Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup
Rintik hujan kala pagi masih
berjatuhan. Hmm, hal itu memang yang paling nikmat. Bayangkan saja, suasana
beku, bau tanah basah yang khas, pagi yang mendung, ditemani segelas susu
hangat dan roti bakar coklat yang masih panas membuatku selalu melamun;
andaikan hidup selamanya senikmat ini.
Tetapi,
teriakan mama dari dalam kamar membuyarkan lamunanku. Dengan gerakan
tergesa-gesa, aku meraih payung yang sudah kusiapkan di depan rumah. Mama
memang selalu bawel kalau sudah jam menjelang berangkat sekolah. Hal ini
menyebabkan aku menjadi murid teladan di sekolah dengan dasar alasan bahwa
memang aku yang selalu datang paling pagi dan tidak pernah terlambat masuk
sekolah sekalipun.
Dengan
sangat hati-hati, aku berjalan keluar dari rumah; menyeruak hujan di bawah
lindungan sebuah payung. Langkah-langkah kecilku menuju ke sebuah halte yang
letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Sesekali, mulutku mengunyah roti
bakar dan menikmati manisnya meises coklat di dalamnya yang masih hangat. Beku
yang disebabkan karena hujan terasa hilang.
Halte
bus terlihat di depan mataku. Sepi. Jalanan juga sepi. Aku bisa maklum, hujan
kala pagi memang bikin malas. Orang-orang pasti lebih memilih kembali berbaring
di spring bed mereka berselimutkan
kain-kain tebal. Hm, betapa manusia lebih memilih kenyamanan.
Aku
duduk di bangku panjang halte. Bangku yang terbuat dari besi itu membuat
kulitku terasa dingin. Bus belum datang. Hanya seorang pria yang terbungkus
dengan kemeja kerjanya yang terlihat. Selembar koran menemaninya menghancurkan
sepi.
Aku
memakan lagi sebagian kecil roti bakarku. Sengaja aku menghematnya biar bisa
dimakan selagi perjalanan menuju ke sekolah. Maklum, aku cuma bawa satu.
Hingga
akhirnya aku menyadari, ada sebuah tatapan yang menghunusku. Aku menoleh. Pria
di sampingku melirikku. Aku mengerutkan kening. Ini kan
sudah tidak puasa, makan di tempat terbuka tidak dilarang kan ?
Aku
cuek-cuek saja. Sekali lagi, kugigit sebagian roti bakarku. Kunikmati coklat
yang lumer di dalam mulutku. Hmm, rasanya nikmat sekali, meski tidak lagi
sepanas tadi.
Oke,
pria disampingku tak lagi terfokus pada koran yang sudah menemaninya
menghancurkan sepi. Sekarang, pria itu terfokus padaku, seorang remaja SMA yang
sedang duduk menunggu bus sambil mengunyah roti bakar.
Aku
mengerutkan kening, risih juga rasanya diperhatikan oleh seseorang yang tak
dikenal.
“Saya
ganggu kamu, ya?” tanyaku ketus.
Si
pria hanya menggeleng. Ia masih saja menatapku. Aku mengerutkan kening, meminta
penjelasan. “Terus?”
Si
pria menelan ludah. Ia tersenyum. “Saya boleh minta roti bakar kamu nggak?”
Sebagian
alisku meninggi kala mendengar pertanyaannya. Benar-benar sebuah kalimat tanya
yang aneh.
Aku
memandangi roti bakarku yang masih separo. Kubagi roti bakar itu menjadi 2.
Kuberikan kepada si pria yang langsung menerima dan memasukkan roti bakar kecil
itu ke dalam mulutnya kemudian mengunyahnya dengan lahap. Setelah itu, ia
meraih tasnya kemudian mengeluarkan isinya.
“Kamu
suka susu?” tanya pria itu sambil menyodorkan sebuah kantong plastik berisi
cairan kental bewarna merah muda.
Aku
mengerutkan kening. Ragu. Bisa saja itu adalah sebuah cairan beracun. Aku
bergidik ngeri, sementara sang pria langsung tertawa. Mungkin ia melihat
kengerianku.
“Kamu
kenapa? Curiga ya sama warnanya? Tenang, ini aman kok. Terdiri dari susu sapi
asli Boyolali dan sirup rasa strawberry.”
Aku
mengangkat alis. Masih sedikit ragu. Beruntung, bus yang aku tunggu akhirnya
datang. Aku langsung nyengir kuda.
“Besok-besok
aja ya susunya? Aku udah dijemput sama supir dan kenek bus langgananku tuh!”
kataku sambil bersiap-siap kala bus mulai mendekat.
Tak
akan pernah kusangka, sang pria malah mengejarku!
Pria
itu menarik tanganku, membuat aku langsung berbalik menatapnya.
“Ini
buat kamu, tanda terima kasih atas roti bakarnya!” katanya serius.
Aku
mengerutkan kening.
“Nggak
usah pakai tanda terima kasih nggak apa-apa, kok! Aku ikhlas ngasih roti
bakarnya!”
Sang
pria menggeleng. “Nggak bisa, kamu harus dapet susu sirup ini. Kamu udah baik
banget sama aku.”
“Tapi
busku udah dateng!”
Sang
pria menatapku. Terdiam. Membisu. Aku juga menatapnya, sambil berdoa dalam
hati; semoga dia segera luluh, tidak lagi mengejarku dan memaksaku menerima
susu sirupnya.
Pria
itu menggenggam telapak tanganku. Ia membukanya. Dan sial, kantong plastik
bening berisi susu sirupnya itu diletakkan di telapak tanganku yang terbuka.
Ternyata, dia belum luluh juga.
“Ini
buat kamu, aku mohon terima ini. Sekali aja. Buat bekal berangkat sekolah.”
Aku
mengerjap-erjapkan mata, merasa aneh dengan sang pria yang tersenyum kepadaku.
“Mbak! Jadi naik nggak nih? Telat woi
telat!”
Kalau
saja kondektur bus yang akan aku tumpangi tidak berteriak, aku dan pria itu
pasti masih saja berdiri saling tatap dan terdiam, meski sama-sama tidak
mengetahui nama.
Aku
menganggukkan kepala. Aku yang awalnya berharap dia yang luluh ternyata kena
karma. Aku tersenyum penuh rasa terima kasih.
“Makasih
ya, buat ini.”
Sang
pria mengangguk. “Iya, selamat berangkat sekolah ya!”
Aku
kembali mengangguk, kemudian berjalan naik ke dalam bus yang langsung menelanku
di dalam perutnya. Hingga akhirnya bus mulai melaju dan aku tak dapat lagi
melihat sang pria.
(Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar