Rabu, 07 Agustus 2013

Puisi Tanpa Raga

Sebuah puisi lagi.
Ku ambil selembar kertas bertinta itu di mejaku sambil menghembuskan nafas kesal. Sudah dua bulan ini, ada selembar puisi yang selalu menghias mejaku tiap pagi. Selembar puisi tanpa nama. Selalu tanpa nama, meski goresan-goresan tinta yang menghias selembar kertas putih itu sangatlah indah.
Aku meraihnya, hatiku sudah terlalu kesal melihat puisi-puisi itu menyambutku setiap pagi. Hasratku ingin kedua tangan ini merobeknya, membelahnya menjadi dua dengan harapan bisa menghilangkan rasa penasaran dalam dadaku terhadap sang pengirim puisi yang amat sangat misterius.
Awalnya, aku sudah mencari siapa sang pengirim puisi indah itu. Tetapi lama-kelamaan aku bosan juga. Aku kesal. Aku capek. Hasilnya selalu nihil.
Awalnya pula, aku mencurigai seorang siswa dari kelas sebelah yang katanya memang suka padaku. Aku dan teman-temanku yang setia menggerebeknya ketika dia sedang makan bakso di kantin. Kami mencocokkan gaya penulisannya dengan gaya sang penulis puisi yang misterius. Tetapi hasilnya? Nihil.
Aku menyerah. Aku tak lagi mencari siapa gerangan sang penulis. Toh, kalau dia benar-benar mencintaiku persis seperti yang dia tulis dalam puisi-puisinya, dia akan datang padaku suatu saat nanti.
Aku memang belum menemukannya. Aku memang kesal padanya. Aku benci pada sifat pengecut sang penulis yang tidak mau membuka topengnya. Tetapi diam-diam, ada sesuatu yang aneh dalam dadaku ketika aku mendapatkan puisi-puisi itu hingga aku tak sanggup untuk sekalipun merobek salah satunya. Sesuatu itu selalu muncul dan menyergap, sesuatu itu mengurungku hingga akhirnya aku—mau tak mau—harus mengakui bahwa aku juga mengagumi dia, tak hanya puisinya, tetapi juga raganya yang masih berupa siluet alias bayang-bayang.
***
Aku menuruni tangga kelasku sendirian siang itu. Kuperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Sudah pasti, ini bukan jam istirahat. Ini masih jam pelajaran tetapi aku izin ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Seorang guru tiba-tiba lewat dari koridor yang lain. Kami berpapasan. Pak Sandy. Aku tersenyum padanya. Entah mengapa, guru itu tak pernah memandang mataku. Ia juga tersenyum, tetapi tatapannya ke arah yang lain.
            Guru itu masih tergolong baru, baru enam bulan dia bekerja di sekolah ini sebagai guru Sastra dan Bahasa Indonesia. Dia sosok guru yang paling muda di sekolah kami. Sebuah kacamata menghiasi matanya. Hidungnya tak terlalu mancung. Garis wajah yang tegas membuatnya dihargai oleh seisi sekolah meski dia masih muda. Tampan, kesanku pertama kali ketika melihatnya.
            Pak Sandy melewati aku. Aku meliriknya. Lebih tepatnya, melirik ‘sesuatu’ yang selalu dia bawa kemanapun ia pergi. Sesuatu itu adalah sebuah buku bewarna hitam. Aku tak tahu apakah Pak Sandy adalah orang-orang gothic, tetapi segala sesuatu yang menempel di tubuhnya bewarna hitam. Selalu bewarna hitam.
            Tetapi itu semua tidaklah terlalu mencuri perhatian. Menurutku, pria yang menyukai warna hitam adalah keren. Namun ada sesuatu yang berbeda dari buku agenda hitam yang selalu dibawanya. Buku itu bagaikan sebuah ciri khas yang endemik untuk Pak Sandy. Buku itu mencurigakan. Buku itu adalah mantra, yang sejak pertama kali aku melihatnya membuatku ingin membuka apa isinya. Pak Sandy juga tak pernah membuka buku itu di depan murid-muridnya. Seolah-olah dia takut, buku itu akan memberikan malapetaka bagi orang lain.
            Aku melanjutkan langkah ketika Pak Sandy berbelok ke koridor yang lain. Buku itu… lebih sering mencuri rasa ingin tahuku dibandingnkan Pak Sandy yang sebenarnya juga mencuri perhatianku. Misterius.
***
            Aku sering bertanya kepada Tuhan
            Bagaimana caranya mencipta wajah ayumu
            Aku sering bertanya kepada Dewa
            Apakah kau menghukum salah satu perimu
            Agar ia turun ke dunia

            Kembang pun tak secantik geranganmu
            Sinar bulan pun tak seterang pesonamu
            Kuning padi bagai kulitmu
Membahagiakan
Membawaku selalu ingin bersyukur
            Bagaikan petani yang selalu mendamba sawahnya akan subur
           
            Penggalih renaku tak mau mengurangi tresnaku padamu
            Tubuh ini tak mau berhenti untuk selalu memujamu
            Tangan ini tak pernah mau diam untuk selalu memujimu melalui puisi
            Sifat pengecut ini tak mau hilang karena tak berani
Mengungkapkan rasa kepada seorang dewi
            Hati ini selalu melantunkan pujian dalam sembahyang
            Agar kau, periku, bidadariku, dewiku
            Sehat ragamu
            Dan suatu saat nanti

            Kau dan aku akan menyatu

(Bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar