“Kau
suka betul, Zul pada si Renata?” tanya Topan suatu hari ketika kami sedang
berjalan melewati guludan yang agak becek di antara pematang rumput yang sudah
tinggi.
Aku tidak menoleh, malah asyik
menyisir rerumputan yang berayun ditiup angin menggunakan salah satu tanganku.
“Memangnya kenapa?” tanyaku seadanya.
Topan mengangkat bahu. “Kamu tahu,
Zul. Renata buta.”
Mendengar pernyataannya, barulah aku
terdiam. Hanya menghembuskan nafas panjang lalu membiarkan udara berdesir
gamang. Sejenak, aku renungkan lagi ucapan Topan, menimbang-nimbang apakah aku
benar-benar bisa menerima kekurangan Renata. Akan tetapi, di manapun burung
terbang dan daun kering berhamburan, cinta akan selalu buta. Begitulah
hukumnya.
“Ya, aku tahu Renata buta.” Aku
memandangi Bukit Menoreh yang membentang tampak biru tua nun jauh dari hadapan
mataku. “Tapi dia cukup puas melihat dalam kegelapa yang abadi. Dia cukup puas
bisa meraba-raba. Dan aku yakin dia sanggup melihatku, walau tanpa kedua mata.
Bagiku, begitu saja sudah cukup.”
Topan memandangi aku, agak saksi
dengan ucapanku yang lagaknya sudah seperti orang dewasa. Memang, agak aneh
mendengar seorang bocah berusia enam belas tahun mengucapkan kalimat sedemikian
rupa. Tapi, memang begitu adanya. Dua tahun sejak aku pergi bersama Renata ke
pasar malam waktu itu, aku semakin yakin; aku mencintai Renata. Mencintai
segala kekurangan yang melebihi kelebihannya.
Topan menghembuskan nafas
panjangnya. “Ya, Zul. Aku tahu kau begitu mencintainya. Tergambar indah di
kedua matamu.”
Aku menoleh, memandangi Topan.
“Apakah terlihat jelas?”
Topan mengangguk. “Ya, Zul. Aku
yakin jika Renata melihatnya, gadis itu tak akan pernah melepasmu.”
Aku tertawa. Topan memang kawan yang
baik.
Topan dan aku terus berjalan,
menelusuri jalan setapak menuju sebuah sekolah—yang bahkan aku tak tahu apakah
namanya terdengar hingga kecamatan—bersama pemuda dan bocah-bocah tanpa alas
kaki yang juga ingin bersekolah. Melihat situasi di sekitarku, aku jadi
bersyukur bisa memakai alas kaki walau masih terbatas pada sepatu sandal. Di
desa kami, sandal adalah barang mewah. Sementara sepatu adalah mimpi di siang
bolong.
Rupanya, Topan sedang memikirkan
sesuatu, sesuatu yang sangat amat serius dan mengusik pikirannya. “Syahrir dan
Hamid sudah berangkat ke Jakarta, Zul. Berupaya mengubah nasib dengan menjadi
seorang buruh.”
Aku mengangguk.
“Tak inginkah kau melakukan hal yang
sama?”
Aku mengerutkan kening. “Menjadi
buruh?”
Topan tertawa. “Bukan. Tapi kuliah.”
Aku memikirkan ucapan Topan. Sejenak
merenung, tapi sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. “Apa? Kuliah? Kau
bercanda, huh?”
“Tidak, Zul!” Topan berargumen.
“Kuliah! Setelah lulus SMA, kita kuliah! Kita masuk ke universitas yang ada di
Jakarta! Atau Bandung! Dan, kita jadi orang yang sukses! Kita kembali ke desa
dan melakukan perubahan!”
Bagiku, Topan terdengar begitu
bersemangat. Bersemangat untuk bermimpi, maksudku. “Kau ya yang bayar uang
kuliah?” tantangku.
Topan menepuk bahu. “Lembaran uang
tiada berarti demi masa depan yang lebih indah, Zul. Itu prinsipku.”
Huh, sekarang dia bicara tentang prinsip yang bahkan aku tak tahu apa artinya! Aku masih saja tertawa, menganggap ucapan Topan hanyalah asa yang melayang terlalu tinggi dari realita yang ada. Namun, ada benih-benih yang muncul dalam hatiku, sebuah benih yang begitu menggebu dan bersemangat mengejar langkah Topan. Aku ingin kuliah.
Huh, sekarang dia bicara tentang prinsip yang bahkan aku tak tahu apa artinya! Aku masih saja tertawa, menganggap ucapan Topan hanyalah asa yang melayang terlalu tinggi dari realita yang ada. Namun, ada benih-benih yang muncul dalam hatiku, sebuah benih yang begitu menggebu dan bersemangat mengejar langkah Topan. Aku ingin kuliah.
***
Ibu dan Bapak serta hampir seluruh
warga dari Slarongan, Jonggrangan dan Tiban mengantar aku dan Topan menunggu
bus di Kolowenang, batas desa kami. Ibuku dan Ibu Topan sama-sama terisak,
entah terharu atau sedih melepas kami pergi. Ku lihat Topan memeluk kelima
adiknya dengan mata sembab. Sementara bapak kami sibuk mengobrol dan
membangga-banggakan kami kepada warga desa.
Bus Prayogo yang kami tunggu tiba.
Melihatku beranjak naik, Ibu berlari menarik kemeja baruku yang dia beli dari
laba berjualan blanggreng dan klepon. “Jangan pergi, Zul! Jangan pergi!” isak
Ibu begitu keras.
“Ibu tak ingin aku sukses?”
Ibu terdiam, memandangi aku dan
membelai pipiku begitu sayangnya. “Jaga diri baik-baik. Menelfonlah kalau ada
waktu. Nomor telfon Pak Ramto sudah kau bawa?” tanyanya membuatku mengangguk.
“Sukseslah kau, Zul dengan
bersekolah di IBB.”
Aku tersenyum geli. “ITB, Bu,”
koreksiku.
“Iya, ITB maksudku,” ucap Ibu
kemudian memandangi aku lagi yang juga memandanginya. Aku mengusap kedua
matanya. Kubenarkan kerudung yang terlipat di kepalanya. Aku akan merindukan
Ibu.
Aku berbalik, menyusul Topan yang
sudah duduk di dalam bus. Aku duduk di dekat jendela. Bus bergerak perlahan,
meninggalkan Kolowenang. Dan perempuan yang terakhir kulihat hanyalah seorang
gadis cantik dengan bola mata putih yang berdiri di samping ibunya sembari
melambaikan tangan. Aku tersenyum, menahan pahit harus meninggalkannya. Aku
akan merindukannya juga, seorang gadis yang semalam tadi kucium lembut
bibirnya, Renata.
***
“Masih jauhkah, Zul?” tanya Raquel
di belakangku. Dia berjalan menelusuri guludan di antara rumput yang tengah
mengering sembari kerepotan menenteng sebuah kopor dengan ukuran cukup besar.
Aku melongok ke belakang, tersenyum
geli melihat Raquel yang sedari tadi sok kuat. “Tidak. Seratus meter lagi.”
“Hah!?” Raquel melongo.
Aku tertawa. “Tidak, tidak. Rumahku
di ujung sana. Kau lihat atap-atap itu?” tanyaku membuat Raquel mengangguk. “Di
sanalah aku tinggal. Hmm, ngomong-ngomong, mau aku bawakan kopormu?”
Raquel tampak berpikir. “Asal kau
tidak menganggapku sebagai perempuan yang lemah!”
Aku hanya tertawa. Kubawakan
kopornya dan melanjutkan perjalanan. Ibu dan Bapak rupanya tengah menunggu aku
di serambi. Melihatku tampak dari perempatan, mereka berlari menghampiri aku
dan memelukku begitu senangnya. Aku perkenalkan Raquel, teman kuliahku yang
super cerdas kepada mereka dan mereka menyambutnya begitu antusias dan mengajak
kami makan siang.
Begitu makan siang usai, aku
menggandeng Raquel, merengek agar dia mau berkeliling desa.
“Desaku terlalu indah jika hanya
dikunjungi untuk beristirahat!” ucapku bersemangat. “Mari aku perkenalkan kau
pada kekasihku!”
Raquel yang awalnya tampak antusias
langsung berubah air wajahnya. “Kau… sudah punya kekasih?” tanyanya terdengar
gamang.
“Ya! Pada awalnya dia sering memberi
kabar, tapi lama-kelamaan, kabar tentangnya hilang dan ibu pun tak pernah
bercerita tentangnya lagi. Aku begitu rindu padanya dan ingin melihatnya! Ingin
sekali aku memeluknya! Kau pasti tahu bagaimana rasanya rindu?”
Beranjaklah kami keluar dari rumah.
Mengetahui tujuanku bertemu Renata, Ibu langsung menghampiri aku dengan mata
melototnya. “Jangan kunjungi Renata! Jangan temui dia!” bentaknya.
Aku mengerutkan kening tak mengerti.
“Ada apa, Bu?”
“Tidak! Tidak! Jangan temui dia, kau
tak mengerti!”
Aku menggeleng. Rinduku tengah
menggebu-gebu. Ingin sekali aku memeluk Renata dan mencium rambutnya yang
selalu wangi. “Ibu tak mengerti. Aku begitu rindu pada Renata!”
“Tidak, Zul! Jangan! Aku mohon!”
Aku tak mengindahkan ucapan Ibu.
Bersama Raquel, aku berlari pergi. Aku tak sabar lagi.
***
Rumah Renata kini bercat coklat.
Dindingnya tak lagi bambu. Rumahnya lebih bagus dengan gaya cukup mewah bila
dibanding rumah-rumah lain di desa kami. Bahkan, kulihat di serambi rumahnya
terpampang meja dan sitje untuk tamu. Aku mengerutkan kening. Dari mana Renata
mendapatkan uang untuk membenahi rumahnya? Apa pekerjaannya sekarang?
“Ini rumah kekasihmu, Zul?” tanya
Raquel di belakang punggungku.
“Ya, ini rumahnya. Sungguh berbeda
dari lima tahun yang lalu sejak aku pergi.”
Raquel tak lagi bersuara. Dia sibuk
melihat-lihat. Aku mengetuk pintu rumahnya sembari memanggil nama Renata dengan
jantung yang berdegup begitu menggebu dan tak sabar. Tak sampai lima menit, ku dengar
langkah kaki. Dan pintu dibuka. Aku begitu terpana.
Di hadapanku, Renata berdiri.
Wajahnya masih sama. Masih cantik. Rambutnya tetap panjang dan hitam. Tubuhnya
juga wangi sama seperti dulu. Tapi… matanya tak lagi putih.
“Zul, kau-kah itu?”
Aku menelan ludah. “Ya, Re. Aku
Zul.”
Renata terpana. Sekejap setelah
terdiam beberapa detik, dia memeluk aku. “Kau pulang, Zul! Akhirnya!”
Aku tertawa dan membalas pelukannya.
“Ya, Re. Aku sudah pulang,” jawabku sembari menatap wajahnya lagi. Aku begitu
bahagia melihat kedua bola mata Renata tak lagi putih. Kini kedua bola matanya
normal. Dia bisa melihat. Dia bisa melihatku.
“Kedua matamu kini …”
“Ya, Zul. Seseorang membantuku
transplantasi kornea. Kini aku sudah bisa melihat dengan jelas.”
“Aku senang mendengarnya, Re!” Aku
memeluk Renata lagi. Betapa besar rinduku untuknya. Renata membalas pelukanku,
hangat dan begitu melegakan. Kuuraikan pelukanku pada detik berikutnya, ku
genggam jemarinya. “Mari pergi bersamaku, Re. Kita habiskan waktu bersama.”
Aku mengajaknya berlari, namun
rupanya Renata tak beranjak. Dia hanya memandang aku. Bibirnya tersenyum, namun
kedua matanya menatapku begitu gamang. ”Ada apa, Re? Tak inginkah kau menemani
aku? Aku pulang untukmu sekarang.”
Senyum Renata memudar, dia menundukkan
kepalanya. Belum sempat dia berucap, seorang bocah menghampirinya. “Ibu, aku
lapar,” rengeknya.
“Ya, nak. Makanlah,” jawab Renata
sembari membelai lembut rambut anak itu.
Aku terpana. Kupandangi Renata
dengan kedua mata tak percaya. “Ibu?” tanyaku.
Renata tersenyum memandangi aku.
Kedua matanya masih gamang. Dia menelan ludah sebelum bicara. “Ini anakku,
Zul.”
Parang bagai menusuk jantungku.
Dentuman terdengar di telingaku. Aku terpana. Benar-benar tak percaya. “A…
anak?”
“Ya, Zul. Aku menikah dengan dokter
yang melakukan transplantasi kornea untukku. Maafkan aku,” isak Renata
menundukkan kepala.
Jantungku meletup penuh emosi.
“Kenapa kau tak menungguku, Re?”
“Kau pergi terlalu lama, Zul!”
Aku mendekati Renata, memandanginya
yang tak berani memandang aku. “Tapi hatiku tak pernah benar-benar pergi dari
hatimu, Re,” bisikku begitu sedih. Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum.
“Anakmu begitu tampan, Re. Kau pantas memiliki anak sepertinya.”
Renata diam.
“Aku harus pulang.”
“Maafkan aku, Zul.”
Aku membalikkan tubuh, tak
mengindahkan permintaan maafnya. Aku berlari, lupa kalau Raquel ada di sana.
Melihatku pergi, Raquel mengejarku, mengikuti langkahku yang terburu-buru.
Aku berhenti di suatu titik. Di
sebuah batu besar di antara arus sungai yang mengalir bening nan deras. Aku
masih ingat aku seringkali menghabiskan waktu bersama Syahrir, Hamid dan Topan
di tempat itu. Masa kecil yang begitu indah, dengan Renata yang menjadi
pelengkap keindahannya. Renata tumpuan harapanku dulu, yang menerbangkan
imajinasiku menjadi asa yang begitu tinggi. Renata adalah cinta pertamaku,
cinta terbesar yang pernah aku kenal. Dia pemilik ciuman pertamaku, bahkan
pemilik senyum yang begitu indah yang akan membuatku jatuh sakit jika sehari
tak melihatnya. Aku begitu mencintai Renata.
Raquel menghampiri aku. “Kau
menangis, Zul?”
Aku terlalu sakit hati. Hingga label
jagoan yang pernah menempel untukku tak bisa mengalahkan air mataku. “Ya, Ra.
Aku menangis.”
“Tak perlu malu.” Raquel berdiri di
batu besar tempatku berdiri. “Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
“Dia cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Terlalu dalam untuk mencintainya,” ucapku.
“Dia cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Terlalu dalam untuk mencintainya,” ucapku.
Raquel tersenyum. Dia memainkan air
menggunakan jemari kaki yang kukunya dicat merah. “Kau pria baik, Zul. Tak
sulit bagimu untuk mencari gadis yang lain. Dibalik semua ini, kau harus
belajar bahwa cinta sejati bukan berarti orang pertama yang membuatmu jatuh
cinta.”
“Aku tak punya waktu untuk mencari
cinta sejati,” jawabku.
Raquel menundukkan kepalanya. “Kau
tak perlu mencari, Zul. Karena dia menunggumu sudah sejak lama. Dia selalu ada
di dekatmu, namun kau tak memandangnya karena terlalu rindu pada cinta
pertamamu,” ucap Raquel membuatku mengerutkan kening.
“Seseorang menunggu aku?” Aku
menatap Raquel yang menundukkan kepalanya. “Siapa?”
Raquel mengangkat kepalanya,
memandangi Bukit Menoreh yang terbentang biru tua dengan puncak tertutup awan
nun jauh dari hadapan kami, kemudian memandang aku. Dia memandang jauh ke dalam
kedua mataku. Begitu pun aku yang berlayar kemudian berlayar di dalam kedua
mata teduhnya. Dan, tak perlu menunggu waktu yang begitu lama. Aku melihat
kedua matanya memancarkan cinta. Untuk aku.