Sabtu, 24 Agustus 2013

Aku, Aura dan Arka

Namanya Aura. Dia sahabatku. Seorang sahabat yang cantik, berkharisma, dan penuh dengan pesona. Sahabatku itu punya sejuta keajaiban, dia bisa membuat jutaan pria jatuh cinta padanya meski hanya sedetik terdiam dalam pandangan.
            Banyak yang memuji Aura. Di setiap sudut di berbagai tempat yang pernah kami singgahi, gadis manis itu selalu membuat setiap pria tak mau pergi. Gadis cantik itu menyimpan sebuah ikatan perhatian yang mampu meraih segala tatapan dan pandang.
            Berbeda dengan aku. Aku hanyalah seorang gadis yang bahkan jarang yang mengenali aku. Kulitku tak seputih kulit Aura. Rambutku tak selembut rambut Aura. Pipiku tidak menghasilkan lesung ketika tersenyum, sangat berbeda dengan Aura yang kecantikannya sudah amat sempurna.
            Dan kali ini, aku akan menceritakan kisahku yang…
***
            Lagi. Setiap pagi dibalik tiang koridor. Aku menunggu seseorang. Arka, seorang adik kelas dengan senyum yang biasa tetapi bisa membuatku terhipnotis dengan segala kekaguman yang luar biasa.
            Aura selalu menemani aku. Dia selalu duduk di sampingku. Dengan bawel, dia selalu berkata; ‘Apa sih yang kamu suka dari dia? Dia enggak cakep tau!”
            Dan biasanya aku hanya tertawa kecil ketika mendengar pertanyaan tersebut. Aura tak pernah tahu, sebetapa dalam aku terkagum dan jatuh cinta pada Arka.
            “Itu Arka!” bisik Aura ketika sosok yang kami tunggu akhirnya tiba.
            Arka berjalan dari ujung koridor. Sebuah senyum selalu muncul tanpa sadar di bibirku ketika aku melihatnya. Padahal, Arka tak pernah menyadari akan adanya aku, fisik yang nyata yang diam-diam mengagumi dan jatuh cinta padanya.
            Arka.
            Nama itu selalu terngiang dalam benakku, dalam setiap doaku, dan dalam setiap kedipan mataku.
***
            “Ana! Aku satu ekskul tau sama Arka!” seru Aura di depan pintu kelasku. Aku menghampirinya dengan wajah cemberut. Jelas, aku iri.
            “Sialan. Harusnya aku!”
            Aura tertawa melecehkan. “Pertanda nggak jodoh tuh!”
            Aku langsung uring-uringan sementara Aura tertawa terbahak-bahak sebagai tanggapan.
            Dan sejak saat itulah, kisahku dimulai…
***
            Satu ekskul dengan Arka membuat Aura mengenalnya. Mereka berdua selalu bekerja sama. Tetapi, Aura memang sahabat yang baik. Tak lupa ia mengenalkan aku kepada Arka.
            Sejak saat perkenalan terjadi, Arka jadi sering menyapaku dengan senyumnya ketika tak sengaja berpapasan denganku. Aku sangat bahagia. Akhirnya, raga yang seperti dewa itu menyadari adanya aku, sang pemimpi yang ingin terus bersamanya padahal tak pantas.
            Harapanku melambung tinggi ketika akhirnya Arka mengirimkan sebuah pesan pendek berisi sapaan kepadaku. Hampir setiap malam kami berkirim pesan. Sejak saat itu, aku dan Arka jadi semakin dekat. Pria itu mampu melambungkan aku tinggi-tinggi dan mempertahankan aku agar tetap berada di atas awan.
            Kalau sudah begini, aku makin jatuh cinta pada Arka. Hati ini sudah sangat yakin, Arka adalah calon pemiliknya. Ya, aku telah menyerahkan seluruh rasaku kepada Arka, kepada sang dewa.
            Aura benar-benar seorang sahabat sejati. Gadis itu mendukung hubungan kami yang sebenarnya masih belum resmi. Kalimat-kalimat dukungan dari Aura kepadaku tentang kedekatanku dengan Arka membuatku semakin melambung tinggi. Amat sangat tinggi.
            Rasa jatuh cinta membebaskan aku dari keterpurukan. Dan akhirnya aku sadar, bahwa Arka-lah yang akan menjaga hatiku agar tetap berada di atas awan dan merasa bebas. Aku sangat menyayangi Arka.
***
            Hingga pada suatu hari, aku yang sedang menuruni tangga sendirian dan bertujuan menghampiri Aura yang kelasnya berada di lantai bawah mendengar suara-suara dari gudang bawah tangga.
            Aku curiga. Perlahan-lahan dengan langkah yang sama sekali tak mengeluarkan nada, aku menghampiri sumber suara.
            Ternyata pintu gudang bawah tangga tidak terkunci. Ada sedikit celah yang menyisakan ruang agar aku bisa melihat siapa yang berada di dalam sana.
            Aku langsung mengerutkan kening. Arka dan Aura berada di sana. Berdua. Arka sedang menggenggam pundak Aura sementara Aura sendiri malah menangis. Aku mengangkat alis.
            “Tapi, Ana temanku. Dia sahabatku.”
            Arka menatap Aura dalam-dalam.
            “Aku tau, Ra. Cuma, aku nggak bisa nahan lagi. Aku sayangnya sama kamu, bukan sama Ana.”
            Seketika tubuhku membeku. Arus listrik dengan kekuatan sejuta volt serasa menyengat seluruh tubuhku. Dunia di sekitarku terasa runtuh. Aku tak dapat melihat apa-apa selain melihat Arka yang sedang mengusap air mata Aura dengan lembut.
            “Aku tau kamu juga sayang sama aku. Aku tau, Ra. Kamu nggak usah ngorbanin perasaan kamu.”
            Tangis Aura kembali pecah.
            Arka memeluknya erat, kemudian mengecup kening Aura dengan lembut.
            “Aku sayang sama kamu, Ra.”
            “Tapi, Ka…”
            “Udahlah, katanya Ana sahabat kamu. Harusnya, dia ngerti dong gimana kamu, gimana kebahagiaan kamu, dia pasti paham sama kita berdua kok.”
            “Tapi dia juga sayang sama kamu.”      
            “Aku lebih milih kamu. Aku lebih milih sayang sama kamu.”
            Aura hanya terdiam, tetapi masih menangis. Arka membelai lembut rambutnya dengan cinta. Aku merasa ada sesuatu yang menggores jantungku dengan tusukan yang amat sangat dalam.
            “Kamu mau kan, Ra? Nerima aku jadi pacar kamu? Aku sayang sama kamu, sayang banget.”
            Aura masih saja terdiam dan menangis dalam pelukan Arka.
            “Ra?” panggil Arka sekali lagi.
            Aura melepaskan tubuhnya dari pelukan Arka. Ia menatap pria itu dalam-dalam.
            “Kamu yakin, Ana mau ngerti?”
            “Yakin. Tapi, kamu mau kan nerima aku jadi pacar kamu? Aku tahu kamu sayang sama aku, jadi kamu nggak perlu nolak lagi.”
            Aura tersenyum.
            “Kamu udah tau aku juga sayang banget sama kamu, kenapa kamu masih nanya?”
            Arka tersenyum lucu. Sekali lagi, ia mencium kening Aura dengan lembut.
            Aku terdiam dengan bibir yang masih bisu. Aku tak mampu menahan air mataku, hingga akhirnya pelupuk mata tak sanggup menahan banjir yang berasal dari air mata. Aku menangis tanpa suara.
            “Kalau gitu, kita keluar yuk? Sumpek banget di sini.”
            Aura tersenyum, kemudian mengangguk.
            Melihat mereka mendekat ke pintu, rasanya aku ingin segera menjauh pergi. Tetapi langkahku tak mau beranjak. Aku terpaku di sana, terdiam, hingga akhirnya melihat betapa terkejutnya ekspresi Arka dan Aura yang melihatku berada di depan pintu.
            Aura menelan ludah.
            “Ana?”
            Barulah aku bisa berlari. Aku berlari menjauhi Arka dan Aura dengan sejuta rasa sedih dan hancur yang menyelimuti hatiku. Aku merasa remuk, aku merasa terhina ketika tau bahwa aku telah dibuang dan dihempaskan. Aku menangis di salah satu bilik kamar mandi. Aku menangis sejadinya.
***
            Beberapa bulan kemudian, aku mendengar bahwa Arka dan Aura putus hubungan. Harusnya, aku senang dan bahagia kan? Tetapi, hatiku berkata lain. Aku jadi ikut sedih.
            Pulang sekolah, kuputuskan untuk menghampiri Aura di kelasnya. Ternyata, gadis itu masih berada di sana. Menangis sendirian.
            Aku menghentikan langkah. Harusnya aku senang bukan, melihat orang yang pernah menghancurkan segala perasaanku gantian tersakiti? Tetapi tidak! Aku sahabatnya, aku berlari menghampiri Aura dan kemudian memeluknya erat.
            “Udah, cowok banyak, Ra! Kamu cantik, kamu bisa dengan mudah bikin orang lain sayang sama kamu!” kataku menghibur.
            “Maafin aku, Na! Maafin aku! Aku kena karma!” Aura masih menangis.
            “Enggak, Ra! Enggak! Aku nggak pernah mengharapkan kamu kena karma, aku sahabat kamu, aku selalu doain yang terbaik buat kamu dan Arka.”
            “Aku sayang Arka, Na! Aku sayang Arka!”
            “Kalau kamu sayang, bilang sama orangnya.”
            “Aku nggak enak sama kamu, Na.”
            “Aku nggak apa-apa. Aku udah rela kok.”
            Aura menatapku dengan tatapan memastikan. Aku tersenyum lembut. Kuusap air matanya. Gadis dihadapanku itu, meski habis menangis tetap terlihat manis.
            “Bilang, Ra sama Arka. Bilang yang sejujurnya. Aku rela, aku mau sahabatku bahagia. Aku bakal terus buka pintu persahabatan kita. Karena, sahabat yang baik adalah sahabat yang mau menerima apapun yang telah sahabatnya lakukan.”
            Aura tersenyum. Ia memelukku. Menangis lagi. Kami menangis bersamaan. Akhirnya, rasa tegang di antara kami yang terjadi selama beberapa bulan cair juga melalui sebuah pelukan persahabatan.
***

            Aku melambaikan tangan melihat Aura yang sedang duduk di boncengan motor Arka. Dia tampak sangat bahagia. Aku tersenyum. Akhirnya, mereka memilih untuk kembali; kembali merajut kasih dan melewati segala hal yang akhirnya akan menghasilkan sebuah kenangan indah hingga (semoga) sampai selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar