Sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu datang lagi. Mataku berbinar, berharap adanya kabar dari Mas Pram bahwa ia sudah pulang dan minta dijemput di Tugu.
            Aku sudah bersiap-siap mengambil sepeda onthel di dalam rumah, tetapi ketika membaca isi surat di dalamnya, hatiku terasa sesak.
            Surat itu tebal, namun bukanlah surat dari Mas Pram yang menceritakan keberhasilannya mempertahankan kemerdekaan bersama tentara Indonesia yang lain. Bukan. Sama sekali bukan.
            Surat itu berisi soal daftar korban hilang dan meninggal dalam medan perang. Jantungku berdegup, doa semoga Mas Pram masuk dalam korban menghilang asalkan raganya selamat kuucapkan ribuan kali di dalam hati. Tetapi nama itu tak ada.
            Nama Pramono jelas-jelas tertulis dalam daftar korban meninggal.
            Seketika, lututku kehilangan tenaga dan kekuatan untuk menopang tubuhku. Aku menjatuhkan diri di tanah. Tangisan mengucur deras dari kedua mataku. Bibirku menjerit dan meronta, meminta kepada Tuhan bahwa hari ini adalah sebuah mimpi.
            Kupandangi tanaman melati di teras rumahku. Semerbak harumnya mulai meredup. Padahal, beberapa menit yang lalu sebelum aku menerima surat yang tergenggam dalam tanganku sekarang, semerbak harum ratusan melati itu masih berlebihan.
            Aku sadar, bunga melati itu mencoba menyampaikan firasat yang tak akan pernah diketahui realitanya. Kini, kutatap ratusan melati itu dengan pandangan kabur karena tertutup air mata.
***
Melati putih bertaburan di atas makam seorang pejuang, Pramono. Tahun 1945 telah berlalu. Tahun 2000 sudah menyambut. Aku tak lagi ingat berapa umurku, pastilah sudah 60 tahun lebih. Meski begitu, meski semakin tua umurku, meski semakin lumpuh ingatanku, tetapi hatiku tak pernah lupa kepada satu nama; Pramono, seorang kekasih sekaligus pejuang yang telah berbahagia di surga bersama Sang Pencipta…
 Putih
Putih melatiMekar di taman sariSemerbak wangi penjuru bumi
SeriSeri melatiBersemi anggun asriKucipta dalam gubahan hati
Tajuk bak permataSiratan bintang kejora'Kan kupersembahkanBagimu pahlawan bangsa
Putiknya personaRama-rama 'neka warnaKan ku persembahkanBagi Pandu Indonesia

           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar