Senin, 05 Agustus 2013

Kau selalu memelukku, kau takut aku mati.

            Mungkin mereka memang menganggapku aneh. Mungkin mereka menganggap aku ini gila. Mereka berkata bahwa aku adalah seorang remaja yang tak berpikir rasional. Mereka berkata bahwa aku adalah seorang remaja yang berasal dari dunia antah-berantah yang akhirnya keluar dan hidup melalui khayalan dan imajinasi.
            Aku berbeda dari remaja yang biasanya. Mereka bicara soal cinta, aku bicara soal mimpi. Mereka seringkali menangis karena rindu tak berbalas, aku selalu tertawa. Apapun yang terjadi. Mereka memandang segalanya harus dihadapi, tetapi aku memandang segalanya harus dijalani. Mereka hidup bersama dunia mereka yang penuh realita, sementara aku melewatinya dengan khayalan dan pikiran yang selalu melayang dan mereka anggap tak pernah nyata.
            Remaja-remaja sepertiku suka nongkrong di mall, discotic, restoran-restoran mahal, distro, toko pakaian kelas luar negeri, sementara aku? Aku lebih suka duduk di atas batu karang sambil menatap ombak yang menghempasnya dengan suara yang merdu. Pantai.
            Aku tak pernah merasakan arti jatuh cinta. Aku tak pernah merasakan apa yang mereka katakan padaku. Soal pacar, soal hati, soal mantan… aku tak pernah mengerti.
            Hingga suatu saat aku menemukan sebuah film. Perahu Kertas. Tentang dongeng, tentang imajinasi, tentang mimpi, tentang cinta… Hal terakhirlah yang membuatku semakin lama semakin tak mengerti. Rumit.
            Semua adegan yang Kuggy alami adalah sama denganku. Semuanya aku. Kuggy yang dianggap gila adalah aku. Kuggy yang dianggap aneh adalah aku.
            Tetapi, Kuggy yang sedang mencari pelabuhan hatinya yang pasrah bagaikan perahu kertas yang pasrah kemanapun laut membawanya pergi… aku perlu berpikir dua kali.
            Begitu film selesai, aku menghembuskan nafas panjang. Aku menatap malam di luar sana. Apa ada yang salah padaku? Kenapa aku tak pernah merasakan apa yang namanya cinta? Bukankah cinta omong kosong? Bukankah cinta hanya mimpi?   
            Aku terdiam. Ribuan pertanyaan menggantung di dalam benakku. Malam semakin larut. Satu pertanyaan lagi. Apakah aku akan menemukan pelabuhan hatiku?
***
Hingga akhirnya aku bertemu dengan dia, seorang pria bernama Tonny yang membawaku masuk ke dalam dunia gilanya. Sejak bertemu dengan Tonny, bisikan-bisikan, desas-desus, ucapan-ucapan soal kegilaanku jadi bertambah banyak. Mereka mengira bahwa aku menularkan penyakit ‘anehku’ pada pria itu.
            Kami melewatkan waktu bersama. Kami berbagi mimpi bersama. Hobby kami? Sama. Tonny sering mengajakku ke pantai. Ia sering menyelipkan rambutku yang terurai di sela-sela telingaku dan menyuruhku mendengarkan suara ombak yang sedang ‘bernyanyi’. Tonny bilang, nyanyian paling indah adalah nyanyian yang dilontarkan oleh laut dan karang, sementara hembusan angin pantai adalah pengiring musiknya, dan matahari yang bersinar terik adalah penonton yang sedang bersorak penuh dukungan.
            Tonny, Tonny. Kau sangat korslet.
            Dia sering mengajakku ke rumahnya. Tonny mengajakku bermimpi, Tonny mengajakku berandai-andai. Ia memahat otakku dengan segala imajinasi yang sangat amat gila.
            Kami melewati segalanya bersama. Mereka bilang, kami pacaran. Aku tak tahu apa itu pacaran. Kamu bisa menjelaskan apa arti pacaran?
            Semakin lama aku mengenalnya, aku rasa ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa nyawaku bertambah dua tiap berada di sisinya. Aku selalu bersemangat, asalkan ada dia. Aku dan Tonny bagaikan punya ikatan. Aku sadar, kami bersinkronisasi. Kami punya koneksi. Karena ‘koneksi’ itulah, perasaan kami sangat kuat. Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan, dia bisa merasakan apa yang aku rasakan.
            Neptunus, apakah ini cinta? Apakah aku telah menemukan tambatan hati?
            Mereka bilang wajah mirip tandanya jodoh. Dan ternyata mereka bilang, wajah kami mirip, amat sangat mirip. Berarti kami berjodoh, sangat amat berjodoh.
Kau dengar itu, Tonny? Mereka bilang kita jodoh!
Kala itu aku sakit, aku sakit keras. Penyakit jantung turunan ini memang sialan, ia serasa tak dapat membuatku bergerak. Tetapi Tonny bilang, ia merasakan apa yang aku rasakan. Tiap mataku terpejam, ia selalu datang padaku. Tonny bilang, dia takut kehilangan aku.
Nus, aku pasrah. Aku pasrah kemana pun lautmu membawa hatiku berlabuh. Sama seperti perahu kertas, yang selalu berpasrah ketika kularung.
***
            Tonny membawaku ke rumah sakit. Dokter bilang, sakitku tambah keras. Umurku tak akan lama lagi. Bisa sebulan lagi, bisa seminggu lagi, bisa sehari lagi, bisa satu jam lagi, bisa saja satu detik lagi.
            Aku takut. Tetapi Tonny selalu memelukku, ia mengencangkan bahuku. Ia membawaku menuju alam fantasi, alam yang penuh keindahan tanpa kematian. Tonny selalu takut ketika melihat mataku terpejam. Dia selalu membangunkan aku. Dia takut aku tak dapat membuka mata lagi, dia takut aku tak dapat bernafas lagi, dia takut jantungku tidak berdegup lagi, hingga akhirnya jiwa ini mati.
            Tetapi tidak untuk besok, Tonny. Aku terpaksa memejamkan mataku. Malaikat maut itu sudah berdiri dengan jubah hitamnya di sana, tangannya terulur, kemudian menggandengku menuju sebuah cahaya putih yang bersinar sangat terang.
           
P.S: Catatan ini aku buat sebelum malaikat ini menjemputku. Firasat ini adalah alasan kenapa aku membuatnya. Aku menatapmu yang tidur lelap di sisiku. Ketika kau bangun nanti, jangan menangis. Aku sudah menyusul dunia fantasi yang indah tanpa kematian.
***
[Tonny]
            Aku membaca catatanmu dengan hati yang terasa remuk. Aku ingin membangunkanmu seperti malam-malam sebelumnya. Aku ingin berteriak memanggilmu, tetapi kau telah tidur di bawah tumpukan pasir yang menimbun tubuhmu dan batu nisan yang berdiri tegak menghias makammu.
            Kau bukan tambatan hatiku, Tania. Maaf bilang ini.
            Kau sudah lupa padaku rupanya. Kau tidak ingat bahwa dulu kita satu rahim? Kau tidak merasa mengenali aku? Dua puluh tahun kita tak bertemu setelah orang tua kita bercerai, kau tetap tak dapat mengingat aku? Kita satu ibu! Kita kembar!
            Aku bukan pelabuhanmu, Tania. Maafkan aku.

            Tetapi tenanglah di alam sana. Tenanglah di dunia fantasimu. Bahagialah dengan imajinasimu yang seolah-olah mati. Aku menyayangi kamu. Sangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar