Detik demi detik berlalu, bahkan
menitpun juga begitu. Aku mengetuk-ngetukkan jemariku dengan bosan sementara
mataku terus memandang ke layar komputer. Akun Facebook-ku dalam keadaan online,
namun hatiku tidak senang. Lingkaran kecil bewarna hijau di dekat namamu
tak kunjung muncul, tanda bahwa Facebook-mu
dalam keadaan off dan keadaan itu
menyadarkanku bahwa kau tidak ada di sini bersamaku.
Mataku
beralih pada hujan yang menghasilkan bunyi percik air di kaca jendelaku. Aku
benar-benar jenuh menunggumu.. Kuhembuskan nafas kesal, berharap dengan begitu,
kau datang kemudian menyapaku melalui fasilitas obrolan di Facebook, sama seperti malam-malam yang lalu.
Kita
memang belum pernah bertemu. Kita memang belum pernah sama-sama mengenal senyum
yang nyata milik masing-masing. Tetapi entah melalui angin macam apa rasa ini
menelusup, rindu tiba-tiba merasuk dalam hatiku seiring dengan
percakapan-percakapan sederhana yang berlanjut sewaktu-waktu.
Namun
hari ini kau tidak ada; tak ada pesan dan tak ada kabar. Walau begitu, aku
tetap tak mau mematikan Facebook-ku.
Aku hanya takut apabila aku melewatkan kehadiranmu .
Hingga
kemudian aku menoleh dan langsung terkejut ketika melihat lingkaran kecil itu
muncul di samping namamu. Sama seperti biasa, jantungku langsung berdegup dan
otakku mulai mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.
Hai.
Ternyata kau
duluan yang memulai. Aku tersenyum lega.
Hai juga.
Mulai kukirim
sebuah balasan.
Gimana kegiatan hari ini?
Luar biasa
menyenangkan J
Aku tersenyum
senang diiringi darahku yang berdesir cepat. Aku tahu apa yang akan terjadi
setelah ini; sebuah percakapan sederhana tetapi menarik dan baru berakhir
ketika malam sudah tak berjarak lagi dengan hadirnya pagi.
Dan
dugaanku benar rupanya.
Kau
dan aku saling bertukar cerita. Aku mencoba memikatmu dengan bahasaku,
sementara kau sudah berhasil memikatku dengan pesona kata-katamu. Mungkin di
dunia nyata, kau memang pria pemikat wanita dengan rona yang luar biasa.
Sayangnya, aku tak mampu melihat realita fisikmu. Aku hanya mampu menerkamu
dalam angan.
Jam
demi jam yang menyenangkan terus berlanjut. Tanpa bosan kau ceritakan aku
tentang kehidupanmu yang rupanya seorang pelukis. Aku terpana; pelukis yang
pandai menulis. Hebat.
Tak
pernah ku ragu pada tiap ucapmu. Tak pernah ku anggap bohong tiap ceritamu. Aku
yakin padamu dan tak pernah menganggap kau adalah pria jahat dan bejat yang
menjerat wanita dengan daya pikat bahasanya.
Aku
percaya padamu. Aku tulus mau mengenal rinci kehidupanmu.
Tetapi
malam makin larut dan ngantuk mulai menyerbu. Aku harus mengakhiri percakapan
ini.
Kalau begitu, sudah dulu ya, Galih? Aku
sudah ngantuk, tulisku.
Hahaha, sudah ngantuk rupanya gadis ini.
Tetapi, Maya, sebelum kamu memejamkan mata dan terlelap bersama mimpi, boleh
aku minta satu permohonan?
Aku mengerutkan
kening membaca pesan darimu. Permohonan?
Apa?
Kau membalas cukup
lama. Aku tak tahu pesan apa yang akan kau tulis. Namun, jantungku berdegup
lebih mantap dan darahku berdesir makin tak menentu. Hingga akhirnya, inilah
balasmu:
Sebelum kau tertidur, bukalah pintu
rumahmu. Lihatlah wujud nyata seseorang yang selama ini terasa ambigu.
Jantungku berdegup
makin tak pasti. Apa artinya semua ini?
Buru-buru
aku berlari membuka pintu. Mataku membesar melihat sosokmu dengan sebuah senyum
yang rupanya lebih indah dari angan yang pernah kubayangkan. Benarkah itu kamu
yang selama ini menyapaku melalui akun?
Kau
mengeluarkan ‘sesuatu’ dari balik punggungmu. ‘Sesuatu’ yang rupanya berupa
buket bunga mawar warna putih. Aku terpana.
“Hai,
selamat malam, Maya. Rupanya cinta dapat tumbuh walau tak bertemu, ya?” ujarmu
membuatku tersenyum lebar.