Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 4
Berita perkiraan cuaca ternyata
benar adanya. Pagi ini, mentari bersinar cerah. Bulir-bulir hujan yang
berjatuhan tak terlihat meski hanya setetes.
Aku
keluar dari rumahku dengan wajah ceria. Hangatnya pagi membuatku merasa sangat
amat nyaman. Tanpa sadar, langkah-langkah yang tercipta dari kedua kakiku cukup
cepat dan lebar. Aku berlari. Aku siap bertemu semangat pagiku, Dinas, di hari
yang cerah ini.
Halte
bus terlihat ramai. Anak-anak sekolahan yang kira-kira sebaya denganku beserta
karyawan-karyawan dari berbagai perusahaan menunggu bus di sana . Jalanan sangat padat, dipenuhi berbagai
jenis transportasi darat, berbeda dari hari-hari sebelumnya di kala musim
hujan.
Di
musim yang cerah ini, Surakarta sudah siap lagi jadi
kota
metropolitan. Memangnya hanya Jakarta yang bisa
jadi kota
metropolitan?
Aku
berjalan menuju ke halte, bersiap untuk duduk di bangku yang menjadi saksi bisu
antara aku dan Dinas yang selalu berbagi cerita. Tetapi senyumku memudar kala
bangku panjang halte itu sudah dipenuhi oleh para calon penumpang dari berbagai
angkutan. Dinas tidak ada di sana .
Keningku
berkerut. Aku menengok arlojiku, kemudian menggeleng. Belum, belum terlambat untuk menemui Dinas. Biasanya juga jam segini. Mataku
beredar ke seluruh penjuru halte dan jalanan. Tidak ada tanda-tanda sang
penjual susu sirup itu di sana .
Seorang
tukang penjual koran lewat. Aku tahu Dinas adalah salah satu pelanggan tukang
koran itu tiap hari. Kuhampiri tukang koran itu, kutepuk bahunya dengan sorot
mata penuh tanda tanya.
“Mari,
Mbak. Solopos, JogloSemar, Kompas, atau yang mana? Semua beritanya hangat, Anas
bakal digantung rakyat di Monas lho!”
Aku
menggeleng menanggapi sapaan tukang koran itu.
“Mas,
tahu penjual susu sirup yang sering duduk disitu nggak?”
Sang
penjual tukang koran mengerutkan kening, kemudian mengalihkan pandangan kepada
bangku panjang halte yang dipenuhi orang-orang asing. Ia nampak berpikir,
mencoba mengingat-ingat citra orang yang aku maksud. Tak berapa lama kemudian,
dia menggeleng.
“Nggak
tau, Mbak. Dari tadi saya belum lihat, dia juga nggak beli koran pagi ini,”
jawabnya. Ternyata, dia ingat juga pada Dinas, sang penjual susu sirup.
Aku
mendengus kecewa mendengar jawaban si penjual koran. Baru saja aku akan
bertanya lebih lanjut, kulihat busku sudah berbelok dari perempatan dekat
halte.
“Kalau
gitu, makasih ya, Mas! Saya berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil berlari
pergi kemudian masuk ke dalam perut bus yang senantiasa menelanku di setiap
pagi.
***
Aku
menunggu.
Dia
tidak datang.
Hingga
semakin lama, halte bus semakin ramai dan sesak. Dinas tidak datang. Aku
menghela nafas panjang sekaligus kecewa. Apakah dia pesimis? Apakah dia tidak
mau berjualan lagi? Aku tidak tahu.
Bus
langgananku datang dari belokan perempatan dekat halte. Awalnya, aku memutuskan
untuk kembali menunggu, tetapi ketika mengetahui bahwa sebentar lagi gerbang
sekolah akan ditutup, kuurungkan niatku untuk menanti kehadiran Dinas.
Dengan
langkah lesu, aku masuk ke dalam perut bus, yang sudah penuh dengan
penumpangnya.
***
Seminggu telah berlalu. Cuaca
makin lama makin hangat. Tetapi, tidak sehangat cuaca, kabar Dinas menjadi
beku; tidak diketahui. Absurd.
Aku
merindukannya. Ya, sangat.
Mengingat
keceriaan kami berdua kala saling berkicau tentang pengalaman-pengalaman yang
menarik di bangku halte ini, membuat aku merasa kesepian. Halte yang ramai
tetap membuatku merasa kosong. Aku hampa. Dinas tak ada lagi, dia tak pernah
datang.
“Masih
nungguin mas-mas itu ya, Mbak?”
Seketika
aku langsung menoleh. Kuhembuskan nafas lega ketika mengetahui bahwa yang
tiba-tiba duduk di sampingku adalah sang penjual koran langganan Dinas. Aku
tersenyum, kemudian mengangguk.
“Iya,
Mas,” jawabku pelan.
Sang
penjual koran tersenyum. “Kata orang, kalau penjual udah nggak pernah jualan
lagi, berarti dia udah sukses, Mbak. Udah punya usaha sendiri. Mungkin, mas-mas
itu udah punya toko susu sirup sendiri.”
Aku
tersenyum. Benarkah? Dinas sudah punya
perusahaan sendiri?
“Ya, kalau udah
kayak gitu buat apa ditungguin lagi? Kurang kerjaan, Mbak, nungguin orang yang
udah sukses.”
Aku
merenungkan kata-kata sang penjual koran hingga akhirnya hati kecilku bilang; Ya, setuju! Dinas sudah melupakan. Dia sudah
sukses.
“Mas, beli koran
satu dong,” sambungku dengan tujuan mengalihkan pembicaraan.
Si
penjual koran tersenyum senang kemudian memperlihatkan koran-koran dagangannya.
