Rabu, 21 Agustus 2013

Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 4

Berita perkiraan cuaca ternyata benar adanya. Pagi ini, mentari bersinar cerah. Bulir-bulir hujan yang berjatuhan tak terlihat meski hanya setetes.
            Aku keluar dari rumahku dengan wajah ceria. Hangatnya pagi membuatku merasa sangat amat nyaman. Tanpa sadar, langkah-langkah yang tercipta dari kedua kakiku cukup cepat dan lebar. Aku berlari. Aku siap bertemu semangat pagiku, Dinas, di hari yang cerah ini.
            Halte bus terlihat ramai. Anak-anak sekolahan yang kira-kira sebaya denganku beserta karyawan-karyawan dari berbagai perusahaan menunggu bus di sana. Jalanan sangat padat, dipenuhi berbagai jenis transportasi darat, berbeda dari hari-hari sebelumnya di kala musim hujan.
            Di musim yang cerah ini, Surakarta sudah siap lagi jadi kota metropolitan. Memangnya hanya Jakarta yang bisa jadi kota metropolitan?
            Aku berjalan menuju ke halte, bersiap untuk duduk di bangku yang menjadi saksi bisu antara aku dan Dinas yang selalu berbagi cerita. Tetapi senyumku memudar kala bangku panjang halte itu sudah dipenuhi oleh para calon penumpang dari berbagai angkutan. Dinas tidak ada di sana.
            Keningku berkerut. Aku menengok arlojiku, kemudian menggeleng. Belum, belum terlambat untuk menemui Dinas. Biasanya juga jam segini. Mataku beredar ke seluruh penjuru halte dan jalanan. Tidak ada tanda-tanda sang penjual susu sirup itu di sana.
            Seorang tukang penjual koran lewat. Aku tahu Dinas adalah salah satu pelanggan tukang koran itu tiap hari. Kuhampiri tukang koran itu, kutepuk bahunya dengan sorot mata penuh tanda tanya.
            “Mari, Mbak. Solopos, JogloSemar, Kompas, atau yang mana? Semua beritanya hangat, Anas bakal digantung rakyat di Monas lho!”
            Aku menggeleng menanggapi sapaan tukang koran itu.
            “Mas, tahu penjual susu sirup yang sering duduk disitu nggak?”
            Sang penjual tukang koran mengerutkan kening, kemudian mengalihkan pandangan kepada bangku panjang halte yang dipenuhi orang-orang asing. Ia nampak berpikir, mencoba mengingat-ingat citra orang yang aku maksud. Tak berapa lama kemudian, dia menggeleng.
            “Nggak tau, Mbak. Dari tadi saya belum lihat, dia juga nggak beli koran pagi ini,” jawabnya. Ternyata, dia ingat juga pada Dinas, sang penjual susu sirup.
            Aku mendengus kecewa mendengar jawaban si penjual koran. Baru saja aku akan bertanya lebih lanjut, kulihat busku sudah berbelok dari perempatan dekat halte.
            “Kalau gitu, makasih ya, Mas! Saya berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil berlari pergi kemudian masuk ke dalam perut bus yang senantiasa menelanku di setiap pagi.
***
Lima belas menit lebih awal. Halte bus masih agak sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat. Aku duduk di bangku, menyisakan sedikit tempat agar jika Dinas tiba-tiba datang, ia mendapatkan tempat duduk. Disampingku. Dinas harus duduk di sampingku!
            Aku menunggu.
            Dia tidak datang.
            Hingga semakin lama, halte bus semakin ramai dan sesak. Dinas tidak datang. Aku menghela nafas panjang sekaligus kecewa. Apakah dia pesimis? Apakah dia tidak mau berjualan lagi? Aku tidak tahu.
            Bus langgananku datang dari belokan perempatan dekat halte. Awalnya, aku memutuskan untuk kembali menunggu, tetapi ketika mengetahui bahwa sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup, kuurungkan niatku untuk menanti kehadiran Dinas.
            Dengan langkah lesu, aku masuk ke dalam perut bus, yang sudah penuh dengan penumpangnya.
***
Seminggu telah berlalu. Cuaca makin lama makin hangat. Tetapi, tidak sehangat cuaca, kabar Dinas menjadi beku; tidak diketahui. Absurd.
            Aku merindukannya. Ya, sangat.
            Mengingat keceriaan kami berdua kala saling berkicau tentang pengalaman-pengalaman yang menarik di bangku halte ini, membuat aku merasa kesepian. Halte yang ramai tetap membuatku merasa kosong. Aku hampa. Dinas tak ada lagi, dia tak pernah datang.
            “Masih nungguin mas-mas itu ya, Mbak?”
            Seketika aku langsung menoleh. Kuhembuskan nafas lega ketika mengetahui bahwa yang tiba-tiba duduk di sampingku adalah sang penjual koran langganan Dinas. Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
            “Iya, Mas,” jawabku pelan.
            Sang penjual koran tersenyum. “Kata orang, kalau penjual udah nggak pernah jualan lagi, berarti dia udah sukses, Mbak. Udah punya usaha sendiri. Mungkin, mas-mas itu udah punya toko susu sirup sendiri.”
            Aku tersenyum. Benarkah? Dinas sudah punya perusahaan sendiri?
            “Ya, kalau udah kayak gitu buat apa ditungguin lagi? Kurang kerjaan, Mbak, nungguin orang yang udah sukses.”
            Aku merenungkan kata-kata sang penjual koran hingga akhirnya hati kecilku bilang; Ya, setuju! Dinas sudah melupakan. Dia sudah sukses.
            “Mas, beli koran satu dong,” sambungku dengan tujuan mengalihkan pembicaraan.
            Si penjual koran tersenyum senang kemudian memperlihatkan koran-koran dagangannya. Kuambil salah satu, kemudian masuk ke dalam perut bus yang sudah berbelok dari perempatan di dekat halte.
***
Bodoh. Aku datang lebih pagi lagi di halte bus yang masih sepi. Aku menunggu Dinas. Pedagang susu sirup itu bagaikan di telan bumi. Mungkin, dia memang sudah sukses. Tapi, kenapa dia tidak memberi kabar? Kenapa dia tidak meluangkan waktu untuk sekedar bercerita kepadaku tentang keberhasilannya? Aku benci pada Dinas, tapi aku juga rindu.
            Pria itu… Susu sirupnya… Kegigihannya… membuatku yang sedang melamun ini sadar bahwa aku jatuh cinta. Apakah dia juga rasakan hal yang sama?
            Kupandangi kotak bekalku yang berisi roti bakar coklat-keju yang masih panas. Aku teringat pria itu, teringat kala kami saling bertukar roti bakar dan susu sirup di kala hujan. Apakah dia juga ingat pada roti bakar coklat-kejuku?
            Aku rindu padanya! Hujan, Roti bakar, dan susu sirup jadi hal penting dalam hidupku. Tiga hal yang mungkin sepele bagi orang lain, tapi jadi sesuatu yang klasik dalam memori otakku.
            “Masih mau susu sirup melon?”
            Suara itu… Aku menoleh. Kedua mataku langsung membulat. Aku beranjak dari tempatku berdiri tanpa kata keluar dari bibirku.
            Dinas.
            Pria itu tersenyum.
            “Hai,” ucapnya pelan.
            Aku melongo. Terdiam. Bungkam.
            “Hai,” ulangnya.
            Aku menelan ludah, kemudian memaksakan senyum, sebuah senyum yang lebih pantas disebut seringai.
            “Ha-hai.”
            Dinas tersenyum. Nanar.
            Aku mengamati setiap perubahan pada tubuhnya. Perban menghiasi kepala dan kakinya. Sebuah tongkat menjadi pembantunya dalam menopang tubuh. Aku mengerutkan kening.
            “Kamu kenapa?” tanyaku cemas.
            Bukannya menjawab, Dinas malah menyunggingkan senyum. Ia beranjak duduk di bangku panjang halte yang terasa dingin karena cuaca pagi yang memang beku.
            “Berangkat dagang lebih pagi, bikin kita lama nggak ketemu ya?” tanyanya sambil menatapku.
            Aku terdiam. Kedua mataku menatapnya dengan tatapan dalam.
            “Berangkat lebih pagi itu bikin capek, bikin ngantuk. Tapi sama-sama laku karena pagi juga dingin, meski bukan musim hujan.”
            Aku mengerutkan kening, bingung dengan tujuan kalimat yang disampaikannya.
            “Berangkat lebih pagi juga bikin aku harus relain sesuatu yang berharga; ketemu sama kamu.”
            Aku menelan ludah. Menatap Dinas lebih dalam. Kata tak ada yang mau keluar dari bibirku. Aku tak percaya.
            “Berangkat lebih pagi, juga bikin aku sering kehilangan konsentrasi karena masih ngantuk,” Dinas tertawa sendiri. Tawa renyah yang dia miliki dan menjadi bahan utama atas kerinduanku kepadanya akhirnya datang lagi. “Dan akhirnya, this is it!”
            Dinas menunjuk kakinya yang diperban sekaligus kedua tongkat yang tadi membantunya menopang tubuh. Ia tersenyum kepadaku yang menatapnya dengan miris.
            “Karena ngantuk, nggak konsentrasi, kecelakaan deh. Dan sekarang,” Dinas menggantung kalimatnya. “Aku cacat.”
            Aku terenyuh. Ucapannya terhadap kata ‘cacat’ sangat santai, seolah-olah cacat bukanlah akhir dari segalanya. Untuk yang entah ke berapa kali, Dinas berhasil membuatku terpana.
            Di pagi yang masih sepi ini, kedua tangan pria itu memutuskan untuk menggenggam kedua tanganku. Ada sebuah rasa yang aneh kala indera peraba kami saling berinteraksi. Panas. Dingin. Jantung berdegup tak pasti. Segala sesuatu terasa tak nyata namun luar biasa.
            Dinas menatapku. Dalam.
            “Kamu pasti nungguin aku, kan?” tanyanya lembut.
            Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab dengan apa; dengan anggukkan kepala, ataukah dengan ungkapan kata? Aku pilih yang pertama.
            “Kamu masih mau nungguin aku dengan kondisi yang seperti ini?”
            Untuk menjawab pertanyaan yang satu itu, aku pilih pilihan yang kedua. “Ya,” jawabku dengan mantap.
            Dinas tersenyum, kemudian memelukku. Sejenak. Kemudian melepaskan lagi dan menatap kedua mataku.
            “Del, kamu mau nerima aku apa adanya, nerima cinta ini meski ini dari raga yang tak lagi sempurna, dan kamu mau selalu menunggu aku meski aku nggak pernah kembali?”
            Aku menelan ludah.
            “Aku menunggu kamu dengan raga yang biasa, aku menunggu kamu dengan rindu yang luar biasa, tak perlu kamu datang dengan raga yang sempurna seperti dewa, aku akan menerima kamu. Menerima cinta kamu.”
            Dinas tersenyum. Satu kecupan hangat menghiasi keningku, sebelum bus yang senantiasa menelanku di perutnya tiba dari perempatan jalan dekat halte.
           

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar