Dia
suka tertawa keras-keras. Karena tawa itu, guratan-guratan membentuk kelopak
matanya. Dia suka tersenyum. Karena senyum itu sebuah lesung pipi terbentuk di
wajahnya. Sorot matanya berbeda dengan remaja yang lain. Kalau remaja yang lain
hobby galau dan mengungkit-ungkit
masa lalu mereka padahal yang diungkit tidak peduli, gadis di sampingku ini
selalu ceria. Ia suka bercanda. Ia suka bercerita.
Namanya
Dhania.
Aku
selalu memandangnya dengan penuh kekaguman. Sejak kami bertemu saat usia kami lima tahun, aku tak
pernah berhenti untuk kagum padanya. Kami selalu bersama. Kemanapun kami pergi.
Lagipula, rasanya tak mungkin jika aku jauh-jauh darinya. Tidak memandangnya
selama sepuluh menit saja, rasanya ada yang aneh di dalam dadaku.
“Hei!
Ngalamun, ya?”
Aku
terperanjat kaget. Melihat ekspresiku, Dhania tertawa.
“Lo
kenapa sih? Kok ngeliatinnya kayak gitu?”
Aku
menelan ludah. Sialan, ketahuan. Mi ayam pesanan kami akhirnya datang.
“Gue
lanjutin ceritanya, ya?”
Aku
mengangguk sambil mencampur mi ayam di hadapanku. Gadis di sampingku ini sedang
bercerita banyak soal Fabian, kakak kelas baru kami yang selalu jadi trending topic di sekolah.
“Jadi
kata mereka, Fabian itu bener-bener cowok yang keren banget! Cool! Katanya, cowok itu dingin banget
sama semua orang, kecuali sama cewek.”
Aku
mengerutkan kening. “Kenapa bisa begitu?”
Raut
wajah Dhania berubah jadi murung. Ia menjauhkan mangkuk mi ayam dari
hadapannya, lalu menopang dagu di atas meja.
“Pacarnya
banyak, Ndre. Mereka nyebutnya playboy.”
Aku
tertawa dalam hati. Dasar cewek, segitu doang langsung lemes! Cewek memang
cemen!
“Emangnya
kenapa kalau pacarnya banyak?” tanyaku dengan nada penuh perhatian.
Dhania
menghembuskan nafas panjang. “Gue nggak tahu ini namanya apa. Ada yang mengganjal di sini—sambil menunjuk
dada—sejak kami ketemu di ekstra kurikuler yang kebetulan kami berdua ikuti.”
Aku
masih memandangnya penuh perhatian. Perhatian seorang sahabat.
Dhania
kembali menghembuskan nafas. “Gue nggak tahu ini maksudnya gimana. Setelah
beberapa waktu kami dekat, kami bicara, kami bercanda dan kerja sama, ada
sesuatu yang tiba-tiba menelusup di dalam diri gue. Aneh tapi nikmat. Seneng
tapi suka bikin ngalamun.”
Aku
memandang Dhania dalam-dalam. Kenapa perasaan kami sama? Dhania merasakan itu
pada Fabian, aku merasakan itu pada Dhania. Apa namanya ini?
“Terus?”
“Terus
gue curhat sama temen-temen cewek gue. Lo kan nggak ngerti masalah beginian, jadi ya
buat apa punya teman cewek kalau nggak dimanfaatin buat cerita?”
Aku
mengangkat alis. “Mereka bilang apa?”
Dhania
menghembuskan nafas lagi. “Mereka bilang, gue jatuh cinta.”
Aku
mengerutkan kening. Di sebuah sudut di dalam dadaku, ada sesuatu yang membuatku
merasa remuk dan rapuh.
Dhania jatuh cinta, pada Fabian.
“Awalnya gue nggak
percaya. Tapi lama-kelamaan, setelah gue rasa-rasain, kok aneh ya? Rasanya gue
egois sama hati gue. Hati gue bilang gue jatuh cinta sama dia, raga gue
menolak. Kayak proton dan neutron aja.”
Aku
terpaksa mengalunkan sebuah tawa. Padahal sebenarnya, ingin aku membungkam Dhania
agar tak bercerita lagi soal Fabian. Aku tak tahu ini namanya apa. Tapi di
sudut dada ini, rasanya sakit sekali. Mungkin ini yang namanya patah hati?
Mungkin.
Bel
istirahat berbunyi. Dhania buru-buru berdiri.
“Gue
duluan ya, Ndre? Habis ini gue jam pelajaran Pak Heru, nggak bisa telat!”
Aku
mengangguk. Sebenarnya, tanpa Dhania bilang jadwal pelajarannya pun aku sudah
tau. Aku mengetahui segalanya soal Dhania. Segalanya.
Gadis
itu berlari terburu-buru. Aku memandanginya. Tiba-tiba ia terjatuh, baru saja
aku akan berdiri dan berlari menghampirinya, seseorang datang. Orang itu
menghampiri Dhania dan—entah apa yang ia katakan—Dhania mengangguk-anggukkan
kepala sambil tersenyum dan tersipu. Orang itu membantu Dhania berdiri. Orang
itu menggenggam tangan Dhania.
Orang
itu namanya Fabian.
Di
sebuah sudut di dalam dadaku, ada sesuatu yang terasa makin remuk ketika
melihat Fabian berjalan menghampiri Dhania tanpa melepaskan genggaman
tangannya. Aku menghembuskan nafasku lalu memalingkan mataku pada mi ayam
Dhania yang tak tersentuh sama sekali.
Jujur,
yang membuat hatiku sangat remuk bukanlah karena Dhania jatuh cinta pada yang
lain, tetapi karena aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Jatuh cinta pada
sahabat sendiri.
***
Esok
harinya, aku duduk di bangku kelas bersama teman-temanku. Kami bercanda soal apa
saja. Soal bokep? Hahaha, itu sudah masuk dalam daftar utama! Mereka bilang kami
bejat, tapi mana ada cowok yang sepenuhnya suci dan nggak pernah nonton itu?
Tiba-tiba
Dhania datang. Ia tidak sekelas denganku, tetapi tiap pagi gadis itu selalu menghampiri
aku. Melihat Dhania datang, teman-temanku langsung pengertian. Mereka tahu, aku
dan Dhania adalah sahabat sejak kecil. Mereka paham, aku dan Dhania selalu butuh
waktu untuk berdua.
“Lo
kenapa? Kok ngos-ngosan gitu?”
“Gue
bahagia banget, Ndre!” jawabnya sambil menjatuhkan diri di bangku yang ada di
sebelahku.
Aku
mengangkat alis. “Bahagia kenapa?”
“Lo
tau nggak gue tadi berangkat sekolah dianterin sama siapa?”
Aku
mengangkat bahu, kemudian berpikir. “Fabian?” satu nama itu tercetus di
kepalaku.
Dhania
langsung mengangguk-anggukkan kepala dengan semangat. Ia meremas lenganku, aku
sedikit merasa sakit.
“Dan
lo tau nggak dia tanya apa ke gue?”
Aku
mengangkat bahu. “Nggak tahu-lah, emang tanya apa?”
Dhania
memejamkan matanya. Bibirnya membentuk senyum yang amat sangat bahagia. “Dia
tanya, ‘Dhania, mau nggak jadi pacar Fabian?’ Aaaaaaa, Ndre… seketika itu juga
gue ngerasa melayang, gue ngerasa terbang!”
Aku
tersenyum nanar. Melihat gadis di sampingku bercerita soal Fabian dengan
bersemangat dan senyum bahagia, aku ikut senang. Katanya, sahabat yang baik
adalah sahabat yang mau ikut bahagia ketika sahabatnya bahagia. Baiklah, aku
akan mencoba bahagia. Aku akan menahan remuk di hati ini. Lagipula, Dhania
lebih cocok bersama dengan Fabian ketimbang aku, seorang cowok culun yang nggak
ngerti apa-apa soal cinta.
Selamat ya kamu, Dhania. Bahagialah kamu
bersama dia, pria yang kamu puja selama ini.
***
Semuanya
berubah. Dhania berubah. Suasana berubah. Kebersamaan berubah. Gadis itu tak
lagi menghampiriku di depan pintu kelas, aku juga tidak lagi menghampirinya.
Saat ini, yang setia menghampiri Dhania di pintu kelasnya adalah Fabian dengan
caranya yang spesial; membawakannya setangkai bunga mawar merah.
Gadis
itu sama sekali tak peduli pada keadaan di sekitarnya kalau sudah bersama
Fabian. Bahkan ia tak peduli padaku, seseorang yang selalu memandanginya dari
balik dinding koridor, memastikan bahwa gadis itu tidak tersakiti, bahwa gadis
itu sama seperti biasa, dan demi melihat guratan-guratan di kelopak matanya
yang terbentuk karena tawa.
***
Satu semester
telah berlalu. Aku dan Dhania semakin menjauh. Kami tak lagi seperti dulu.
Perasaanku masih sama. Aku terlalu mencintainya. Sedetik kemudian, aku tertawa
dalam hati. Tahu apa aku soal cinta?
Aku berjalan
keluar parkiran kafe malam itu. Suasana sepi. Tak ada siapa-siapa di sana . Dulu, aku tak
pernah berjalan sendirian. Dhania selalu berada di sampingku dengan senyumnya,
dengan tawanya, dengan lesung pipinya, dengan ciri khas yang dia punya.
Suara
ribut-ribut dari balik sebuah mobil terdengar. Aku menghentikan langkah dan
mencoba menerka-nerka dengan seksama. Sepertinya ada orang yang sedang
bertengkar. Aku diam.
Suara tamparan
di kulit seseorang terdengar. Orang itu menangis. Aku menajamkan pendengaran.
Orang itu mulai melangkah pergi. Ia mendekat ke arahku. Aku langsung ambil
sikap siaga, takut kalau aku ketahuan nguping.
Orang itu
keluar dari balik mobil, sambil menangis. Aku tak melihat wajahnya, tetapi dari
model rambutnya aku mengenalnya.
“Dhania!”
Orang itu
tidak berbalik. Aku mengejarnya, kemudian mencengkeram lengannya.
Dhania
menangis. Aku memeluknya. Ia membenamkan wajahnya di dadaku. Aku mencium
keningnya. Lancang memang, tetapi hanya ini yang bisa aku lakukan. Gadis itu
tidak sadar apa yang baru saja aku perbuat, ia tetap menangis.
“Lo kenapa?”
Dhania tidak
menjawab. Ia malah menunjuk ke sebuah mobil. Fabian ada di sana , bukannya mengejar kemudian menghibur
Dhania, cowok itu malah masuk ke dalam mobil dengan seorang wanita yang
sebenarnya sebaya dengan kami tetapi terlihat nakal. Mobil yang ia dan Fabian
tumpangi menjauhi pelataran parkir.
Aku
menepuk-nepuk punggung Dhania.
“Dia bohongin
gue, Ndre! Dia bohongin gue!”
Aku membelai
lembut rambutnya.
“Gue tau, gue
tau. Udah ya?”
“Tapi dia
nyakitin gue!”
Aku
menatapnya. Dhania masih menangis. Aku mengusap air mata yang mengalir di
pipinya, kemudian aku tersenyum.
“Udah ya?
Lupain, oke? Kan
ada gue.”
Dhania tidak
menjawab. Ia lebih memilih menangis.
Aku
menggenggam tangannya. Ku tatap dia dalam-dalam.
“Dhania, udah
ya? Lupain. Gue udah tau dia nggak cinta sama lo. Sekarang, dengerin gue. Lihat
gue.”
Dhania
menatapku.
“Gue cinta,
selalu cinta, dan akan terus cinta sama lo. Rasa ini nggak ada habisnya.”
Dhania
menatapku tidak percaya.
“Gue beda dari
Fabian.”
Dhania masih
diam, masih bungkam, masih menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Aku tersenyum.
“Gue nggak akan ngajak lo pacaran, meski gue cinta. Kita udah sahabatan sejak
kecil, gue takut kalau kita bakal jadi beda kalau gue ngajak lo pacaran dan
akhirnya putus.”
Aku masih
menatapnya, Dhania masih menatapku.
“Kalau gue
nggak bisa jadi pacar lo, gue bisa kan
jadi orang yang bikin lo selalu tersenyum?”
Dhania memandangku,
kemudian tersenyum. Lesung pipi menghias wajahnya.
Aku ikut
tersenyum. Ku genggam tangannya, kemudian kugandeng menjauhi pelataran parkir.
Di pelataran parkir yang sepi ini, Dhania mulai kembali bercerita. Ia kembali
ceria. Aku bisa melihat guratan-guratan di kelopak matanya, dari dekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar