Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 3
Aku menghirup udara beku pagi hari. Menurut perkiraan cuaca,
hari ini adalah musim hujan yang terakhir. Aku menyambut berita perkiraan cuaca tersebut dengan antusiasme
yang tinggi. Tentu saja, besok aku bisa menikmati betapa cerahnya pagi yang
ditemani matahari yang selama enam bulan terakhir ini tertutup oleh awan
mendung dan hujan kala pagi yang terjadi setiap hari. Aneh memang, tetapi
begitulah faktanya.
Langkah-langkah
kecilku menyeruak hujan sementara kepalaku terlindung oleh payung yang
bertengger dalam genggaman. Hari esok, datanglah! Hujan kala pagi, pergilah!
Aku
berjalan menuju halte bus. Seperti biasa, Dinas sudah duduk di sana dengan korannya yang setia.
Langkah-langkah yang awalnya hanya langkah kecil berubah jadi langkah-langkah
panjang yang cepat alias berlari. Aku mendekatinya dengan penuh kesadaran bahwa
Dinas adalah penyemangat pagi, meski matahari tak pernah bersinar selama musim
penghujan.
Dinas menyambutku
dengan senyumannya. Aku duduk di samping pria yang umurnya lebih tua tiga tahun
dari aku tersebut. Tidak terasa, sudah enam bulan lamanya aku dan Dinas
berteman. Kami saling bertukar cerita, pengalaman, kisah, di tempat yang sama;
di satu posisi yang sama, dan di suasana yang sama; suasana beku yang tercipta
karena hujan kala pagi.
Tanpa
aba-aba, kubuka tas sekolaku. Kuraih tempat bekalku dan kuserahkan pada Dinas
yang langsung menerimanya dengan senang hati dan melakukan hal yang sama
denganku.
“Wah,
meisesnya ganti ya?” tanya Dinas polos sambil mengunyah roti bakar yang aku
berikan kepadanya.
Aku tertawa
mendengar pertanyaan Dinas. “Itu bukan meises, itu keju! Tapi, tetap enak kan rasanya?”
Mendengar
penjelasanku, Dinas ikut tertawa. “Oh, kirain,” celetuknya dengan wajah lugu
yang lucu.
Aku
memberikan ekspresi jijik melihat susu sirup pemberian Dinas kepadaku. “Susu
sirup apaan nih? Kok warnanya hijau? Kamu pakai sirup rasa rumput ya?” tanyaku ragu,
membuat Dinas langsung tertawa.
“Itu bukan sirup
rasa rumput, itu sirup rasa melon. Enak, kan ?”
Aku yang sednag
mencobanya langsung mengangguk. Memang benar, susu sirup rasa melon tidak kalah
enak dengan susu sirup rasa strawberry.
“Ngomong-ngomong,
hari ini kamu ceria banget. Kenapa?”
Aku langsung
menoleh dengan antusias ketika mendengar pertanyaan Dinas.
“Iyalah, Nas
aku seneng! Menurut berita perkiraan cuaca, hari ini adalah musim hujan terakhir.
Akhirnya, setelah sekian lama, hujan kala pagi yang bikin males dan bikin kedinginan
berhenti sudah!” kataku menjelaskan dengan nada-nada ceria.
Bukannya ikut
senang, Dinas malah menghembuskan nafas kecewa yang membuatku langsung menoleh dan
bertanya, “Kamu kenapa?”
Dinas
menatap bulir-bulir air yang berjatuhan membentur jalanan. Sekali lagi, ia
menghembuskan nafas kecewa. “Aku suka banget sama hujan, Del. Selain suka sama
suasanya, aku juga suka sama awan mendungnya.
Hujan punya
arti besar buatku. Hujan juga salah satu faktor yang bikin susu sirupku lebih
laku dari biasanya. Kamu tau kan ,
jarang orang yang mau minum susu sirup hangat pas musim kemarau? Buat apa minum
susu sirup hangat di hari yang panas?” Dinas
mengalihkan pandangannya kepadaku.
“Tapi kalau
musim hujan, banyak kan
peminat susu sirup hangat?”
Sejenak,
pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh Dinas membuatku terdiam dengan
mulut melongo. Benar juga, batinku. Tapi…
“Awal aku
kenal kamu, aku tahu kalau kamu adalah orang yang gigih banget, nggak peduli
sama kondisi apapun. Tapi ternyata, aku salah ya?” ucapku membuat Dinas menatapku
lebih dalam.
“Ternyata, hanya
karena perubahan musim kamu jadi cemen begini. Kamu jadi nggak percaya diri
lagi, kamu jadi nggak yakin kalau kamu bisa jual semua susu sirup kamu meski
saat ini bukan musim penghujan.”
Dinas
menatapku, kemudian tersenyum.
Tanpa
sadar, aku menggenggam tangan Dinas erat dan hangat. Aku membalas senyumannya. “Kamu
bisa, Nas. Kamu bisa, meski esok bukan musim hujan. Aku akan terus sembahyang,
supaya susu sirup kamu laku, perjuangan kamu nggak akan pernah bisa padam, dan
segala cita-cita kamu bisa terwujud.”
Dinas
tertawa kecil. “Amin,” katanya kemudian menunjuk ke perempatan dekat halte dengan
dagu.
Sial.
Aku sudah tahu
apa artinya ini. Busku sudah datang dan aku harus berpisah dengan Dinas. Aku benci
pada saat-saat seperti ini tiba dan terjadi. Tidak bisakah aku dan Dinas duduk
berdua di tempat ini lebih lama?
Ketika
busku tiba di hadapan mata, aku dan Dinas saling berpamitan. Mata bertemu
dengan mata, senyum bertemu dengan senyum. Kemudian, aku masuk ke dalam perut
bus yang setia menelanku setiap pagi.
(Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar