Selasa, 27 Agustus 2013

Melati Bangsa

Bentrok masih saja terjadi dimana-mana. Katanya, Indonesia sudah merdeka, tak lagi mau dijajah. Tetapi, tentara Jepang dan Belanda masih saja datang untuk kembali menghasut pemerintahan negara cincin api ini.
            Tahun 1945 masih bertengger di kalender tahunan. Kabar berita dari berbagai koran dan radio berucap bahwa kemerdekaan Indonesia pasti sanggup dipertahankan. Bahkan, berbagai pertempuran terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Di Ambarawa, di Bandung, di Yogyakarta, di Surabaya, dan di seluruh daerah di Indonesia, semua demi satu tujuan; Merdeka.
            Senja mulai tiba. Kumasukkan koran ke dalam kolong meja. Kedua mata yang menghias wajahku ini memandang ke langit jingga yang mulai tampak teduh. Suara radio yang keras mengalunkan lagu-lagu keroncong tanpa biduan. Sesekali, berita tentang terjadinya bentrok di suatu tempat diumumkan. Terakhir kudengar, berita tentang Brigjen Mallaby berkumandang. Rakyat Surabaya makin bersemangat untuk merebut kekuasaan pemerintahan atas wilayahnya.
            Mataku beralih kepada sang empunya kedaulatan negara, merah-putih yang terjahit dari kain-kain bekas yang sedang melambai-lambai di halaman rumah tetangga. Betapa agungnya bendera kemerdekaan ibu pertiwi ini.
            Pikiran dan pandanganku kembali beralih. Kini, beralih kepada sepucuk surat yang sedari tadi berada di jarik baju kebayaku. Aku tersenyum memandang nama yang tertera di kertas pembungkus surat itu.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Senyumku makin mengembang. Kerinduan dalam hatiku semakin mengembang, teringat pada seorang kekasih di medan perang yang sedang merebut kemerdekaan. Aku membuka pembungkus surat bergambar melati putih itu.
            Untuk Riyanti,
            Mas akan pulang sebagai pejuang.
            Mas akan pulang dengan sirat wajah penuh dengan kebahagiaan.
            Kemerdekaan akan diraih sebentar lagi
            Bukan hanya sekedar penyampaian proklamasi bulan Agustus kemarin
            Mas sudah rindu kepada Riyanti, mas sudah tak tahan bertemu dengan Riyanti
            Surabaya memanans, semoga kau baik saja di Jogja
            Terus sembahyang, dik. Mas pasti pulang.
            Aku tersenyum. Cinta dan rindu bergelora jadi satu menghasilkan candu. Kulirik kebaya yang aku pakai. Bermotif melati putih, salah satu kebaya kesayangan pemberian Mas Pram sebelum ia berangkat ke Surabaya untuk raih kemerdekaan.
            Pikiran berkhayal, melemparkan diri ke dalam nostalgia. Aku rasakan hawa penuh katresnan, kemudian melambungkan pandangan kepada tanaman melati putih yang telah berbunga dan menghasilkan bau yang semerbak harumnya. Melati, lambang bahwa Mas Pram selalu ada di sisi, di sisi seorang Riyanti yang setia menanti sang kekasih.
            Kebahagiaan selalu ada kala aku berdiri dan melakukan segalanya bersama Mas Pram. Pria yang umurnya tak jauh dari aku tersebut meninggalkan berbagai kenangan yang membekas dalam penggalih rena ini.
            Aku beranjak dari tempat dudukku. Kuhampiri tanaman melati yang ada di teras rumahku. Kupetik satu kembangnya. Kuselipkan di dalam rambutku yang tergelung sempurna. Ini yang selalu Mas Pram lakukan bersamaku, pecinta bunga melati itu selalu tersenyum ketika menyelipkan bunga melati putih disela-sela rambutku. Dia bilang, aku tampak cantik.
            Melati putih adalah lambang kesucian beserta kebahagiaan. Mas Pram yang empunya pecinta bunga melati mengatakan, dimana ada melati disitu ada kebahagiaan.
***
Satu pesan lagi di pagi berikutnya. Sepeda onthel berpenumpang seorang tukang pos desa itu jadi keranjingan menuju ke rumahku untuk mengantarkan surat sejak Mas Pram pergi ke Surabaya.
            Pramono, Surabaya, November 1945.
            Untuk Riyanti,
            Dik, masihkan menunggu Mas?
            Masihkah sabar?
            Kau tetap sembahyang kan untuk kekasihmu ini?
            Tentara Inggris semakin kuat, korban mulai berjatuhan.
            Senjata Inggris lebih kuat, sementara Indonesia hanyalah bermodal raga.
            Namun apalah arti raga dibanding kemerdekaan?
            Mas tetap akan berjuang demi negeri ini.
            Tak kuat rasanya lihat ibu pertiwi selalu menangis terjajah oleh negeri tetangga.
            Tunggulah aku, dik. Aku pasti pulang.
            Aku tersenyum kemudian memeluk surat itu dalam dekapan hangat penuh rasa sayang. Kerinduan tak dapat lagi ditahan, tapi beginilah nasib sang kekasih pejuang. Aku memandang keluar jendela. Bunga melati putih tampak makin mekar. Baunya lebih semerbak dari kemarin, Mas Pram bilang kalau bunganya makin semerbak berarti kebahagiaan juga makin mekar. Aku tersenyum.
***
Hingga setelah sebulan lamanya, sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu tak datang lagi tuk sampaikan surat dari Surabaya. Bukan jarang lagi, tapi tak pernah.
            Padahal, berita di koran serta radio mengatakan bahwa keadaan Surabaya hampir stabil. Inggris berhasil di depak minggir. Namun, Mas Pram tak berbagi kebahagiaan. Ia juga tak kunjung pulang.
Aku selalu menunggu di depan rumah sambil memandangi bunga melati yang makin lama makin semerbak harumnya. Wanginya tidak biasa, sangat wangi. Mungkin memang Surabaya sudah berbahagia, dan Mas Pram terhanyut di dalamnya tanpa ingat lagi kepada sang kekasih yang menanti di Jogja sendirian.
***
Esok hari aku kembali menanti. Aku duduk di teras rumah. Hal ini yang selalu aku lakukan selama berjam-jam setiap hari dengan harapan Mas Pram muncul dari balik pagar dengan senyum bahagianya dan bersorak bahwa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan.
            Tapi, dia tak pernah datang.
Hingga esok pagi, esoknya lagi, esoknya lagi, hingga sebulan kembali berlalu.
***
Pada akhirnya, yang kutunggu akhirnya tiba. Sepeda onthel berpenumpang tukang pos desa itu datang lagi. Mataku berbinar, berharap adanya kabar dari Mas Pram bahwa ia sudah pulang dan minta dijemput di Tugu.
            Aku sudah bersiap-siap mengambil sepeda onthel di dalam rumah, tetapi ketika membaca isi surat di dalamnya, hatiku terasa sesak.
            Surat itu tebal, namun bukanlah surat dari Mas Pram yang menceritakan keberhasilannya mempertahankan kemerdekaan bersama tentara Indonesia yang lain. Bukan. Sama sekali bukan.
            Surat itu berisi soal daftar korban hilang dan meninggal dalam medan perang. Jantungku berdegup, doa semoga Mas Pram masuk dalam korban menghilang asalkan raganya selamat kuucapkan ribuan kali di dalam hati. Tetapi nama itu tak ada.
            Nama Pramono jelas-jelas tertulis dalam daftar korban meninggal.
            Seketika, lututku kehilangan tenaga dan kekuatan untuk menopang tubuhku. Aku menjatuhkan diri di tanah. Tangisan mengucur deras dari kedua mataku. Bibirku menjerit dan meronta, meminta kepada Tuhan bahwa hari ini adalah sebuah mimpi.
            Kupandangi tanaman melati di teras rumahku. Semerbak harumnya mulai meredup. Padahal, beberapa menit yang lalu sebelum aku menerima surat yang tergenggam dalam tanganku sekarang, semerbak harum ratusan melati itu masih berlebihan.
            Aku sadar, bunga melati itu mencoba menyampaikan firasat yang tak akan pernah diketahui realitanya. Kini, kutatap ratusan melati itu dengan pandangan kabur karena tertutup air mata.
***
Melati putih bertaburan di atas makam seorang pejuang, Pramono. Tahun 1945 telah berlalu. Tahun 2000 sudah menyambut. Aku tak lagi ingat berapa umurku, pastilah sudah 60 tahun lebih. Meski begitu, meski semakin tua umurku, meski semakin lumpuh ingatanku, tetapi hatiku tak pernah lupa kepada satu nama; Pramono, seorang kekasih sekaligus pejuang yang telah berbahagia di surga bersama Sang Pencipta…
 Putih
Putih melatiMekar di taman sariSemerbak wangi penjuru bumi
SeriSeri melatiBersemi anggun asriKucipta dalam gubahan hati
Tajuk bak permataSiratan bintang kejora'Kan kupersembahkanBagimu pahlawan bangsa
Putiknya personaRama-rama 'neka warnaKan ku persembahkanBagi Pandu Indonesia

           
           


Sabtu, 24 Agustus 2013

Pria Argolawu

Kemana kamu akan pergi kala malam minggu akhirnya datang lagi? Kemana kekasih membawamu ketika hari yang ditunggu itu akhirnya tiba?
            Mall-kah? Taman-kah? Atau mungkin, toko buku?
            Hal-hal di atas sudah biasa. Berbeda denganku. Berbeda dengan segala malam mingguku. Tahukah kamu kemana kekasihku membawaku?
            Ke Stasiun Purwosari.
            Mungkin terdengar aneh, tapi beginilah nyatanya.
            Galih. Kekasihku bernama Galih. Kini, cowok itu sedang berjalan-jalan di besi tepian rel kereta api sambil merentangkan kedua tangan. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Cowok itu layak jadi pemain sirkus.
            Aku menghembuskan nafas panjang. Pemilik hatiku itu memang aneh. Dari sekian juta manusia di dunia, mungkin sebagian kecil adalah pecinta lokomotif alias kereta api. Dan Galih adalah salah satu di antaranya.
            Cowok berusia lima belas tahun itu sangat menyukai kereta api. Kaos yang dipakainya saat ini saja bergambar kereta api. Wallpaper yang menghias kamarnya juga bergambar kereta api. Bahkan, Galih punya tumpukan kaset Thomas and Friend yang bercerita tentang kehidupan persahabatan kereta api.
            Unik. Bagiku, Galih sangat unik.
            Cowok itu meninggalkan berbagai kekocakan apabila kami sedang pergi berdua. Salah satu diantaranya adalah kenangan malam minggu kami beberapa waktu yang lalu.
            Kala itu, aku dan Galih sedang menuju ke sebuah toko buku. Tetapi, mengetahui palang kereta api mengeluarkan bunyi khas-nya dan bergerak turun, Galih segera menepikan motornya dan mematikan mesinnya. Aku mengangkat alis, kupikir ada sesuatu yang terjadi. Ternyata, setelah kereta api lewat, Galih segera menyalakan kembali mesin motornya dan melajukan motor yang kami tumpangi dengan kecepatan yang bisa menghantarkan kamu ke maut saat itu juga.
            Galih berniat mengejar kereta itu. Aku memegangi punggungnya kuat-kuat. Mataku terpejam dan bibirku terkunci rapat-rapat. Jantungku berdegup cepat, belum pernah aku naik kendaraan yang lajunya sekencang ini.
            Tapi ternyata, Galih kurang cepat. Kecepatan laju kendaraannya belum bisa mensejajari kecepatan Argolawu yang sedang melaju. Cowok itu berhenti. Ia merapatkan motornya ke tepi jalan. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Galih turun dari motornya dan  duduk di tepian rel kereta api. Dia galau.
            Lebay sih memang, tetapi aku tetap berjalan menghampirinya. Aku tahu bagaimana perasaan Galih. Akhirnya, malam minggu waktu itu, aku dan Galih tidak jadi ke toko buku. Kami menghabiskan waktu berdua, di tepi rel kereta api yang gelap tanpa penerangan.
***
            “Awas, ada kereta mau lewat!” Galih buru-buru berlari menghampiriku dan menarik tubuhku menjauhi rel kereta api. Pada akhirnya, kami berdiri di dekat rel sambil menunggu kereta lewat.
            Mengetahui bahwa Argolawu-lah yang lewat, Galih langsung bersorak senang. Memang, dari sekian banyak nama kereta api, Argolawu-lah yang Galih pilih sebagai kereta api paling favorit. Aku tak tahu apa penyebabnya.
            Bibirku menyunggingkan senyum ketika memandangi Galih yang terdiam dengan raut wajah gembira ketika Argolawu melintas dihadapan kami. Matanya berbinar, selalu seperti itu tiap ada kereta lewat.
            Begitu Argolawu berlalu, Galih meraih dompet dari dalam saku celananya. Ia meraih satu uang receh lima ratusan. Pria itu sangat antusias. Kembali lagi ia melangkah menuju ke tengah rel kereta api. Diletakkannya uang lima ratus rupiah itu di tengah-tengahnya. Aku mengangkat alis, bingung melihat tingkah Galih.
            Hingga akhirnya ia menghampiri aku lagi dan menyuruhku duduk di tempat semula kami berdiri tadi. Galih menyuruhku menunggu kereta yang lewat. Menit demi menit berlalu, kami berdua duduk berdampingan sambil bercanda untuk menunggu kereta api apalagi yang akan melaju.
            Dan ‘benda’ itu akhirnya datang. Prameks.
            Galih bersorak lagi. Kereta itu sudah dekat. Begitu ia melintas di hadapan kami, sorak senang Galih bertambah keras. Setelah kereta menghilang dari pandangan, ia berjalan mendekati rel kereta lagi. Diraihnya koin yang tadi dilindas kereta.
            Ia menatapku. “Tuh, gepeng kan? Kereta api memang keren!”
            Aku mengangkat alis. “Ya iyalah, orang bodo juga tau kalau koin dilindas kereta api bakal gepeng! Manusia dilindas kereta api aja bisa remuk kok!”
            “Tapi nggak ada kendaraan sehebat kereta api. Mobil segede apapun juga nggak bakalan bisa, coba aja!”
            Sudahlah, aku malas untuk berdebat, apalagi berdebat soal hal kurang penting yaitu kereta api.
            Galih kembali melakukan hal yang sama. Ia meraih lagi dompetnya dan mengeluarkan uang receh lima ratusan kemudian meletakkannya di bagian tengah rel kereta api. Hal itu dilakukannya berulang-ulang, hingga malam menjelang, dan malam minggu hampir usai.
***
            Hingga akhirnya aku mengetahui segala kebohongan pria kereta api itu. Aku mengetahui berbagai kebohongan Galih sekarang. Galih telah mengkhianatiku, ia suka dengan wanita lain. Tidak hanya satu, tapi banyak.
            Hatiku benar-benar hancur mengetahui bahwa selama ini ungkapan perasaan Galih kepadaku hanya omong kosong. Wanita-wanita di belakangnya, meski tidak menjalin hubungan apa-apa dengan Galih selalu saja mengungkapkan kata rindu dan Galih menanggapinya.
            Bahkan, kenyataannya, Galih sering mengajak mereka pergi berdua.
            Aku menangis sejadinya. Pria kereta api itu benar-benar sialan. Kubuang miniatur kereta api Argolawu yang awalnya ingin kujadikan kado ulang tahunnya beberapa waktu lagi. Aku benar-benar remuk. Hancur.
            Aku membenci pria itu. Tetapi, aku masih saja menangis jika mengingat kenangan kami berdua bersama kereta-kereta yang dicintai Galih, bersama film-film Thomas and Friend yang sering kami saksikan berdua, bersama rel kereta api stasiun Purwosari yang menjadi saksi kebersamaan kami.
            Aku benci pria Argolawu itu. Tetapi, masih saja aku terluka kala tak sengaja berhenti dan menunggu kereta lewat ketika palangnya diturunkan di suatu jalan.
            Aku sudah bilang putus, tetapi Galih tak mau. Ia bilang dia sayang padaku, hanya padaku, dan dia tidak mau mengaku tentang wanita-wanita di belakangnya. Omong kosong! Bangsat! Berengsek!
            Waktu demi waktu makin bergulir, namun luka di hati tak kunjung sembuh dan menemukan pengganti. Galih juga begitu, ia masih bertahan untukku, ia masih memaksaku untuk kembali lagi padahal sudah ratusan kali aku menolak.
            Hingga akhirnya aku sadar, aku masih sangat menyayanginya. Bagaimana tidak? Sejak SMP, aku dan Galih sudah memulai hubungan kami, merajut asmara, merajut khayal, menjahit mimpi, dan berusaha untuk terus bertahan.
            Tetapi jika mengingat apa yang Galih perbuat di belakangku, sakit hati selalu menghampiri. Aku tak bisa memaafkan dia, meski hatiku menjerit untuk kembali mengungkapkan rasa sayang kepadanya dan meski ragaku meronta untuk kembali ke dalam pelukannya.
            Aku patah hati, aku terjatuh, luka, tetapi aku masih cinta.
            Pada suatu siang, Galih menghampiri aku yang sedang duduk sendirian di dalam kelas sembari mengerjakan tugas. Teman-temanku sedang makan siang di kantin sementara siswa-siswi yang lain sudah pulang sejak bel akhir pelajaran berdering.
            Aku melirik Galih dengan lirikan sinis. Tetapi, seperti biasa, cowok itu lempeng-lempeng saja. Ia duduk di sampingku kemudian menggenggam tanganku. Buru-buru, aku langsung menariknya. Aku sok najis, padahal aku merindukan saat-saat seperti ini.
            “Kok belum pulang?” tanyanya sok perhatian.
            Aku langsung menjawab dengan nada ketus, “Nggak liat ya tugas numpuk di hadapan mata?”
            Galih tersenyum. “Mau dibantuin?”
            “Nggak! Nggak usah, nggak sudi juga.”
            Galih menghembuskan nafas panjang, sambil mengalihkan pandangan kepada objek yang lain.
            “Masih belum bisa maafin aku ya?” tanyanya.
            Aku memilih diam, tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab.
            “Sa?”
            Aku tetap terdiam, pura-pura konsentrasi pada tugasku.
            “Sa?”
            Aku diam.
            “Rissa!”
            “Apa sih?”
            Galih menatapku. Entah itu hanya perasaanku atau memang kenyataan, sorot matanya menunjukan rasa bersalah yang amat dalam. Diam-diam, aku langsung terhanyut. Sialan, cowok di sampingku itu memang bisa membuatku luluh.
            “Kamu masih belum bisa maafin aku, ya?” tanyanya lagi.
            Aku terdiam, memikirkan jawaban. Hatiku rasanya ingin meledak, mengutarakan segala yang ada tetapi bibirku membisu.
            “Kalau gitu, aku pergi deh. Rasanya, memang kamu pengen kita putus,” Galih tersenyum nanar. “Aku udah siap kalau kita putus.”
            Aku membisu. Galih beranjak dari bangku di sampingku dan mulai melangkah pergi. Tetapi, tanpa sadar, bibirku memanggilnya, membuat cowok itu menghentikan langkah.
            Aku berlari menghampirinya, kemudian menelan ludah ketika berdiri di hadapannya.
            “Gimana bisa aku maafin kamu? Apa pantas kamu di maafin?” Aku memukul dadanya.
            Galih terdiam, tidak mau menanggapi.
            “Pengecut kamu! Pengecut. Aku udah sayang sama kamu, aku udah berusaha bertahan, tapi apa yang kamu lakuin buat aku?”
            Galih tetap terdiam.      
            “Aku udah berjuang. Aku sakit, disini, di dalam sini. Sakit, Gal, sakit. Itu yang nggak bisa bikin aku maafin kamu.”
            Galih masih bisu.
            “Kamu tega lihat aku kayak gini? Bahkan sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, aku nggak bisa berhenti sayang sama kamu. Tapi rasa sakit ini yang bikin aku benci sama kamu.”
            Galih memelukku. Aku menangis. Pertama kali dalam sejarah hubungan kami, rasa pelukannya sangat dewasa; menenangkan dan melindungi. Seakan pria itu tak mau melepaskan aku lagi, seolah pria itu ingin aku berada terus di sisinya.
            “Kenapa, Gal? Kenapa kamu lakuin itu?”
            Pelukan Galih makin erat. “Maaf,” bisiknya di telingaku.
            Kami terdiam. Galih terdiam, aku bungkam. Tak ada kata lagi yang keluar selain isak tangisku yang terdengar.
            Galih membelai rambutku dengan lembut.
            “Aku sayang sama kamu, cuma sama kamu.”
            “Omong kosong!”
            “Kamu nggak tahu.”
            “Tahu apa?”
            Galih melepaskan aku dari dalam pelukannya, kemudian menatap aku dengan tatapan dalam.
            “Kereta datang silih berganti, tetapi kereta melaju hanya dalam satu jalan; rel kereta api.”
            Aku mengangkat alis.
            “Wanita datang silih berganti, tetapi kamu tetap yang ada di hati. Aku bagaikan kereta api, memandang yang lain, menanggapi rindu kepada yang lain, tetapi sebenarnya, aku berjalan dalam satu hati; hatimu. Aku berjalan hanya dalam satu jalan; cinta. Aku nggak bisa sama yang lain, meski rindu buat yang lain, meski ungkapan aku sampaikan kepada yang lain. Tapi aku memilih kamu, dan aku yakin kamu juga memilih aku.”
            Galih kembali memelukku. Senja mulai tiba. Lembayung sebentar lagi muncul dan langit yang membias dari jendela bewarna oranye. Kami berpelukan lama, saling menyakinkan, menguatkan, dan meneguhkan.

            Hingga pada akhirnya, aku memilih untuk kembali.

Aku, Aura dan Arka

Namanya Aura. Dia sahabatku. Seorang sahabat yang cantik, berkharisma, dan penuh dengan pesona. Sahabatku itu punya sejuta keajaiban, dia bisa membuat jutaan pria jatuh cinta padanya meski hanya sedetik terdiam dalam pandangan.
            Banyak yang memuji Aura. Di setiap sudut di berbagai tempat yang pernah kami singgahi, gadis manis itu selalu membuat setiap pria tak mau pergi. Gadis cantik itu menyimpan sebuah ikatan perhatian yang mampu meraih segala tatapan dan pandang.
            Berbeda dengan aku. Aku hanyalah seorang gadis yang bahkan jarang yang mengenali aku. Kulitku tak seputih kulit Aura. Rambutku tak selembut rambut Aura. Pipiku tidak menghasilkan lesung ketika tersenyum, sangat berbeda dengan Aura yang kecantikannya sudah amat sempurna.
            Dan kali ini, aku akan menceritakan kisahku yang…
***
            Lagi. Setiap pagi dibalik tiang koridor. Aku menunggu seseorang. Arka, seorang adik kelas dengan senyum yang biasa tetapi bisa membuatku terhipnotis dengan segala kekaguman yang luar biasa.
            Aura selalu menemani aku. Dia selalu duduk di sampingku. Dengan bawel, dia selalu berkata; ‘Apa sih yang kamu suka dari dia? Dia enggak cakep tau!”
            Dan biasanya aku hanya tertawa kecil ketika mendengar pertanyaan tersebut. Aura tak pernah tahu, sebetapa dalam aku terkagum dan jatuh cinta pada Arka.
            “Itu Arka!” bisik Aura ketika sosok yang kami tunggu akhirnya tiba.
            Arka berjalan dari ujung koridor. Sebuah senyum selalu muncul tanpa sadar di bibirku ketika aku melihatnya. Padahal, Arka tak pernah menyadari akan adanya aku, fisik yang nyata yang diam-diam mengagumi dan jatuh cinta padanya.
            Arka.
            Nama itu selalu terngiang dalam benakku, dalam setiap doaku, dan dalam setiap kedipan mataku.
***
            “Ana! Aku satu ekskul tau sama Arka!” seru Aura di depan pintu kelasku. Aku menghampirinya dengan wajah cemberut. Jelas, aku iri.
            “Sialan. Harusnya aku!”
            Aura tertawa melecehkan. “Pertanda nggak jodoh tuh!”
            Aku langsung uring-uringan sementara Aura tertawa terbahak-bahak sebagai tanggapan.
            Dan sejak saat itulah, kisahku dimulai…
***
            Satu ekskul dengan Arka membuat Aura mengenalnya. Mereka berdua selalu bekerja sama. Tetapi, Aura memang sahabat yang baik. Tak lupa ia mengenalkan aku kepada Arka.
            Sejak saat perkenalan terjadi, Arka jadi sering menyapaku dengan senyumnya ketika tak sengaja berpapasan denganku. Aku sangat bahagia. Akhirnya, raga yang seperti dewa itu menyadari adanya aku, sang pemimpi yang ingin terus bersamanya padahal tak pantas.
            Harapanku melambung tinggi ketika akhirnya Arka mengirimkan sebuah pesan pendek berisi sapaan kepadaku. Hampir setiap malam kami berkirim pesan. Sejak saat itu, aku dan Arka jadi semakin dekat. Pria itu mampu melambungkan aku tinggi-tinggi dan mempertahankan aku agar tetap berada di atas awan.
            Kalau sudah begini, aku makin jatuh cinta pada Arka. Hati ini sudah sangat yakin, Arka adalah calon pemiliknya. Ya, aku telah menyerahkan seluruh rasaku kepada Arka, kepada sang dewa.
            Aura benar-benar seorang sahabat sejati. Gadis itu mendukung hubungan kami yang sebenarnya masih belum resmi. Kalimat-kalimat dukungan dari Aura kepadaku tentang kedekatanku dengan Arka membuatku semakin melambung tinggi. Amat sangat tinggi.
            Rasa jatuh cinta membebaskan aku dari keterpurukan. Dan akhirnya aku sadar, bahwa Arka-lah yang akan menjaga hatiku agar tetap berada di atas awan dan merasa bebas. Aku sangat menyayangi Arka.
***
            Hingga pada suatu hari, aku yang sedang menuruni tangga sendirian dan bertujuan menghampiri Aura yang kelasnya berada di lantai bawah mendengar suara-suara dari gudang bawah tangga.
            Aku curiga. Perlahan-lahan dengan langkah yang sama sekali tak mengeluarkan nada, aku menghampiri sumber suara.
            Ternyata pintu gudang bawah tangga tidak terkunci. Ada sedikit celah yang menyisakan ruang agar aku bisa melihat siapa yang berada di dalam sana.
            Aku langsung mengerutkan kening. Arka dan Aura berada di sana. Berdua. Arka sedang menggenggam pundak Aura sementara Aura sendiri malah menangis. Aku mengangkat alis.
            “Tapi, Ana temanku. Dia sahabatku.”
            Arka menatap Aura dalam-dalam.
            “Aku tau, Ra. Cuma, aku nggak bisa nahan lagi. Aku sayangnya sama kamu, bukan sama Ana.”
            Seketika tubuhku membeku. Arus listrik dengan kekuatan sejuta volt serasa menyengat seluruh tubuhku. Dunia di sekitarku terasa runtuh. Aku tak dapat melihat apa-apa selain melihat Arka yang sedang mengusap air mata Aura dengan lembut.
            “Aku tau kamu juga sayang sama aku. Aku tau, Ra. Kamu nggak usah ngorbanin perasaan kamu.”
            Tangis Aura kembali pecah.
            Arka memeluknya erat, kemudian mengecup kening Aura dengan lembut.
            “Aku sayang sama kamu, Ra.”
            “Tapi, Ka…”
            “Udahlah, katanya Ana sahabat kamu. Harusnya, dia ngerti dong gimana kamu, gimana kebahagiaan kamu, dia pasti paham sama kita berdua kok.”
            “Tapi dia juga sayang sama kamu.”      
            “Aku lebih milih kamu. Aku lebih milih sayang sama kamu.”
            Aura hanya terdiam, tetapi masih menangis. Arka membelai lembut rambutnya dengan cinta. Aku merasa ada sesuatu yang menggores jantungku dengan tusukan yang amat sangat dalam.
            “Kamu mau kan, Ra? Nerima aku jadi pacar kamu? Aku sayang sama kamu, sayang banget.”
            Aura masih saja terdiam dan menangis dalam pelukan Arka.
            “Ra?” panggil Arka sekali lagi.
            Aura melepaskan tubuhnya dari pelukan Arka. Ia menatap pria itu dalam-dalam.
            “Kamu yakin, Ana mau ngerti?”
            “Yakin. Tapi, kamu mau kan nerima aku jadi pacar kamu? Aku tahu kamu sayang sama aku, jadi kamu nggak perlu nolak lagi.”
            Aura tersenyum.
            “Kamu udah tau aku juga sayang banget sama kamu, kenapa kamu masih nanya?”
            Arka tersenyum lucu. Sekali lagi, ia mencium kening Aura dengan lembut.
            Aku terdiam dengan bibir yang masih bisu. Aku tak mampu menahan air mataku, hingga akhirnya pelupuk mata tak sanggup menahan banjir yang berasal dari air mata. Aku menangis tanpa suara.
            “Kalau gitu, kita keluar yuk? Sumpek banget di sini.”
            Aura tersenyum, kemudian mengangguk.
            Melihat mereka mendekat ke pintu, rasanya aku ingin segera menjauh pergi. Tetapi langkahku tak mau beranjak. Aku terpaku di sana, terdiam, hingga akhirnya melihat betapa terkejutnya ekspresi Arka dan Aura yang melihatku berada di depan pintu.
            Aura menelan ludah.
            “Ana?”
            Barulah aku bisa berlari. Aku berlari menjauhi Arka dan Aura dengan sejuta rasa sedih dan hancur yang menyelimuti hatiku. Aku merasa remuk, aku merasa terhina ketika tau bahwa aku telah dibuang dan dihempaskan. Aku menangis di salah satu bilik kamar mandi. Aku menangis sejadinya.
***
            Beberapa bulan kemudian, aku mendengar bahwa Arka dan Aura putus hubungan. Harusnya, aku senang dan bahagia kan? Tetapi, hatiku berkata lain. Aku jadi ikut sedih.
            Pulang sekolah, kuputuskan untuk menghampiri Aura di kelasnya. Ternyata, gadis itu masih berada di sana. Menangis sendirian.
            Aku menghentikan langkah. Harusnya aku senang bukan, melihat orang yang pernah menghancurkan segala perasaanku gantian tersakiti? Tetapi tidak! Aku sahabatnya, aku berlari menghampiri Aura dan kemudian memeluknya erat.
            “Udah, cowok banyak, Ra! Kamu cantik, kamu bisa dengan mudah bikin orang lain sayang sama kamu!” kataku menghibur.
            “Maafin aku, Na! Maafin aku! Aku kena karma!” Aura masih menangis.
            “Enggak, Ra! Enggak! Aku nggak pernah mengharapkan kamu kena karma, aku sahabat kamu, aku selalu doain yang terbaik buat kamu dan Arka.”
            “Aku sayang Arka, Na! Aku sayang Arka!”
            “Kalau kamu sayang, bilang sama orangnya.”
            “Aku nggak enak sama kamu, Na.”
            “Aku nggak apa-apa. Aku udah rela kok.”
            Aura menatapku dengan tatapan memastikan. Aku tersenyum lembut. Kuusap air matanya. Gadis dihadapanku itu, meski habis menangis tetap terlihat manis.
            “Bilang, Ra sama Arka. Bilang yang sejujurnya. Aku rela, aku mau sahabatku bahagia. Aku bakal terus buka pintu persahabatan kita. Karena, sahabat yang baik adalah sahabat yang mau menerima apapun yang telah sahabatnya lakukan.”
            Aura tersenyum. Ia memelukku. Menangis lagi. Kami menangis bersamaan. Akhirnya, rasa tegang di antara kami yang terjadi selama beberapa bulan cair juga melalui sebuah pelukan persahabatan.
***

            Aku melambaikan tangan melihat Aura yang sedang duduk di boncengan motor Arka. Dia tampak sangat bahagia. Aku tersenyum. Akhirnya, mereka memilih untuk kembali; kembali merajut kasih dan melewati segala hal yang akhirnya akan menghasilkan sebuah kenangan indah hingga (semoga) sampai selamanya.

Setapak Sriwedari

“Aku sayang banget sama kamu,” ucap Kania lembut kepadaku. Bibir tipis merah muda-nya menyunggingkan sebuah senyum.
            Aku menatap Kania. Gadis yang ada di sampingku itu menatap jauh ke objek yang lain setelah mengucapkan satu kalimat yang baru saja dia ungkapkan. Kami duduk di suatu bangku yang jauh dari keramaian Sriwedari. Berdua, berdampingan, namun terdiam dalam kesepian. Kami sama-sama bungkam untuk beberapa menit.
            Aku mulai berpikir. Kebanyakan pria  dari berbagai belahan dunia pasti merasakan hal yang sama ketika mendengar kalimat ‘Aku sayang banget sama kamu’ dari kekasih mereka. Satu kata; bangga.
            Berarti aku bukan pria.
            Mendengar Kania mengucapkan kalimat tersebut dengan lembut, membuat nafasku jadi terasa sesak dan hatiku terasa remuk. Mataku melirik sekilas memandang wajahnya.
            Manis.
            Kania punya segalanya, segala hal yang menarik dan mampu meraih perhatian seluruh pria meski hanya sekilas pandang dalam sebuah tatapan.
            Tetapi, tidak termasuk aku.
            Suasana Sriwedari malam yang sepi membuatku bernostalgia pada masa lalu. Masa-masa kami bertemu, beberapa bulan yang lalu.
            Aku tak pernah terpesona kepadanya. Aku tak pernah jatuh cinta kepadanya. Tetapi segala perhatiannya, membuatku tak tega apabila aku mengabaikannya.
            Kami bertemu beberapa hari yang lalu. Di SMA, sewaktu Masa Orientasi Siswa. Sebagai OSIS, tentu memakan banyak kegiatan. Dari pagi hingga malam, aku tak semenit pun beristirahat agar acara MOS berjalan dengan lancar.
            Sore itu, kala satu sesi dimulai. Waktu untuk OSIS beristirahat. Aku memilih untuk menyendiri, menghindari keramaian yang membuat kepalaku semakin pening. Aku duduk di sebuah bangku, menikmati kesepian.
            Kemudian seorang gadis datang dan duduk di sampingku sambil tersenyum lucu. Kedua rambutmu diikat dua, salah satu peraturan di dalam MOS.
            Gadis itu mengulurkan tangannya di depan wajahku.
            “Halo, Kak. Aku Kania,” katanya dengan nada lucu.
            Aku mengangkat alis, bingung terhadap respon yang Kania berikan. Ceria dan penuh semangat. Aku membalas jabatan tangannya.
            “Aku Koko.”
            Kania menatapku lagi, aku jadi salah tingkah. Ia melirik ke arah seluruh anggota OSIS yang sedang tertawa keras-keras sambil bercanda.
            “Yang lain rame disana, kenapa kakak malah sendirian di sini?”
            Aku tersenyum.
            “Pengen menyendiri aja,” jawabku sekenanya. Kania tertawa kecil.
            “Capek ya?” tanyanya penuh dengan perhatian.
            Aku mengangguk.
            Kania mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebotol air mineral dikeluarkannya, kemudian disodorkan kepadaku. “Minum gih, Kak. Biar capeknya hilang.”
            Aku mengerutkan kening; merasa ada yang aneh. Meski begitu, tetap saja kuraih botol air mineral itu dari genggaman tangan Kania. Aku memang haus, sehingga aku langsung meneguk air mineral itu dengan garangnya.
            “Haus banget ya? Jadi kayak onta,” komentar Kania sambil tertawa, membuatku mau tak mau ikut tertawa.
            Aku mengembalikan air mineralnya. “Kok kamu di sini sih? Bukannya ini waktunya sesi ya?” tanyaku dengan nada sok tegas.
            Kania malah tersenyum malu-malu dengan wajah memerah.
            “Aku maunya di sini aja, nemenin kak Koko.”
            Mendengar hal itu, aku hanya bungkam dan terdiam.
***
            Semakin lama sejak hari itu, semakin kurasa hari-hari makin berbeda. Kania dan caranya menatap serta tersenyum padaku, membuatku merasa aneh.
            Tiap hari, Kania berusaha mencari waktu untuk menemuiku; hanya untuk mengantarkan botol berisi air mineral. Jika sudah begitu, para anggota OSIS yang lain pasti tertawa-tawa genit dan menggodaku habis-habisan.
            Perhatian-perhatian yang diberikan oleh Kania benar-benar membuatku merasa aneh. Aneh, sangat amat aneh.
            Dan akhirnya aku menyadari, bahwa Kania jatuh cinta kepadaku.
***
            Hingga pada suatu saat aku mendengar suara tangisan dari balik koridor. Suara orang menangis. Aku mendekat dengan langkah mengendap-endap. Telingaku menempel di dinding, berusaha mencuri dengar sebuah pembicaraan yang diwarnai tangisan.
            “Dia nggak mungkin, Ra suka sama aku. Aku ngasih kode, dia nggak peduli. Aku ngasih perhatian, dia kayaknya risih. Aku harus gimana?”
            Yang dipanggil ‘Ra’ mulai melontarkan kalimat-kalimat penghibur.
            “Semua butuh proses, Ka. Nggak ada yang terjadi secara spontan. Semua butuh waktu, termasuk cinta.”
            “Tapi, harus ngode yang kayak gimana lagi? Aku malu kalau terus-terusan begini, nggak enak juga sama kakak-kakak OSIS.”
            Aku terenyak. Setelah beberapa menit memastikan, aku baru yakin bahwa itu adalah suara Kania.
            Aku melongok dari celah dibalik pintu. Memang benar, dia ada di sana bersama salah seorang temannya; menangis. Aku yang selalu tak tega melihat wanita menangis hanya bisa berdiri dan terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Pada akhirnya, aku memilih pergi menjauh dari koridor tempat Kania berusaha menahan tangis.
***
MOS berakhir. Tugas terakhir yang diberikan adalah membuat surat cinta untuk kakak-kakak OSIS. Ketika para siswa hasil ‘kerjaan’ kami selama MOS pulang, seluruh anggota OSIS menyibukkan diri demi membaca dan membalas seluruh surat cinta yang dikirim untuk mereka.
            Aku hanya tertawa-tawa melihat teman-temanku membaca rayuan gombal dari adik-adik kelas dengan ekspresi jijik. Tetapi tawa itu menghilangm ketika kulihat Kania sudah berdiri di depan pintu ruang OSIS.
            Aku beranjak menemuinya. Sambil memaksakan senyum, aku berdiri di hadapannya.
            “Halo,” sapaku terlebih dahulu.
            Kania tidak menjawab, bahkan tersenyum. Gadis itu malah menyodorkan sepucuk surat dengan amplop bewarna biru muda kepadaku.
            “Yang lain menggoreskan tinta untuk menyatakan cinta karena tugas dan paksaan, tetapi terimalah ini, sebagai goresan cinta yang tulus dari hati yang telah menunggu.”
            Aku menelan ludah. Bisu. Bungkam. Terdiam.
            Perlahan-lahan, tanganku meraih sepucuk surat dari genggaman tangan Kania yang disodorkan kepadaku.
            Kania tersenyum meski matanya tidak menatapku. Ia berlalu pergi meninggalkanku yang masih terpana dengan ungkapan kalimat indah dari bibir gadis itu.
            Hingga sedetik kemudian aku tersadar, Kania memang menyayangi aku. Langkah kakiku memulai sebuah gerakan tuk berlari. Aku mengejar gadis itu dan meraih tangannya.
            “Kamu mau jadi pacarku?”
            Aku tak tahu apa yang aku katakan. Hanya itu yang ada di benakku. Aku menunggu Kania berpikir, hingga kemudian ia menganggukkan kepala.
            Kami pacaran.
***
            Ternyata perjalanan rasa tidak bersinkronisasi dengan perjalanan sebuah hubungan. Semakin lama aku bersama dengan Kania, aku merasa sama sekali tidak cinta.
Aku sadar, aku tidak menyayanginya.
            Aku khilaf mengajaknya berpacaran waktu itu. Aku hanya luluh, tanpa hatiku sebenarnya beku dan menolak cinta dari Kania. Bagai proton dan proton, bagai elektron dan elektron. Tolak-menolak.
            Aku mengajak gadis itu duduk berdua di bangku Sriwedari yang makin lama makin sepi. Kami masih terdiam, meski nostalgia dalam otakku telah berakhir.
            Kania menggenggam tanganku. Aku menatapnya, dia tersenyum.
            “Genggaman tangan terakhir,” katanya dengan lekuk bibir dan sorot mata yang berbeda. Nanar.
            Aku menghembuskan nafas panjang.
            “Maafin aku. Tapi inilah rasaku. Aku nggak bisa sayang sama kamu.”
            Kania mengangguk. Tidak terima tetapi mencoba untuk pasrah.
            “Ini bukan salah kamu kok. Aku aja yang terlalu maksain ngasih kode ke kamu dulu, jadi kamu merasa bersalah kalau kamu nggak nerima kode itu. Aku tau sejak awal. Kamu terpaksa.”
            Aku mengangguk. Kania memang pengertian.
            “Maafin aku ya, Koko.”
            Aku menatapnya kemudian mengangguk lagi.
            “Pesan terakhirku, jangan lagi cari wanita karena sebuah paksaan. Karena cinta dan wanita, datang dari ketulusan dan pengertian.”
            Aku mengangguk lagi. Setuju dengan ucapannya, hingga pada akhirnya, hubungan kami berakhir di setapak Sriwedari yang makin lama makin sepi.

            

Pertempuran Hati

Oleh: Fransiskus Tri H. & Maria Lalita

Malam sunyi kerdip lilin menemani
Di tempat ini mata nanar sebagai saksi atas
Penantian yang tak pasti

Ku berkaca pada gelap
Tak ada kutemui ronamu
Ku tanya pada hembusan angin malam,
Hanya dingin menjawab sepi

Kemanakah engkau, duhai juwitaku
Hingga waktu membentang terlalu panjang
Akankah jiwaku berkepak tuk lebarkan rengkuhan mencarimu?

Ku pejamkan mata berharap mimpi berbisik padaku
Malam makin sunyi
Dan mimpi tak kunjung muncul
Untuk memberi sebuah arti

Ah, usahlah kau asah mata pisau hatimu
Tuk coba sentuh hatiku
Kujamah lagi engkau, pergilah!
Tak akan lagi kumau engkau!

Namun itu hanya ucapan bibir
Bagaimana dengan hati?
Penggalih memang sialan
Tak pernah sepadan dengan bibir
Dan selalu tersakiti hanya oleh sebuah penantian

Masihkah kau punya hati?
Kau hanya berucap pada nada pongahmu
Tak lagi hati berkeliaran
Yang ada kini adalah ketukan-ketukan kebohongan
Yang kian melilit dan menjerit,
Siap memangsa dan merengkuh jiwa kerdil.
Usang sudah kain hati,
Telah robek oleh sayatan iblis
Tak akan kunanti lagi engkau!

Kau memang tak mengenal rasa
Kau selalu terpacu dalam satu kata; menyakiti!
Apa kau sejenis koruptor?
Hanya bisa mengikis uang, harta, dan tangisan rakyatmu
Dengan hati dan rasa yang kotor?

Bukan! Kaulah yang telah mengikisku
Hingga aku jadi mayat tak bertuan.
Kau telah merogoh jantungku
Hingga aku terkapar dalam sengal.
Sementara kau berpangku pada celotehan sial
Yang kian buatku terpendam dalam kubur waktu

Malam makin larut, dingin menambah sepi
Aku masih menanti.
Tapi, bukankah aku telah berjanji takkan menanti lagi?
Dan bukankah sudah kukatakan, pergilah!

Hatiku oh hatiku
Penggalihku
Rasaku
Jangan lagi menunggu
Dia takkan kembali

-Surakarta, 12 Maret 2013;

Pembuatan via Facebook.

Rabu, 21 Agustus 2013

Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 4

Berita perkiraan cuaca ternyata benar adanya. Pagi ini, mentari bersinar cerah. Bulir-bulir hujan yang berjatuhan tak terlihat meski hanya setetes.
            Aku keluar dari rumahku dengan wajah ceria. Hangatnya pagi membuatku merasa sangat amat nyaman. Tanpa sadar, langkah-langkah yang tercipta dari kedua kakiku cukup cepat dan lebar. Aku berlari. Aku siap bertemu semangat pagiku, Dinas, di hari yang cerah ini.
            Halte bus terlihat ramai. Anak-anak sekolahan yang kira-kira sebaya denganku beserta karyawan-karyawan dari berbagai perusahaan menunggu bus di sana. Jalanan sangat padat, dipenuhi berbagai jenis transportasi darat, berbeda dari hari-hari sebelumnya di kala musim hujan.
            Di musim yang cerah ini, Surakarta sudah siap lagi jadi kota metropolitan. Memangnya hanya Jakarta yang bisa jadi kota metropolitan?
            Aku berjalan menuju ke halte, bersiap untuk duduk di bangku yang menjadi saksi bisu antara aku dan Dinas yang selalu berbagi cerita. Tetapi senyumku memudar kala bangku panjang halte itu sudah dipenuhi oleh para calon penumpang dari berbagai angkutan. Dinas tidak ada di sana.
            Keningku berkerut. Aku menengok arlojiku, kemudian menggeleng. Belum, belum terlambat untuk menemui Dinas. Biasanya juga jam segini. Mataku beredar ke seluruh penjuru halte dan jalanan. Tidak ada tanda-tanda sang penjual susu sirup itu di sana.
            Seorang tukang penjual koran lewat. Aku tahu Dinas adalah salah satu pelanggan tukang koran itu tiap hari. Kuhampiri tukang koran itu, kutepuk bahunya dengan sorot mata penuh tanda tanya.
            “Mari, Mbak. Solopos, JogloSemar, Kompas, atau yang mana? Semua beritanya hangat, Anas bakal digantung rakyat di Monas lho!”
            Aku menggeleng menanggapi sapaan tukang koran itu.
            “Mas, tahu penjual susu sirup yang sering duduk disitu nggak?”
            Sang penjual tukang koran mengerutkan kening, kemudian mengalihkan pandangan kepada bangku panjang halte yang dipenuhi orang-orang asing. Ia nampak berpikir, mencoba mengingat-ingat citra orang yang aku maksud. Tak berapa lama kemudian, dia menggeleng.
            “Nggak tau, Mbak. Dari tadi saya belum lihat, dia juga nggak beli koran pagi ini,” jawabnya. Ternyata, dia ingat juga pada Dinas, sang penjual susu sirup.
            Aku mendengus kecewa mendengar jawaban si penjual koran. Baru saja aku akan bertanya lebih lanjut, kulihat busku sudah berbelok dari perempatan dekat halte.
            “Kalau gitu, makasih ya, Mas! Saya berangkat sekolah dulu,” pamitku sambil berlari pergi kemudian masuk ke dalam perut bus yang senantiasa menelanku di setiap pagi.
***
Lima belas menit lebih awal. Halte bus masih agak sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat. Aku duduk di bangku, menyisakan sedikit tempat agar jika Dinas tiba-tiba datang, ia mendapatkan tempat duduk. Disampingku. Dinas harus duduk di sampingku!
            Aku menunggu.
            Dia tidak datang.
            Hingga semakin lama, halte bus semakin ramai dan sesak. Dinas tidak datang. Aku menghela nafas panjang sekaligus kecewa. Apakah dia pesimis? Apakah dia tidak mau berjualan lagi? Aku tidak tahu.
            Bus langgananku datang dari belokan perempatan dekat halte. Awalnya, aku memutuskan untuk kembali menunggu, tetapi ketika mengetahui bahwa sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup, kuurungkan niatku untuk menanti kehadiran Dinas.
            Dengan langkah lesu, aku masuk ke dalam perut bus, yang sudah penuh dengan penumpangnya.
***
Seminggu telah berlalu. Cuaca makin lama makin hangat. Tetapi, tidak sehangat cuaca, kabar Dinas menjadi beku; tidak diketahui. Absurd.
            Aku merindukannya. Ya, sangat.
            Mengingat keceriaan kami berdua kala saling berkicau tentang pengalaman-pengalaman yang menarik di bangku halte ini, membuat aku merasa kesepian. Halte yang ramai tetap membuatku merasa kosong. Aku hampa. Dinas tak ada lagi, dia tak pernah datang.
            “Masih nungguin mas-mas itu ya, Mbak?”
            Seketika aku langsung menoleh. Kuhembuskan nafas lega ketika mengetahui bahwa yang tiba-tiba duduk di sampingku adalah sang penjual koran langganan Dinas. Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
            “Iya, Mas,” jawabku pelan.
            Sang penjual koran tersenyum. “Kata orang, kalau penjual udah nggak pernah jualan lagi, berarti dia udah sukses, Mbak. Udah punya usaha sendiri. Mungkin, mas-mas itu udah punya toko susu sirup sendiri.”
            Aku tersenyum. Benarkah? Dinas sudah punya perusahaan sendiri?
            “Ya, kalau udah kayak gitu buat apa ditungguin lagi? Kurang kerjaan, Mbak, nungguin orang yang udah sukses.”
            Aku merenungkan kata-kata sang penjual koran hingga akhirnya hati kecilku bilang; Ya, setuju! Dinas sudah melupakan. Dia sudah sukses.
            “Mas, beli koran satu dong,” sambungku dengan tujuan mengalihkan pembicaraan.
            Si penjual koran tersenyum senang kemudian memperlihatkan koran-koran dagangannya. Kuambil salah satu, kemudian masuk ke dalam perut bus yang sudah berbelok dari perempatan di dekat halte.
***
Bodoh. Aku datang lebih pagi lagi di halte bus yang masih sepi. Aku menunggu Dinas. Pedagang susu sirup itu bagaikan di telan bumi. Mungkin, dia memang sudah sukses. Tapi, kenapa dia tidak memberi kabar? Kenapa dia tidak meluangkan waktu untuk sekedar bercerita kepadaku tentang keberhasilannya? Aku benci pada Dinas, tapi aku juga rindu.
            Pria itu… Susu sirupnya… Kegigihannya… membuatku yang sedang melamun ini sadar bahwa aku jatuh cinta. Apakah dia juga rasakan hal yang sama?
            Kupandangi kotak bekalku yang berisi roti bakar coklat-keju yang masih panas. Aku teringat pria itu, teringat kala kami saling bertukar roti bakar dan susu sirup di kala hujan. Apakah dia juga ingat pada roti bakar coklat-kejuku?
            Aku rindu padanya! Hujan, Roti bakar, dan susu sirup jadi hal penting dalam hidupku. Tiga hal yang mungkin sepele bagi orang lain, tapi jadi sesuatu yang klasik dalam memori otakku.
            “Masih mau susu sirup melon?”
            Suara itu… Aku menoleh. Kedua mataku langsung membulat. Aku beranjak dari tempatku berdiri tanpa kata keluar dari bibirku.
            Dinas.
            Pria itu tersenyum.
            “Hai,” ucapnya pelan.
            Aku melongo. Terdiam. Bungkam.
            “Hai,” ulangnya.
            Aku menelan ludah, kemudian memaksakan senyum, sebuah senyum yang lebih pantas disebut seringai.
            “Ha-hai.”
            Dinas tersenyum. Nanar.
            Aku mengamati setiap perubahan pada tubuhnya. Perban menghiasi kepala dan kakinya. Sebuah tongkat menjadi pembantunya dalam menopang tubuh. Aku mengerutkan kening.
            “Kamu kenapa?” tanyaku cemas.
            Bukannya menjawab, Dinas malah menyunggingkan senyum. Ia beranjak duduk di bangku panjang halte yang terasa dingin karena cuaca pagi yang memang beku.
            “Berangkat dagang lebih pagi, bikin kita lama nggak ketemu ya?” tanyanya sambil menatapku.
            Aku terdiam. Kedua mataku menatapnya dengan tatapan dalam.
            “Berangkat lebih pagi itu bikin capek, bikin ngantuk. Tapi sama-sama laku karena pagi juga dingin, meski bukan musim hujan.”
            Aku mengerutkan kening, bingung dengan tujuan kalimat yang disampaikannya.
            “Berangkat lebih pagi juga bikin aku harus relain sesuatu yang berharga; ketemu sama kamu.”
            Aku menelan ludah. Menatap Dinas lebih dalam. Kata tak ada yang mau keluar dari bibirku. Aku tak percaya.
            “Berangkat lebih pagi, juga bikin aku sering kehilangan konsentrasi karena masih ngantuk,” Dinas tertawa sendiri. Tawa renyah yang dia miliki dan menjadi bahan utama atas kerinduanku kepadanya akhirnya datang lagi. “Dan akhirnya, this is it!”
            Dinas menunjuk kakinya yang diperban sekaligus kedua tongkat yang tadi membantunya menopang tubuh. Ia tersenyum kepadaku yang menatapnya dengan miris.
            “Karena ngantuk, nggak konsentrasi, kecelakaan deh. Dan sekarang,” Dinas menggantung kalimatnya. “Aku cacat.”
            Aku terenyuh. Ucapannya terhadap kata ‘cacat’ sangat santai, seolah-olah cacat bukanlah akhir dari segalanya. Untuk yang entah ke berapa kali, Dinas berhasil membuatku terpana.
            Di pagi yang masih sepi ini, kedua tangan pria itu memutuskan untuk menggenggam kedua tanganku. Ada sebuah rasa yang aneh kala indera peraba kami saling berinteraksi. Panas. Dingin. Jantung berdegup tak pasti. Segala sesuatu terasa tak nyata namun luar biasa.
            Dinas menatapku. Dalam.
            “Kamu pasti nungguin aku, kan?” tanyanya lembut.
            Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab dengan apa; dengan anggukkan kepala, ataukah dengan ungkapan kata? Aku pilih yang pertama.
            “Kamu masih mau nungguin aku dengan kondisi yang seperti ini?”
            Untuk menjawab pertanyaan yang satu itu, aku pilih pilihan yang kedua. “Ya,” jawabku dengan mantap.
            Dinas tersenyum, kemudian memelukku. Sejenak. Kemudian melepaskan lagi dan menatap kedua mataku.
            “Del, kamu mau nerima aku apa adanya, nerima cinta ini meski ini dari raga yang tak lagi sempurna, dan kamu mau selalu menunggu aku meski aku nggak pernah kembali?”
            Aku menelan ludah.
            “Aku menunggu kamu dengan raga yang biasa, aku menunggu kamu dengan rindu yang luar biasa, tak perlu kamu datang dengan raga yang sempurna seperti dewa, aku akan menerima kamu. Menerima cinta kamu.”
            Dinas tersenyum. Satu kecupan hangat menghiasi keningku, sebelum bus yang senantiasa menelanku di perutnya tiba dari perempatan jalan dekat halte.
           

            

Selasa, 20 Agustus 2013

Hujan, Roti Bakar, dan Susu Sirup 3

Aku menghirup udara beku pagi hari. Menurut perkiraan cuaca, hari ini adalah musim hujan yang terakhir. Aku menyambut berita  perkiraan cuaca tersebut dengan antusiasme yang tinggi. Tentu saja, besok aku bisa menikmati betapa cerahnya pagi yang ditemani matahari yang selama enam bulan terakhir ini tertutup oleh awan mendung dan hujan kala pagi yang terjadi setiap hari. Aneh memang, tetapi begitulah faktanya.
            Langkah-langkah kecilku menyeruak hujan sementara kepalaku terlindung oleh payung yang bertengger dalam genggaman. Hari esok, datanglah! Hujan kala pagi, pergilah!
            Aku berjalan menuju halte bus. Seperti biasa, Dinas sudah duduk di sana dengan korannya yang setia. Langkah-langkah yang awalnya hanya langkah kecil berubah jadi langkah-langkah panjang yang cepat alias berlari. Aku mendekatinya dengan penuh kesadaran bahwa Dinas adalah penyemangat pagi, meski matahari tak pernah bersinar selama musim penghujan.
            Dinas menyambutku dengan senyumannya. Aku duduk di samping pria yang umurnya lebih tua tiga tahun dari aku tersebut. Tidak terasa, sudah enam bulan lamanya aku dan Dinas berteman. Kami saling bertukar cerita, pengalaman, kisah, di tempat yang sama; di satu posisi yang sama, dan di suasana yang sama; suasana beku yang tercipta karena hujan kala pagi.
            Tanpa aba-aba, kubuka tas sekolaku. Kuraih tempat bekalku dan kuserahkan pada Dinas yang langsung menerimanya dengan senang hati dan melakukan hal yang sama denganku.
            “Wah, meisesnya ganti ya?” tanya Dinas polos sambil mengunyah roti bakar yang aku berikan kepadanya.
            Aku tertawa mendengar pertanyaan Dinas. “Itu bukan meises, itu keju! Tapi, tetap enak kan rasanya?”
            Mendengar penjelasanku, Dinas ikut tertawa. “Oh, kirain,” celetuknya dengan wajah lugu yang lucu.
            Aku memberikan ekspresi jijik melihat susu sirup pemberian Dinas kepadaku. “Susu sirup apaan nih? Kok warnanya hijau? Kamu pakai sirup rasa rumput ya?” tanyaku ragu, membuat Dinas langsung tertawa.
            “Itu bukan sirup rasa rumput, itu sirup rasa melon. Enak, kan?”
            Aku yang sednag mencobanya langsung mengangguk. Memang benar, susu sirup rasa melon tidak kalah enak dengan susu sirup rasa strawberry.
            “Ngomong-ngomong, hari ini kamu ceria banget. Kenapa?”
            Aku langsung menoleh dengan antusias ketika mendengar pertanyaan Dinas.
            “Iyalah, Nas aku seneng! Menurut berita perkiraan cuaca, hari ini adalah musim hujan terakhir. Akhirnya, setelah sekian lama, hujan kala pagi yang bikin males dan bikin kedinginan berhenti sudah!” kataku menjelaskan dengan nada-nada ceria.
            Bukannya ikut senang, Dinas malah menghembuskan nafas kecewa yang membuatku langsung menoleh dan bertanya, “Kamu kenapa?”
            Dinas menatap bulir-bulir air yang berjatuhan membentur jalanan. Sekali lagi, ia menghembuskan nafas kecewa. “Aku suka banget sama hujan, Del. Selain suka sama suasanya, aku juga suka sama awan mendungnya.
            Hujan punya arti besar buatku. Hujan juga salah satu faktor yang bikin susu sirupku lebih laku dari biasanya. Kamu tau kan, jarang orang yang mau minum susu sirup hangat pas musim kemarau? Buat apa minum susu sirup hangat di hari yang panas?”            Dinas mengalihkan pandangannya kepadaku.
            “Tapi kalau musim hujan, banyak kan peminat susu sirup hangat?”
            Sejenak, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh Dinas membuatku terdiam dengan mulut melongo. Benar juga, batinku. Tapi…
            “Awal aku kenal kamu, aku tahu kalau kamu adalah orang yang gigih banget, nggak peduli sama kondisi apapun. Tapi ternyata, aku salah ya?” ucapku membuat Dinas menatapku lebih dalam.
            “Ternyata, hanya karena perubahan musim kamu jadi cemen begini. Kamu jadi nggak percaya diri lagi, kamu jadi nggak yakin kalau kamu bisa jual semua susu sirup kamu meski saat ini bukan musim penghujan.”
            Dinas menatapku, kemudian tersenyum.
            Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Dinas erat dan hangat. Aku membalas senyumannya. “Kamu bisa, Nas. Kamu bisa, meski esok bukan musim hujan. Aku akan terus sembahyang, supaya susu sirup kamu laku, perjuangan kamu nggak akan pernah bisa padam, dan segala cita-cita kamu bisa terwujud.”
            Dinas tertawa kecil. “Amin,” katanya kemudian menunjuk ke perempatan dekat halte dengan dagu.
            Sial.
            Aku sudah tahu apa artinya ini. Busku sudah datang dan aku harus berpisah dengan Dinas. Aku benci pada saat-saat seperti ini tiba dan terjadi. Tidak bisakah aku dan Dinas duduk berdua di tempat ini lebih lama?
            Ketika busku tiba di hadapan mata, aku dan Dinas saling berpamitan. Mata bertemu dengan mata, senyum bertemu dengan senyum. Kemudian, aku masuk ke dalam perut bus yang setia menelanku setiap pagi.


(Bersambung…)