Apa yang sedang dia lakukan?
Tweet.
Aku membaca kembali apa yang aku tulis di timeline twitter-ku. Semua tweet itu hanya untuk seseorang.
Seseorang yang sama. Seseorang yang dicintainya. Seseorang yang selalu
membuatnya merasa rindu.
Damn, I miss you hardly! I never
feel like it before.
Satu tweet lagi. Masih untuk orang yang sama.
Zafran. Aku tersenyum, hangat terasa ketika hatiku menyebutkan namanya. Zafran,
Zafran, dan Zafran. Aku menoleh ke jendela, bulir-bulir hujan masih belum reda.
Under
the rain, waitin' the rainbow. I asked to black skies, how are you?
Aku kembali teringat bagaimana kali
pertama aku bertemu dengan Zafran. Bagaimana aku mengenalnya. Bagaimana aku
mulai kagum padanya, dan bagaimana aku mulai merasa nyaman hingga akhirnya
sayang padanya. Ya, aku menyayanginya. Sangat.
Lagu dari Sherina berjudul Better Than Love mengalun tenang melalui radio
kecil di sampingku, sementara aku kembali duduk di balkon menghadap kepada
sebuah layar laptop. @Rianidw masih dalam keadaan ON. Jari-jariku kembali menari di atas
layar keyboard untuk menulis kalimat-kalimat
indah yang kuharapkan mampu menyampaikan rasa rinduku pada Zafran.
Kecil, pendek, mungil, namun
aku sayang. Sayang sekali padanya.
Satu lagi tweet.
Lagi-lagi untuk Zafran. Aku kembali teringat pada pengalaman beberapa tahun
yang lalu di sebuah stadion yang ada di Surakarta .
Di sanalah aku pertama kali bertemu dengan Zafran.
“Nama kamu siapa?”
Aku menoleh. Seorang cowok kecil namun bertubuh tegap tiba-tiba mengambil
posisi di sampingku. Tersenyum. Aku biasanya tidak mau menanggapi sapaan
mereka, orang yang tidak mengenal aku. Namun saat itu, bibirku berhasrat untuk
menjawab. Entah mengapa, angin serasa menyentuh kulitku untuk percaya
kepadanya.
“Riani,” jawabku sambil membalas
senyuman cowok itu.
Tanpa menoleh, cowok itu bertanya.
“Anak SMA Werkudara ya?”
Aku mengerutkan kening, bingung dan terkejut. “Kok tau?”
Aku mengerutkan kening, bingung dan terkejut. “Kok tau?”
“Kenal Lidya?”
Aku tampak berpikir. “Kenal. Dia
temanku.”
Cowok itu
tersenyum. “Titip salam, ya? Buat Lidya.”
Aku membalas
senyuman cowok itu. Sesekali kuperhatikan dirinya melalui sudut mata. Ada sorot mata jahil di
kedua mata cowok itu. Kedua mataku membulat, jantungku berdegup, aku kaget.
Cowok itu menoleh tiba-tiba, ketika aku sedang memandanginya menggunakan manik
mata.
“Aku pamit duluan,
ya?” Cowok itu tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya.
Aku mengangguk,
kubalas uluran tangannya. “Eh, iya.” Hatiku pun kembali merasa sepi.
Cowok itu mulai
beranjak pergi.
Tapi, tunggu dulu.
“Hei!” panggilku, membuatnya menghentikan langkah. Tanpa menoleh. Tanpa
menatapku.
“Nama kamu siapa?”
tanyaku sebelum cowok itu memutuskan untuk melanjutkan langkah kakinya.
“Zafran,” jawabnya
dari balik punggung. Masih tanpa menoleh, membuatku makin bertanya-tanya: Siapa
dia? Dan aku tau; kami akan bertemu lagi, suatu saat nanti.
“Jadi, salam buat
Lidya dari seseorang bernama Zafran, begitu?”
Cowok itu
mengangguk. Tetap tanpa menoleh. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali
melangkah pergi.
Dan aku keluar dari lamunanku. Hujan seperti tidak mau
berhenti. Terus-menerus airnya mengalir dan udara yang dingin membekukan hati
yang masih berdiri sendiri. Sesekali kuteguk segelas teh hangat yang uapnya
masih melayang-layang di atas bibir gelas.
Bahkan uap teh
hangat ini dengan gelisah bertanya; bagaimana kabarmu?
Satu tweet lagi.
Masih untuk Zafran. Aku teringat pada cowok itu. Senyumnya. Tawanya. Tubuh
kecilnya. Hingga berbagai tindakan ajaib yang Zafran lakukan untukku, seorang
Riani.
Hujan tak mau
berhenti berlari tuk terus berkata; aku rindu padamu.
Lagi-lagi untuk Zafran.
And the air want
to let you know that I love you. Always.
Aku tersenyum sambil membaca kembali semua tweet yang aku buat. Namun hati tetap
terasa sepi. Aku melihat lurus-lurus ke depan, memandangi pohon-pohon yang
tertiup angin kencang di antara rintik hujan, di antara awan mendung yang
menutup lembayung. Aku melamun. Nelangsa.
No star, no love,
no warm. Only miss. Rindu yang tak pasti, yang tak tersampaikan.
Tiba-tiba bel berbunyi. Aku terperanjat dari lamunanku. Aku
segera berlari turun. Jantungku berdegup cepat tanpa alasan pasti. Lebih cepat,
lebih keras.
Aku menambah kecepatan ketika menuruni anak-anak tangga.
Bel berbunyi makin garang…
Dan pada akhirnya.
Pintu dibuka. Aku melongo. “Zafran?”
“Aku di sini, menjawab semua rasa rindumu.”
kereeennnnn! aku suka banget :)
BalasHapusMakasih, 'malaikat' ;)
BalasHapus