Senin, 30 Desember 2013

Laut dan Elegi

Laut.
Entah mengapa aku mencintai bagian terbesar alam ini. Bukan hanya karena awal kehidupanku berasal dari tempat ini, bukan juga karena penghasilan serta rezeki ayahku bergantung pada milyaran liter penampung air ini, bukan juga karena aku pernah mengakhiri kisah hidupku dari tempat ini. Tak ada penjelasan konkrit yang mampu menjelaskan alasan mengapa aku mencintai pembatas jutaan pulau, ribuan negara, dan satuan benua ini.
Yang jelas, aku mencintai segalanya tentang laut. Berawal dari ombak yang berlomba mencumbu darat, kemudian angin kencang yang seakan berbisik bahkan menjerit, “Lindungi aku! Lindungi aku!” hingga batu karang yang berdiri kokoh menghalangi air memperkosa kering. Aku mencintai segalanya tentang alam ini.
Laut pun pernah membuat aku jatuh hati. Ia membuat aku mencintai seorang nelayan yang mampu merebut rongga hati ini. Ia mampu membuat aku tak pernah menyesal pernah merelakan hatiku untuk dia miliki hingga aku akhirnya mati. Ia membuatku merelakan segalanya.
Aku duduk di salah satu batu karang. Ombak menabraknya, mencoba menggusur dan mengikis raksasa itu dengan kekuatannya yang semakin besar, bak prajurit yang melawan buto. Aku tak takut jatuh. Toh kalau aku jatuh dan ombak menerkamku, aku tak akan mati lagi karena kini aku abadi.
Teringat aku pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Di laut ini aku pernah bermain-main bersama temanku, di laut ini aku pernah belajar mendorong perahu dan merenda jaring untuk ayahku menangkap ikan, dan di laut ini aku pernah jatuh cinta pada seorang nelayan, kawan ayahku bernama Mas Prabu, pria menawan yang disukai semua gadis di pantai, pria mempesona yang dipuja-puja oleh semua orang tua, pria yang dianggap sebagai menantu idaman, dan pria yang hingga sekarang tak diketahui bahwa dia berdarah keji.
Aku tersenyum mengingat kisahku walau sakit hati datang menderu, berputar dalam nostalgiku ketika aku dan Mas Prabu merenda cinta berdua di bibir pantai, berlari kesana-kemari sambil tertawa lepas, naik ke perahu dan berlayar pada sore hari, berkisah tentang cinta kami pada laut, dan masih banyak lagi. Yang jelas, kenangan itu membuat aku sangat mencintai Mas Prabu hingga saat ini, hingga aku menunggu dia menyusulku di alam abadi.
Matahari mulai melaju turun dari singgasana-nya. Perlahan-lahan hingga gelap datang. Aku menelan ludah. Aku teringat pengalaman lima tahun yang lalu, ketika pertengkaran antara aku dan Mas Prabu terjadi.
Aku menunjuk wajahnya dengan marah ketika mendengar permohonannya. Dia bilang, kami sudah lama menjadi sepasang kekasih, namun tidak lengkap rasanya kalau tidak bersetubuh. Aku tersinggung. Harga diriku benar-benar dihancurkan.
            Mas Prabu terus memaksaku. Kini mulai mengancamku. Aku tak gentar dan tetap bersikukuh pada pendirianku untuk tetap menjaga kesucianku. Aku mencintai dia, tapi tidak untuk bersetubuh. Aku tunjuk dadaku dengan tegas. Aku tatap dia dalam-dalam. Air mata mengalir deras ketika merasa bahwa Mas Prabu sama saja dengan pria yang ada di luar sana.
            “Aku ini wanita! Aku ini gadis yang punya harga diri! Biarpun miskin dan hanya seorang anak nelayan, aku tetap merasa bahwa aku ini gadis yang mulia! Tak ada yang pantas mengambil kesucianku kecuali suamiku kelak!”
            Mas Prabu tertawa keras. “Hanya aku yang bakal jadi calon suamimu! Sebentar lagi kita menikah, tak ada salahnya kita mencoba!”
            “Aku tak mau mencoba-coba. Cinta itu butuh kepastian. Kalau kamu cinta, tunggulah hingga kita menikah!”
            Lagi-lagi Mas Prabu tertawa. “Kau tak tahu tentang cinta! Tak ada yang tidak seperti kita! Semua pasangan pun pernah mencobanya meski mereka belum menikah, dan itulah cinta yang sebenarnya!”
            “Cinta atau nafsu?” tanyaku dengan nada menantang. “Aku tidak mau menjadi pasangan yang kebanyakan, aku mau kita tetap suci.”
            “Jangan sok suci! Kaupun dilahirkan dari seorang ibu yang dahulu pernah merenda dosa!”
            “Dosa ibuku biarlah jadi dosa ibuku, aku tak mau!”
            Mas Prabu mencengkeram kedua pipiku dengan erat, tak peduli padaku yang langsung meringis kesakitan. Ia menatapku tajam, tapi aku tak takut.
            “Kalau kau tetap membantahku, ku bunuh kau!”
            Aku menatapnya dengan mata nyalang. “Bunuh saja aku! Daripada aku melayanimu dan menjadi seseorang yang terus menanggung malu selama hidupku.”
            Mas Prabu menatap kedua manik mataku. Aku tidak gentar dan tidak takut. Menyadari bahwa aku serius dengan ucapan yang keluar dari bibirku, Mas Prabu melepaskan cengkeramannya kemudian pergi dengan nafas terengah-engah karena menahan emosi.
            Aku bernafas lega.
***
Malam hari tiba. Keluargaku tidur pulas begitu juga denganku. Aku tak bercerita apa-apa tentang perkelahianku dengan Mas Prabu sore tadi kepada keluargaku. Semua menganggap aku baik-baik saja.
            Hingga akhirnya aku terbangun pada tengah malam. Kulihat sebuah bayangan hitam berkelebat di dinding rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Aku merinding. Ku awasi bayangan itu dan kulihat bayangan itu semakin lama semakin mendekat.
            Aku makin ketakutan. Bayangan itu menampakkan diri di pintu kamarku. Aku ingin berteriak, tapi sosok itu langsung berlari ke arahku dan membekap bibirku. Aku berusaha menjerit, tapi cengkeraman sosok itu di bibirku semakin erat. Aku tak sanggup berbuat apa-apa.
            Sosok yang seluruh wajahnya tertutup oleh topeng dan tubuhnya tertutup oleh sarung itu menggendongku, membawaku keluar kamar dan berlari menuju ke suatu tempat. Aku menjerit tapi percuma; tak akan ada yang mendengar.
            Dan ternyata, sosok itu membawaku ke pantai. Dia menurunkan aku di tengah kegelapan. Rembulan memancarkan sinarnya walau mendung membuatnya duka. Tak ada bintang yang bersinar.
            Sosok itu membuka topengnya. Aku terkejut melihat siapa dia; Mas Prabu yang tertawa dengan sisi sinis.
            “Kamu masih mau melawan?”
            Aku tak tahu harus bicara apa. Aku masih terkejut.
            “Di tempat ini, kamu tak akan mampu melawanku! Di tempat ini, serahkan kesucianmu!”
            Aku terkesima dengan ucapan Mas Prabu. Sosok yang selama ini lembut dan penuh cinta rupanya bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat, menjadi keji dan tak punya rasa kasih.
            Aku kembali menangis. “Aku tak akan pernah memberikannya kepadamu! Sejauh apapun kamu memaksaku, aku tak akan pernah memberikannya!” balasku dengan tubuh bergetar.
            “Kamu menghadapi aku sendirian, masih berani menantangku?”
            “Aku tidak menantangmu! Aku hanya mempertahankan diriku! Aku tak mau dan tak akan pernah mau!”
            Mas Prabu menatapku. Dia benar-benar marah sekarang. Dikeluarkannya clurit dari dalam saku yang dia bawa. Aku terkesima.
            “Ku bunuh kau!” katanya kemudian berlari menghampiri aku.
            Aku langsung menyadari apa yang akan dilakukan Mas Prabu padaku. Segera aku berlari menjauh dengan nafas terengah-engah. Mas Prabu terus mengejarku dengan tangan yang mengacungkan cluritnya.
            Aku berlari ketakutan namun Mas Prabu berlari lebih cepat.
            Aku tak memperhatikan sekitar, yang penting aku selamat. Tak aku sadari bahwa aku sudah mencapai tepi laut yang memendam jutaan karang. Aku terus berlari, tak peduli kakiku mulai berdarah dan terasa perih karena menginjak jutaan karang.
            Mas Prabu tetap mengejarku. Ia berlari, berlari, berlari sembari berteriak “KU BUNUH KAU!”
            Tapi aku tidak gentar. Aku tetap berlari. Namun pada akhirnya, kakiku terantuk karang yang cukup besar kemudian terjatuh. Aku menjerit kesakitan melihat darahku yang mengalir dan luka terbuka yang terendam dalam air laut. Aku menangis dan kulihat Mas Prabu mendekat. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak bisa berlari lagi; aku pasrah.
            Mas Prabu menghampiriku. Ia tertawa dengan penuh kemenangan. Cluritnya masih dalam genggaman. “Masih mau melawan?” tantangnya.
            “Aku tidak akan pernah merelakan kesucianku padamu!”
            Mas Prabu menatap keseriusanku. Menyadari bahwa aku tetap kukuh pada pendirianku, ia mengacungkan cluritnya yang tajam. Dalam kejadian yang amat sangat cepat, ia menghunuskan cluritnya ke perutku. Terus dan terus, tak peduli padaku yang menjerit dan menangis. Ia menancapkan cluritnya kepadaku, ke seluruh tubuhku.
            Dan ketika aku lumpuh dan tak sanggup menjerit lagi, ia menancapkan cluritnya dalam-dalam di dadaku, membuat nafasku tak beraturan dan pandanganku kabur. Mas Prabu menatapku dengan penuh kemenangan kemudian pergi meninggalkanku yang masih telentang di tepi laut.
            Takut dia ketahuan membunuhku, Mas Prabu mendorong tubuhku yang melemas ke tengah, membiarkan aku yang pasrah pada laut akhirnya hanyut dalam ombak yang menggulung.
            Dan ketika aku sudah jauh dan terdengar bahwa ada nelayan datang, Mas Prabu meninggalkan aku.
***
Aku masih duduk di atas batu karang. Air mata kembali mengalir. Malam masih mengendap di tempat peraduanku. Aku lihat obor mulai menyala di kejauhan dan bapak-bapak nelayan mulai menyiapkan jaring dan alat mereka untuk menangkap ikan. Beberapa dari mereka mendorong perahu. Salah satu di antaranya adalah ayahku yang masih berwajah sendu karena anak gadisnya sudah tiada dan tidak ditemukan jenazahnya. Yang satu lagi adalah Mas Prabu, yang mendorong perahu sambil tertawa keras-keras bersama temannya.
            Aku menghela nafas panjang. Aku akan menunggunya, hingga akhirnya kami masuk ke alam nirwana bersama-sama.
***
Beberapa bulan kemudian.
            Mas Prabu diam-diam mendorong perahunya ke tepi laut. Dia ingin mencari ikan, mendahului teman-temannya. Aku yang melihat orang itu mulai berlayar dari atas karang mengikutinya.
            Mas Prabu menebarkan jaring ke laut. Dia tak sadar aku ada di sekitarnya. Sesekali ia bersenandung kecil untuk melepaskan sepi.
            “Selamat malam, Prabu,” sapaku.
            Mas Prabu yang membelakangiku langsung merinding. Perlahan-lahan dia memutar tubuh. Dan ketika melihat aku tersenyum, Mas Prabu menatapku dengan tatapan tidak percaya.
            “Lastri? Kamu… kamu Lastri!”
            Aku mengangguk. “Iya, Mas. Dingin, ya di sini?”
            Mas Prabu terkesima. “Kamu sudah mati!” katanya.
            “Memang. Tapi tetap merasa dingin,” kataku sembari mengulurkan tangan. “Mari pulang bersamaku!”
            “Tidak! Tidak! Kamu sudah mati!” katanya sembari menghindari aku yang terus mendekat.
            “Aku hanya  mengajakmu pulang,” balasku.
            “Tidak! Kamu sudah mati!” katanya.
            Tanpa menyadari dirinya masih di laut, Mas Prabu terpeleset dari dalam perahu. Dia berusaha menyelamatkan diri, tapi karena takut ada aku di atas perahu, Mas Prabu memutuskan untuk mencoba bertahan  di dalam laut hingga aku pergi.
            Namun aku memutuskan tidak pergi.

            Dan akhirnya, Mas Prabu kehabisan nafas dan mati.

Sabtu, 28 Desember 2013

Selamat Natal, P.

Malam ini tidak jauh berbeda dengan malam yang biasanya. Sepi. Aku memandangi langit malam yang mendung tertutup awan. Lagu dari Nadia Fatira berjudul Bintang Yang Meredup layak melukiskan perasaanku hari ini. Ya, tak hanya awan yang merasa bahwa dia kehilangan bintangnya, tetapi juga aku yang merasa kehilangan kamu; bintangku.
            Pikiranku pun bernostalgi pada masa lalu. Tentang aku dan kamu; tentang kita berdua yang pernah sangat amat dekat dan menciptakan romansa tanpa sedikitpun keraguan. Tentang kita berdua yang pada awalnya sama-sama saling percaya seperti layaknya kekasih, walau sebenarnya tak ada hubungan apa-apa selain persahabatan. Tentang kita yang selalu saling menguatkan ketika tangis dan jatuh menghampiri. Tentang kita, tentang kita, dan tentang kita; berdua, yang sama-sama pernah melewati hari-hari bersama dengan tawa dan canda.
            Semua nostalgi tentang itu membuat aku tanpa sadar melengkungkan bibir dan tersenyum. Kenangan berdua denganmu memang sangat menyenangkan, walau berakhir menyakitkan.
            Ya, menyakitkan. Sangat amat menyakitkan.
            Senyumku perlahan-lahan memudar ketika teringat penantian dan rinduku yang tak pernah menemui ujung. Setahun sudah aku menunggumu untuk mengungkapkan perasaan yang sama padaku; namun segalanya terasa berbeda.
            Sejauh kita pernah bersama, kaupun tak pernah sedikitpun ada rasa yang sama denganku. Selama kita pernah saling terdiam dan bungkam dalam sebuah tatapan, kau tak pernah memandang sorot mata ini ke bagian yang paling dalam, yang akan menghantarkan kamu pada pengertian bahwa aku serius; aku sayang padamu.
            Segala kenangan tentangmu tak hanya membekas dalam kehidupanku. Segala kenangan bersamamu sudah merasuk dan menjadi bagian dalam jiwaku. Aku tidak menggombal, aku bicara tentang realita bahwa aku memang cinta.
            Sejenak, aku menertawakan diriku sendiri. Puih! Cinta? Tahu apa aku soal cinta? Jelas-jelas cintaku tidak berbalas, buat apa aku masih mengatakan dan merasakannya; terutama masih merasakannya padamu?
            Aku menelan ludah. Siapa yang salah? Apakah aku yang jatuh terlalu dalam? Apakah aku yang terlalu narsis? Apakah aku yang bodoh? Atau mungkin, kau yang brengsek; membiarkan aku terus-menerus terdiam dalam kesakitan dan terjatuh dalam lubang penantian hingga terperosok amat dalam?
            Aku tidak tahu. Yang jelas, kau membuatku berada dalam berbagai rasa. Antara menghidupkan dan menyakitkan, antara menyembuhkan dan melukai, antara menghibur dan menyakiti. Kau memang pejantan tangguh, yang mampu menjeratku layaknya tumbuhan Venus; menjadikan aku mangsa dengan aroma asmaramu, kemudian melahapku habis-habis dan ketika aku benar-benar mencoba dan berusaha untuk masuk menjadi bagian-mu, kau menelanku, membuangku, dan tak lagi menolehkan wajah kepadaku.
            Aku kembali menelan ludah. Dulu di malam penuh kesepian ini, kau selalu hadir menemaniku melalui pesan singkat; menghiburku dan menyatakan bahwa seolah-olah malam tak akan pernah sepi jika aku bersamamu; menyatakan dengan bahasa yang bermakna bahwa aku tercipta untukmu. Kau memang pencuri yang licik dan picik!
            Aku benci padamu! Tidak!
            Aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu dan yang jelas… masih merindukanmu. Sejahat apapun kamu melukai hatiku, selicik apapun kamu memainkan perasaanku, sekuat apapun kamu mendepakku pergi dari kehidupanmu, aku tak bisa melupakanmu dan tak akan pernah bisa.
            Kau kekuatanku, penyemangat belajar sekaligus penyebab rasa malasku, pencipta rindu yang diiringi tangis, perenda senyum dan pencetak tawa yang menghias rona wajahku. Kau segalanya untukku.
            Lagu dari Nadia Fatira berganti oleh lagu dari Maliq berjudul Kau yang Ada di Hatiku.
            Aku terdiam. Kutinggalkan nostalgi yang melayang liar di dalam otakku. Kuterka lirik yang dinyanyikan dalam alunan merdu suara Maliq. Dan ketika menyadari bahwa lagu itu benar-benar melukiskan perasaanku, tangis mengalir deras.
            Aku benar-benar merindukanmu. Aku benar-benar hancur. Tangisku sangat amat deras. Mengertikah kau? Mau-kah kau pahami aku sedikitpun? Tentu tidak. Kau sibuk dengan urusanmu sendiri, hingga akhirnya mengorbankan perasaanku yang berkobar-kobar bak api abadi.
            Yang jelas, aku menulis ini untukmu, sebagai tanda bahwa aku memang merindukanmu. Semoga kau membacanya.
            Aku hanya berharap kau tahu bahwa hingga saat ini, tak ada yang bisa menggerusmu dari dalam batin dan hatiku. Kau masih menjadi bagian-ku. Kau masih menjadi alasan dari air mataku dan kau masih menjadi yang nomor satu di dalam pikiranku.
            Dan sebagai kalimat terakhir tulisan ini, kuucapkan Selamat Natal. Semoga damai besertamu selalu. Maaf tidak mengirimkannya langsung, kini aku berbeda dari yang dulu. Aku sudah berevolusi menjadi seorang pengecut. Sebagai ungkapan yang terakhir, aku sayang padamu. Tidak salah kan bila hingga saat ini hanyalah dan masih tetap kau yang ada di hatiku?

                              

Selasa, 29 Oktober 2013

Dunia Maya

Detik demi detik berlalu, bahkan menitpun juga begitu. Aku mengetuk-ngetukkan jemariku dengan bosan sementara mataku terus memandang ke layar komputer. Akun Facebook-ku dalam keadaan online, namun hatiku tidak senang. Lingkaran kecil bewarna hijau di dekat namamu tak kunjung muncul, tanda bahwa Facebook-mu dalam keadaan off dan keadaan itu menyadarkanku bahwa kau tidak ada di sini bersamaku.
            Mataku beralih pada hujan yang menghasilkan bunyi percik air di kaca jendelaku. Aku benar-benar jenuh menunggumu.. Kuhembuskan nafas kesal, berharap dengan begitu, kau datang kemudian menyapaku melalui fasilitas obrolan di Facebook, sama seperti malam-malam yang lalu.
            Kita memang belum pernah bertemu. Kita memang belum pernah sama-sama mengenal senyum yang nyata milik masing-masing. Tetapi entah melalui angin macam apa rasa ini menelusup, rindu tiba-tiba merasuk dalam hatiku seiring dengan percakapan-percakapan sederhana yang berlanjut sewaktu-waktu.
            Namun hari ini kau tidak ada; tak ada pesan dan tak ada kabar. Walau begitu, aku tetap tak mau mematikan Facebook-ku. Aku hanya takut apabila aku melewatkan kehadiranmu .
            Hingga kemudian aku menoleh dan langsung terkejut ketika melihat lingkaran kecil itu muncul di samping namamu. Sama seperti biasa, jantungku langsung berdegup dan otakku mulai mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.

            Hai.

            Ternyata kau duluan yang memulai. Aku tersenyum lega.
           
Hai juga.

            Mulai kukirim sebuah balasan.

            Gimana kegiatan hari ini?

            Luar biasa menyenangkan J
           
            Aku tersenyum senang diiringi darahku yang berdesir cepat. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini; sebuah percakapan sederhana tetapi menarik dan baru berakhir ketika malam sudah tak berjarak lagi dengan hadirnya pagi.
            Dan dugaanku benar rupanya.
            Kau dan aku saling bertukar cerita. Aku mencoba memikatmu dengan bahasaku, sementara kau sudah berhasil memikatku dengan pesona kata-katamu. Mungkin di dunia nyata, kau memang pria pemikat wanita dengan rona yang luar biasa. Sayangnya, aku tak mampu melihat realita fisikmu. Aku hanya mampu menerkamu dalam angan.
            Jam demi jam yang menyenangkan terus berlanjut. Tanpa bosan kau ceritakan aku tentang kehidupanmu yang rupanya seorang pelukis. Aku terpana; pelukis yang pandai menulis. Hebat.
            Tak pernah ku ragu pada tiap ucapmu. Tak pernah ku anggap bohong tiap ceritamu. Aku yakin padamu dan tak pernah menganggap kau adalah pria jahat dan bejat yang menjerat wanita dengan daya pikat bahasanya.
            Aku percaya padamu. Aku tulus mau mengenal rinci kehidupanmu.
            Tetapi malam makin larut dan ngantuk mulai menyerbu. Aku harus mengakhiri percakapan ini.
           
            Kalau begitu, sudah dulu ya, Galih? Aku sudah ngantuk, tulisku.
           
            Hahaha, sudah ngantuk rupanya gadis ini. Tetapi, Maya, sebelum kamu memejamkan mata dan terlelap bersama mimpi, boleh aku minta satu permohonan?
           
            Aku mengerutkan kening membaca pesan darimu. Permohonan?
           
            Apa?

            Kau membalas cukup lama. Aku tak tahu pesan apa yang akan kau tulis. Namun, jantungku berdegup lebih mantap dan darahku berdesir makin tak menentu. Hingga akhirnya, inilah balasmu:

            Sebelum kau tertidur, bukalah pintu rumahmu. Lihatlah wujud nyata seseorang yang selama ini terasa ambigu.

            Jantungku berdegup makin tak pasti. Apa artinya semua ini?
            Buru-buru aku berlari membuka pintu. Mataku membesar melihat sosokmu dengan sebuah senyum yang rupanya lebih indah dari angan yang pernah kubayangkan. Benarkah itu kamu yang selama ini menyapaku melalui akun?
            Kau mengeluarkan ‘sesuatu’ dari balik punggungmu. ‘Sesuatu’ yang rupanya berupa buket bunga mawar warna putih. Aku terpana.

            “Hai, selamat malam, Maya. Rupanya cinta dapat tumbuh walau tak bertemu, ya?” ujarmu membuatku tersenyum lebar.

Senin, 14 Oktober 2013

Sebatas Pandangan

Aku memandanginya lagi. Tak tahu mengapa, tatapan mataku tak pernah bisa berpaling darinya akhir-akhir ini. Suasana sekolah yang ramainya hampir mirip dengan pasar pun tetap tak mampu membuatku mengalihkan tatap dari seorang gadis yang sedang tertawa terbahak-bahak sambil bercerita bersama teman-teman dekatnya dengan sorot mata ceria, seolah-olah tak menyadari aku yang duduk di sudut sekolah dengan cahaya mata penuh kekosongan.
            Sorot mataku berubah jadi nanar ketika gadis itu akhirnya memutuskan untuk menyudahi keberadaannya di sekolah ini. Ia memilih untuk melangkah lewat di depanku dengan mata yang—entahlah—berusaha untuk tidak menaruh pandangan kepadaku atau memang tidak peduli dengan adanya aku di sekitarnya. Yang jelas, laluan langkahnya yang angkuh dengan bibir bisu yang tak lagi menyapaku dengan nada cerianya seperti dulu menyadarkanku bahwa aku rindu kepadanya.
            Ya. Rindu, amat sangat rindu.
            Dia bukan pacarku dan dia bukan mantan kekasihku. Hal pertama-lah yang membuatku menyesal. Seharusnya, sejak dulu aku mengajaknya jadian. Ya, seharusnya sejak dulu aku mencoba membalas rasanya.
            Gadis itu bukanlah dambaanku, tetapi dulu perhatiannya selalu diberikan kepadaku. Tawanya selalu bisa memamcingku untuk ikut tertawa, sementara berbagai kisah yang mewarnai dunianya selalu mampu membuatku merelakan kedua telinga untuk mendengarkannya.
            Dia juga pernah mengungkapkan rasa sayangnya kepadaku. Tak hanya sekali, tapi hampir jutaan kali. Dia selalu mendoakan aku tiap malam dan menyampaikan rasa galaunya melalui jejaring sosial serta rasa rindunya melalui SMS yang selalu dikirimkan kepadaku setiap hari. Tetapi aku selalu menolaknya, mengabaikannya, dan menganggap bahwa rasa sayang dan rindunya hanya sebagai angin lalu.
            Dan itu terjadi dulu. Dulu, dulu sekali.
            Sementara kini? Kini semua telah berbeda. Semua rasa rindu dan sayangnya bagaikan berbalik kepadaku. Mungkin aku kena karma, tapi aku tak percaya pada karma. Sekarang, aku selalu merindukannya dan mungkin… mulai menyayangi dia.
***
Cahaya langit senja yang bewarna oranye menembus kaca kelasku. Aku masih berada di dalam kelas, sendirian dan berkutat dengan tugasku yang belum selesai.
            “Cela udah pulang, ya?”
            Aku menoleh. Gadis itu berada di sana. Gadis yang selama ini aku nanti sapaannya, sedang berada di depan pintu dengan tatapan mencari-cari. Mataku membesar, kaget dengan kehadirannya sama seperti matanya yang menyorotkan keterpanaan ketika mengetahui bahwa aku-lah yang berada di dalam kelas.
            Tatapan gadis itu meluruh. “Cela udah pulang, ya?” ulangnya sekali lagi.
            Aku perlahan-lahan mengangguk. “Udah,” jawabku seadanya membuat gadis itu balas mengangguk. Kemudian, “Oh,” balasnya singkat.
            Tetapi dia tak kunjung pergi. Dan aku memang tak ingin dia pergi.
            “Kalau begitu, makasih, ya? Aku pulang duluan.”
            Bibirku membisu, aku mengumpat di dalam hati. Hanya anggukan yang jadi jawaban atas ucapannya. Dan setelah anggukan singkat itu, dia mulai melangkah pergi.
            Tetapi tiba-tiba dia berbalik lagi, aku sadar, aku baru saja memanggilnya tanpa berpikir apa yang akan aku katakan kepadanya.
            “Apa?” tanyanya dengan alis terangkat.
            “Emm,” aku mulai gugup. “Emmm, kamu pulang bareng siapa?”
            Gadis itu tampak berpikir. “Harusnya sih sama Cela, tapi ternyata dia udah pulang. Yah, terpaksa nunggu jemputan deh.”
            “Pulang bareng aku aja, mau nggak?” responku cepat, membuat gadis itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
            “Emm, nggak usah, aku pulang sendiri aja,” jawabnya kemudian berbalik lagi. “Aku pulang duluan yah, daaa!” pamitnya tanpa menoleh lagi padaku.
            “Kamu berubah,” kataku tiba-tiba, membuatnya menghentikan langkah dan menoleh ke arahku lagi. Aku menelan ludah, gugup ketika melihat matanya mengirimkan tatapan dalam kepadaku. Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekatinya.
“Katanya kamu nggak akan ninggalin aku, katanya kamu bakal terus nungguin aku, katanya kamu nggak akan diam sama aku. Tapi lihat buktinya sekarang, apa kamu begitu?”
Gadis itu mulanya terdiam dengan kepala tertunduk, tetapi setelah beberapa detik dia menatapku. “Buat apa aku nungguin kalau nggak akan pernah mendapat kepastian? Buat apa aku memperjuangkan kalau aku akan terus mendapat pengabaian? Buat apa aku terus bicara sayang sama kamu tetapi akhirnya aku dijatuhkan? Aku nggak mau hatiku tersakiti dan inilah waktu yang tepat untuk berhenti menanti,” jawabnya dengan nada dalam, membuat hatiku seketika terasa dihunus pisau tajam. Aku sadar, dia memang pernah sangat menyayangi aku.
Kutatap matanya lebih dalam, tetapi dia tak gentar. Ia tetap menatapku. “Aku mulai sayang sama kamu, aku mulai rindu sama kamu, hatimu masih terbuka buat aku?”
Gadis itu terdiam, untuk beberapa detik kami terdiam. Gadis itu sibuk dengan keputusannya, sementara aku sibuk membiarkannya memikirkan jawaban.
“Terlambat,” katanya tiba-tiba membuatku menatapnya. Gadis itu malah tersenyum. “Aku udah nggak bisa.”
Aku menelan ludah. “Kenapa?”
“Semuanya udah beda, semuanya udah nggak sama. Rasaku juga sudah beda, aku memang belum bisa lupa, tapi aku memutuskan untuk berhenti. Ini bukan balas dendam, tapi aku tahu keputusanku nggak salah.”
“Maksud kamu?”
“Aku nggak bisa nerima kamu, aku udah…”
“Kania!”
Aku dan Kania menoleh. Seorang cowok berpostur tinggi dan berkacamata berdiri di belakang kami.
Kania tersenyum padaku. “Aku udah menemukan yang baru. Dan aku sudah bahagia,” jawabnya kemudian menyambut pria yang tadi memanggil namanya. “Aku pulang dulu, ya? Daaah!”
Aku tahu apa maksudnya. Aku tahu bagaimana perasaannya padaku sekarang. Aku sadar, aku memang terlambat. Dan kini, aku hanya mampu melempar sebatas pandangan pada Kania dan kekasihnya yang merangkul bahu gadis itu dengan kasih sayang.


Minggu, 08 September 2013

Cinta Versi Kita

Ini bukanlah kisah cinta ala Romeo dan Juliet. Ini juga bukanlah kisah cinta yang terjalin karena pertemuan disebuah pesta dansa. Dan ini bukan kisah cinta yang terjadi karena kejadian-kejadian istimewa sama seperti yang terjadi dalam film-film drama.
            Tetapi ini hanyalah kisah cinta biasa, yang terasa luar biasa. Sebuah kisah cinta sederhana ala aku dan kekasihku, Raga.
            Malam minggu datang lagi. Setelah mengalami berbagai perdebatan tentang kemana kami akan pergi untuk melewati malam spesial bagi kami berdua ini, aku dan Raga memutuskan untuk singgah di sebuah hik dekat Taman Budaya Surakarta, hik Budi Anduk.
            Sama seperti biasa, warung lesehan itu terlihat ramai oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang beristirahat dari kelelahan mereka hari ini. Tawa mereka bercampur dengan tawa kami, tawa gembira antara aku dan Raga yang sedang berbagi cerita berdua. Sambil menikmati es tape dan berbagai macam sate serta gorengan, kami sama-sama bersahut canda, sesekali saling menggoda, sewaktu-waktu saling bertengkar kecil karena hal sepele.
            Tiga hal pokok yang selalu kami lakukan. Biasa, tapi terasa luar biasa.
            Aku akhirnya terdiam, membiarkan Raga sejenak menikmati sate ayamnya. Bibir cowok itu dipenuhi kecap, membuat aku tertawa kecil sehingga Raga menoleh dengan kening berkerut dan bertanya, “Kamu kenapa?”
            Aku mengulum senyum. “Nggak apa-apa,” jawabku kemudian tertawa lagi sambil melirik bibir Raga.
            Raga yang menyadari lirikanku pun menyentuh bibirnya dan menyadari kalau kecap belepotan di sekitar bibirnya. “Sial,” ucapnya kemudian menorehkan kecap di jarinya ke wajahku.
            Aku langsung pura-pura judes. “Apaan sih? Norak!”
            Raga tertawa, kemudian menikmati kembali sate ayamnya sambil sesekali meneguk es tape.
            Aku memandanginya lagi. Senyum mengembang dibibirku, ada rasa sayang yang luar biasa di dalam sudut penggalih rena. Aku sangat menyayangi Raga. Cowok itu selalu mengerti aku, selalu bisa membuatku tertawa, selalu bisa membuatku tersenyum. Sudah dua tahun kami menjalani hubungan ini, tak pernah ada kata putus. Hingga akhirnya aku sadar, Raga tak pernah main-main padaku. Raga juga menyayangi aku.
            Namun, senyum di bibirku seketika pudar ketika aku menyadari sesuatu. Kami bukanlah pasangan terkenal di sekolah. Tak ada yang tahu kalau kami berpacaran. Aku menghembuskan nafas kecewa, mengetahui bahwa kami bukanlah pasangan gaul yang bisa menciptakan romansa di sekolah kami. Kami pasangan yang tersembunyi di seantero sekolah. Kami adalah pasangan yang tak kasat mata di antara teman-teman kami.
            Sebagai remaja, aku juga ingin orang lain bilang kalau aku dan Raga adalah sepasang manusia yang romantis. Sebagai cewek, aku juga ingin orang lain bilang kalau mereka suka gaya berpacaran kami. Tetapi, Raga tak pernah secara terang-terangan mengumbar hubungan kami di depan orang banyak, Raga hanya mengatakan status kami kepada teman-temannya. Tak tahulah aku bagaimana kisah yang ia ceritakan kepada mereka.
            Aku meremas-remas tanganku. Jari-jariku saling berpeluk tak nyaman. Aku resah. Apa jangan-jangan, Raga malu punya pacar seperti aku? Apa jangan-jangan, Raga sebenarnya tak ingin punya pacar yang tak cantik? Aku memang tidak cantik. Aku memang tidak sempurna. Apa jangan-jangan Raga hanya bermain menggunakan perasaanku?
            Aku tidak tahu.
            Hingga pada akhirnya, Raga menyadari kebisuanku. Ia menatapku dengan cemas.
            “Kamu kenapa?” tanyanya singkat.
            Aku langsung menoleh dan menatapnya. “Hm? Enggak, aku nggak kenapa-kenapa, kok.”
            Raga mengibaskan tangan. “Halah, nggak usah bohong. Kita udah dua tahun pacaran, aku udah kenal gimana kamu yang enggak kenapa-kenapa, gimana kamu yang lagi sedih. Jujur aja deh.”
            Aku menatap Raga dengan ragu-ragu, kemudian menggigit bibir bawahku. Aku gugup mau berbagi cerita. Ini baru yang pertama kali.
            “Sebenernya aku…”
            Raga tak melepaskan pandangannya daripadaku.
            “Sebenernya aku kecewa sama sikap kamu.”
            Sejenak, Raga langsung mengerutkan kening. “Kecewa gimana? Kenapa?”
            Aku menelan ludah. “Aku nggak yakin kalau kamu beneran sayang sama aku.”
            “Why?”
            Aku mengangkat bahu lemas. “I don’t know. Kamu nggak pernah ngajak aku terang-terangan pacaran di sekolah, kamu nggak nyantumin nama aku di bio twitter-mu, kamu juga nggak ngajak aku buat merubah status hubungan kita di facebook. Nggak ada yang tahu kalau kita berdua pacaran.”
            Raga terdiam, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat alis. Kenapa harus tertawa? Untuk yang pertama kali, aku merasa Raga tidak bisa memahami aku.
            “Jadi kamu ngerasa kecewa karena empat hal itu?” Raga kembali tertawa. “Lita, Lita. Kamu lucu.”
            “Aku nggak lagi bercanda, Ga.
            Raga terdiam. Bisu. Ia menatapku dengan keseriusan, kemudian ia menyadari kalau aku memang sedang tidak bercanda. Sama seperti biasa, tatapan matanya berubah jadi bijaksana. Ia menghembuskan nafas.
            “Aku sayang kamu apa adanya.”
            “Bukan masalah itu, aku cuma pengen…”
            “Jadi pasangan terkenal di sekolah? Jadi pasangan yang dibilang romantis?”
            Aku diam. Raga menepuk-nepuk ujung kepalaku dengan lembut.
            “Kamu percaya nggak sama aku?”
            Aku hanya bisa diam.
            “Rasa sayang yang tulus nggak didasari sebetapa sering kamu nulis nama pacar kamu di bio twitter, nulis status kalau kamu sayang banget sama pacar kamu di facebook, dan foto sebanyak-banyaknya sama pacar kamu kemudian di share di media sosial. Tetapi, rasa sayang yang tulus ditunjukkan dari betapa besar kamu percaya sama pacar kamu, dan betapa kuat perjuangan kamu untuk mempertahankan dia.”
            Aku menatap Raga. Menatap matanya, menatap maniknya yang bewarna hitam.
            Raga tersenyum. “Aku lebih nyaman nulis nama kamu di hatiku, daripada nulis nama kamu di bio twitter. Percaya itu, Lita.”
            Aku menelan ludah. Belum pernah Raga berbicara dengan nada sedalam dan seserius ini.
            “Biarkan kisah kita jadi kisah kita, biarkan ini mengalir, hingga akhirnya kala kita berdua sama-sama dewasa, kita bikin mereka terkejut dengan romansa tentang aku dan kamu.”
            Raga melebarkan senyumannya.
            “Biarkan ini jadi…”
            Aku meletakkan telunjukku di bibirnya, kemudian tersenyum, “Cinta versi kita,” sahutku lembut.
            Raga tertawa. “Cinta versi kita, biarkan jadi milik kita. Jadi rahasia kita, jadi surprise buat mereka. Aku sayang sama kamu.”

            Senyumku semakin lebar.          

Rabu, 04 September 2013

Untuk Ranu.

Aku memandanginya lagi. Sama seperti biasanya, mataku tak pernah bisa berpaling ketika wajahnya tampak. Aku berada di bangkuku, sedang duduk diam, tak berkutik, tak mendengarkan penjelasan guru, dan membisu dalam sebuah tatapan kepada bentuk bibirnya, lekuk wajahnya, tajam sorot matanya—yang memperhatikan guru—beserta seluruh keindahan yang bertengger dalam citranya.
            Namanya Ranu. Sudah sekian bulan ia berhasil menyita segala perhatian sekaligus konsentrasi dalam diriku terhadap pelajaran. Teman sekelasku itu berhasil meraih seluruh fokus menjadi khayal yang menari dalam lamunan. Segala imajinasi tentangnya mengalir dan berbisik dalam benakku, membuatku kadang jadi merinding sendiri ketika membayangkan khayalan gila soal keberadaannya di sampingku.
            Aku menghembuskan nafas panjang sambil menggigit bibir. Pandanganku masih tak beralih dari Ranu yang tetap tak menyadari bahwa ada satu tatapan yang setia mengawasinya setiap hari. Cowok itu memang sangat cuek, sampai-sampai membuatku bertanya-tanya; apakah sikap yang dia miliki adalah sikap dasar, atau memang sudah menyadari tapi pura-pura tak peduli?
            Kembali aku menghembuskan nafas panjang. Belum pernah aku frustasi karena jatuh cinta begini. Memang benar kata Titiek Puspa, jatuh cinta memang sejuta rasanya. Jatuh cinta memang bisa membuat segala rasa yang terdiri dari berbagai variasi bergabung menjadi satu; antara rasa malas, sangat bersemangat, takut, malu, hingga… sakit hati karena yang dicintai tak kunjung memberi dan membalas kode yang sudah dikirim berjuta kali.
            Ranu mulai mencatat pelajaran Biologi yang ditulis di papan tulis dalam buku catatannya. Sementara aku mulai menulis segala puisi dan pujian kepadanya, dalam buku catatan Biologiku pada halaman paling belakang.
            Sesekali aku senyum-senyum sendiri, melukiskan rasa dan bayangan tentang orang yang kita cintai memang sangat menyenangkan.
            Aku mulai menulis sebuah puisi.
            Untuk Ranu,
            Meraihmu melalui khayal
            Memelukmu melalui doa
            Mendambamu melalui mata yang terpejam
            Jatuh cinta.

            Mata dan mata bertemu
            Diam jadi kata
            Kata jadi tawa
            Tawa jadi canda
            Canda (semoga) jadi cinta
           
            Siang merambat cepat
            Mentarinya pancarkan panas pada tubuh
            Bagai rasa yang juga tak kunjung sembuh   
            Pabila kau tak pernah menyadari adanya cinta

            Menelusup dihati
            Menembus bayang dan imaji
            Meraih konsentrasi
            Semoga kau lekas mengetahui
            Segala rasa cinta yang membuncah dalam hati ini

            Aku kembali membaca puisi buatanku, kemudian menggeleng-geleng kagum. Tak kusangka, kedua tangan di tubuh ini mampu menghasilkan kata berdiksi indah dalam secarik kertas pada halaman paling belakang di buku Biologi. Jatuh cinta memang hebat, sekalipun bukan penyair, ia mampu membuatmu melukiskan segala rasa dengan sejuta kalimat indah yang kau ungkapkan pada kertas, bahkan bisa lebih hebat dari penulis puisi terkenal.
            Aku tersenyum terkagum-kagum, sampai-sampai tak menyadari kalau Ranu sedang berbalik kemudian menatapku.
            “Aku belum punya catatan Biologi yang minggu lalu, nih. Kamu punya, nggak?” tanyanya sambil tersenyum.
            Aku terhipnotis. Senyumnya mampu membuat jantungku merasa luluh. Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Punya,” jawabku seadanya.
            “Aku pinjem ya?” pintanya.
            Segera saja kuberikan buku Biologiku kepada Ranu yang langsung menerimanya dengan senang hati sambil mengucapkan, “Makasih, ya?”
            Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
            Sudah selesai dengan tugas masing-masing, seluruh murid langsung berhamburan keluar kelas.
            Aku menatap Ranu yang menjauh bersama teman-temannya. Seperti biasa, ia pasti langsung pulang.
            Aku menghembuskan nafas. Sial, gara-gara harus piket kebersihan, aku tak bisa menatapnya diam-diam saat Ranu keluar dari parkiran sekolah sambil menaiki motornya. Aku menghembuskan nafas kesal.
            Tetapi sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal dalam benakku. Sesuatu yang aneh, sekaligus bodoh dan konyol.
***
Malam akhirnya tiba. Aku tak sanggup mengarahkan pikiranku pada buku-buku pelajaran di hadapanku. Sejak pulang sekolah tadi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku merasa ada sebuah hal bodoh yang aku lakukan siang hari tadi. Tetapi ketika aku berusaha merapalkannya, otak tak mau meraih memori tentang apa yang aku lakukan pada siang tadi.
            Sial.
            Hingga akhirnya, malam semakin larut dan aku beranjak tidur. Tidur yang sama sekali tak nyenyak, karena makin dalam aku memejamkan mata, makin dalam dan menyayat rasa gusar dalam hati ini.
***
Dan esok pun tiba lagi.
            Dengan semangat seperti biasa, aku berjalan menuju kelasku; bukan dengan semangat karena siap untuk menerima pelajaran dari para guru pada hari ini, tetapi bersemangat karena hanya di tempat ini aku bisa bertemu dengan Ranu, sang dewa penyemangat.
            Aku masuk ke dalam kelas. Namun merasa aneh juga ketika kulihat Ranu yang ternyata sudah duduk di bangkunya sedang membaca buku catatan Biologiku sambil tersenyum. Aku menyambutnya dengan pertanyaan menginterogasi dan alis terangkat.
            “Ada yang lucu ya sama buku Biologiku?”
            Ranu langsung menoleh dan menatapku. Entah hanya perasaanku saja, atau memang fakta, wajah pria itu langsung merona merah.
            “Kenapa?”
            Ia menutup buku Biologiku kemudian mengulum senyum sambil menyodorkan buku itu kepadaku.
            “Ini buku catatan Biologi apa buku kumpulan puisi cinta, sih?”
            Sejenak aku terdiam, mencoba menerka-nerka arti pertanyaan Ranu dengan seksama. Keningku berkerut, mencoba untuk mengerti sebuah makna. Hingga akhirnya, aku sadar dan mengerti pertanyaan Ranu dan langsung menatapnya dengan mata yang seketika membesar dan membulat.
            “Kamu…”
            “Aku udah baca semuanya,” sahutnya sambil tersenyum.
            Aku terdiam, bisu, bungkam. Jantungku berdegup sangat amat cepat, hingga akhirnya Ranu berkata, “Makasih ya?”
            Aku memberanikan diri untuk menatapnya matanya, kemudian mengangguk.
            Kami terdiam.
            Sedetik…
            Dua detik…
            Tiga detik…
            “Terus, komentar kamu gimana?” tanyaku memecahkan sepi. Lontaran pertanyaan yang sebenarnya cukup berani, sih.
            Ranu tersenyum.
            “Kita temenan aja, ya?”           
            Aku menatapnya, kecewa.
            Ia menelan ludah. “Aku belum ada rasa yang sama, aku belum punya rasa yang kamu punya buat aku. Jadi, aku belum siap. Kita temenan aja, ya?”
            Aku terdiam. Bisu. Tak menyangka, setelah sekian lama aku jatuh cinta, begini ujungnya. Pangkal kebahagiaan, ujung kesakitan.
            “Tapi aku janji, kalau kamu bisa buktikan rasamu itu, dengan berbagai cara, aku akan mempersiapkan diri.”
            Aku menatapnya, heran.
            Ranu tersenyum. “Karena cinta sejati, bukanlah sekedar rasa biasa. Karena cinta sejati, tak akan pernah datang tanpa kesiapan. Dan karena cinta sejati, nggak akan pernah terlambat, sebetapa lama kamu menantinya.”

            Aku tersentuh. Ucapan bijaksana dari bibir Ranu membuat bibirku melengkung merenda sebuah senyum tulus pemancar rasa cinta.

Selasa, 03 September 2013

Cinta yang Berjarak

Aku memandang wajah manis Pamor melalui foto yang berbingkai di atas meja belajarku. Sebuah senyum melengkungkan bibirku. Aku memutuskan untuk memejamkan mata, hati mulai bertugas tuk meraba-raba. Ada sebuah rasa yang gila dan menggelitik di dalam dada, orang banyak menyebutnya cinta.
            Lagu yang dilantunkan oleh Mandy Moore berjudul The Way To My Heart mengalun pelan dari mp3 kecil di sampingku. Malam yang dingin membuat aku menyadari bahwa aku sedang merindu, rindu pada seseorang yang berada di jauh sana, di Surabaya.
            Sudah dua tahun aku dan Pamor menjalin hubungan jarak jauh. Susah menjalaninya, butuh komunikasi yang baik agar hubungan tetap berjalan lancar. Apalagi kalau sudah kangen begini, susah untuk mengatasinya. Segala perasaan tidak akan selamanya terasa lega bila tidak diselesaikan dengan tatap muka, begitulah aku.
            Biasanya, jika rindu sedang menelusup dalam ruang hatiku dan membuat pikiranku bernostalgi tentang kenangan kami selama masih tinggal dalam hubungan yang tak berjarak seperti ini, aku langsung menghubunginya; menelfon untuk melepas rindu atau sekedar mengirim pesan singkat untuk melegakan hati yang bertanya-tanya tentang keadaannya.
            Tapi tidak untuk malam ini.
            Pamor bagaikan menghilang ditelan bumi. Gadis itu tidak mengangkat telefon atau sekedar mengirim sms. Aku menghembuskan nafas. Pikiranku jadi melayang-layang tak menentu. PR yang sejak tadi berada di hadapanku sama sekali tidak tersentuh. Aku hanya diam sambil memandangi bintang-bintang yang menghias langit malam itu.
            Hubungan jarak jauh. Hmm, aku berpikir lagi. Tak semua pasangan bisa menjalani hubungan rumit ini. Berarti aku termasuk golongan orang hebat? Ya. Aku memberikan apresiasi yang besar pada mereka, pasangan-pasangan yang mampu menjalani hubungan jarak jauh dengan penuh kesabaran.
            Rindu untuk saling bertatap muka seringkali menghantui pada malam hari, terutama pada malam yang terasa sepi dan dingin begini. Tetapi apa yang bisa dilakukan? Hanya menatap bingkai foto saja sudah cukup.
            Kenangan-kenangan selama masih sangat dekat pun juga sering melayang dalam benak dan pikiran. Sialnya, hati ikut-ikutan memanas-manasi dan bilang bahwa kamu harus menghubungi dia, siapa tau dia lagi cari gebetan lain…
            Aku tertawa membayangkan pikiran itu. Hubungan jarak jauh lucu juga, ya? Dijalani tanpa tatap muka, dijalani hanya dengan sebatas pesan singkat dan telefon, dijalani hanya dengan rindu yang terukir dalam hati tanpa setiap waktu bisa disampaikan pada empunya pemilik hati.
            Asa merengut nyawa, mimpi merengut imaji. Ketika bayang mendambakannya, aku tau aku sedang merindu. Hubungan jarak jauh membuat kita bisa merasa kangen pada seseorang tiap detik. Karena rasa kangen bisa menelusup sewaktu-waktu, meski tanpa perantara.
            Mataku melirik lagi ke arah handphone yang masih sepi. Handphone itu sama sekali tak bergeming dari diamnya. Aku kembali menghembuskan nafas panjang. Beginilah sulitnya menjalani hubungan jarak jauh. Hati selalu dipenuhi rasa kecewa, kecewa, dan kecewa apabila sang pemilik hati tak memberi kabar, tetapi sedetik kemudian merasa sangat amat lega ketika dia akhirnya memberi tahu keadaanya meski hanya melalui pesan singkat, meski rasa lega itu hanya terjadi beberapa saat karena rindu tak mau pergi dan selalu menelusup dalam dasar hati disertai pikiran tentang raga sang kekasih.
            Jantungku berdegup; teringat pertama kali aku terpesona pada Pamor. Teringat pertama kali aku mulai menyukai senyumnya, terpana pada tatapan matanya, terpaku saat mendengar ucap dari bibirnya, hingga akhirnya aku tahu, aku sadar, dan aku merasa; aku jatuh cinta.
            Dan akhirnya kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.
            Pengalaman jatuh cinta yang selalu membuatku melengkungkan bibir kemudian tersenyum, atau bahkan tertawa kecil jika mengingatnya.
            Malam makin larut. Handphone masih belum berdering. Rindu semakin menjadi-jadi. Aku kesal. Kemana dia? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa dia tak memberi kabar? Apa dia tidak rindu kepadaku? Apa dia…. Sejuta pertanyaan tentang apa, mengapa, dimana, sedang apa, dan lain-lain melayang dalam pikiranku: membuatku berpikir lebih sulit dan menerka sesuatu yang tak pasti; sesuatu yang lebih rumit dibanding Matematika.
            Hingga akhirnya, aku meraih handphone-ku. Siap-siap marah karena Pamor tak kunjung memberi kabar, dan kemudian mematikan handphone itu sampai esok pagi dan membaca sms minta maaf dari Pamor karena tak memberi kabar. Tetapi niat itu batal ketika handphone akhirnya berdering juga.
            Aku mengangkat telefon dari Pamor, siap-siap marah.
            “Menunggu kerinduan, mendamba kesabaran. Apa malam ini kamu menanti kabarku, Sayang?” Pamor tertawa.
            Sial. Dia berusaha mengujiku. Aku langsung bersungut-sungut kesal.
            “Iyalah, kamu kemana aja sih?”
            “Hehe, di rumah aja. Tapi sengaja nggak telfon biar aku tau respon kamu. Marah, ya?” godanya.
            Aku uring-uringan dalam hati, tapi lega juga ketika suaranya terdengar dalam telinga.
            “Iyalah, marah.”
            Aku mendengar Pamor tertawa kecil.
            “Sayang, jangan marah-marah lagi, ya? Aku tau kamu kangen, aku juga kok. Tapi sekarang, aku disini, melalui saluran telefon, aku membalas dan menjawab segala tanya yang melayang dalam pikiran kamu. Aku menjelma jadi jawaban, atas pertanyaan gimana kabarku. Aku selalu baik-baik aja, meski jauh dari kamu. Rindumu dan rinduku yang menyatu adalah kekuatan yang tak akan pernah membuat aku goyah.”

            Aku terdiam membiarkan Pamor bercerita dengan kalimat indahnya. Hingga akhirnya dia berhenti, dan aku berkata, “Aku kangen sama kamu.”

Senin, 02 September 2013

Kereta Yang Membawaku Pulang Malam Ini

Oleh: Aj. Susmana
ereta ekonomi membawaku pulang malam ini. Sudah empat jam yang lalu meninggalkan Jakarta dan tinggal dalam hitungan menit memasuki Cirebon.
Ibu di kampung sebenarnya tak memintaku pulang. Hanya aku, perasaanku, yang menginginkan aku pulang meninggalkan kesumpekan Jakarta. Aku sendiri merasa Ibu tak pernah kangen padaku. Dia tak pernah meneleponku atau sekedar titip salam atau tanya kabar melalui SMS. Ibu memang pernah bilang secara tak sengaja kepadaku ketika aku pulang enam bulan yang lalu.
            “Anak lelaki-ku tak pernah bikin aku kangen. Kubiarkan dia pergi kemana dia suka dan aku tak pernah bertanya. Kalau dia pulang juga tak pernah bawa uang atau sekedar oleh-oleh untuk ibunya.” Kata-kata itu memang disampaikan kepada tetangga yang kebetulan main ke rumah. Dan aku hanya tersenyum sambil terus membaca “Simfoni Pastoral” karya Andre Gide. Namun yang kusuka dari Ibu dan betapa jelas ia menunjukkan kasih-sayangnya kepadaku, ia selalu memberikan hidangan yang terbaik buatku bila aku tiba dan tinggal di rumah yang sering tak lebih dari tiga hari. Perlakuan yang istimewa ibuku itu sering membikin cemburu saudara-saudaraku. Tetanggaku yang tak pernah mengerti apa pekerjaanku sebenarnya biasanya hanya bisa menjawab: “Nanti, Bu. Nanti. Sabar. Kalau sudah dapat pekerjaan, pastilah dia juga membalas.”
            Enam bulan yang lalu itu juga aku pamit ke Aceh. Ada kelompok mahasiswa yang mengundangku kesana untuk diskusi Kebudayaan. Aku bilang juga mungkin enam bulan aku akan ada di Aceh. Ibuku tersenyum dan bertanya: “Enam bulan di Aceh? Kebudayaan? Apakah itu juga tak menghasilkan uang?”
            “Tidak. Mereka yang mengundangku juga tak punya uang. Hanya cukup untuk biaya ongkos bolak-balik Jakarta-Aceh,” jawabku.
            “Terus bagaimana kamu makan di sana?”
            “Ah… Ibu seperti tak mengerti saja?” balik aku bertanya.
            “Jangan bilang: burung-burung di udara tak menanam tapi makan ya?”
            Aku tersenyum mendengar canda ibuku. Di desaku burung-burung, terutama burung pipit adalah burung yang paling dibenci walau untuk itu tak perlu ada pembantaian. Bila padi-padi telah mulai menguning, kami sekeluarga dan juga orang-orang desa lainnya terpaksa harus berteriak keras-keras mengusir kawanan pipit itu sampai suara serak sambil menarik-narik dan menggoyang-goyangkan memedi sawah yang sudah dikalungi kaleng-kaleng bekas. Begitulah dulu masa kanak-kanakku sampai sekolah menengah pertama.
“Ibu tak perlu khawatir. Aku bisa makan di mana saja walau tak punya uang. Mereka akan menanggungku. Nanti kalau aku pulang kubawakan Ibu selendang Aceh.”
            “Huu, kamu ini. Tak usah. Mending kamu bawa calon istri saja. Ibu ingin melihat kamu menikah.”
            Menikah. Menikah. Itulah yang selalu ditagih ibuku. Tak hanya enam bulan yang lalu. Tapi juga sebelumnya dan sebelumnya setiap kali aku pulang ke rumah. Walau untuk ini, Ibu tak begitu menuntut amat. Ibu hanya bertanya dan mengingatkan saja bahwa dalam hidup bermasyarakat ini salah satunya adalah menikah. Barangkali jalan pikiran ibuku kira-kira begini: menikah adalah jalan menjadi orang desa yang dewasa. Semacam inisiasi. Aku sendiri merasakan bila pulang ke desa. Tak pernah aku mendapat kewajiban untuk menyumbang pesta pernikahan misalnya sementara adikku yang lebih muda justru berkewajiban menyumbang. Soalnya hanya satu: aku belum menikah dan karenanya masih menjadi tanggungan orang tua. Lagi, bila aku menikah pasti aku segera mencari pekerjaan yang mapan untuk menghidupi isteri dan anak-anak yang dilahirkan.
            “Ingat. Umurmu sudah kepala tiga. Semua pemuda seangkatanmu pun sudah menikah. Tinggal kamu yang belum. Apa kamu tidak malu?”
            “Jangan-jangan ibu sendiri yang malu?”
            “Kamu ini bisanya hanya balik bertanya? Apa itu pelajaran filsafat?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan kritis tak terduga dari ibuku.
            “Jangan bilang kamu: kalau aku pernah mengijinkan dalam hidupmu untuk tidak menikah.”
            Aku pun tertawa ngakak mendengar jawaban Ibuku yang sudah memagari jawabanku begitu rupa.
            “Tidak. Memang belum ada, Ibu. Bukankah aku harus mendapatkan calon istri yang baik, berani dan pintar sehingga tidak membuat malu Ibu?”
            “Alasan saja kamu. Semua kawan kuliahmu yang mampir ke sini semuanya baik di mata ibumu yang bodoh ini. Dimana mereka?”
            “Mereka punya pilihan hidup sendiri,” jawabku cepat. Ibuku pun tak segera melanjutkan bertanya dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sambilannya: membikin roti bila ada pesanan. Biasanya aku hanya membantu mengocok telurnya sampai lembut sebelum dijadikan adonan. Tapi hari ini tidak karena aku sendiri sedang bersiap balik ke Jakarta. Pertanyaan ibuku yang terakhir mengingatkanku pada Wani, satu-satunya kawan perempuan di kampus yang pernah mampir ke rumahku dan aku tak suka membahasnya.Bukan benci tetapi merasa kosong bila mendengar namanya. Seperti kembali ke titik nol dan belajar kembali berkenalan dan mulai menjalani proses mengenal. Jadinya, mengecewakan dan melelahkan. Aku tak mau Ibu tahu sebabnya.
            Ketika aku sudah siap berangkat, aku pamit. “Bu, berangkat sekarang aku. Ke Jakarta.”
            “Ada ongkos?”
            “Ada.”
            “Kapan pulang?”
            “Ya… sekitar enam bulan mungkin. Kalau jadi ke Aceh. Sekalian kubawakan menantu.” Ia tersenyum dan tampak semakin tua dengan rambut panjangnya yang memutih. Aku bersalaman. Lalu pergi.
            Kereta ekonomi yang membawaku malam ini sudah meninggalkan Cirebon tiga jam yang lalu. Seorang perempuan tampak lebih muda dariku, cantik, duduk di sampingku. Mungkin dia naik dari Cirebon dan mendapatkan tempat duduk kosong disampingku dan aku baru menyadarinya sekarang karena sedari tadi mataku lebih banyak terpejam wakau tak dapat tidur. Kereta memang tak berjubel malam ini. Aku iseng bertanya, “Naik dari mana?”
            “Cikampek,” jawabnya pelan. Ya ampun aku tak menyadarinya.
            “Ke Yogya juga?”
            “Iya. Mas, sendiri?”
            “Sama. Kuliah?”
            “Tak lagi. Sedang melamar kerja.”
            “Mending kalau aku jadi perempuan menunggu dilamar saja, kan lebih enak?” Aku menggoda. Dan ia tak menyahut.
            Aku menyesal jadinya. Kenapa yang keluar pertanyaan bodoh yang merendahkan derajat perempuan itu? Beberapa menit kami terdiam. Aku jadi tersiksa menghadapi situasi ini. Bukankah lebih baik jika aku tadi bertanya mengapa melamar kerja di Jakarta. Bukankah Yogya kota yang nyaman untuk bekerja sekaligus bisa melanjutkan kuliah? Lagi, bukankah pertanyaan mengapa membuat orang harus menjawab dengan uraian sehingga ia banyak mengeluarkan kata-kata dan terus menjadi perdebatan. Tidak berhenti senyap seperti ini.
            “Kenapa memilih naik kereta ekonomi? Bukankah tak aman?” Aku beranikan lagi memulai daripada diam membeku sampai Yogyakarta.
            “Kamu sendiri kenapa?” Ai ya, ia justru balik bertanya. Aku jawab sekenanya.
            “Hari seperti ib\ni biasanya sepi. Daripada naik bisnis lebih baik naik ekonomi, toh pelayanan bisnis sekarang hampir tak jauh beda dari kereta ekonomi?”
            “Iya. Sama. Barangkali yang beda cuma…” Ia tak melanjutkan.
            “Cuma apa?”
            Ia tersenyum tipis sehingga tambah manis.
            “Cuma banyak membawa kematian.”
            Aku terkejut perempuan ini punya keberanian mengatakan seperti itu. Bercanda dengan maut di tengah perjalanan hampir dikatakan sebagai tindakan yang sembrono dalam kebudayaan Jawa. Tapi aku tak mau kalah. “Memang lebih baik mati daripada hanya membuat kita cacat dan menjadi beban orang lain.” Lagi, ia tersenyum tipis tanpa menoleh kepadaku.
            “Sudah banyak kereta ekonomi yang menyengsarakan rakyat akhir-akhir ini,” katanya yakin. “Padahal seharusnya dengan penumpang yang selalu berjubel pemerintah bisa menaikkan kualitas mesin kereta api termasuk pelayanannya,” tambahnya. Aku mengangguk-angguk membenarkan.
            “Korupsi. Itulah awal mula dari bencana. Jawatan kereta api juga tak luput dari korupsi. Nyawa manusia pun dianggap murah dengan tindakan tak memperbarui dan merawat secara maksimal mesin-mesin kereta api yang sudah kuno ini.” Ia memandangku. Dan memang cantik.
            “Tentu. Ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi-politik yang dianut dan dijalankan pemerintah,” balasku. Dan ia pun mengangguk membenarkan. Tapi tak segera keluar juga kata-kata dari mulutnya.
            Perempuan disampingku ini kupikir-pikir luar biasa. Ia tampak tak mengenal takut dan cerdas. Mungkin selama mahasiswa ia aktif dalam kegiatan politik atau setidaknya kegiatan politik di kampus. Tapi sekarang sedang melamar kerja? Tak mungkin. Ia bisa berbohong kepadaku atau barangkali ia wartawati yang suka mencari suasana lain karena sudah sering naik kereta eksekutif atau bisa juga ia sedang membikin tulisan-tulisan tentang kecelakaan kereta api yang banyak membawa kematian rakyat ini dan naik kereta api ekonomi ini hanyalah jalan untuk mempertajam reportasenya saja. Tapi aku tak ingin tahu.
            “Kita sudah naik kereta yang bisa membawa celaka ini bahkan sampai pada kematian. Kalau itu terjadi, apa yang kamu inginkan?”
            Aku langsung menyahut pantun gaul, “Edi Sud Rahmat Kartolo.”
            “Maksud lo?” dan kami tertawa ngakak bareng. Menyenangkan sekali bertemu dengan perempuan seperti ini apalagi di kereta ekonomi; membuat perjalanan jadi tak nelangsa. Masih dalam sisa-sisa tawanya ia menjawab:
            “Mungkin tak ada yang aku inginkan dan aku tak berpikir itu akan terjadi.” Ia terdiam mengambil nafas.“Dan toh bila itu terjadi, aku ingin terbang bersama malaikat ke surga.” Ia tersenyum.
            “Kamu sendiri?”
            “Aku? Aku ingin menikah denganmu dan mencium bibirmu,” jawabku pelan sambil memandang matanya yang tampak tak percaya pada kata-kataku.
            “Baik. Kamu orang suka pada kebetulan ya?” Ia bertanya untuk menguasai diri.
            “Kadang-kadang. Dalam hidup selalu ada kebetulan dalam arti lain kecelakaan dan kita harus percaya kepadanya ketika ilmu pengetahuan tak sanggup memastikannya atau belum sanggup membuatnya menjadi pasti, termasuk dalam hal cinta. Kenapa?”
            “Kamu bahkan belum mengenal namaku?”
            “Tinggal berkenalan kan kita?” aku mengajukan tanganku untuk bersalaman. Tangan kanannya pun menyambut.
            “Gita.”
            “Nyali.”
            Kereta yang membawaku pulang malam ini melaju menderu. Terseok-seok melintasi bukit-bukit. Mengaduh-aduh seperti kuda-kuda yang hanya berlari bila dicambuk cemeti berduri. Sudah hampir delapan jam meninggalkan Jakarta. Jeritnya membelah bukit-bukit. Ketika memasuki lorong gelap, jeritannya semakin keras menyayat seperti suara anak-anak manusia yang terluka. Aku pun mendengar jeritan-jeritan terluka itu semakin dekat di telingaku. Lorong gelap itu semakin tampak tak berujung dan tak berakhir. Jeritan-jeritan pun semakin menjauh. Menjauh. Menjauh.
***
“Ibu, inilah anak lelakimu. Pulang membawa istri pilihan, menantu yang ibu nanti-nantikan. Ibu tak akan kecewa.” Aku melihat wajah Ibu tersenyum, semakin tua dengan rambut panjangnya yang semakin memutih.


Jakarta, 20 Februari 2007

Selasa, 27 Agustus 2013

Melati Bangsa

Bentrok masih saja terjadi dimana-mana. Katanya, Indonesia sudah merdeka, tak lagi mau dijajah. Tetapi, tentara Jepang dan Belanda masih saja datang untuk kembali menghasut pemerintahan negara cincin api ini.
            Tahun 1945 masih bertengger di kalender tahunan. Kabar berita dari berbagai koran dan radio berucap bahwa kemerdekaan Indonesia pasti sanggup dipertahankan. Bahkan, berbagai pertempuran terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Di Ambarawa, di Bandung, di Yogyakarta, di Surabaya, dan di seluruh daerah di Indonesia, semua demi satu tujuan; Merdeka.
            Senja mulai tiba. Kumasukkan koran ke dalam kolong meja. Kedua mata yang menghias wajahku ini memandang ke langit jingga yang mulai tampak teduh. Suara radio yang keras mengalunkan lagu-lagu keroncong tanpa biduan. Sesekali, berita tentang terjadinya bentrok di suatu tempat diumumkan. Terakhir kudengar, berita tentang Brigjen Mallaby berkumandang. Rakyat Surabaya makin bersemangat untuk merebut kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya.
            Mataku beralih kepada sang empunya kedaulatan negara, merah-putih yang terjahit dari kain-kain bekas yang sedang melambai-lambai di halaman rumah tetangga. Betapa agungnya bendera kemerdekaan ibu pertiwi ini.
            Pikiran dan pandanganku kembali beralih. Kini, beralih kepada sepucuk surat yang sedari tadi berada di jarik baju kebayaku. Aku tersenyum memandang nama yang tertera di kertas pembungkus surat itu.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Senyumku makin mengembang. Kerinduan dalam hatiku semakin mengembang, teringat pada seorang kekasih di medan perang yang sedang merebut kemerdekaan. Aku membuka pembungkus surat bergambar melati putih itu.
            Untuk Riyanti,
            Mas akan pulang sebagai pejuang.
            Mas akan pulang dengan sirat wajah penuh dengan kebahagiaan.
            Kemerdekaan akan diraih sebentar lagi
            Bukan hanya sekedar penyampaian proklamasi bulan Agustus kemarin
            Mas sudah rindu kepada Riyanti, mas sudah tak tahan bertemu dengan Riyanti
            Surabaya memanans, semoga kau baik saja di Jogja
            Terus sembahyang, dik. Mas pasti pulang.
            Aku tersenyum. Cinta dan rindu bergelora jadi satu menghasilkan candu. Kulirik kebaya yang aku pakai. Bermotif melati putih, salah satu kebaya kesayangan pemberian Mas Pram sebelum ia berangkat ke Surabaya untuk raih kemerdekaan.
            Pikiran berkhayal, melemparkan diri ke dalam nostalgia. Aku rasakan hawa penuh katresnan, kemudian melambungkan pandangan kepada tanaman melati putih yang telah berbunga dan menghasilkan bau yang semerbak harumnya. Melati, lambang bahwa Mas Pram selalu ada di sisi, di sisi seorang Riyanti yang setia menanti sang kekasih.
            Kebahagiaan selalu ada kala aku berdiri dan melakukan segalanya bersama Mas Pram. Pria yang umurnya tak jauh dari aku tersebut meninggalkan berbagai kenangan yang membekas dalam penggalih rena ini.
            Aku beranjak dari tempat dudukku. Kuhampiri tanaman melati yang ada di teras rumahku. Kupetik satu kembangnya. Kuselipkan di dalam rambutku yang tergelung sempurna. Ini yang selalu Mas Pram lakukan bersamaku, pecinta bunga melati itu selalu tersenyum ketika menyelipkan bunga melati putih disela-sela rambutku. Dia bilang, aku tampak cantik.
            Melati putih adalah lambang kesucian beserta kebahagiaan. Mas Pram yang empunya pecinta bunga melati mengatakan, dimana ada melati disitu ada kebahagiaan.
***
Satu pesan lagi di pagi berikutnya. Sepeda onthel berpenumpang seorang tukang pos desa itu jadi keranjingan menuju ke rumahku untuk mengantarkan surat sejak Mas Pram pergi ke Surabaya.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Untuk Riyanti,
            Dik, masihkan menunggu Mas?
            Masihkah sabar?
            Kau tetap sembahyang kan untuk kekasihmu ini?
            Tentara Inggris semakin kuat, korban mulai berjatuhan.
            Senjata Inggris lebih kuat, sementara Indonesia hanyalah bermodal raga.
            Namun apalah arti raga dibanding kemerdekaan?
            Mas tetap akan berjuang demi negeri ini.
            Tak kuat rasanya lihat ibu pertiwi selalu menangis terjajah oleh negeri tetangga.
            Tunggulah aku, dik. Aku pasti pulang.
            Aku tersenyum kemudian memeluk surat itu dalam dekapan hangat penuh rasa sayang. Kerinduan tak dapat lagi ditahan, tapi beginilah nasib sang kekasih pejuang. Aku memandang keluar jendela. Bunga melati putih tampak makin mekar. Baunya lebih semerbak dari kemarin, Mas Pram bilang kalau bunganya makin semerbak berarti kebahagiaan juga makin mekar. Aku tersenyum.
***
Hingga setelah sebulan lamanya, sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu tak datang lagi tuk sampaikan surat dari Surabaya. Bukan jarang lagi, tapi tak pernah.
            Padahal, berita di koran serta radio mengatakan bahwa keadaan Surabaya hampir stabil. Inggris berhasil di depak minggir. Namun, Mas Pram tak berbagi kebahagiaan. Ia juga tak kunjung pulang.
Aku selalu menunggu di depan rumah sambil memandangi bunga melati yang makin lama makin semerbak harumnya. Wanginya tidak biasa, sangat wangi. Mungkin memang Surabaya sudah berbahagia, dan Mas Pram terhanyut di dalamnya tanpa ingat lagi kepada sang kekasih yang menanti di Jogja sendirian.
***
Esok hari aku kembali menanti. Aku duduk di teras rumah. Hal ini yang selalu aku lakukan selama berjam-jam setiap hari dengan harapan Mas Pram muncul dari balik pagar dengan senyum bahagianya dan bersorak bahwa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan.
            Tapi, dia tak pernah datang.
Hingga esok pagi, esoknya lagi, esoknya lagi, hingga sebulan kembali berlalu.
***
Pada akhirnya, yang kutunggu akhirnya tiba. Sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu datang lagi. Mataku berbinar, berharap adanya kabar dari Mas Pram bahwa ia sudah pulang dan minta dijemput di Tugu.
            Aku sudah bersiap-siap mengambil sepeda onthel di dalam rumah, tetapi ketika membaca isi surat di dalamnya, hatiku terasa sesak.
            Surat itu tebal, namun bukanlah surat dari Mas Pram yang menceritakan keberhasilannya mempertahankan kemerdekaan bersama tentara Indonesia yang lain. Bukan. Sama sekali bukan.
            Surat itu berisi soal daftar korban hilang dan meninggal dalam medan perang. Jantungku berdegup, doa semoga Mas Pram masuk dalam korban menghilang asalkan raganya selamat kuucapkan ribuan kali di dalam hati. Tetapi nama itu tak ada.
            Nama Pramono jelas-jelas tertulis dalam daftar korban meninggal.
            Seketika, lututku kehilangan tenaga dan kekuatan untuk menopang tubuhku. Aku menjatuhkan diri di tanah. Tangisan mengucur deras dari kedua mataku. Bibirku menjerit dan meronta, meminta kepada Tuhan bahwa hari ini adalah sebuah mimpi.
            Kupandangi tanaman melati di teras rumahku. Semerbak harumnya mulai meredup. Padahal, beberapa menit yang lalu sebelum aku menerima surat yang tergenggam dalam tanganku sekarang, semerbak harum ratusan melati itu masih berlebihan.
            Aku sadar, bunga melati itu mencoba menyampaikan firasat yang tak akan pernah diketahui realitanya. Kini, kutatap ratusan melati itu dengan pandangan kabur karena tertutup air mata.
***
Melati putih bertaburan di atas makam seorang pejuang, Pramono. Tahun 1945 telah berlalu. Tahun 2000 sudah menyambut. Aku tak lagi ingat berapa umurku, pastilah sudah 60 tahun lebih. Meski begitu, meski semakin tua umurku, meski semakin lumpuh ingatanku, tetapi hatiku tak pernah lupa kepada satu nama; Pramono, seorang kekasih sekaligus pejuang yang telah berbahagia di surga bersama Sang Pencipta…
 Putih
Putih melatiMekar di taman sariSemerbak wangi penjuru bumi
SeriSeri melatiBersemi anggun asriKucipta dalam gubahan hati
Tajuk bak permataSiratan bintang kejora'Kan kupersembahkanBagimu pahlawan bangsa
Putiknya personaRama-rama 'neka warnaKan ku persembahkanBagi Pandu Indonesia