Rabu, 07 Agustus 2013

Puisi Tanpa Raga 3

Tresna tak dapat menghilang
            Raga tak mau menyerah
            Jiwa tetap bertahan
            Hati tetap menyayang
            Bagai prajurit merindu ratu
            Bagai punuk merindu bulan
            Aku tak mampu berhenti
            Aku tak mampu menahan
            Rasa ini terus berjalan
            Meski sinar matahari telah terbenam

            Kau terlalu ayu
            Kau terlalu manis
            Aku terlalu memujamu
            Aku terlalu mendambamu
           
            Kaukah dewi penjaga bulan?
            Kaukah peri yang memberi mimpi indah tiap malam?
            Aku menunggumu
            Aku menunggu waktu yang tepat
           
            Bidadariku, mimpi indahku, kembang katresnanku
            Bisakah kita bertemu?
            Kala matamu terpejam
            Bayangkanlah bagaimana bentuk ragaku

            Puisi tanpa raga ini akan tampak suatu hari nanti
            Bersabarlah
            Bersabarlah, sayang.

Satu puisi lagi! Seperti biasa, tanpa nama!
            Aku menghembuskan nafas kesal. Siapakah kamu? Jantungku berdegup. Aku tak tahu mengapa. Pagi ini, segala sesuatu terasa berbeda.
            Pagi ini, aku merasa sang penulis akan mendekat.
            Pagi ini misteri.
            Pagi ini, aku menanti.
***
            Ternyata tak ada sesuatu yang spesial pada pagi hari ini. Aku mendesah kecewa. Dengan tampang kesal kubaca lagi tumpukan puisi yang selalu menyambutku tiap pagi di meja kelasku. Sesekali kuteguk segelas kopi hangat. Kafe langgananku tampak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung termasuk aku. Tidak seperti biasa.
            Hari ini entah apa yang akan terjadi, jantungku berdegup tak menentu. Rasa-rasanya, aku akan mendapat jawaban tentang sesuatu yang menjadi pertanyaanku akhir-akhir ini.
            Aku menghembuskan nafas panjang. Kuraih gelas kopiku. Aku mengangkat wajah. Baru saja aku akan meneguk kopi itu, ‘sesuatu’ membuatku tersedak. ‘Sesuatu’ itu membuatku terperanjat.
            Jantungku berdegup.
            Sesuatu itu adalah Pak Sandy yang sedang duduk sambil menulis di buku agenda hitamnya di sudut ruangan dekat jendela dan tidak menyadari bahwa aku sedang mengawasinya.
            Keningku berkerut. Sejak kapan guru bahasa itu ada di sana?
            Aku mengemasi tumpukan puisiku. Aku beranjak dari tempat dudukku. Kulangkahkan kaki mendekati Pak Sandy yang masih menulis di buku agenda hitamnya dan tidak menyadari bahwa aku mulai mendekat.
            Aku berdeham. “Pak Sandy?”
            Pak Sandy langsung terperanjat dan mengangkat wajahnya sambil tergesa-gesa menutupnya buku agenda hitamnya. Aku mengangkat alis melihat sikapnya. Guru ini memang… misterius.
            “Eh, kamu.” Pak Sandy mencoba tersenyum, tetapi tetap saja ia terlihat canggung.
            “Iya, Pak.” Sial, aku jadi ikutan canggung. Melihat bangku yang kosong di hadapannya, aku segera mengambil inisiatif. “Saya boleh duduk di sini ya, Pak?”
            Pak Sandy mengangguk. “Silakan.”
            Aku duduk. Kuamati tingkahnya. Canggung. Guru Sastra Indonesia itu merapikan kertas-kertasnya. Buku agenda hitamnya? Tak mungkin ia lupa.
            “Saya ganggu ya, Pak?” tanyaku masih agak canggung.
            Pak Sandy tertawa kecil. “Enggak, nggak ganggu kok.”
            “Syukur, deh. Ngomong-ngomong, Pak Sandy ngapain di sini?”
            Pak Sandy menatapku. Pertama kali ia menatapku. Jantungku berdegup. Ada sensasi yang berbeda ketika pandangan kami bertemu.
            “Koreksian saya belum selesai. Saya bosen koreksi di rumah. Kamu sendiri ngapain?”
            Aku menunjuk-nunjuk tumpukkan puisi yang sejak tadi kubawa. “Ya gara-gara ini. Gara-gara ini saya harus cari suasana beda biar bisa nikmati apa yang ditulis di kertas-kertas ini.”
            Pak Sandy tersenyum. “Kenapa?” tanyanya.
            Aku mengangkat bahu. “Puisi ini aneh, Pak. Tanpa pengirim. Tanpa nama. Tapi puisi ini bikin saya jatuh cinta. Dan mungkin, saya jatuh cinta juga pada penulisnya, meski penulis itu tak menunjukkan raga.”
            Pak Sandy terdiam. Ia menatapku dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Ada suasana dan hawa yang aneh ketika kami terdiam dalam pandang.
            “Kamu jatuh cinta sama penulisnya?”
            Aku mengangkat alis mendengar pertanyaan Pak Sandy yang dilantunkan dengan nada suara yang lembut namun serasa bermakna dalam dan tegas. Aku menelan ludah kemudian mengangguk ragu. Mata Pak Sandy menatap kedua mataku tepat di manik mata. Dalam. Aku serasa terhunus.
            “Iya, Pak. Meski saya nggak tau bentuk atas raga penulis itu, saya tau dan saya paham bahwa dia punya cinta yang besar buat saya.”
            Pak Sandy masih saja menatapku dalam-dalam. Ia tidak bergeming ke situasi manapun. Bibirnya mulai terbuka, tanda ingin mengatakan sesuatu. Tetapi baru saja ia akan mengeluarkan suara, handphone-nya berbunyi.
            Pak Sandy meraih handphone-nya dari saku celana jeans-nya yang bewarna hitam. Kemudian diletakkan-nya benda itu sehingga menempel di telinganya.
            Raut wajahnya berubah. Sesekali ia menganggukkan kepala dengan kening berkerut. Aku menatap tingkahnya. Guru Sastra Indonesia di hadapanku ini benar-benar misterius. Ia selalu berhasil membuat kedua mataku terpaku kepadanya.
            Beberapa menit kemudian, Pak Sandy mematikan sambungan telefon. Dengan tampang menyesal, ia memasukkan handphone-nya ke saku yang sama. Sepertinya beliau sedang terburu-buru.
            “Saya harus cepat-cepat pulang. Ada urusan mendadak. Maaf ya, Nisa!” Guru misterius itu pun pergi meninggalkanku sambil berlari. Aku terdiam. Sedetik kemudian, aku tersadar. Pak Sandy menyebutkan namaku dan aku suka caranya menyebutkan nama itu. Tenang dan dalam. Tegas. Lembut.
            Jantungku berdegup. Aku menelan ludah. Kedua mataku kemudian terarah pada  tumpukan kertas koreksian Pak Sandy yang tertinggal. Buru-buru kuraih tumpukan kertas itu dan beranjak mengejar Pak Sandy yang—semoga saja—belum jauh.
            Tetapi ‘sesuatu’ terjatuh. ‘Sesuatu’ itu membuatku berhenti melangkah. ‘Sesuatu’ itu membuatku terpaku. Terpana. Terdiam.
            Kedua tanganku meraih ‘sesuatu’ berupa buku agenda hitam yang tergeletak di lantai kafe yang dingin. Aku menatapnya. Penasaran.
            Jantungku makin berdegup tidak tentu ketika buku itu berada di hadapan mataku. Aku kembali menelan ludah. Keningku berkerut membaca tahun buku agenda itu. 2012. Buat apa Pak Sandy masih menyimpan buku agenda tahun 2012?
            Aku tahu sikapku ini lancang. Aku tahu sikapku ini tak pantas dilakukan karena mencampuri urusan orang lain. Tetapi ada sesuatu di dalam sudut hatiku yang mengharuskan aku membukanya.
            Kertas ini awalnya  kosong
            Buku ini awalnya tak berisi
            Dan kau kemudian datang
            Membuatku menggoreskan tinta di atasnya
            Membuatku menggoreskan pujian dengan cinta di dalamnya.
           
            Aku mengerutkan kening. Kubuka halaman berikutnya.

            Koridor bersimpang
            Mata berpapasan
            Jantung langsung berdegup
            Kala senyum menghias hawa yang ada

            Suasana hening
            Hati kosong
            Pikiran kosong
            Jiwa kosong
            Kau penyebabnya

            Brengsek!
            Buat apa Tuhan mencipta mata?
            Kalau menatapmu saja aku tak berani?

            Bangsat!
            Buat apa Tuhan mencipta bibir?
            Kalau indera itu tak berani melengkung membentuk senyum kala kita bertemu?
           
            Ragaku akan tampak
            Dihadapanmu
            Suatu saat nanti
            Dengan cinta,
 Dengan tresna untuk sang pemilik slira yang penuh pesona

Aku terhenyak. Aku teringat puisi pertama di bulan pertama. Kuraih tumpukan puisi yang tadi kuletakkan di meja kafe. Aku mencari puisi pertamaku. Ketemu! Kubaca kata perkata, kalimat per kalimat. Sama.
Kubuka halaman berikutnya dengan perasaan makin tak menentu.

Kepadamu

Kepadamu
Kuberikan
Lagu penuh harapan

Nyanyikanlah di hatimu
Agar aku tak menjauh

Biarkan cinta berlabuh
Di hati yang rindu
Kita akan mendayung jauh
Ke pulau abadi

                                                Depok, 1998
                                                Oleh: Aj Susmana

Aku menelan ludah. Aku membandingkan huruf-huruf yang ada di kertasku dengan huruf-huruf yang tertera di buku agenda hitam milik Pak Sandy. Sama. Persis.
Jam berlalu. Aku masih sibuk membandingkan kata demi kata serta ejaan demi ejaan antara puisi untukku dengan puisi yang ada di buku agenda hitam milik Pak Sandy. Hingga akhirnya, aku harus mengakui bahwa puisi-puisi itu adalah sama. Persis. Puisi-puisi itu adalah—tak lain dan tak bukan—Pak Sandy sendiri.
Angin tiba-tiba bertiup kencang dari luar masuk ke dalam kafe. Kertas-kertas berterbangan, termasuk kertas-kertas koreksian Pak Sandy.
Aku buru-buru meraih kertas-kertas itu dan merapikannya. Tetapi sedetik kemudian, aku kembali terenyak dengan jantung tak dapat berkata-kata. Aku yang biasanya cerewet hanya bisa terdiam
Kertas-kertas yang katanya kertas-kertas koreksian itu ternyata omong kosong. Semua itu bukan koreksian. Semua itu berisi lukisan. Lukisan tentang aku.
***
            “Pak Sandy?”
            Pak Sandy menoleh. Ia tampak terkejut. “Nisa?”
            Aku menelan ludah. Dengan langkah mantap, aku mendekatinya. Pak Sandy memandangku. Lebih tepatnya memandang ‘sesuatu’ yang kusembunyikan di balik punggungku dengan tatapan penasaran dan ingin tahu.
            “Maaf ya, kemarin saya buru-buru pulang. Kamu pasti mau bilang kalau saya nggak bertanggung jawab, kan? Saya emang aneh, tiba-tiba pergi gitu aja waktu kita lagi pengen seru-seruan ngobrol.”
            Aku nyengir, kemudian menggeleng.
            “Bukan itu, Pak.”
            Pak Sandy—dengan kening berkerut—menatapku.
            Aku mengeluarkan ‘sesuatu’ berupa kertas-kertas ‘koreksian’ dan buku agenda hitam dari balik punggungku. “Saya cuma mau bilang, jangan pernah sembunyi-sembunyi lagi.”
            Pak Sandy menelan ludah kemudian menundukkan kepala.
            “Saya udah tau semuanya.”
            Pak Sandy menatapku tepat di manik mata. Lagi, sensasi dan suasana itu datang lagi. Lantai paling atas sekolah yang sepi makin memberikan suasana yang menurutku aneh.
            “Maaf. Saya sadar saya pengecut.”
            Aku terdiam, tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab.
            “Nisa?”
            Gantian aku yang menatapnya.
            “Kamu sudah tau semuanya, kamu menyesal tau raga saya?”
            Aku terenyak. Keningku berkerut. Pak Sandy meraih tanganku yang bebas. Ia menggenggamnya, membuatku ingin bertahan, membuatku merasa tak ingin dia melepaskannya.
            Kepalaku menggeleng. “Saya nggak pernah menyesal. Siapapun pemilik raga atas puisi ini. Cinta yang digoreskan dengan tulus di atas buku ini membuat saya sadar, bahwa saya juga sebenarnya menanti kehadiran sang pemilik raga yang berjiwa.”
            Pak Sandy tersenyum dengan mata masih menatapku. Senyum pertama untukku. Senyum tulus, bukan senyum canggung.
            “Kita sudah bertemu. Saya sudah bertemu sliramu, kamu sudah bertemu ragaku. Lantas, seperti goresan tinta saya dalam puisi; Kau dan aku, bisakah bertemu? Kau dan aku, bisakah menyatu?”
            Jantungku berdegup tak karuan, jantungku minta dimutahkan. Aku tersenyum haru. Pak Sandy benar-benar mencuri hatiku.
            “Raga sudah bertemu, slira sudah tertuju. Kau dan aku, tentu bisa menyatu,” balasku membuat Pak Sandy tersenyum haru.


2 komentar: