Sabtu, 22 November 2014

Balada Cinta Panggah 3

Bagaikan angin yang berhembus tanpa kita ketahui. Bagaikan derasnya arus sungai yang mengalir secara tiba-tiba karena hujan. Bagaikan hujan yang tiba-tiba jatuh ketika matahari sedang terik-teriknya, berita kepergianku dari Slarongan menuju ke Surabaya telah tersebar hingga ke seluruh warga desa, bahkan hingga ke Jonggrangan dan Kolowenang. Aku tak tahu bagaimana berita itu bisa tersebar lebih cepat dari aliran air, lebih cepat dari hembusan angin.
            Beberapa orang tampak sibuk mengangkut barangku ke mobil dan ke dalam sebuah truk di belakangnya. Aku? Tak sibuk apa-apa. Masih menggunakan baju tidur dan tanpa alas kaki, dengan sepasang mata yang hampir tak bisa melihat karena bengkak akibat menangis semalaman, duduk anteng di sitje depan rumah. Tak berkata apa-apa. Tak bergerak sedikitpun. Bahkan ketika Mbok Darmi datang dan memaksaku makan. Untuk membuka mulutku saja, aku malas. Aku bagaikan Annalies dalam novel Pramoedya, yang dipaksa pergi tanpa kemauan sendiri.
            “Ayo, Ata. Kita berangkat sekarang.”
            Ku dengar suara pria, tapi tak sudi kulihat dia. Aku tak mengenal suara itu. Tapi dia mengenal aku. Aku tak peduli. Yang ada dalam benakku saat ini hanyalah Panggah, orang gila yang berhasil membuatku jadi gila.
            Aku rasakan hangat memeluk tanganku. Sehangat tatapan Panggah untukku. Aku rasakan nyaman menelusup ke setiap jemariku. Senyaman kedua mata Panggah yang teduh. Aku rasakan aman merengkuh jiwaku. Seaman jiwa Panggah yang tak pernah takut menghadapi dunia. Aku rasakan ringan yang membuatku tiba-tiba tak lagi malas untuk melangkah. Seringan ketika aku melihat tawa Panggah dan semangatnya memakai topi kertas di kepala sebelum mendengar ceritaku.
            Aku sadar dari lamunanku. Aku sadar kini aku sudah beranjak dari tempat dudukku. Aku menatap punggung di hadapanku. Aku tatap sosok yang tak kutahu wajahnya namun berani memeluk jemariku. Dia membawaku naik ke mobil, tanpa beban, ringan.
            Aku duduk di tengah, antara Bapak dan dia. Ketika kedua tangannya melepaskan pelukan pada jemariku, ringanku hilang, beban kembali menjatuhiku. Kuputuskan menoleh, melihat sosok yang mampu memberi ringan ketika tubuhku terasa penuh beban. Dan kulihat dia, seorang pria yang tampan, duduk di dekat jendela. Kulihat dia dan dia punya mata teduh yang hampir sama seperti Panggah. Bedanya, tatapan mata Panggah selalu kosong dan ceria. Sementara pria di sampingku ini, tatapan matanya tegas dan penuh kasih sayang.
            Ketika kusadari pria itu menoleh kepadaku dan tersenyum, aku tak dapat menghindar. Kubalas senyumnya dengan senyum tipis. Kulihat objek yang lain. Pria itu tampan, namun aku tak bisa melupakan Panggah.
            Mobil yang kami tumpangi mulai melaju, melewati persawahan dan banyak kebun bambu yang senantiasa berderit pilu menghantarkan kepergianku. Kurasakan angin menyapu dingin kulitku. Dan yang paling membuatku merasa pilu, banyak orang desa termasuk anak-anak yang merupakan muridku di rumah pohon menghantarkan kepergianku. Kulihat beberapa balita menangis, kulihat anak-anak yang sering menemaniku di sawah berlari mengejar di belakang mobil kami yang terus melaju.
            “Saya rasa mereka menyayangi kamu. Saya rasa mereka tak akan rela kamu pergi,” kata pria di sampingku, membuyarkan lamunanku.
            “Saya memang tak ingin pergi,” balasku ketus, membuat dia langsung diam dan tak lagi mengucapkan sesuatu.
            Dan, beberapa meter perjalanan kami usai, kulihat dia. Kulihat dia sang pemilik mata teduh yang selalu membuatku rindu. Kulihat dia yang senantiasa melambaikan tangan sambil tertawa ceria kepadaku, tak tahu bahwa tingkahnya menyayat hatiku. Aku memaksa supir untuk menghentikan mobil.
            Namun, sang supir tak mau mendengarkan perintahku. Aku berontak. Kudobrak pintu yang ada di samping pria tadi, aku berteriak kesetanan. Sang pria berusaha menahanku, namun aku terus berontak. Aku menangis sejadinya. Menendang apa saja, memukul benda apapun, berteriak-teriak layaknya orang gila, menarik-narik rambutku sendiri, mencakar-cakar kulitku, berusaha membuat supir menghentikan mobil yang kami tumpangi. Karena apa?
            Karena aku hanya ingin memeluk Panggah.
            Karena aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa aku mencintai dia. Dengan sederhana. Tak merasa terpaksa. Dan apa adanya. Rasa ini jernih untuk dia. Tulus. Tak menuntut apapun.
            Dan akhirnya supir kami menyerah. Dia menghentikan mobil. Dengan kesetanan, aku segera loncat dari mobil, segera lari melewati sang pria yang ada di sampingku, tak peduli ada bagian tubuhnya yang terkena tendanganku, aku hanya ingin segera memeluk Panggah dan mengucapkan selamat tinggal.
            Aku sampai di jalan setapak. Dari seberang, kupandangi Panggah yang memandangi aku sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Aku menangis, berlari menghampiri dia dan menghambur dalam pelukannya. Aku menangis lagi.
            “Panggah, Ata minta maaf kalau Ata pernah nakal sama Panggah. Ata juga minta maaf kalau Ata pernah merusak mainan Panggah. Ata menyesal pernah menyakiti hati Panggah,” kataku hampir tak jelas karena menangis.
            “Ata mau liburan ke Surabaya kenapa menangis?” tanya Panggah polos.
            Tangisku tambah deras mendengar pertanyaannya. “Karena Ata nggak akan pernah kembali, Panggah,” jawabku dan aku menyadari bahwa Panggah tak akan pernah mengerti maksudku, terbukti ketika dia malah mengangguk-anggukkan kepala sembari senyum-senyum ceria.
            “Panggah, dengarkan Ata,” kataku dalam sembari menatap kedua matanya yang teduh. Panggah balas menatapku dan tersenyum. “Ata menyayangi Panggah. Selama ini, Ata mencintai Panggah. Tulus dan apa adanya. Sekarang, Ata harus pergi. Tapi, Panggah harus tahu dan mengingat ini sampai mati; bahkan sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, Ata tidak akan pernah berhenti mencintai Panggah. Karena Ata tahu, rasa ini abadi untuk Panggah.”
            Panggah tersenyum. Aku tak yakin dia mengerti ucapanku. “Panggah tahu Ata menyayangi dan mencintai Panggah. Panggah juga mencintai Ata. Panggah suka kalau Ata menemani Panggah bermain layang-layang atau memandikan kerbau. Nanti sore kita main lagi ya, Ata!”
            Mendengar ajakan Panggah, aku tak sanggup menahan tangis. Aku memeluk dia. Menangis di dalam dekapan tubuhnya. Kukatakan berkali-kali bahwa aku mencintai dia dan akan terus mencintai dia.
            Hingga akhirnya kudengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh. Kulihat pria di sampingku berdiri di seberang jalan, menungguku.
            “Kita harus pergi,” katanya.
            Dengan berat hati, kulepaskan pelukan Panggah, terpaksa membalikkan tubuhku dan menahan tangis. Aku berjalan menghampiri pria yang duduk di sampingku. Aku menghela nafas, kini aku harus benar-benar pergi. Yang paling penting, aku sudah mengatakan kepada Panggah bahwa aku mencintainya, kukatakan itu dengan berani. Dan aku tak malu, aku bangga mau mengakui rasaku kepadanya. Meski aku tak tahu, apakah Panggah mengerti apa yang telah aku ucapkan.
            Aku berjalan dan terus berjalan, kupaksakan untuk tak lagi menoleh ke belakang, ke arah Panggah yang melambaikan tangannya. Aku menegakkan daguku. Dan aku merasa ada yang aneh ketika melihat sang pria yang duduk di sampingku mengulurkan tangan kanannya yang terbuka.
            Dia menawarkan perlindungan kepadaku. Dengan senyumnya. Dengan mata tegas sekaligus teduhnya. Dan tanpa aku ketahui penyebabnya, kubalas uluran tangan itu. Ketika dia memeluk kedua tanganku erat, aku membalasnya. Dan aku tak tahu mengapa.
            Kami melanjutkan perjalanan dan aku terus menatap ke arah yang berlawanan dari Panggah. Kupaksakan diri untuk tak melihatnya lagi. Aku harus mengikhlaskan kepergianku sendiri.

Untuk Panggah yang aku sayangi,
Kamu harus percaya
Aku mencintai kamu
Tulus
Dan akan selalu begitu.


--Ata

Balada Cinta Panggah 2

Mataku melirik was-was ke berbagai sudut yang ada di sekitarku. Kedua kakiku melangkah pelan dan berjinjit-jinjit sedikit demi sedikit. Sandal sengaja ku lepas, kubiarkan kakiku telanjang agar langkah-langkahku tak menciptakan suara. Nafasku berhembus pelan-pelan, dengan jeda yang panjang-panjang, meski seharusnya nafas ini bergelora karena detak jantung tengah berdegup cepat, meninggalkan dentuman-dentuman karena laju lari yang amat cepat untuk mengejar senja agar tak kunjung berpulang menjadi malam.
            Aku sampai di depan pintu kamarku. Nafas yang sempat tertahan kubiarkan menguap lega. Mataku tak lagi melirik was-was ke berbagai sudut yang ada di sekitarku. Tanpa ada lagi perasaan waspada, kulurkan tanganku untuk membuka handel pintu.
            Tetapi tiba-tiba semua lampu yang awalnya mati langsung menyala. Bukan satu per satu, namun seluruhnya secara bersamaan. Mataku membelalak. Jantungku berdegup. Yang aku takutkan terjadi.
            Aku menatap langit-langit. Kutatap lampu-lampu terang itu satu per satu, lalu menatap seseorang yang berdiri gagah di dekat saklar salah satu lampu. Mataku meredup. Di sana, kuyakini terpancar ketakutan yang menggebu dalam hatiku.
            Seseorang berkumis tebal. Tubuhnya tinggi dan gagah. Matanya melotot tajam. Giginya gemertak menahan amarah. Dia bapakku. Dan dia marah, aku tahu. Aku menundukkan kepala. Kutunggu dia mengucapkan sesuatu.
            “Dari mana kamu?” tanya dia setelah beberapa menit memandangku dari tempatnya berpijak, dengan kedua mata yang masih menatapku dengan beku.
            “Saya… saya dari tempat penggilingan padi di Kulon Progo. Saya lihat-lihat dan memeriksa keuntungan kita bulan ini.”
            Kulihat bapakku mengepalkan kedua tangan. “Bohong!” tudingnya penuh amarah.
            “Saya tidak bohong, Bapak!” kubiarkan bibirku menguapkan dusta.
            Bapak menghampiriku, asap mengepul dari balik cerutu yang dia bawa. Bapak mendekatkan wajahnya kepada wajahku, membiarkan bau rokok dari mulutnya memusingkan kepalaku. “Kau pikir Bapak tidak tahu ke mana kamu pergi? Bersama siapa kamu pergi? Dan apa yang kamu lakukan selama kamu pergi?” interogasinya dengan nada tinggi.
            Aku terhenyak. Aku tak lagi bisa berdusta sekarang.
            Bapak menghisap cerutunya, lalu menghembuskan melalui mulutnya, tanpa menoleh dan mengarahkan hembusan nafasnya ke arah lain, membiarkan asap rokok menerpa kulitku dan kepalaku langsung pusing dibuatnya.
            “Kau pergi bersama orang gila anak dari pedagang singkong di Pasar Ngijon, ya ta? Bahkan, kau ajak dia makan bersama di tempat makan yang mahal, di warung soto paling terkenal di desa ini, huh? Kau ikut mandikan kerbau-kerbau dan sapi di sungai, tanpa pemiliknya membayar jasamu? Kau anak gadis yang bodoh!”
            Aku mengerutkan kening di balik kepalaku yang tertunduk. Dari mana bapak tahu?
            “Aku tak sudi anak gadisku bermain dengan kere gila macam anak pedagang singkong dari Pasar Ngijon itu!”
            “Dia tak gila, Bapak!”
            Aku mengangkat kepalaku. Kupandang kedua matanya yang nyalang menatap mataku.
            “Dia gila! Tidakkah kamu melihat dia? Tingkah lakunya? Dia memang tak cuma gila, dia juga kere! Miskin!”
            “Dia tidak kere! Panggah tidak miskin!”
            “Namanya Panggah, ya?” Bapak menarik sudut bibirnya. “Bahkan mendengar bibirmu menyebut namanya pun aku tak sudi!”
            “Bapak…”
            “Dia kere! Miskin! Tak seperti kita! Buat apa kamu berteman dengan dia? Dia tak bisa memberikan apa-apa buat kita! Bahkan, dia tak bisa beli nasi, ta? Buat apa kau mengeluarkan uang demi bayar makanan mereka, yang bahkan memberi kita makan pun mereka tak mungkin sanggup!”
            Aku mundur selangkah. Ucapan Bapak berhasil membuatku terenyak. Mulutku menganga, tak kusangka Bapak mengucapkan demikian. Air mataku menitik, menyesali kondisi Bapak sebagai orang kaya di desa kami, membuat dia akhirnya mengabdikan diri untuk jadi seorang rentenir, memeras dan menindas mereka yang tak mampu, membiarkan mereka menjerit karena tercekik oleh kondisi ekonomi, sementara Bapak tertawa terbahak di antara tumpukan uang yang dia hasilkan melalui bunga yang tinggi.
            “Bukan Panggah dan keluarganya yang kere, Pak!” Aku menelan ludah, menatap Bapakku dengan tegas. “Justru Bapak yang kere!”
            Kedua mata Bapak makin melotot. “Apa maksudmu, huh?”
            “Hati Bapak kere! Bapak memang punya uang banyak, tapi Bapak tak punya apa yang mereka punya! Bapak tak punya hati, tak seperti mereka yang Bapak tindas melalui bunga pinjaman yang tinggi! Bapak memang punya puluhan hektar sawah dan pabrik-pabrik, tetapi Bapak tak punya hati nurani! Bapak…”
            Plak!
            Aku terjerembab jatuh ke lantai. Kupegangi pipiku yang memanas. Kutatap Bapakku, tak kusangka dia lakukan ini kepadaku. Bapak menamparku. Dan tanpa rasa bersalah, dia masih menatapku dengan mata nyalangnya.
            “Siapa yang ajari kau berkata demikian pada Bapakmu? Tau apa kamu soal hati? Hati dan harta, satu kesatuan, kau gadis bodoh!” Bapak menggumam kesal dan jengkel. “Orang-orang miskin memang selalu memberi ajaran buruk kepada anak-anak orang kaya. Bahkan mereka ajari anakku sendiri berkhotbah di hadapan ayahnya! Memang demikian orang miskin, bicaranya tak tahu aturan dan pendidikan. Mereka tak kenal sopan santun kepada orang tua, mereka…”
            “Dan Bapak tak mengenal kasih sayang kepada sesama! Memang demikian orang kaya, bicaranya halus dan lembut tapi penuh dengan jebakan, di balik kata-kata manis mereka tersimpan lidah ular yang licik!”
            Bapak menarikku berdiri. Dia tampar pipi kiriku dan membiarkan aku jatuh terjerembab lagi ke lantai.
            “Bahkan kau bilang Bapakmu ini ular!?” serunya dengan nada lebih tinggi.
            “Bapak sendiri yang membuat saya berkata demikian!”
            “Kau…!”
            “Ndoro, semua baju sudah masuk dalam kopor.”
            Aku dan Bapak menoleh bersamaan. Kami berdua menatap satu titik yang sama, sebuah titik yang menundukkan kepalanya dan berusaha menyembunyikan isak tangis. Aku terpana, agak bingung melihat Mbok Darmi, salah seorang pembantu rumah tangga kami berdiri di pintu kamarku, dengan sebuah kopor besar di tangannya. Berkali-kali kulihat dia menyeka air mata.
            Aku mengerutkan kening. Apa isi kopor itu? Kenapa Mbok Darmi menangis? Ketika ratusan pertanyaan lain muncul di dalam benakku, air mataku menitik. Aku menyadari sesuatu. Buru-buru, aku berlari meninggalkan Bapak, melupakan rasa perih di pipiku. Aku berlari ke kamarku, aku buka lemari di mana semua bajuku disimpan. Dan kedua kakiku melemas. Semua sudah tidak ada. Semua sudah dimasukkan ke dalam kopor yang ada di genggaman Mbok Darmi.
            Aku berlari menghampiri Mbok Darmi. Air mataku menitik semakin deras. Ketika menyadari hal itu, isak Mbok Darmi makin keras.
            “Ada apa, Mbok? Bajuku di mana? Di dalam kopor ini, ya? Mau dibawa ke mana?”
            Mbok Darmi tidak menjawab, dia malah menyeka air matanya.
            “Mbok, tolong jawab, Mbok. Baju-baju saya mau di bawa ke mana?”
            “Ke Surabaya,” jawab Bapak tanpa diminta.
            Aku menatap Bapak. Keningku berkerut. “Kenapa, Pak? Kenapa baju-baju saya harus dibawa ke Surabaya?”
            “Tidak hanya bajumu yang akan dibawa ke Surabaya,” Bapak langsung menatapku. “Tapi juga kau!”
            Aku terhenyak. “Bapak… mengusir saya?”
            “Bapak tidak tega melihat kau bergaul dengan orang miskin dan tidak berpendidikan di desa ini. Anak gadis dari orang kaya seperti kau, tak pantas bersepeda bersama orang gila anak penjual singkong, atau bermain kincir angin bersama anak-anak ndeso di sawah. Anak gadis dari orang kaya seperti kau hanya pantas mendapat pendidikan yang layak dan suami yang bahkan lebih kaya dari kita!”
            “Saya tidak akan pergi!” Aku kembali menatap Mbok Darmi. Air mataku menitik makin deras. “Mbok, baju saya ada di kopor itu kan, Mbok? Sini, Mbok saya bantu masukin ke lemari lagi ya, Mbok? Ayo, Mbok kita keluarin baju-baju saya dari kopor, kita masukin lagi ke dalam lemari, ya? Jangan bawa baju saya pergi, Mbok. Saya masih mau menemani Mbok Darmi masak di pawon atau mencuci baju di kali belakang rumah kita. Saya nggak mau pergi, Mbok.”
            Mbok Darmi mendekap mulutnya. Dia menangis tanpa suara.
            Bapak menatap kami dengan ekspresi beku. Tak ada iba di kedua matanya. “Bawa kopor itu ke mobil! Sekarang!” perintahnya kemudian.
            Mbok Darmi melangkah berat. Dia mulai meninggalkan aku. Tapi aku tak sudi melihatnya pergi. Aku langsung menjatuhkan diri. Kupeluk kedua kakinya dan menangis sejadinya. Kupeluk Mbok Darmi dengan erat, meminta dia supaya tidak membiarkan aku pergi.
            Tetapi Mbok Darmi tidak peduli. Dia hanya terus melangkah dengan langkah yang semakin berat karena aku memeluk kedua kakinya. Mbok Darmi menangis dan menangis. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
            Bapak langsung menarik tubuhku dengan gerakan cepat ketika kami sampai di pintu depan. Dia paksa aku melepaskan pelukanku. Dia paksa aku memisahkan diri dari Mbok Darmi yang sudah aku anggap sebagai ibuku. Dia seret aku menuju ke kamarku. Tak ada kasih sayang. Yang ada hanya kejengkelan dan amarah yang menggebu di dalam hatinya.
            “Kau tidur! Kita berangkat ke Surabaya jam tujuh pagi!”
            Bapak menutup pintu kamarku dengan satu gerakan cepat hingga akhirnya menciptakan suara dentuman. Dia meninggalkan aku, membiarkan aku menangis melolong semalaman.

            Dalam setiap tangisku, hanya ada Panggah dan mata teduhnya. Dibalik linangan air mata yang tumpah dari kedua mataku, kuhitung berapa banyak tetes yang jatuh sia-sia dan kuanggap itu cinta untuk Panggah.