Sabtu, 14 Maret 2015

Cerita Mata (2)



“Kau suka betul, Zul pada si Renata?” tanya Topan suatu hari ketika kami sedang berjalan melewati guludan yang agak becek di antara pematang rumput yang sudah tinggi.
            Aku tidak menoleh, malah asyik menyisir rerumputan yang berayun ditiup angin menggunakan salah satu tanganku. “Memangnya kenapa?” tanyaku seadanya.
            Topan mengangkat bahu. “Kamu tahu, Zul. Renata buta.”
            Mendengar pernyataannya, barulah aku terdiam. Hanya menghembuskan nafas panjang lalu membiarkan udara berdesir gamang. Sejenak, aku renungkan lagi ucapan Topan, menimbang-nimbang apakah aku benar-benar bisa menerima kekurangan Renata. Akan tetapi, di manapun burung terbang dan daun kering berhamburan, cinta akan selalu buta. Begitulah hukumnya.
            “Ya, aku tahu Renata buta.” Aku memandangi Bukit Menoreh yang membentang tampak biru tua nun jauh dari hadapan mataku. “Tapi dia cukup puas melihat dalam kegelapa yang abadi. Dia cukup puas bisa meraba-raba. Dan aku yakin dia sanggup melihatku, walau tanpa kedua mata. Bagiku, begitu saja sudah cukup.”
            Topan memandangi aku, agak saksi dengan ucapanku yang lagaknya sudah seperti orang dewasa. Memang, agak aneh mendengar seorang bocah berusia enam belas tahun mengucapkan kalimat sedemikian rupa. Tapi, memang begitu adanya. Dua tahun sejak aku pergi bersama Renata ke pasar malam waktu itu, aku semakin yakin; aku mencintai Renata. Mencintai segala kekurangan yang melebihi kelebihannya.
            Topan menghembuskan nafas panjangnya. “Ya, Zul. Aku tahu kau begitu mencintainya. Tergambar indah di kedua matamu.”
            Aku menoleh, memandangi Topan. “Apakah terlihat jelas?”
            Topan mengangguk. “Ya, Zul. Aku yakin jika Renata melihatnya, gadis itu tak akan pernah melepasmu.”
            Aku tertawa. Topan memang kawan yang baik.
            Topan dan aku terus berjalan, menelusuri jalan setapak menuju sebuah sekolah—yang bahkan aku tak tahu apakah namanya terdengar hingga kecamatan—bersama pemuda dan bocah-bocah tanpa alas kaki yang juga ingin bersekolah. Melihat situasi di sekitarku, aku jadi bersyukur bisa memakai alas kaki walau masih terbatas pada sepatu sandal. Di desa kami, sandal adalah barang mewah. Sementara sepatu adalah mimpi di siang bolong.
            Rupanya, Topan sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang sangat amat serius dan mengusik pikirannya. “Syahrir dan Hamid sudah berangkat ke Jakarta, Zul. Berupaya mengubah nasib dengan menjadi seorang buruh.”
            Aku mengangguk.
            “Tak inginkah kau melakukan hal yang sama?”
            Aku mengerutkan kening. “Menjadi buruh?”
            Topan tertawa. “Bukan. Tapi kuliah.”
            Aku memikirkan ucapan Topan. Sejenak merenung, tapi sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. “Apa? Kuliah? Kau bercanda, huh?”
            “Tidak, Zul!” Topan berargumen. “Kuliah! Setelah lulus SMA, kita kuliah! Kita masuk ke universitas yang ada di Jakarta! Atau Bandung! Dan, kita jadi orang yang sukses! Kita kembali ke desa dan melakukan perubahan!”
            Bagiku, Topan terdengar begitu bersemangat. Bersemangat untuk bermimpi, maksudku. “Kau ya yang bayar uang kuliah?” tantangku.
            Topan menepuk bahu. “Lembaran uang tiada berarti demi masa depan yang lebih indah, Zul. Itu prinsipku.”
            Huh, sekarang dia bicara tentang prinsip yang bahkan aku tak tahu apa artinya! Aku masih saja tertawa, menganggap ucapan Topan hanyalah asa yang melayang terlalu tinggi dari realita yang ada. Namun, ada benih-benih yang muncul dalam hatiku, sebuah benih yang begitu menggebu dan bersemangat mengejar langkah Topan. Aku ingin kuliah.
***
            Ibu dan Bapak serta hampir seluruh warga dari Slarongan, Jonggrangan dan Tiban mengantar aku dan Topan menunggu bus di Kolowenang, batas desa kami. Ibuku dan Ibu Topan sama-sama terisak, entah terharu atau sedih melepas kami pergi. Ku lihat Topan memeluk kelima adiknya dengan mata sembab. Sementara bapak kami sibuk mengobrol dan membangga-banggakan kami kepada warga desa.
            Bus Prayogo yang kami tunggu tiba. Melihatku beranjak naik, Ibu berlari menarik kemeja baruku yang dia beli dari laba berjualan blanggreng dan klepon. “Jangan pergi, Zul! Jangan pergi!” isak Ibu begitu keras.
            “Ibu tak ingin aku sukses?”
            Ibu terdiam, memandangi aku dan membelai pipiku begitu sayangnya. “Jaga diri baik-baik. Menelfonlah kalau ada waktu. Nomor telfon Pak Ramto sudah kau bawa?” tanyanya membuatku mengangguk.
            “Sukseslah kau, Zul dengan bersekolah di IBB.”
            Aku tersenyum geli. “ITB, Bu,” koreksiku.
            “Iya, ITB maksudku,” ucap Ibu kemudian memandangi aku lagi yang juga memandanginya. Aku mengusap kedua matanya. Kubenarkan kerudung yang terlipat di kepalanya. Aku akan merindukan Ibu.
            Aku berbalik, menyusul Topan yang sudah duduk di dalam bus. Aku duduk di dekat jendela. Bus bergerak perlahan, meninggalkan Kolowenang. Dan perempuan yang terakhir kulihat hanyalah seorang gadis cantik dengan bola mata putih yang berdiri di samping ibunya sembari melambaikan tangan. Aku tersenyum, menahan pahit harus meninggalkannya. Aku akan merindukannya juga, seorang gadis yang semalam tadi kucium lembut bibirnya, Renata.
***
            “Masih jauhkah, Zul?” tanya Raquel di belakangku. Dia berjalan menelusuri guludan di antara rumput yang tengah mengering sembari kerepotan menenteng sebuah kopor dengan ukuran cukup besar.
            Aku melongok ke belakang, tersenyum geli melihat Raquel yang sedari tadi sok kuat. “Tidak. Seratus meter lagi.”
            “Hah!?” Raquel melongo.
            Aku tertawa. “Tidak, tidak. Rumahku di ujung sana. Kau lihat atap-atap itu?” tanyaku membuat Raquel mengangguk. “Di sanalah aku tinggal. Hmm, ngomong-ngomong, mau aku bawakan kopormu?”
            Raquel tampak berpikir. “Asal kau tidak menganggapku sebagai perempuan yang lemah!”
            Aku hanya tertawa. Kubawakan kopornya dan melanjutkan perjalanan. Ibu dan Bapak rupanya tengah menunggu aku di serambi. Melihatku tampak dari perempatan, mereka berlari menghampiri aku dan memelukku begitu senangnya. Aku perkenalkan Raquel, teman kuliahku yang super cerdas kepada mereka dan mereka menyambutnya begitu antusias dan mengajak kami makan siang.
            Begitu makan siang usai, aku menggandeng Raquel, merengek agar dia mau berkeliling desa.
            “Desaku terlalu indah jika hanya dikunjungi untuk beristirahat!” ucapku bersemangat. “Mari aku perkenalkan kau pada kekasihku!”
            Raquel yang awalnya tampak antusias langsung berubah air wajahnya. “Kau… sudah punya kekasih?” tanyanya terdengar gamang.
            “Ya! Pada awalnya dia sering memberi kabar, tapi lama-kelamaan, kabar tentangnya hilang dan ibu pun tak pernah bercerita tentangnya lagi. Aku begitu rindu padanya dan ingin melihatnya! Ingin sekali aku memeluknya! Kau pasti tahu bagaimana rasanya rindu?”
            Beranjaklah kami keluar dari rumah. Mengetahui tujuanku bertemu Renata, Ibu langsung menghampiri aku dengan mata melototnya. “Jangan kunjungi Renata! Jangan temui dia!” bentaknya.
            Aku mengerutkan kening tak mengerti. “Ada apa, Bu?”
            “Tidak! Tidak! Jangan temui dia, kau tak mengerti!”
            Aku menggeleng. Rinduku tengah menggebu-gebu. Ingin sekali aku memeluk Renata dan mencium rambutnya yang selalu wangi. “Ibu tak mengerti. Aku begitu rindu pada Renata!”
            “Tidak, Zul! Jangan! Aku mohon!”
            Aku tak mengindahkan ucapan Ibu. Bersama Raquel, aku berlari pergi. Aku tak sabar lagi.
***
            Rumah Renata kini bercat coklat. Dindingnya tak lagi bambu. Rumahnya lebih bagus dengan gaya cukup mewah bila dibanding rumah-rumah lain di desa kami. Bahkan, kulihat di serambi rumahnya terpampang meja dan sitje untuk tamu. Aku mengerutkan kening. Dari mana Renata mendapatkan uang untuk membenahi rumahnya? Apa pekerjaannya sekarang?
            “Ini rumah kekasihmu, Zul?” tanya Raquel di belakang punggungku.
            “Ya, ini rumahnya. Sungguh berbeda dari lima tahun yang lalu sejak aku pergi.”
            Raquel tak lagi bersuara. Dia sibuk melihat-lihat. Aku mengetuk pintu rumahnya sembari memanggil nama Renata dengan jantung yang berdegup begitu menggebu dan tak sabar. Tak sampai lima menit, ku dengar langkah kaki. Dan pintu dibuka. Aku begitu terpana.
            Di hadapanku, Renata berdiri. Wajahnya masih sama. Masih cantik. Rambutnya tetap panjang dan hitam. Tubuhnya juga wangi sama seperti dulu. Tapi… matanya tak lagi putih.
            “Zul, kau-kah itu?”
            Aku menelan ludah. “Ya, Re. Aku Zul.”
            Renata terpana. Sekejap setelah terdiam beberapa detik, dia memeluk aku. “Kau pulang, Zul! Akhirnya!”
            Aku tertawa dan membalas pelukannya. “Ya, Re. Aku sudah pulang,” jawabku sembari menatap wajahnya lagi. Aku begitu bahagia melihat kedua bola mata Renata tak lagi putih. Kini kedua bola matanya normal. Dia bisa melihat. Dia bisa melihatku.
            “Kedua matamu kini …”
            “Ya, Zul. Seseorang membantuku transplantasi kornea. Kini aku sudah bisa melihat dengan jelas.”
            “Aku senang mendengarnya, Re!” Aku memeluk Renata lagi. Betapa besar rinduku untuknya. Renata membalas pelukanku, hangat dan begitu melegakan. Kuuraikan pelukanku pada detik berikutnya, ku genggam jemarinya. “Mari pergi bersamaku, Re. Kita habiskan waktu bersama.”
            Aku mengajaknya berlari, namun rupanya Renata tak beranjak. Dia hanya memandang aku. Bibirnya tersenyum, namun kedua matanya menatapku begitu gamang. ”Ada apa, Re? Tak inginkah kau menemani aku? Aku pulang untukmu sekarang.”
            Senyum Renata memudar, dia menundukkan kepalanya. Belum sempat dia berucap, seorang bocah menghampirinya. “Ibu, aku lapar,” rengeknya.
            “Ya, nak. Makanlah,” jawab Renata sembari membelai lembut rambut anak itu.
            Aku terpana. Kupandangi Renata dengan kedua mata tak percaya. “Ibu?” tanyaku.
            Renata tersenyum memandangi aku. Kedua matanya masih gamang. Dia menelan ludah sebelum bicara. “Ini anakku, Zul.”
            Parang bagai menusuk jantungku. Dentuman terdengar di telingaku. Aku terpana. Benar-benar tak percaya. “A… anak?”
            “Ya, Zul. Aku menikah dengan dokter yang melakukan transplantasi kornea untukku. Maafkan aku,” isak Renata menundukkan kepala.
            Jantungku meletup penuh emosi. “Kenapa kau tak menungguku, Re?”
            “Kau pergi terlalu lama, Zul!”
            Aku mendekati Renata, memandanginya yang tak berani memandang aku. “Tapi hatiku tak pernah benar-benar pergi dari hatimu, Re,” bisikku begitu sedih. Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum. “Anakmu begitu tampan, Re. Kau pantas memiliki anak sepertinya.”
            Renata diam.
            “Aku harus pulang.”
            “Maafkan aku, Zul.”
            Aku membalikkan tubuh, tak mengindahkan permintaan maafnya. Aku berlari, lupa kalau Raquel ada di sana. Melihatku pergi, Raquel mengejarku, mengikuti langkahku yang terburu-buru.
            Aku berhenti di suatu titik. Di sebuah batu besar di antara arus sungai yang mengalir bening nan deras. Aku masih ingat aku seringkali menghabiskan waktu bersama Syahrir, Hamid dan Topan di tempat itu. Masa kecil yang begitu indah, dengan Renata yang menjadi pelengkap keindahannya. Renata tumpuan harapanku dulu, yang menerbangkan imajinasiku menjadi asa yang begitu tinggi. Renata adalah cinta pertamaku, cinta terbesar yang pernah aku kenal. Dia pemilik ciuman pertamaku, bahkan pemilik senyum yang begitu indah yang akan membuatku jatuh sakit jika sehari tak melihatnya. Aku begitu mencintai Renata.
            Raquel menghampiri aku. “Kau menangis, Zul?”
            Aku terlalu sakit hati. Hingga label jagoan yang pernah menempel untukku tak bisa mengalahkan air mataku. “Ya, Ra. Aku menangis.”
            “Tak perlu malu.” Raquel berdiri di batu besar tempatku berdiri. “Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
            “Dia cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Terlalu dalam untuk mencintainya,” ucapku.
            Raquel tersenyum. Dia memainkan air menggunakan jemari kaki yang kukunya dicat merah. “Kau pria baik, Zul. Tak sulit bagimu untuk mencari gadis yang lain. Dibalik semua ini, kau harus belajar bahwa cinta sejati bukan berarti orang pertama yang membuatmu jatuh cinta.”
            “Aku tak punya waktu untuk mencari cinta sejati,” jawabku.
            Raquel menundukkan kepalanya. “Kau tak perlu mencari, Zul. Karena dia menunggumu sudah sejak lama. Dia selalu ada di dekatmu, namun kau tak memandangnya karena terlalu rindu pada cinta pertamamu,” ucap Raquel membuatku mengerutkan kening.
            “Seseorang menunggu aku?” Aku menatap Raquel yang menundukkan kepalanya. “Siapa?”

            Raquel mengangkat kepalanya, memandangi Bukit Menoreh yang terbentang biru tua dengan puncak tertutup awan nun jauh dari hadapan kami, kemudian memandang aku. Dia memandang jauh ke dalam kedua mataku. Begitu pun aku yang berlayar kemudian berlayar di dalam kedua mata teduhnya. Dan, tak perlu menunggu waktu yang begitu lama. Aku melihat kedua matanya memancarkan cinta. Untuk aku.          

Selasa, 10 Maret 2015

Cerita Mata



picture source by google

Melalui sebuah lubang kecil yang menempel pada dinding bambu yang reyot di hadapanku kini, aku bisa melihat sebuah sumur timba, ember-ember berisi air dan jemuran yang belum terlalu kering. Kamar mandi terbuka dengan ukuran yang bisa dibilang cukup luas jika dibandingkan kamar mandi lain milik rumah-rumah kecil di desaku itu hanya ditutup oleh dinding-dinding bambu yang bahkan sudah berlubang di sana-sini. Tapi tetap saja kamar mandi itu bisa dibilang mewah. Di desaku, punya kamar mandi saja sudah dianggap orang kaya. Di tempat itu, sesekali lubang hidungku mencium bau tak sedap dari air selokan yang mengalir tepat di samping tanahku berpijak. Aku sebenarnya sudah tak tahan berdiri sendirian di tempat ini dengan tubuh sedikit membungkuk agar bisa menaruh pandanganku kepada kamar mandi melalui sebuah lubang kecil pada pembatasnya, kalau aku boleh jujur. Tapi jangan salah, aku punya maksud tertentu berdiri berlama-lama dengan posisi begini.
            Dari pintu kamar mandi keluar seorang wanita. Aku jadi was-was, takut kehadiranku disadari olehnya. Tapi tidak, wanita itu tetap berjalan mengambil handuk dari tali jemuran dan sepasang pakaian dalam, kemudian kembali lagi menghampiri pintu kamar mandi sembari mengulurkan kedua tangannya. “Hati-hati,” ujarnya lembut, selembut pelukan tangan milik sosok yang belum muncul dari balik pintu kamar mandi.
            Dan, ketika sosok itu tampak, jantungku makin tak karuan. Darahku naik ke ubun-ubun. Syaraf-syarafku mendidih girang. Seorang gadis dengan kulitnya yang kuning langsat, rambut yang begitu hitam dan panjangnya sekaligus wajah mulus nan tampak lembut yang jauh berbeda dari para wanita di desaku keluar dengan hati-hati dari balik pintu kamar mandi.
            “Renata,” bibirku mengucap pelan.
            Sang Ibu menyisir rambut Renata pelan-pelan, begitu menikmati setiap sentuhan helai lembut rambut gadis itu, tak ingin sehelai rambut pun jadi bercabang. Digulungnya rambut Rena, agar tak basah kena air mandi yang akan dipakainya. Mataku terbelalak, Renata begitu cantik dan sedap dipandang mata.
            Rena duduk di sebuah dipan tempatnya biasa mandi. Tubuhku semakin mendidih. Ada bagian tubuh yang ikut berdiri di balik pakaianku. Rena, Rena, manismu sudah jadi harga mati.
            Sang Ibu berdiri di belakang Rena. Sedikit-sedikit melepas jarik yang membungkus lekuk indah tubuh itu. Hampir-hampir kedua mataku melihat tubuh polosnya…
            “Zul! Sedang apa kau!”
            Aku kaget bukan main! Segera aku beranjak dari posisiku dan memutuskan untuk berlari. Tapi sialan! Tubuhku tak sengaja menubruk dinding bambu reyot di hadapanku, membuat ibu Renata yang sebenarnya masih tak menyadari kehadiranku di situ langsung tanggap dan mengambil air melalui ember lalu segera berlari menuju ke dinding. Disiramnya air di dalam ember melalui dinding bambu sambil mengumpat, tak terima seorang bocah mengintip anak gadisnya mandi.
            Aku berlari dan terus-menerus berlari, pergi menjauh dari tempatku berpijak. Sialan, sialan! Di sebuah tanah lapang, kulihat teman-teman sebayaku memandangi aku sambil tertawa terbahak-bahak. Rupa-rupanya mereka yang membuat tujuanku tidak berjalan dengan baik!
            “Wajahmu merah, Zul?” ledek Hamid ketika aku duduk di sampingnya.
            Teman-temanku tertawa.
            “Bocah kecil sudah berani mengintip anak gadis mandi, huh? Kalau sudah dewasa mau mengintip Nenek Abdulah yang sudah bau tanah saat dia mandi?”
            Sialan! Tawa teman-temanku makin menjadi, sementara panas dan rona semakin membakar wajahku. Aku malu bukan main.
            Tiba-tiba Topan menghampiri aku, menepuk bahu dengan wajah sok menghibur. “Keberanianmu patut diacungi jempol, Zul! Aku bangga punya teman sepertimu!” ucapnya dengan nada bangga. Tapi tetap saja maksud hatinya mengejek aku.
            Aku jadi geram. Lekuk tubuh Renata tak mau hilang dari benakku. Apalagi kejadian menubruk dinding kamar mandi Rena yang membuat ibunya mengetahui niat burukku sehingga dia mengucapkan serapah untukku. Benakku jadi bertanya-tanya, apakah ibu Rena tahu bahwa yang mengintip anaknya adalah aku? Bagaimana jika dia tahu? Bagaimana jika dia mengadu kepada ibuku? Biarpun aku dibilang jagoan di desaku, tetap saja aku takut pada ibuku yang tubuhnya begitu gemuk sampai-sampai bapak pun tak berani membuatnya marah.
            Aku jadi semakin panas, teman-teman semakin meledekku dan tak peduli bahwa kini aku sedang cemas. Aku beranjak dari tempatku. Dengan begitu geram, aku melangkah pergi. “Minggir, minggir!”
            Hamid yang melihatku pergi langsung mengeluarkan kalimat pedasnya lagi. “Mau kemana kau, Zul? Jangan bilang kau akan pergi ke kamar mandi Nenek Abdullah untuk mengintipnya!”
            Tawa kembali meledak. Aku jadi semakin kesal.
***
            Malam ini akan jadi malam yang begitu sepi di desaku. Orang-orang sibuk mempersiapkan diri untuk pergi menonton pasar malam dan menikmati wahana-wahananya atau bahkan menonton layar tancap. Pasar malam memang selalu menjadi sebuah hiburan supermewah. Sebelum pasar malam diadakan, orang-orang akan menabung agar bisa menikmati hiruk-pikuk pasar malam dan membeli berbagai aksesoris dari sana.
            Syahrir, Hamid dan Topan membunyikan bel sepeda mereka dengan bersemangat ketika mereka sampai di halaman rumahku. Aku keluar dengan langkah gontai, mereka tengah mengganggu tidurku.
            “Kau bangun tidur, Zul? Tak ikutkah kau dengan kami?” tanya Topan sangsi melihatku bangun tidur.
            “Ke mana?” tanyaku tak acuh.
            “Melihat orang-orang kota memasang wahana pasar malam! Aku begitu penasaran bagaimana cara mereka memasang komedi putar, atau membuat wahana sangkar burung yang begitu tinggi dan melihat para remaja kota berlatih untuk tampil di tong setan malam nanti,” Topan menjelaskan dengan begitu menggebu-gebu sementara Syahrir dan Hamid mendukung argumennya dengan anggukan kepala yang tak henti-henti.
            Aku menguap. “Aku tidak pergi,” jawabku, membuat teman-temanku langsung melongo dengan mata terbelalak.
            “Apa, Zul? Kau tidak pergi? Tidak penasarankah kau?”
            “Tidak,” jawabku. “Aku sudah pernah melihatnya ketika bapak pergi membantu orang-orang kota mempersiapkan pasar malam. Bapakku pernah menjadi buruh sementara di sana dan aku melihatnya bekerja.”
            Syahrir mengangkat bahu. “Ya sudahlah kalau begitu. Jangan menyesal jika kau tak ikut bersama kami ya! Kami akan bertemu dengan gadis-gadis cantik dari desa lain,” katanya berusaha membujukku.
            Aku menggeleng. “Tak ada gadis yang lebih cantik dari Renata,” balasku, membuat mereka tak lagi berusaha mengajakku. Mereka tahu aku begitu menyukai Renata.
            “Terserah kau sajalah, Zul! Kau memang aneh,” kata Hamid lalu mengayuh sepedanya menjauh, diikuti Syahrir dan Topan yang melambaikan tangan padaku.
***
            Sudah aku duga sejak awal, desa ini menjadi sangat sepi malam ini. Setelah berpamitan dengan ibuku, aku berjalan meninggalkan rumah, menelusuri jalan setapak yang baru setahun yang lalu dilapisi aspal. Aku memandangi bintang, mengandai-andai. Syahrir, Hamid dan Topan pasti sedang menikmati sangkar burung atau main komedi putar atau melihat tong setan atau mungkin makan bakso dan mi ayam. Mereka pasti sedang sangat gembira.
            Tapi tidak! Malam ini, hanyalah aku manusia paling bahagia di dunia! Lihat saja!
            Aku memasuki sebuah pelataran rumah, dengan gugup kuketuk pintu hijau di hadapanku. Tak menunggu lama, seseorang membukanya dan tersenyum melihat kehadiranku. “Kau rupanya, Zul? Masuklah!”
            Aku masuk ke dalam rumah. Sedikit canggung, aku duduk di ruang tamu.
            “Tunggu sebentar ya!”
            Aku mengangguk pada sosok yang tadi membuka pintu untuk aku, ibu Renata. Baru pertama kali dari sekian tahun aku menyukai Renata, aku duduk di ruang tamu rumahnya. Dulu, menginjak halaman rumahnya saja aku takut apalagi masuk ke dalam. Tetapi malam ini, aku berusaha memberanikan diri untuk datang, mengajaknya pergi dan menunjukkan kepadanya bahwa aku menyukainya sudah sejak lama. Kalau tidak begini, kapan             Renata tahu ada seorang bocah empat belas tahun yang menyukai dan begitu memuji-muji dia baik di alam sadar maupun di dalam mimpi? Walau dengan gamblang diucapkan bahkan secara diam-diam dari dalam hati?
            Ibu Renata keluar dari balik ruangan yang ditutup oleh gorden sebagai pintunya. Di samping beliau, Renata tampak begitu manis dengan kerudung di kepalanya. Mereka berdua berjalan berdampingan dengan hati-hati. Ibu Renata menggenggam erat-erat pelukan jemari Renata di lengannya sementara kedua kakinya melangkah pelan agar Renata bisa mengikuti langkah kakinya.
            “Rena, Zul sudah datang. Kau mau kan pergi bersamanya?” tanya Ibu pada Renata yang nampaknya mengangguk samar.
            “Iya, jika hanya ibu mengijinkan,” jawab Rena malu-malu.
            Ibu tersenyum geli, dirasa anaknya sudah cukup dewasa untuk pergi bersama seorang laki-laki (yang sebenarnya bocah kecil ingusan yang sedang dilanda asmara). “Tak perlu malu-malu begitu,” kata Ibu bercanda. “Zul anak yang baik, tentu Ibu mengijinkan kamu pergi bersama dia. Ya kan, Zul?”
            Aku hanya mengangguk sambil menyiratkan senyum lebar di bibir, tak tahu harus berbuat apa selain begini.
            Ibu mendekati aku. Dia masih saja tersenyum, namun keduanya memancarkan harapan sekaligus kekhawatiran. Melihat senyum lembutnya, aku jadi bersyukur Ibu Renata tidak tahu aku pernah bahkan sering mengintip Renata mandi. Semoga saja dia tak pernah tahu, sehingga senyum lembutnya untukku tak lekang nan pudar.
            “Zul, aku ijinkan kamu mengajak anak gadisku pergi. Ku rasa sudah waktunya dia keluar dari rumah untuk beberapa saat dan menikmati keramaian selain di rumah saja,” ucap Ibu lembut. “Tapi, jagalah Rena dengan sungguh-sungguh. Jangan mengajak dia ke tempat yang terlalu bising karena dia belum terbiasa dengan keramaian. Jangan melangkah terlalu cepat sehingga langkahnya tak tertinggal olehmu. Teruslah menggenggam tangannya, jangan sampai lepas. Ibu sangat cemas kalau sesuatu terjadi padanya. Kau tahu, Rena buta.”
            “Zul mengerti, Bu,” jawabku gamblang dengan nada sok pahlawan.
            “Rena hartaku satu-satunya, sahabat sekaligus anak gadis yang amat aku cintai. Kau tahu suamiku telah meninggal dan tak ada siapa-siapa yang menemaniku selain Renata. Jangan sampai terjadi apa-apa pada anakku, Zul.”
            Aku mengangguk penuh keyakinan. “Zul berjanji akan menjaga Renata selama kami berdua pergi,” kataku.
            “Yaya, aku tahu kau anak yang baik dan bertanggung jawab. Seringkali kulihat kau membantu ibumu dengan bersepeda ke pasar membawa keranjang penuh dengan karung-karung singkong. Aku percaya kau bisa menjaga Rena.”
            “Kami pergi dulu, Bu.”
            Ibu mengangguk, mengantarkan kami berdua keluar dari rumah. Aku mengulurkan tangan, meraih tangan Renata, mendekap jemarinya dalam sebuah pelukan hangat penuh perlindungan. Renata menatapku entah mengapa. Aku tahu dia buta, tapi aku juga tahu, Renata sedang menatapku, mungkin terkesima dengan genggaman yang begitu erat dari seorang laki-laki. Aku tahu, genggaman seorang laki-laki adalah yang pertama untuk Renata.
            “Hati-hati, Zul!”
            Aku dan Renata melangkah pergi, meninggalkan pelataran rumah menelusuri jalan setapak yang baru tahun lalu dilapisi aspal. Begitu sejuk bersama Renata, begitu indah berjalan bersamanya dibawah jutaan gemilang bintang.
***
“Cobalah makan ini. Sudah pernah mencoba?”
            Renata menerima permen kapas dari genggaman tanganku. Dia merobek sedikit, kemudian mengunyahnya.
            “Tak perlu dikunyah,” aku tersenyum geli.
            Renata nampaknya menikmati permen kapas pemberianku. “Ini enak sekali, Zul! Bagaimana cara membuatnya?”
            Aku tertawa, senang sekali dia menyukainya. “Hmmm, setahuku dengan gula. Tapi aku tak tahu bagaimana cara mengolahnya sehingga butiran-butiran gula bisa menjadi selembut kapas.”
            “Enak sekali! Boleh lagi?”
            Sembari berjalan menelusuri keramaian dan hiruk-pikuk pasar malam, aku dan Renata menikmati permen kapas kami. Walau tak dapat melihat, aku yakin Renata menikmati apa yang dia dengar dan dia rasakan.
            “Maukah kau naik bianglala bersamaku, Re?”
            “Apa itu bianglala, Zul?” Renata mengerutkan kening.
            “Orang-orang di sini menyebutnya sangkar burung karena bentuknya memang mirip dengan sangkar. Tapi kudengar orang kota menyebutnya bianglala. Sangat asyik, Re! Kau bisa melihat seluruh bagian desa dari atas sana!”
            Renata menggeleng. “Aku tak dapat melihat, Zul.”
            Aku tersenyum, mempererat genggaman tanganku pada setiap jemarinya. “Bersamaku, apa yang tak kau lihat akan kau lihat dengan lebih indah, Re. Aku janji.”
            Renata diam. Dia menoleh kepadaku, entah apa yang dia lihat. Setelah berpikir beberapa saat, Renata setuju.
            Kami berjalan menuju wahana bianglala. Banyak muda-mudi dan anak-anak naik wahana itu. Aku dan Renata masuk ke salah satunya. Bianglala perlahan-lahan bergerak, sedikit demi sedikit bergerak naik, perlahan-lahan, lembut nan tenang, bianglala menuju ke atas dan tiupan angina semakin kencang. Kulihat untaian rambut Renata melayang bebas, begitu kemayu.
            “Kita sudah di atas, Zul?”
            “Ya, Re.”
            “Apa yang kita lihat?
            “Hamparan sawah nan hijau, lampu-lampu yang tampak menyala dari Bukit Menoreh, Jonggrangan, Pasar Ngijon…”
            “Indahkah itu semua, Zul?”
            Aku mengangguk. “Ya, Re.” Aku menatap Renata, memandang wajahnya tanpa merasa sangsi dengan bola matanya yang bewarna putih. “Namun tak ada yang lebih indah selain melihatmu.”
            Rena terdiam. Dia menundukkan kepala. Kulihat wajahnya merona begitu merah. Aku pun begitu. Wajahku panas bukan main. Dasar bocah kecil ingusan yang sok jantan, dari mana aku mendapat keberanian yang begitu edan?

            Bianglala yang awalnya berdiam di atas, tiba-tiba bergerak turun dengan begitu cepat. Orang-orang berteriak, tak terkecuali Renata. Pelukan tangannya bertambah erat. Dia benar-benar terkejut. Aku tertawa, menikmati sensasi demi sensasi yang diciptakan oleh putaran-putaran bianglala, menikmati tiap pelukan Renata yang makin erat, menikmati wangi rambut gadis itu dan mencuri sebuah ciuman yang begitu lembut dan tak kentara sampai-sampai Renata tak menyadarinya.