Kuambil salah satu, kemudian masuk ke dalam perut bus yang sudah berbelok dari
perempatan di dekat halte.
***
Bodoh. Aku datang lebih pagi lagi
di halte bus yang masih sepi. Aku menunggu Dinas. Pedagang susu sirup itu
bagaikan di telan bumi. Mungkin, dia memang sudah sukses. Tapi, kenapa dia
tidak memberi kabar? Kenapa dia tidak meluangkan waktu untuk sekedar bercerita
kepadaku tentang keberhasilannya? Aku benci pada Dinas, tapi aku juga rindu.
Pria
itu… Susu sirupnya… Kegigihannya… membuatku yang sedang melamun ini sadar bahwa
aku jatuh cinta. Apakah dia juga rasakan hal yang sama?
Kupandangi
kotak bekalku yang berisi roti bakar coklat-keju yang masih panas. Aku teringat
pria itu, teringat kala kami saling bertukar roti bakar dan susu sirup di kala
hujan. Apakah dia juga ingat pada roti bakar coklat-kejuku?
Aku
rindu padanya! Hujan, Roti bakar, dan susu sirup jadi hal penting dalam hidupku.
Tiga hal yang mungkin sepele bagi orang lain, tapi jadi sesuatu yang klasik
dalam memori otakku.
“Masih
mau susu sirup melon?”
Suara
itu… Aku menoleh. Kedua mataku langsung membulat. Aku beranjak dari tempatku
berdiri tanpa kata keluar dari bibirku.
Dinas.
Pria
itu tersenyum.
“Hai,”
ucapnya pelan.
Aku
melongo. Terdiam. Bungkam.
“Hai,”
ulangnya.
Aku
menelan ludah, kemudian memaksakan senyum, sebuah senyum yang lebih pantas
disebut seringai.
“Ha-hai.”
Dinas
tersenyum. Nanar.
Aku
mengamati setiap perubahan pada tubuhnya. Perban menghiasi kepala dan kakinya.
Sebuah tongkat menjadi pembantunya dalam menopang tubuh. Aku mengerutkan
kening.
“Kamu
kenapa?” tanyaku cemas.
Bukannya
menjawab, Dinas malah menyunggingkan senyum. Ia beranjak duduk di bangku
panjang halte yang terasa dingin karena cuaca pagi yang memang beku.
“Berangkat
dagang lebih pagi, bikin kita lama nggak ketemu ya?” tanyanya sambil menatapku.
Aku
terdiam. Kedua mataku menatapnya dengan tatapan dalam.
“Berangkat
lebih pagi itu bikin capek, bikin ngantuk. Tapi sama-sama laku karena pagi juga
dingin, meski bukan musim hujan.”
Aku
mengerutkan kening, bingung dengan tujuan kalimat yang disampaikannya.
“Berangkat
lebih pagi juga bikin aku harus relain sesuatu yang berharga; ketemu sama kamu.”
Aku
menelan ludah. Menatap Dinas lebih dalam. Kata tak ada yang mau keluar dari
bibirku. Aku tak percaya.
“Berangkat
lebih pagi, juga bikin aku sering kehilangan konsentrasi karena masih ngantuk,”
Dinas tertawa sendiri. Tawa renyah yang dia miliki dan menjadi bahan utama atas
kerinduanku kepadanya akhirnya datang lagi. “Dan akhirnya, this is it!”
Dinas
menunjuk kakinya yang diperban sekaligus kedua tongkat yang tadi membantunya
menopang tubuh. Ia tersenyum kepadaku yang menatapnya dengan miris.
“Karena
ngantuk, nggak konsentrasi, kecelakaan deh. Dan sekarang,” Dinas menggantung
kalimatnya. “Aku cacat.”
Aku
terenyuh. Ucapannya terhadap kata ‘cacat’ sangat santai, seolah-olah cacat
bukanlah akhir dari segalanya. Untuk yang entah ke berapa kali, Dinas berhasil
membuatku terpana.
Di
pagi yang masih sepi ini, kedua tangan pria itu memutuskan untuk menggenggam
kedua tanganku. Ada
sebuah rasa yang aneh kala indera peraba kami saling berinteraksi. Panas.
Dingin. Jantung berdegup tak pasti. Segala sesuatu terasa tak nyata namun luar
biasa.
Dinas
menatapku. Dalam.
“Kamu
pasti nungguin aku, kan ?”
tanyanya lembut.
Aku
terdiam. Tak tahu harus menjawab dengan apa; dengan anggukkan kepala, ataukah
dengan ungkapan kata? Aku pilih yang pertama.
“Kamu
masih mau nungguin aku dengan kondisi yang seperti ini?”
Untuk
menjawab pertanyaan yang satu itu, aku pilih pilihan yang kedua. “Ya,” jawabku
dengan mantap.
Dinas
tersenyum, kemudian memelukku. Sejenak. Kemudian melepaskan lagi dan menatap
kedua mataku.
“Del , kamu mau nerima aku
apa adanya, nerima cinta ini meski ini dari raga yang tak lagi sempurna, dan
kamu mau selalu menunggu aku meski aku nggak pernah kembali?”
Aku
menelan ludah.
“Aku
menunggu kamu dengan raga yang biasa, aku menunggu kamu dengan rindu yang luar
biasa, tak perlu kamu datang dengan raga yang sempurna seperti dewa, aku akan
menerima kamu. Menerima cinta kamu.”
Dinas
tersenyum. Satu kecupan hangat menghiasi keningku, sebelum bus yang senantiasa
menelanku di perutnya tiba dari perempatan jalan dekat halte.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar