Mencoret-coret selembar kertas ini adalah apa yang bisa aku
lakukan. Kegiatan ini menjadi bagian terkecil dalam hidupku. Sementara bagian
terbesarnya adalah memandangimu dengan perasaan kagum yang tak pernah punya
niat untuk berhenti mengalir.
Aku selalu duduk
di sudut ini, dibalik sebuah meja dengan sebuah buku gambar dan sebatang
pensil—dua ‘manusia tak bernyawa yang selalu menemaniku menyalurkan segala
perasaan kagum yang tak pernah ada habisnya—seperti biasa, tiada yang spesial.
Aku
berhenti di sebuah goresan pensil yang menggambar lekuk wajahmu. Tegas namun
punya dua bola mata yang penuh dengan tawa dan canda. Melalui sudut mataku, aku
selalu menebak: kau adalah manusia paling bahagia di dunia; sementara manusia
sepertiku? Adalah manusia bodoh yang tersiksa karena hanya bisa memandangimu
serta merasakan rindu tak berbalas yang selalu menyakitkan, sebagai resiko
karena aku berani masuk ke dalam pusaran cinta dan pesonamu.
Aku
menggigit ujung pensilku. Kemudian tersenyum, menertawakan kebodohanku karena
dengan mudahnya jatuh cinta kepadamu. Mataku kembali melirik ke arahmu. Tetapi,
dengan hati yang kosong dan remuk meski tak tersampaikan, aku harus merelakanmu
pergi.
Kau
beranjak dari kursimu, kemudian kau merangkul teman-temanmu, sambil masih
tertawa keras-keras. Sementara manusia yang sedang memandangmu ini menatap
dengan penuh harap; suatu saat nanti, akulah yang akan merasakan betapa
hangatnya rangkulanmu. Suatu saat, aku yang akan merasakan betapa nyaman
tertawa bersamamu, serta betapa teduh rasanya ketika kau datang dan berusaha
menegakkan punggungku.
Siluet
punggungmu makin menjauh dan aku hanya bisa menghela nafas.
Adakah kau membayangkan, bahwa aku ini
adalah tubuh dan fisik yang nyata, bahwa aku ini ada di dunia, dan bahwa aku
sedang mencintaimu dalam diam?
***
“Bila memang, cinta
kita takkan tercipta
Ku hanya sekedar ingin
tuk mengerti
Adakah diriku, singgah
di hatimu?
Dan bilakah kau tahu,
kau yang ada di hatiku.”
Aku memandangi puluhan lukisan
tentangmu yang menghias dinding kamarku. Keseluruhannya adalah karyaku. Tahukah
kau tentang itu?
Jatuh cinta
diam-diam memang tak pernah menyenangkan. Yang bisa aku lakukan hanyalah
memandangimu, terdiam, mencoba tersenyum padamu namun takut, serta yang paling
penting adalah merindukanmu tanpa bisa bilang dan bertahan dalam siksaan yang
menyakitkan. Rindu sepihak adalah hal paling perih.
Aku
membelai wajahmu dalam lukisan. Kemudian tersenyum. Ada rasa yang aneh dalam sudut hatiku. Inikah
jatuh cinta? Ya, sudah paten. Beginilah rasanya jatuh cinta pada sebuah bintang
yang tak pernah bisa kugapai.
Aku
memandang manik matamu. Titik hitam di sana
seakan menghunusku. Aku selalu merasa bahwa kau yang memandangku dengan kedua
mata yang aku lukis adalah kau yang memandangku di alam nyata. Aku selalu
bermain dan menghubungkan lukisanku tentangmu dengan imaji dan fantasi yang
selalu aku buat sendiri di dalam otakku.
Mungkin ini
memang gila, ya aku memang gila. Tiap aku memandang bibirmu dalam lukisan, aku
membayangkan kau menyapaku, tersenyum dan membuatku semakin luluh di dalam
cinta gila yang makin lama makin menyiksa.
Ketika aku
memandang rambutmu, aku serasa mencium aromanya. Sebuah aroma khas yang
menemanimu kemanapun kau pergi. Sebuah aroma yang mengikat dan tak akan pernah
aku lupakan betapapun banyak aroma yang paling wangi datang silih berganti.
Seringkali
aku melirik ke dadamu. Sebuah dada bidang yang pasti memiliki kekuatan dalam
pelukan. Aku tak tahu betapa teduhnya jika aku bersandar di sana . Aku tak tahu bagaimana rasanya menangis
dan kau memelukku kemudian membenamkan wajahku di dalam dadamu. Aku tak tahu.
Aku hanya bisa membayangkan. Hangat, erat, penuh rasa sayang, dan penuh dengan
perlindungan.
Aku
tersenyum nanar. Jantungku berdegup cepat. Kenapa harus kamu?
Aku bagaikan sebuah bayangan hitam.
Sebuah bayangan hanya dapat
memandang dan mengikuti gerakan sang pemilik daging dan roh.
Sebuah bayangan hanya mampu terdiam tanpa
bisa meraih pemilik bayangan itu sendiri.
Aku adalah bayangan hitam yang tersiksa
karena tak akan pernah bisa meraihmu, sang pemilik daging dan roh.
(bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar