Sabtu, 03 Agustus 2013

Cinta dalam Imaji

Mencoret-coret selembar kertas ini adalah apa yang bisa aku lakukan. Kegiatan ini menjadi bagian terkecil dalam hidupku. Sementara bagian terbesarnya adalah memandangimu dengan perasaan kagum yang tak pernah punya niat untuk berhenti mengalir.
            Aku selalu duduk di sudut ini, dibalik sebuah meja dengan sebuah buku gambar dan sebatang pensil—dua ‘manusia tak bernyawa yang selalu menemaniku menyalurkan segala perasaan kagum yang tak pernah ada habisnya—seperti biasa, tiada yang spesial.
            Aku berhenti di sebuah goresan pensil yang menggambar lekuk wajahmu. Tegas namun punya dua bola mata yang penuh dengan tawa dan canda. Melalui sudut mataku, aku selalu menebak: kau adalah manusia paling bahagia di dunia; sementara manusia sepertiku? Adalah manusia bodoh yang tersiksa karena hanya bisa memandangimu serta merasakan rindu tak berbalas yang selalu menyakitkan, sebagai resiko karena aku berani masuk ke dalam pusaran cinta dan pesonamu.
            Aku menggigit ujung pensilku. Kemudian tersenyum, menertawakan kebodohanku karena dengan mudahnya jatuh cinta kepadamu. Mataku kembali melirik ke arahmu. Tetapi, dengan hati yang kosong dan remuk meski tak tersampaikan, aku harus merelakanmu pergi.
            Kau beranjak dari kursimu, kemudian kau merangkul teman-temanmu, sambil masih tertawa keras-keras. Sementara manusia yang sedang memandangmu ini menatap dengan penuh harap; suatu saat nanti, akulah yang akan merasakan betapa hangatnya rangkulanmu. Suatu saat, aku yang akan merasakan betapa nyaman tertawa bersamamu, serta betapa teduh rasanya ketika kau datang dan berusaha menegakkan punggungku.
            Siluet punggungmu makin menjauh dan aku hanya bisa menghela nafas.
            Adakah kau membayangkan, bahwa aku ini adalah tubuh dan fisik yang nyata, bahwa aku ini ada di dunia, dan bahwa aku sedang mencintaimu dalam diam?
***
“Bila memang, cinta kita takkan tercipta
Ku hanya sekedar ingin tuk mengerti
Adakah diriku, singgah di hatimu?
Dan bilakah kau tahu, kau yang ada di hatiku.”
            Aku memandangi puluhan lukisan tentangmu yang menghias dinding kamarku. Keseluruhannya adalah karyaku. Tahukah kau tentang itu?
            Jatuh cinta diam-diam memang tak pernah menyenangkan. Yang bisa aku lakukan hanyalah memandangimu, terdiam, mencoba tersenyum padamu namun takut, serta yang paling penting adalah merindukanmu tanpa bisa bilang dan bertahan dalam siksaan yang menyakitkan. Rindu sepihak adalah hal paling perih.
            Aku membelai wajahmu dalam lukisan. Kemudian tersenyum. Ada rasa yang aneh dalam sudut hatiku. Inikah jatuh cinta? Ya, sudah paten. Beginilah rasanya jatuh cinta pada sebuah bintang yang tak pernah bisa kugapai.
            Aku memandang manik matamu. Titik hitam di sana seakan menghunusku. Aku selalu merasa bahwa kau yang memandangku dengan kedua mata yang aku lukis adalah kau yang memandangku di alam nyata. Aku selalu bermain dan menghubungkan lukisanku tentangmu dengan imaji dan fantasi yang selalu aku buat sendiri di dalam otakku.
            Mungkin ini memang gila, ya aku memang gila. Tiap aku memandang bibirmu dalam lukisan, aku membayangkan kau menyapaku, tersenyum dan membuatku semakin luluh di dalam cinta gila yang makin lama makin menyiksa.
            Ketika aku memandang rambutmu, aku serasa mencium aromanya. Sebuah aroma khas yang menemanimu kemanapun kau pergi. Sebuah aroma yang mengikat dan tak akan pernah aku lupakan betapapun banyak aroma yang paling wangi datang silih berganti.
            Seringkali aku melirik ke dadamu. Sebuah dada bidang yang pasti memiliki kekuatan dalam pelukan. Aku tak tahu betapa teduhnya jika aku bersandar di sana. Aku tak tahu bagaimana rasanya menangis dan kau memelukku kemudian membenamkan wajahku di dalam dadamu. Aku tak tahu. Aku hanya bisa membayangkan. Hangat, erat, penuh rasa sayang, dan penuh dengan perlindungan.
            Aku tersenyum nanar. Jantungku berdegup cepat. Kenapa harus kamu?
            Aku bagaikan sebuah bayangan hitam.
            Sebuah bayangan hanya dapat memandang dan mengikuti gerakan sang pemilik daging dan roh.
            Sebuah bayangan hanya mampu terdiam tanpa bisa meraih pemilik bayangan itu sendiri.

            Aku adalah bayangan hitam yang tersiksa karena tak akan pernah bisa meraihmu, sang pemilik daging dan roh.
(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar