Selasa, 20 Agustus 2013

Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 3

Aku menghirup udara beku pagi hari. Menurut perkiraan cuaca, hari ini adalah musim hujan yang terakhir. Aku menyambut berita  perkiraan cuaca tersebut dengan antusiasme yang tinggi. Tentu saja, besok aku bisa menikmati betapa cerahnya pagi yang ditemani matahari yang selama enam bulan terakhir ini tertutup oleh awan mendung dan hujan kala pagi yang terjadi setiap hari. Aneh memang, tetapi begitulah faktanya.
            Langkah-langkah kecilku menyeruak hujan sementara kepalaku terlindung oleh payung yang bertengger dalam genggaman. Hari esok, datanglah! Hujan kala pagi, pergilah!
            Aku berjalan menuju halte bus. Seperti biasa, Dinas sudah duduk di sana dengan korannya yang setia. Langkah-langkah yang awalnya hanya langkah kecil berubah jadi langkah-langkah panjang yang cepat alias berlari. Aku mendekatinya dengan penuh kesadaran bahwa Dinas adalah penyemangat pagi, meski matahari tak pernah bersinar selama musim penghujan.
            Dinas menyambutku dengan senyumannya. Aku duduk di samping pria yang umurnya lebih tua tiga tahun dari aku tersebut. Tidak terasa, sudah enam bulan lamanya aku dan Dinas berteman. Kami saling bertukar cerita, pengalaman, kisah, di tempat yang sama; di satu posisi yang sama, dan di suasana yang sama; suasana beku yang tercipta karena hujan kala pagi.
            Tanpa aba-aba, kubuka tas sekolaku. Kuraih tempat bekalku dan kuserahkan pada Dinas yang langsung menerimanya dengan senang hati dan melakukan hal yang sama denganku.
            “Wah, meisesnya ganti ya?” tanya Dinas polos sambil mengunyah roti bakar yang aku berikan kepadanya.
            Aku tertawa mendengar pertanyaan Dinas. “Itu bukan meises, itu keju! Tapi, tetap enak kan rasanya?”
            Mendengar penjelasanku, Dinas ikut tertawa. “Oh, kirain,” celetuknya dengan wajah lugu yang lucu.
            Aku memberikan ekspresi jijik melihat susu sirup pemberian Dinas kepadaku. “Susu sirup apaan nih? Kok warnanya hijau? Kamu pakai sirup rasa rumput ya?” tanyaku ragu, membuat Dinas langsung tertawa.
            “Itu bukan sirup rasa rumput, itu sirup rasa melon. Enak, kan?”
            Aku yang sednag mencobanya langsung mengangguk. Memang benar, susu sirup rasa melon tidak kalah enak dengan susu sirup rasa strawberry.
            “Ngomong-ngomong, hari ini kamu ceria banget. Kenapa?”
            Aku langsung menoleh dengan antusias ketika mendengar pertanyaan Dinas.
            “Iyalah, Nas aku seneng! Menurut berita perkiraan cuaca, hari ini adalah musim hujan terakhir. Akhirnya, setelah sekian lama, hujan kala pagi yang bikin males dan bikin kedinginan berhenti sudah!” kataku menjelaskan dengan nada-nada ceria.
            Bukannya ikut senang, Dinas malah menghembuskan nafas kecewa yang membuatku langsung menoleh dan bertanya, “Kamu kenapa?”
            Dinas menatap bulir-bulir air yang berjatuhan membentur jalanan. Sekali lagi, ia menghembuskan nafas kecewa. “Aku suka banget sama hujan, Del. Selain suka sama suasanya, aku juga suka sama awan mendungnya.
            Hujan punya arti besar buatku. Hujan juga salah satu faktor yang bikin susu sirupku lebih laku dari biasanya. Kamu tau kan, jarang orang yang mau minum susu sirup hangat pas musim kemarau? Buat apa minum susu sirup hangat di hari yang panas?”            Dinas mengalihkan pandangannya kepadaku.
            “Tapi kalau musim hujan, banyak kan peminat susu sirup hangat?”
            Sejenak, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh Dinas membuatku terdiam dengan mulut melongo. Benar juga, batinku. Tapi…
            “Awal aku kenal kamu, aku tahu kalau kamu adalah orang yang gigih banget, nggak peduli sama kondisi apapun. Tapi ternyata, aku salah ya?” ucapku membuat Dinas menatapku lebih dalam.
            “Ternyata, hanya karena perubahan musim kamu jadi cemen begini. Kamu jadi nggak percaya diri lagi, kamu jadi nggak yakin kalau kamu bisa jual semua susu sirup kamu meski saat ini bukan musim penghujan.”
            Dinas menatapku, kemudian tersenyum.
            Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Dinas erat dan hangat. Aku membalas senyumannya. “Kamu bisa, Nas. Kamu bisa, meski esok bukan musim hujan. Aku akan terus sembahyang, supaya susu sirup kamu laku, perjuangan kamu nggak akan pernah bisa padam, dan segala cita-cita kamu bisa terwujud.”
            Dinas tertawa kecil. “Amin,” katanya kemudian menunjuk ke perempatan dekat halte dengan dagu.
            Sial.
            Aku sudah tahu apa artinya ini. Busku sudah datang dan aku harus berpisah dengan Dinas. Aku benci pada saat-saat seperti ini tiba dan terjadi. Tidak bisakah aku dan Dinas duduk berdua di tempat ini lebih lama?
            Ketika busku tiba di hadapan mata, aku dan Dinas saling berpamitan. Mata bertemu dengan mata, senyum bertemu dengan senyum. Kemudian, aku masuk ke dalam perut bus yang setia menelanku setiap pagi.


(Bersambung…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar