Tresna tak dapat menghilang
Raga tak mau menyerah
Jiwa tetap bertahan
Hati tetap menyayang
Bagai prajurit merindu
ratu
Bagai punuk merindu
bulan
Aku tak mampu berhenti
Aku tak mampu menahan
Rasa ini terus berjalan
Meski sinar matahari
telah terbenam
Kau terlalu ayu
Kau terlalu manis
Aku terlalu memujamu
Aku terlalu mendambamu
Kaukah dewi penjaga
bulan?
Kaukah peri yang
memberi mimpi indah tiap malam?
Aku menunggumu
Aku menunggu waktu
yang tepat
Bidadariku, mimpi
indahku, kembang katresnanku
Bisakah kita bertemu?
Kala matamu terpejam
Bayangkanlah bagaimana
bentuk ragaku
Puisi tanpa raga ini
akan tampak suatu hari nanti
Bersabarlah
Bersabarlah, sayang.
Satu puisi lagi! Seperti biasa,
tanpa nama!
Aku
menghembuskan nafas kesal. Siapakah kamu?
Jantungku berdegup. Aku tak tahu mengapa. Pagi ini, segala sesuatu terasa
berbeda.
Pagi
ini, aku merasa sang penulis akan mendekat.
Pagi
ini misteri.
Pagi
ini, aku menanti.
***
Ternyata
tak ada sesuatu yang spesial pada pagi hari ini. Aku mendesah kecewa. Dengan
tampang kesal kubaca lagi tumpukan puisi yang selalu menyambutku tiap pagi di
meja kelasku. Sesekali kuteguk segelas kopi hangat. Kafe langgananku tampak
sepi. Hanya ada beberapa pengunjung termasuk aku. Tidak seperti biasa.
Hari
ini entah apa yang akan terjadi, jantungku berdegup tak menentu. Rasa-rasanya,
aku akan mendapat jawaban tentang sesuatu yang menjadi pertanyaanku akhir-akhir
ini.
Aku
menghembuskan nafas panjang. Kuraih gelas kopiku. Aku mengangkat wajah. Baru
saja aku akan meneguk kopi itu, ‘sesuatu’ membuatku tersedak. ‘Sesuatu’ itu
membuatku terperanjat.
Jantungku
berdegup.
Sesuatu
itu adalah Pak Sandy yang sedang duduk sambil menulis di buku agenda hitamnya
di sudut ruangan dekat jendela dan tidak menyadari bahwa aku sedang
mengawasinya.
Keningku
berkerut. Sejak kapan guru bahasa itu ada
di sana ?
Aku mengemasi
tumpukan puisiku. Aku beranjak dari tempat dudukku. Kulangkahkan kaki mendekati
Pak Sandy yang masih menulis di buku agenda hitamnya dan tidak menyadari bahwa
aku mulai mendekat.
Aku
berdeham. “Pak Sandy?”
Pak
Sandy langsung terperanjat dan mengangkat wajahnya sambil tergesa-gesa menutupnya
buku agenda hitamnya. Aku mengangkat alis melihat sikapnya. Guru ini memang…
misterius.
“Eh,
kamu.” Pak Sandy mencoba tersenyum, tetapi tetap saja ia terlihat canggung.
“Iya,
Pak.” Sial, aku jadi ikutan canggung. Melihat bangku yang kosong di hadapannya,
aku segera mengambil inisiatif. “Saya boleh duduk di sini ya, Pak?”
Pak
Sandy mengangguk. “Silakan.”
Aku
duduk. Kuamati tingkahnya. Canggung. Guru Sastra Indonesia itu merapikan
kertas-kertasnya. Buku agenda hitamnya? Tak mungkin ia lupa.
“Saya
ganggu ya, Pak?” tanyaku masih agak canggung.
Pak
Sandy tertawa kecil. “Enggak, nggak ganggu kok.”
“Syukur,
deh. Ngomong-ngomong, Pak Sandy ngapain di sini?”
Pak
Sandy menatapku. Pertama kali ia menatapku. Jantungku berdegup. Ada sensasi yang berbeda
ketika pandangan kami bertemu.
“Koreksian
saya belum selesai. Saya bosen koreksi di rumah. Kamu sendiri ngapain?”
Aku
menunjuk-nunjuk tumpukkan puisi yang sejak tadi kubawa. “Ya gara-gara ini.
Gara-gara ini saya harus cari suasana beda biar bisa nikmati apa yang ditulis
di kertas-kertas ini.”
Pak
Sandy tersenyum. “Kenapa?” tanyanya.
Aku
mengangkat bahu. “Puisi ini aneh, Pak. Tanpa pengirim. Tanpa nama. Tapi puisi
ini bikin saya jatuh cinta. Dan mungkin, saya jatuh cinta juga pada penulisnya,
meski penulis itu tak menunjukkan raga.”
Pak
Sandy terdiam. Ia menatapku dalam-dalam. Ada
sesuatu yang berbeda di sana .
Ada suasana dan
hawa yang aneh ketika kami terdiam dalam pandang.
“Kamu
jatuh cinta sama penulisnya?”
Aku
mengangkat alis mendengar pertanyaan Pak Sandy yang dilantunkan dengan nada
suara yang lembut namun serasa bermakna dalam dan tegas. Aku menelan ludah
kemudian mengangguk ragu. Mata Pak Sandy menatap kedua mataku tepat di manik
mata. Dalam. Aku serasa terhunus.
“Iya,
Pak. Meski saya nggak tau bentuk atas raga penulis itu, saya tau dan saya paham
bahwa dia punya cinta yang besar buat saya.”
Pak
Sandy masih saja menatapku dalam-dalam. Ia tidak bergeming ke situasi manapun.
Bibirnya mulai terbuka, tanda ingin mengatakan sesuatu. Tetapi baru saja ia
akan mengeluarkan suara, handphone-nya
berbunyi.
Pak
Sandy meraih handphone-nya dari saku
celana jeans-nya yang bewarna hitam.
Kemudian diletakkan-nya benda itu sehingga menempel di telinganya.
Raut
wajahnya berubah. Sesekali ia menganggukkan kepala dengan kening berkerut. Aku
menatap tingkahnya. Guru Sastra Indonesia
di hadapanku ini benar-benar misterius. Ia selalu berhasil membuat kedua mataku
terpaku kepadanya.
Beberapa
menit kemudian, Pak Sandy mematikan sambungan telefon. Dengan tampang menyesal,
ia memasukkan handphone-nya ke saku
yang sama. Sepertinya beliau sedang terburu-buru.
“Saya
harus cepat-cepat pulang. Ada
urusan mendadak. Maaf ya, Nisa!” Guru misterius itu pun pergi meninggalkanku
sambil berlari. Aku terdiam. Sedetik kemudian, aku tersadar. Pak Sandy
menyebutkan namaku dan aku suka caranya menyebutkan nama itu. Tenang dan dalam.
Tegas. Lembut.
Jantungku
berdegup. Aku menelan ludah. Kedua mataku kemudian terarah pada tumpukan kertas koreksian Pak Sandy yang
tertinggal. Buru-buru kuraih tumpukan kertas itu dan beranjak mengejar Pak
Sandy yang—semoga saja—belum jauh.
Tetapi
‘sesuatu’ terjatuh. ‘Sesuatu’ itu membuatku berhenti melangkah. ‘Sesuatu’ itu
membuatku terpaku. Terpana. Terdiam.
Kedua
tanganku meraih ‘sesuatu’ berupa buku agenda hitam yang tergeletak di lantai
kafe yang dingin. Aku menatapnya. Penasaran.
Jantungku
makin berdegup tidak tentu ketika buku itu berada di hadapan mataku. Aku
kembali menelan ludah. Keningku berkerut membaca tahun buku agenda itu. 2012.
Buat apa Pak Sandy masih menyimpan buku agenda tahun 2012?
Aku
tahu sikapku ini lancang. Aku tahu sikapku ini tak pantas dilakukan karena
mencampuri urusan orang lain. Tetapi ada sesuatu di dalam sudut hatiku yang
mengharuskan aku membukanya.
Kertas ini awalnya kosong
Buku ini awalnya tak
berisi
Dan kau kemudian
datang
Membuatku menggoreskan
tinta di atasnya
Membuatku menggoreskan
pujian dengan cinta di dalamnya.
Aku mengerutkan
kening. Kubuka halaman berikutnya.
Koridor bersimpang
Mata berpapasan
Jantung langsung
berdegup
Kala senyum menghias
hawa yang ada
Suasana hening
Hati kosong
Pikiran kosong
Jiwa kosong
Kau penyebabnya
Brengsek!
Buat apa Tuhan
mencipta mata?
Kalau menatapmu saja
aku tak berani?
Bangsat!
Buat apa Tuhan
mencipta bibir?
Kalau indera itu tak
berani melengkung membentuk senyum kala kita bertemu?
Ragaku akan tampak
Dihadapanmu
Suatu saat nanti
Dengan cinta,
Dengan tresna untuk sang pemilik slira yang
penuh pesona
Aku terhenyak.
Aku teringat puisi pertama di bulan pertama. Kuraih tumpukan puisi yang tadi
kuletakkan di meja kafe. Aku mencari puisi pertamaku. Ketemu! Kubaca kata
perkata, kalimat per kalimat. Sama.
Kubuka halaman
berikutnya dengan perasaan makin tak menentu.
Kepadamu
Kepadamu
Kuberikan
Lagu penuh harapan
Nyanyikanlah di hatimu
Agar aku tak menjauh
Biarkan cinta berlabuh
Di hati yang rindu
Kita akan mendayung jauh
Ke pulau abadi
Depok,
1998
Oleh:
Aj Susmana
Aku menelan
ludah. Aku membandingkan huruf-huruf yang ada di kertasku dengan huruf-huruf
yang tertera di buku agenda hitam milik Pak Sandy. Sama. Persis.
Jam berlalu.
Aku masih sibuk membandingkan kata demi kata serta ejaan demi ejaan antara
puisi untukku dengan puisi yang ada di buku agenda hitam milik Pak Sandy.
Hingga akhirnya, aku harus mengakui bahwa puisi-puisi itu adalah sama. Persis.
Puisi-puisi itu adalah—tak lain dan tak bukan—Pak Sandy sendiri.
Angin
tiba-tiba bertiup kencang dari luar masuk ke dalam kafe. Kertas-kertas
berterbangan, termasuk kertas-kertas koreksian Pak Sandy.
Aku buru-buru
meraih kertas-kertas itu dan merapikannya. Tetapi sedetik kemudian, aku kembali
terenyak dengan jantung tak dapat berkata-kata. Aku yang biasanya cerewet hanya
bisa terdiam
Kertas-kertas
yang katanya kertas-kertas koreksian itu ternyata omong kosong. Semua itu bukan
koreksian. Semua itu berisi lukisan. Lukisan tentang aku.
***
“Pak
Sandy?”
Pak
Sandy menoleh. Ia tampak terkejut. “Nisa?”
Aku
menelan ludah. Dengan langkah mantap, aku mendekatinya. Pak Sandy memandangku.
Lebih tepatnya memandang ‘sesuatu’ yang kusembunyikan di balik punggungku
dengan tatapan penasaran dan ingin tahu.
“Maaf
ya, kemarin saya buru-buru pulang. Kamu pasti mau bilang kalau saya nggak
bertanggung jawab, kan ?
Saya emang aneh, tiba-tiba pergi gitu aja waktu kita lagi pengen seru-seruan
ngobrol.”
Aku
nyengir, kemudian menggeleng.
“Bukan
itu, Pak.”
Pak
Sandy—dengan kening berkerut—menatapku.
Aku
mengeluarkan ‘sesuatu’ berupa kertas-kertas ‘koreksian’ dan buku agenda hitam
dari balik punggungku. “Saya cuma mau bilang, jangan pernah sembunyi-sembunyi
lagi.”
Pak
Sandy menelan ludah kemudian menundukkan kepala.
“Saya
udah tau semuanya.”
Pak
Sandy menatapku tepat di manik mata. Lagi, sensasi dan suasana itu datang lagi.
Lantai paling atas sekolah yang sepi makin memberikan suasana yang menurutku
aneh.
“Maaf.
Saya sadar saya pengecut.”
Aku
terdiam, tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab.
“Nisa?”
Gantian
aku yang menatapnya.
“Kamu
sudah tau semuanya, kamu menyesal tau raga saya?”
Aku
terenyak. Keningku berkerut. Pak Sandy meraih tanganku yang bebas. Ia
menggenggamnya, membuatku ingin bertahan, membuatku merasa tak ingin dia
melepaskannya.
Kepalaku
menggeleng. “Saya nggak pernah menyesal. Siapapun pemilik raga atas puisi ini.
Cinta yang digoreskan dengan tulus di atas buku ini membuat saya sadar, bahwa
saya juga sebenarnya menanti kehadiran sang pemilik raga yang berjiwa.”
Pak
Sandy tersenyum dengan mata masih menatapku. Senyum pertama untukku. Senyum
tulus, bukan senyum canggung.
“Kita
sudah bertemu. Saya sudah bertemu sliramu, kamu sudah bertemu ragaku. Lantas,
seperti goresan tinta saya dalam puisi; Kau dan aku, bisakah bertemu? Kau dan
aku, bisakah menyatu?”
Jantungku
berdegup tak karuan, jantungku minta dimutahkan. Aku tersenyum haru. Pak Sandy
benar-benar mencuri hatiku.
“Raga
sudah bertemu, slira sudah tertuju. Kau dan aku, tentu bisa menyatu,” balasku
membuat Pak Sandy tersenyum haru.
bagussss!!!
BalasHapusTerus ikuti, Pak!
BalasHapus