Senin, 05 Agustus 2013

Aku dan Dhania.

            Dia suka tertawa keras-keras. Karena tawa itu, guratan-guratan membentuk kelopak matanya. Dia suka tersenyum. Karena senyum itu sebuah lesung pipi terbentuk di wajahnya. Sorot matanya berbeda dengan remaja yang lain. Kalau remaja yang lain hobby galau dan mengungkit-ungkit masa lalu mereka padahal yang diungkit tidak peduli, gadis di sampingku ini selalu ceria. Ia suka bercanda. Ia suka bercerita.
            Namanya Dhania.
            Aku selalu memandangnya dengan penuh kekaguman. Sejak kami bertemu saat usia kami lima tahun, aku tak pernah berhenti untuk kagum padanya. Kami selalu bersama. Kemanapun kami pergi. Lagipula, rasanya tak mungkin jika aku jauh-jauh darinya. Tidak memandangnya selama sepuluh menit saja, rasanya ada yang aneh di dalam dadaku.
            “Hei! Ngalamun, ya?”
            Aku terperanjat kaget. Melihat ekspresiku, Dhania tertawa.
            “Lo kenapa sih? Kok ngeliatinnya kayak gitu?”
            Aku menelan ludah. Sialan, ketahuan. Mi ayam pesanan kami akhirnya datang.
            “Gue lanjutin ceritanya, ya?”
            Aku mengangguk sambil mencampur mi ayam di hadapanku. Gadis di sampingku ini sedang bercerita banyak soal Fabian, kakak kelas baru kami yang selalu jadi trending topic di sekolah.
            “Jadi kata mereka, Fabian itu bener-bener cowok yang keren banget! Cool! Katanya, cowok itu dingin banget sama semua orang, kecuali sama cewek.”
            Aku mengerutkan kening. “Kenapa bisa begitu?”
            Raut wajah Dhania berubah jadi murung. Ia menjauhkan mangkuk mi ayam dari hadapannya, lalu menopang dagu di atas meja.
            “Pacarnya banyak, Ndre. Mereka nyebutnya playboy.
            Aku tertawa dalam hati. Dasar cewek, segitu doang langsung lemes! Cewek memang cemen!
            “Emangnya kenapa kalau pacarnya banyak?” tanyaku dengan nada penuh perhatian.
            Dhania menghembuskan nafas panjang. “Gue nggak tahu ini namanya apa. Ada yang mengganjal di sini—sambil menunjuk dada—sejak kami ketemu di ekstra kurikuler yang kebetulan kami berdua ikuti.”
            Aku masih memandangnya penuh perhatian. Perhatian seorang sahabat.
            Dhania kembali menghembuskan nafas. “Gue nggak tahu ini maksudnya gimana. Setelah beberapa waktu kami dekat, kami bicara, kami bercanda dan kerja sama, ada sesuatu yang tiba-tiba menelusup di dalam diri gue. Aneh tapi nikmat. Seneng tapi suka bikin ngalamun.”
            Aku memandang Dhania dalam-dalam. Kenapa perasaan kami sama? Dhania merasakan itu pada Fabian, aku merasakan itu pada Dhania. Apa namanya ini?
            “Terus?”
            “Terus gue curhat sama temen-temen cewek gue. Lo kan nggak ngerti masalah beginian, jadi ya buat apa punya teman cewek kalau nggak dimanfaatin buat cerita?”
            Aku mengangkat alis. “Mereka bilang apa?”
            Dhania menghembuskan nafas lagi. “Mereka bilang, gue jatuh cinta.”
            Aku mengerutkan kening. Di sebuah sudut di dalam dadaku, ada sesuatu yang membuatku merasa remuk dan rapuh.
            Dhania jatuh cinta, pada Fabian.
            “Awalnya gue nggak percaya. Tapi lama-kelamaan, setelah gue rasa-rasain, kok aneh ya? Rasanya gue egois sama hati gue. Hati gue bilang gue jatuh cinta sama dia, raga gue menolak. Kayak proton dan neutron aja.”
            Aku terpaksa mengalunkan sebuah tawa. Padahal sebenarnya, ingin aku membungkam Dhania agar tak bercerita lagi soal Fabian. Aku tak tahu ini namanya apa. Tapi di sudut dada ini, rasanya sakit sekali. Mungkin ini yang namanya patah hati? Mungkin.
            Bel istirahat berbunyi. Dhania buru-buru berdiri.
            “Gue duluan ya, Ndre? Habis ini gue jam pelajaran Pak Heru, nggak bisa telat!”
            Aku mengangguk. Sebenarnya, tanpa Dhania bilang jadwal pelajarannya pun aku sudah tau. Aku mengetahui segalanya soal Dhania. Segalanya.
            Gadis itu berlari terburu-buru. Aku memandanginya. Tiba-tiba ia terjatuh, baru saja aku akan berdiri dan berlari menghampirinya, seseorang datang. Orang itu menghampiri Dhania dan—entah apa yang ia katakan—Dhania mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum dan tersipu. Orang itu membantu Dhania berdiri. Orang itu menggenggam tangan Dhania.
            Orang itu namanya Fabian.
            Di sebuah sudut di dalam dadaku, ada sesuatu yang terasa makin remuk ketika melihat Fabian berjalan menghampiri Dhania tanpa melepaskan genggaman tangannya. Aku menghembuskan nafasku lalu memalingkan mataku pada mi ayam Dhania yang tak tersentuh sama sekali.
            Jujur, yang membuat hatiku sangat remuk bukanlah karena Dhania jatuh cinta pada yang lain, tetapi karena aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Jatuh cinta pada sahabat sendiri.
***
            Esok harinya, aku duduk di bangku kelas bersama teman-temanku. Kami bercanda soal apa saja. Soal bokep? Hahaha, itu sudah masuk dalam daftar utama! Mereka bilang kami bejat, tapi mana ada cowok yang sepenuhnya suci dan nggak pernah nonton itu?
            Tiba-tiba Dhania datang. Ia tidak sekelas denganku, tetapi tiap pagi gadis itu selalu menghampiri aku. Melihat Dhania datang, teman-temanku langsung pengertian. Mereka tahu, aku dan Dhania adalah sahabat sejak kecil. Mereka paham, aku dan Dhania selalu butuh waktu untuk berdua.
            “Lo kenapa? Kok ngos-ngosan gitu?”
            “Gue bahagia banget, Ndre!” jawabnya sambil menjatuhkan diri di bangku yang ada di sebelahku.
            Aku mengangkat alis. “Bahagia kenapa?”
            “Lo tau nggak gue tadi berangkat sekolah dianterin sama siapa?”
            Aku mengangkat bahu, kemudian berpikir. “Fabian?” satu nama itu tercetus di kepalaku.
            Dhania langsung mengangguk-anggukkan kepala dengan semangat. Ia meremas lenganku, aku sedikit merasa sakit.
            “Dan lo tau nggak dia tanya apa ke gue?”
            Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu-lah, emang tanya apa?”
            Dhania memejamkan matanya. Bibirnya membentuk senyum yang amat sangat bahagia. “Dia tanya, ‘Dhania, mau nggak jadi pacar Fabian?’ Aaaaaaa, Ndre… seketika itu juga gue ngerasa melayang, gue ngerasa terbang!”
            Aku tersenyum nanar. Melihat gadis di sampingku bercerita soal Fabian dengan bersemangat dan senyum bahagia, aku ikut senang. Katanya, sahabat yang baik adalah sahabat yang mau ikut bahagia ketika sahabatnya bahagia. Baiklah, aku akan mencoba bahagia. Aku akan menahan remuk di hati ini. Lagipula, Dhania lebih cocok bersama dengan Fabian ketimbang aku, seorang cowok culun yang nggak ngerti apa-apa soal cinta.
            Selamat ya kamu, Dhania. Bahagialah kamu bersama dia, pria yang kamu puja selama ini.
***
            Semuanya berubah. Dhania berubah. Suasana berubah. Kebersamaan berubah. Gadis itu tak lagi menghampiriku di depan pintu kelas, aku juga tidak lagi menghampirinya. Saat ini, yang setia menghampiri Dhania di pintu kelasnya adalah Fabian dengan caranya yang spesial; membawakannya setangkai bunga mawar merah.
            Gadis itu sama sekali tak peduli pada keadaan di sekitarnya kalau sudah bersama Fabian. Bahkan ia tak peduli padaku, seseorang yang selalu memandanginya dari balik dinding koridor, memastikan bahwa gadis itu tidak tersakiti, bahwa gadis itu sama seperti biasa, dan demi melihat guratan-guratan di kelopak matanya yang terbentuk karena tawa.
***
Satu semester telah berlalu. Aku dan Dhania semakin menjauh. Kami tak lagi seperti dulu. Perasaanku masih sama. Aku terlalu mencintainya. Sedetik kemudian, aku tertawa dalam hati. Tahu apa aku soal cinta?
Aku berjalan keluar parkiran kafe malam itu. Suasana sepi. Tak ada siapa-siapa di sana. Dulu, aku tak pernah berjalan sendirian. Dhania selalu berada di sampingku dengan senyumnya, dengan tawanya, dengan lesung pipinya, dengan ciri khas yang dia punya.
Suara ribut-ribut dari balik sebuah mobil terdengar. Aku menghentikan langkah dan mencoba menerka-nerka dengan seksama. Sepertinya ada orang yang sedang bertengkar. Aku diam.
Suara tamparan di kulit seseorang terdengar. Orang itu menangis. Aku menajamkan pendengaran. Orang itu mulai melangkah pergi. Ia mendekat ke arahku. Aku langsung ambil sikap siaga, takut kalau aku ketahuan nguping.
Orang itu keluar dari balik mobil, sambil menangis. Aku tak melihat wajahnya, tetapi dari model rambutnya aku mengenalnya.
“Dhania!”
Orang itu tidak berbalik. Aku mengejarnya, kemudian mencengkeram lengannya.
Dhania menangis. Aku memeluknya. Ia membenamkan wajahnya di dadaku. Aku mencium keningnya. Lancang memang, tetapi hanya ini yang bisa aku lakukan. Gadis itu tidak sadar apa yang baru saja aku perbuat, ia tetap menangis.
“Lo kenapa?”
Dhania tidak menjawab. Ia malah menunjuk ke sebuah mobil. Fabian ada di sana, bukannya mengejar kemudian menghibur Dhania, cowok itu malah masuk ke dalam mobil dengan seorang wanita yang sebenarnya sebaya dengan kami tetapi terlihat nakal. Mobil yang ia dan Fabian tumpangi menjauhi pelataran parkir.
Aku menepuk-nepuk punggung Dhania.
“Dia bohongin gue, Ndre! Dia bohongin gue!”
Aku membelai lembut rambutnya.
“Gue tau, gue tau. Udah ya?”
“Tapi dia nyakitin gue!”
Aku menatapnya. Dhania masih menangis. Aku mengusap air mata yang mengalir di pipinya, kemudian aku tersenyum.
“Udah ya? Lupain, oke? Kan ada gue.”
Dhania tidak menjawab. Ia lebih memilih menangis.
Aku menggenggam tangannya. Ku tatap dia dalam-dalam.
“Dhania, udah ya? Lupain. Gue udah tau dia nggak cinta sama lo. Sekarang, dengerin gue. Lihat gue.”
Dhania menatapku.
“Gue cinta, selalu cinta, dan akan terus cinta sama lo. Rasa ini nggak ada habisnya.”
Dhania menatapku tidak percaya.
“Gue beda dari Fabian.”
Dhania masih diam, masih bungkam, masih menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Aku tersenyum. “Gue nggak akan ngajak lo pacaran, meski gue cinta. Kita udah sahabatan sejak kecil, gue takut kalau kita bakal jadi beda kalau gue ngajak lo pacaran dan akhirnya putus.”
Aku masih menatapnya, Dhania masih menatapku.
“Kalau gue nggak bisa jadi pacar lo, gue bisa kan jadi orang yang bikin lo selalu tersenyum?”
Dhania memandangku, kemudian tersenyum. Lesung pipi menghias wajahnya.

Aku ikut tersenyum. Ku genggam tangannya, kemudian kugandeng menjauhi pelataran parkir. Di pelataran parkir yang sepi ini, Dhania mulai kembali bercerita. Ia kembali ceria. Aku bisa melihat guratan-guratan di kelopak matanya, dari dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar