Sebuah puisi lagi.
Ku ambil
selembar kertas bertinta itu di mejaku sambil menghembuskan nafas kesal. Sudah
dua bulan ini, ada selembar puisi yang selalu menghias mejaku tiap pagi.
Selembar puisi tanpa nama. Selalu tanpa nama, meski goresan-goresan tinta yang
menghias selembar kertas putih itu sangatlah indah.
Aku meraihnya,
hatiku sudah terlalu kesal melihat puisi-puisi itu menyambutku setiap pagi.
Hasratku ingin kedua tangan ini merobeknya, membelahnya menjadi dua dengan
harapan bisa menghilangkan rasa penasaran dalam dadaku terhadap sang pengirim
puisi yang amat sangat misterius.
Awalnya, aku
sudah mencari siapa sang pengirim puisi indah itu. Tetapi lama-kelamaan aku
bosan juga. Aku kesal. Aku capek. Hasilnya selalu nihil.
Awalnya pula,
aku mencurigai seorang siswa dari kelas sebelah yang katanya memang suka
padaku. Aku dan teman-temanku yang setia menggerebeknya ketika dia sedang makan
bakso di kantin. Kami mencocokkan gaya
penulisannya dengan gaya
sang penulis puisi yang misterius. Tetapi hasilnya? Nihil.
Aku menyerah.
Aku tak lagi mencari siapa gerangan sang penulis. Toh, kalau dia benar-benar
mencintaiku persis seperti yang dia tulis dalam puisi-puisinya, dia akan datang
padaku suatu saat nanti.
Aku memang
belum menemukannya. Aku memang kesal padanya. Aku benci pada sifat pengecut
sang penulis yang tidak mau membuka topengnya. Tetapi diam-diam, ada sesuatu
yang aneh dalam dadaku ketika aku mendapatkan puisi-puisi itu hingga aku tak
sanggup untuk sekalipun merobek salah satunya. Sesuatu itu selalu muncul dan
menyergap, sesuatu itu mengurungku hingga akhirnya aku—mau tak mau—harus
mengakui bahwa aku juga mengagumi dia, tak hanya puisinya, tetapi juga raganya
yang masih berupa siluet alias bayang-bayang.
***
Aku menuruni
tangga kelasku sendirian siang itu. Kuperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Sudah
pasti, ini bukan jam istirahat. Ini masih jam pelajaran tetapi aku izin ke
kamar mandi untuk buang air kecil.
Seorang guru
tiba-tiba lewat dari koridor yang lain. Kami berpapasan. Pak Sandy. Aku
tersenyum padanya. Entah mengapa, guru itu tak pernah memandang mataku. Ia juga
tersenyum, tetapi tatapannya ke arah yang lain.
Guru
itu masih tergolong baru, baru enam bulan dia bekerja di sekolah ini sebagai
guru Sastra dan Bahasa Indonesia. Dia sosok guru yang paling muda di sekolah
kami. Sebuah kacamata menghiasi matanya. Hidungnya tak terlalu mancung. Garis
wajah yang tegas membuatnya dihargai oleh seisi sekolah meski dia masih muda.
Tampan, kesanku pertama kali ketika melihatnya.
Pak
Sandy melewati aku. Aku meliriknya. Lebih tepatnya, melirik ‘sesuatu’ yang
selalu dia bawa kemanapun ia pergi. Sesuatu itu adalah sebuah buku bewarna
hitam. Aku tak tahu apakah Pak Sandy adalah
orang-orang gothic, tetapi segala
sesuatu yang menempel di tubuhnya bewarna hitam. Selalu bewarna hitam.
Tetapi
itu semua tidaklah terlalu mencuri perhatian. Menurutku, pria yang menyukai
warna hitam adalah keren. Namun ada sesuatu yang berbeda dari buku agenda hitam
yang selalu dibawanya. Buku itu bagaikan sebuah ciri khas yang endemik untuk
Pak Sandy. Buku itu mencurigakan. Buku itu adalah mantra, yang sejak pertama
kali aku melihatnya membuatku ingin membuka apa isinya. Pak Sandy juga tak
pernah membuka buku itu di depan murid-muridnya. Seolah-olah dia takut, buku
itu akan memberikan malapetaka bagi orang lain.
Aku
melanjutkan langkah ketika Pak Sandy berbelok ke koridor yang lain. Buku itu…
lebih sering mencuri rasa ingin tahuku dibandingnkan Pak Sandy yang sebenarnya
juga mencuri perhatianku. Misterius.
***
Aku sering bertanya kepada Tuhan
Bagaimana caranya mencipta wajah
ayumu
Aku sering bertanya kepada Dewa
Apakah kau menghukum salah satu
perimu
Agar ia turun ke dunia
Kembang pun tak secantik geranganmu
Sinar bulan pun tak seterang
pesonamu
Kuning padi bagai kulitmu
Membahagiakan
Membawaku selalu ingin bersyukur
Bagaikan petani yang selalu mendamba
sawahnya akan subur
Penggalih renaku tak mau mengurangi
tresnaku padamu
Tubuh ini tak mau berhenti untuk
selalu memujamu
Tangan ini tak pernah mau diam untuk
selalu memujimu melalui puisi
Sifat pengecut ini tak mau hilang
karena tak berani
Mengungkapkan rasa kepada seorang dewi
Hati ini selalu melantunkan pujian
dalam sembahyang
Agar kau, periku, bidadariku, dewiku
Sehat ragamu
Dan suatu saat nanti
Kau dan aku akan menyatu
(Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar