Bentrok masih saja terjadi
dimana-mana. Katanya , Indonesia sudah merdeka, tak lagi
mau dijajah. Tetapi, tentara Jepang dan Belanda masih saja datang untuk kembali
menghasut pemerintahan negara cincin api ini.
Tahun
1945 masih bertengger di kalender tahunan. Kabar berita dari berbagai koran dan
radio berucap bahwa kemerdekaan Indonesia
pasti sanggup dipertahankan. Bahkan, berbagai pertempuran terjadi di berbagai
daerah di negeri ini. Di Ambarawa, di Bandung, di Yogyakarta, di Surabaya, dan
di seluruh daerah di Indonesia, semua demi satu tujuan; Merdeka.
Senja
mulai tiba. Kumasukkan koran ke dalam kolong meja. Kedua mata yang menghias
wajahku ini memandang ke langit jingga yang mulai tampak teduh. Suara radio
yang keras mengalunkan lagu-lagu keroncong tanpa biduan. Sesekali, berita
tentang terjadinya bentrok di suatu tempat diumumkan. Terakhir kudengar, berita
tentang Brigjen Mallaby berkumandang. Rakyat Surabaya makin bersemangat untuk
merebut kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya.
Mataku
beralih kepada sang empunya kedaulatan negara, merah-putih yang terjahit dari
kain-kain bekas yang sedang melambai-lambai di halaman rumah tetangga. Betapa
agungnya bendera kemerdekaan ibu pertiwi ini.
Pikiran
dan pandanganku kembali beralih. Kini, beralih kepada sepucuk surat yang sedari tadi berada di jarik baju
kebayaku. Aku tersenyum memandang nama yang tertera di kertas pembungkus surat itu.
Pramono, Surabaya , November 1945.
Senyumku makin
mengembang. Kerinduan dalam hatiku semakin mengembang, teringat pada seorang
kekasih di medan
perang yang sedang merebut kemerdekaan. Aku membuka pembungkus surat bergambar melati
putih itu.
Untuk Riyanti,
Mas akan pulang
sebagai pejuang.
Mas akan pulang dengan
sirat wajah penuh dengan kebahagiaan.
Kemerdekaan akan
diraih sebentar lagi
Bukan hanya sekedar
penyampaian proklamasi bulan Agustus kemarin
Mas sudah rindu kepada
Riyanti, mas sudah tak tahan bertemu dengan Riyanti
Surabaya memanans,
semoga kau baik saja di Jogja
Terus sembahyang, dik.
Mas pasti pulang.
Aku
tersenyum. Cinta dan rindu bergelora jadi satu menghasilkan candu. Kulirik
kebaya yang aku pakai. Bermotif melati putih, salah satu kebaya kesayangan
pemberian Mas Pram sebelum ia berangkat ke Surabaya untuk raih kemerdekaan.
Pikiran
berkhayal, melemparkan diri ke dalam nostalgia. Aku rasakan hawa penuh
katresnan, kemudian melambungkan pandangan kepada tanaman melati putih yang
telah berbunga dan menghasilkan bau yang semerbak harumnya. Melati, lambang
bahwa Mas Pram selalu ada di sisi, di sisi seorang Riyanti yang setia menanti
sang kekasih.
Kebahagiaan
selalu ada kala aku berdiri dan melakukan segalanya bersama Mas Pram. Pria yang
umurnya tak jauh dari aku tersebut meninggalkan berbagai kenangan yang membekas
dalam penggalih rena ini.
Aku
beranjak dari tempat dudukku. Kuhampiri tanaman melati yang ada di teras
rumahku. Kupetik satu kembangnya. Kuselipkan di dalam rambutku yang tergelung
sempurna. Ini yang selalu Mas Pram lakukan bersamaku, pecinta bunga melati itu
selalu tersenyum ketika menyelipkan bunga melati putih disela-sela rambutku.
Dia bilang, aku tampak cantik.
Melati
putih adalah lambang kesucian beserta kebahagiaan. Mas Pram yang empunya
pecinta bunga melati mengatakan, dimana ada melati disitu ada kebahagiaan.
***
Satu pesan lagi di pagi
berikutnya. Sepeda onthel berpenumpang seorang tukang pos desa itu jadi
keranjingan menuju ke rumahku untuk mengantarkan surat
sejak Mas Pram pergi ke Surabaya .
Pramono, Surabaya , November 1945.
Untuk Riyanti,
Dik, masihkan menunggu
Mas?
Masihkah sabar?
Kau tetap sembahyang kan untuk kekasihmu ini?
Tentara Inggris
semakin kuat, korban mulai berjatuhan.
Senjata Inggris lebih
kuat, sementara Indonesia
hanyalah bermodal raga.
Namun apalah arti raga
dibanding kemerdekaan?
Mas tetap akan
berjuang demi negeri ini.
Tak kuat rasanya lihat
ibu pertiwi selalu menangis terjajah oleh negeri tetangga.
Tunggulah aku, dik.
Aku pasti pulang.
Aku
tersenyum kemudian memeluk surat
itu dalam dekapan hangat penuh rasa sayang. Kerinduan tak dapat lagi ditahan,
tapi beginilah nasib sang kekasih pejuang. Aku memandang keluar jendela. Bunga
melati putih tampak makin mekar. Baunya lebih semerbak dari kemarin, Mas Pram
bilang kalau bunganya makin semerbak berarti kebahagiaan juga makin mekar. Aku
tersenyum.
***
Hingga setelah sebulan lamanya,
sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu tak datang lagi tuk sampaikan surat dari Surabaya .
Bukan jarang lagi, tapi tak pernah.
Padahal,
berita di koran serta radio mengatakan bahwa keadaan Surabaya hampir stabil. Inggris berhasil di
depak minggir. Namun, Mas Pram tak berbagi kebahagiaan. Ia juga tak kunjung
pulang.
Aku selalu menunggu di depan
rumah sambil memandangi bunga melati yang makin lama makin semerbak harumnya.
Wanginya tidak biasa, sangat wangi. Mungkin memang Surabaya sudah berbahagia, dan Mas Pram
terhanyut di dalamnya tanpa ingat lagi kepada sang kekasih yang menanti di
Jogja sendirian.
***
Esok hari aku kembali menanti.
Aku duduk di teras rumah. Hal ini yang selalu aku lakukan selama berjam-jam
setiap hari dengan harapan Mas Pram muncul dari balik pagar dengan senyum
bahagianya dan bersorak bahwa Indonesia
berhasil mempertahankan kemerdekaan.
Tapi,
dia tak pernah datang.
Hingga esok
pagi, esoknya lagi, esoknya lagi, hingga sebulan kembali berlalu.
***
Pada akhirnya, yang kutunggu
akhirnya tiba. Sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu datang lagi.
Mataku berbinar, berharap adanya kabar dari Mas Pram bahwa ia sudah pulang dan
minta dijemput di Tugu.
Aku
sudah bersiap-siap mengambil sepeda onthel di dalam rumah, tetapi ketika
membaca isi surat
di dalamnya, hatiku terasa sesak.
Nama
Pramono jelas-jelas tertulis dalam daftar korban meninggal.
Seketika,
lututku kehilangan tenaga dan kekuatan untuk menopang tubuhku. Aku menjatuhkan
diri di tanah. Tangisan mengucur deras dari kedua mataku. Bibirku menjerit dan
meronta, meminta kepada Tuhan bahwa hari ini adalah sebuah mimpi.
Kupandangi
tanaman melati di teras rumahku. Semerbak harumnya mulai meredup. Padahal,
beberapa menit yang lalu sebelum aku menerima surat yang tergenggam dalam tanganku
sekarang, semerbak harum ratusan melati itu masih berlebihan.
Aku
sadar, bunga melati itu mencoba menyampaikan firasat yang tak akan pernah
diketahui realitanya. Kini, kutatap ratusan melati itu dengan pandangan kabur
karena tertutup air mata.
***
Melati putih bertaburan di atas
makam seorang pejuang, Pramono. Tahun 1945 telah berlalu. Tahun 2000 sudah
menyambut. Aku tak lagi ingat berapa umurku, pastilah sudah 60 tahun lebih.
Meski begitu, meski semakin tua umurku, meski semakin lumpuh ingatanku, tetapi
hatiku tak pernah lupa kepada satu nama; Pramono, seorang kekasih sekaligus
pejuang yang telah berbahagia di surga bersama Sang Pencipta…
SeriSeri melatiBersemi anggun asriKucipta dalam gubahan hati
Tajuk bak permataSiratan bintang kejora'Kan kupersembahkanBagimu pahlawan bangsa
Putiknya personaRama-rama 'neka warnaKan ku persembahkanBagi Pandu Indonesia