Sabtu, 17 Agustus 2013

Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup

Rintik hujan kala pagi masih berjatuhan. Hmm, hal itu memang yang paling nikmat. Bayangkan saja, suasana beku, bau tanah basah yang khas, pagi yang mendung, ditemani segelas susu hangat dan roti bakar coklat yang masih panas membuatku selalu melamun; andaikan hidup selamanya senikmat ini.
            Tetapi, teriakan mama dari dalam kamar membuyarkan lamunanku. Dengan gerakan tergesa-gesa, aku meraih payung yang sudah kusiapkan di depan rumah. Mama memang selalu bawel kalau sudah jam menjelang berangkat sekolah. Hal ini menyebabkan aku menjadi murid teladan di sekolah dengan dasar alasan bahwa memang aku yang selalu datang paling pagi dan tidak pernah terlambat masuk sekolah sekalipun.
            Dengan sangat hati-hati, aku berjalan keluar dari rumah; menyeruak hujan di bawah lindungan sebuah payung. Langkah-langkah kecilku menuju ke sebuah halte yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Sesekali, mulutku mengunyah roti bakar dan menikmati manisnya meises coklat di dalamnya yang masih hangat. Beku yang disebabkan karena hujan terasa hilang.
            Halte bus terlihat di depan mataku. Sepi. Jalanan juga sepi. Aku bisa maklum, hujan kala pagi memang bikin malas. Orang-orang pasti lebih memilih kembali berbaring di spring bed mereka berselimutkan kain-kain tebal. Hm, betapa manusia lebih memilih kenyamanan.
            Aku duduk di bangku panjang halte. Bangku yang terbuat dari besi itu membuat kulitku terasa dingin. Bus belum datang. Hanya seorang pria yang terbungkus dengan kemeja kerjanya yang terlihat. Selembar koran menemaninya menghancurkan sepi.
            Aku memakan lagi sebagian kecil roti bakarku. Sengaja aku menghematnya biar bisa dimakan selagi perjalanan menuju ke sekolah. Maklum, aku cuma bawa satu.
            Hingga akhirnya aku menyadari, ada sebuah tatapan yang menghunusku. Aku menoleh. Pria di sampingku melirikku. Aku mengerutkan kening. Ini kan sudah tidak puasa, makan di tempat terbuka tidak dilarang kan?
            Aku cuek-cuek saja. Sekali lagi, kugigit sebagian roti bakarku. Kunikmati coklat yang lumer di dalam mulutku. Hmm, rasanya nikmat sekali, meski tidak lagi sepanas tadi.
            Oke, pria disampingku tak lagi terfokus pada koran yang sudah menemaninya menghancurkan sepi. Sekarang, pria itu terfokus padaku, seorang remaja SMA yang sedang duduk menunggu bus sambil mengunyah roti bakar.
            Aku mengerutkan kening, risih juga rasanya diperhatikan oleh seseorang yang tak dikenal.
            “Saya ganggu kamu, ya?” tanyaku ketus.
            Si pria hanya menggeleng. Ia masih saja menatapku. Aku mengerutkan kening, meminta penjelasan. “Terus?”
            Si pria menelan ludah. Ia tersenyum. “Saya boleh minta roti bakar kamu nggak?”
            Sebagian alisku meninggi kala mendengar pertanyaannya. Benar-benar sebuah kalimat tanya yang aneh.
            Aku memandangi roti bakarku yang masih separo. Kubagi roti bakar itu menjadi 2. Kuberikan kepada si pria yang langsung menerima dan memasukkan roti bakar kecil itu ke dalam mulutnya kemudian mengunyahnya dengan lahap. Setelah itu, ia meraih tasnya kemudian mengeluarkan isinya.
            “Kamu suka susu?” tanya pria itu sambil menyodorkan sebuah kantong plastik berisi cairan kental bewarna merah muda.
            Aku mengerutkan kening. Ragu. Bisa saja itu adalah sebuah cairan beracun. Aku bergidik ngeri, sementara sang pria langsung tertawa. Mungkin ia melihat kengerianku.
            “Kamu kenapa? Curiga ya sama warnanya? Tenang, ini aman kok. Terdiri dari susu sapi asli Boyolali dan sirup rasa strawberry.”
            Aku mengangkat alis. Masih sedikit ragu. Beruntung, bus yang aku tunggu akhirnya datang. Aku langsung nyengir kuda.
            “Besok-besok aja ya susunya? Aku udah dijemput sama supir dan kenek bus langgananku tuh!” kataku sambil bersiap-siap kala bus mulai mendekat.
            Tak akan pernah kusangka, sang pria malah mengejarku!
            Pria itu menarik tanganku, membuat aku langsung berbalik menatapnya.
            “Ini buat kamu, tanda terima kasih atas roti bakarnya!” katanya serius.
            Aku mengerutkan kening.
            “Nggak usah pakai tanda terima kasih nggak apa-apa, kok! Aku ikhlas ngasih roti bakarnya!”
            Sang pria menggeleng. “Nggak bisa, kamu harus dapet susu sirup ini. Kamu udah baik banget sama aku.”
            “Tapi busku udah dateng!”
            Sang pria menatapku. Terdiam. Membisu. Aku juga menatapnya, sambil berdoa dalam hati; semoga dia segera luluh, tidak lagi mengejarku dan memaksaku menerima susu sirupnya.
            Pria itu menggenggam telapak tanganku. Ia membukanya. Dan sial, kantong plastik bening berisi susu sirupnya itu diletakkan di telapak tanganku yang terbuka. Ternyata, dia belum luluh juga.
            “Ini buat kamu, aku mohon terima ini. Sekali aja. Buat bekal berangkat sekolah.”
            Aku mengerjap-erjapkan mata, merasa aneh dengan sang pria yang tersenyum kepadaku.
            “Mbak! Jadi naik nggak nih? Telat woi telat!”
            Kalau saja kondektur bus yang akan aku tumpangi tidak berteriak, aku dan pria itu pasti masih saja berdiri saling tatap dan terdiam, meski sama-sama tidak mengetahui nama.
            Aku menganggukkan kepala. Aku yang awalnya berharap dia yang luluh ternyata kena karma. Aku tersenyum penuh rasa terima kasih.
            “Makasih ya, buat ini.”
            Sang pria mengangguk. “Iya, selamat berangkat sekolah ya!”
            Aku kembali mengangguk, kemudian berjalan naik ke dalam bus yang langsung menelanku di dalam perutnya. Hingga akhirnya bus mulai melaju dan aku tak dapat lagi melihat sang pria.

(Bersambung…)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar