Sabtu, 03 Agustus 2013

Tweet Untuk Zafran

Apa yang sedang dia lakukan?
Tweet.
           
Aku membaca kembali apa yang aku tulis di timeline twitter-ku. Semua tweet itu hanya untuk seseorang. Seseorang yang sama. Seseorang yang dicintainya. Seseorang yang selalu membuatnya merasa rindu.

          Damn, I miss you hardly! I never feel like it before.

Satu tweet lagi. Masih untuk orang yang sama. Zafran. Aku tersenyum, hangat terasa ketika hatiku menyebutkan namanya. Zafran, Zafran, dan Zafran. Aku menoleh ke jendela, bulir-bulir hujan masih belum reda.

         Under the rain, waitin' the rainbow. I asked to black skies, how are you?

Aku kembali teringat bagaimana kali pertama aku bertemu dengan Zafran. Bagaimana aku mengenalnya. Bagaimana aku mulai kagum padanya, dan bagaimana aku mulai merasa nyaman hingga akhirnya sayang padanya. Ya, aku menyayanginya. Sangat.

Lagu dari Sherina berjudul Better Than Love mengalun tenang melalui radio kecil di sampingku, sementara aku kembali duduk di balkon menghadap kepada sebuah layar laptop. @Rianidw masih dalam keadaan ON. Jari-jariku kembali menari di atas layar keyboard untuk menulis kalimat-kalimat indah yang kuharapkan mampu menyampaikan rasa rinduku pada Zafran.

          Kecil, pendek, mungil, namun aku sayang. Sayang sekali padanya.

Satu lagi tweet. Lagi-lagi untuk Zafran. Aku kembali teringat pada pengalaman beberapa tahun yang lalu di sebuah stadion yang ada di Surakarta. Di sanalah aku pertama kali bertemu dengan Zafran.

“Nama kamu siapa?” Aku menoleh. Seorang cowok kecil namun bertubuh tegap tiba-tiba mengambil posisi di sampingku. Tersenyum. Aku biasanya tidak mau menanggapi sapaan mereka, orang yang tidak mengenal aku. Namun saat itu, bibirku berhasrat untuk menjawab. Entah mengapa, angin serasa menyentuh kulitku untuk percaya kepadanya.
            “Riani,” jawabku sambil membalas senyuman cowok itu.
            Tanpa menoleh, cowok itu bertanya. “Anak SMA Werkudara ya?”
            Aku mengerutkan kening, bingung dan terkejut. “Kok tau?”
            “Kenal Lidya?”
            Aku tampak berpikir. “Kenal. Dia temanku.”
Cowok itu tersenyum. “Titip salam, ya? Buat Lidya.”
Aku membalas senyuman cowok itu. Sesekali kuperhatikan dirinya melalui sudut mata. Ada sorot mata jahil di kedua mata cowok itu. Kedua mataku membulat, jantungku berdegup, aku kaget. Cowok itu menoleh tiba-tiba, ketika aku sedang memandanginya menggunakan manik mata.
“Aku pamit duluan, ya?” Cowok itu tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya.
Aku mengangguk, kubalas uluran tangannya. “Eh, iya.” Hatiku pun kembali merasa sepi.
Cowok itu mulai beranjak pergi.
Tapi, tunggu dulu. “Hei!” panggilku, membuatnya menghentikan langkah. Tanpa menoleh. Tanpa menatapku.
“Nama kamu siapa?” tanyaku sebelum cowok itu memutuskan untuk melanjutkan langkah kakinya.
“Zafran,” jawabnya dari balik punggung. Masih tanpa menoleh, membuatku makin bertanya-tanya: Siapa dia? Dan aku tau; kami akan bertemu lagi, suatu saat nanti.
“Jadi, salam buat Lidya dari seseorang bernama Zafran, begitu?”
Cowok itu mengangguk. Tetap tanpa menoleh. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali melangkah pergi.

Dan aku keluar dari lamunanku. Hujan seperti tidak mau berhenti. Terus-menerus airnya mengalir dan udara yang dingin membekukan hati yang masih berdiri sendiri. Sesekali kuteguk segelas teh hangat yang uapnya masih melayang-layang di atas bibir gelas.

Bahkan uap teh hangat ini dengan gelisah bertanya; bagaimana kabarmu?

Satu tweet lagi. Masih untuk Zafran. Aku teringat pada cowok itu. Senyumnya. Tawanya. Tubuh kecilnya. Hingga berbagai tindakan ajaib yang Zafran lakukan untukku, seorang Riani.

Hujan tak mau berhenti berlari tuk terus berkata; aku rindu padamu.

Lagi-lagi untuk Zafran.

And the air want to let you know that I love you. Always.

Aku tersenyum sambil membaca kembali semua tweet yang aku buat. Namun hati tetap terasa sepi. Aku melihat lurus-lurus ke depan, memandangi pohon-pohon yang tertiup angin kencang di antara rintik hujan, di antara awan mendung yang menutup lembayung. Aku melamun. Nelangsa.

No star, no love, no warm. Only miss. Rindu yang tak pasti, yang tak tersampaikan.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku terperanjat dari lamunanku. Aku segera berlari turun. Jantungku berdegup cepat tanpa alasan pasti. Lebih cepat, lebih keras.
Aku menambah kecepatan ketika menuruni anak-anak tangga.
Bel berbunyi makin garang…
Dan pada akhirnya.
Pintu dibuka. Aku melongo. “Zafran?”
“Aku di sini, menjawab semua rasa rindumu.”



2 komentar: