Selasa, 29 Oktober 2013

Dunia Maya

Detik demi detik berlalu, bahkan menitpun juga begitu. Aku mengetuk-ngetukkan jemariku dengan bosan sementara mataku terus memandang ke layar komputer. Akun Facebook-ku dalam keadaan online, namun hatiku tidak senang. Lingkaran kecil bewarna hijau di dekat namamu tak kunjung muncul, tanda bahwa Facebook-mu dalam keadaan off dan keadaan itu menyadarkanku bahwa kau tidak ada di sini bersamaku.
            Mataku beralih pada hujan yang menghasilkan bunyi percik air di kaca jendelaku. Aku benar-benar jenuh menunggumu.. Kuhembuskan nafas kesal, berharap dengan begitu, kau datang kemudian menyapaku melalui fasilitas obrolan di Facebook, sama seperti malam-malam yang lalu.
            Kita memang belum pernah bertemu. Kita memang belum pernah sama-sama mengenal senyum yang nyata milik masing-masing. Tetapi entah melalui angin macam apa rasa ini menelusup, rindu tiba-tiba merasuk dalam hatiku seiring dengan percakapan-percakapan sederhana yang berlanjut sewaktu-waktu.
            Namun hari ini kau tidak ada; tak ada pesan dan tak ada kabar. Walau begitu, aku tetap tak mau mematikan Facebook-ku. Aku hanya takut apabila aku melewatkan kehadiranmu .
            Hingga kemudian aku menoleh dan langsung terkejut ketika melihat lingkaran kecil itu muncul di samping namamu. Sama seperti biasa, jantungku langsung berdegup dan otakku mulai mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.

            Hai.

            Ternyata kau duluan yang memulai. Aku tersenyum lega.
           
Hai juga.

            Mulai kukirim sebuah balasan.

            Gimana kegiatan hari ini?

            Luar biasa menyenangkan J
           
            Aku tersenyum senang diiringi darahku yang berdesir cepat. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini; sebuah percakapan sederhana tetapi menarik dan baru berakhir ketika malam sudah tak berjarak lagi dengan hadirnya pagi.
            Dan dugaanku benar rupanya.
            Kau dan aku saling bertukar cerita. Aku mencoba memikatmu dengan bahasaku, sementara kau sudah berhasil memikatku dengan pesona kata-katamu. Mungkin di dunia nyata, kau memang pria pemikat wanita dengan rona yang luar biasa. Sayangnya, aku tak mampu melihat realita fisikmu. Aku hanya mampu menerkamu dalam angan.
            Jam demi jam yang menyenangkan terus berlanjut. Tanpa bosan kau ceritakan aku tentang kehidupanmu yang rupanya seorang pelukis. Aku terpana; pelukis yang pandai menulis. Hebat.
            Tak pernah ku ragu pada tiap ucapmu. Tak pernah ku anggap bohong tiap ceritamu. Aku yakin padamu dan tak pernah menganggap kau adalah pria jahat dan bejat yang menjerat wanita dengan daya pikat bahasanya.
            Aku percaya padamu. Aku tulus mau mengenal rinci kehidupanmu.
            Tetapi malam makin larut dan ngantuk mulai menyerbu. Aku harus mengakhiri percakapan ini.
           
            Kalau begitu, sudah dulu ya, Galih? Aku sudah ngantuk, tulisku.
           
            Hahaha, sudah ngantuk rupanya gadis ini. Tetapi, Maya, sebelum kamu memejamkan mata dan terlelap bersama mimpi, boleh aku minta satu permohonan?
           
            Aku mengerutkan kening membaca pesan darimu. Permohonan?
           
            Apa?

            Kau membalas cukup lama. Aku tak tahu pesan apa yang akan kau tulis. Namun, jantungku berdegup lebih mantap dan darahku berdesir makin tak menentu. Hingga akhirnya, inilah balasmu:

            Sebelum kau tertidur, bukalah pintu rumahmu. Lihatlah wujud nyata seseorang yang selama ini terasa ambigu.

            Jantungku berdegup makin tak pasti. Apa artinya semua ini?
            Buru-buru aku berlari membuka pintu. Mataku membesar melihat sosokmu dengan sebuah senyum yang rupanya lebih indah dari angan yang pernah kubayangkan. Benarkah itu kamu yang selama ini menyapaku melalui akun?
            Kau mengeluarkan ‘sesuatu’ dari balik punggungmu. ‘Sesuatu’ yang rupanya berupa buket bunga mawar warna putih. Aku terpana.

            “Hai, selamat malam, Maya. Rupanya cinta dapat tumbuh walau tak bertemu, ya?” ujarmu membuatku tersenyum lebar.

Senin, 14 Oktober 2013

Sebatas Pandangan

Aku memandanginya lagi. Tak tahu mengapa, tatapan mataku tak pernah bisa berpaling darinya akhir-akhir ini. Suasana sekolah yang ramainya hampir mirip dengan pasar pun tetap tak mampu membuatku mengalihkan tatap dari seorang gadis yang sedang tertawa terbahak-bahak sambil bercerita bersama teman-teman dekatnya dengan sorot mata ceria, seolah-olah tak menyadari aku yang duduk di sudut sekolah dengan cahaya mata penuh kekosongan.
            Sorot mataku berubah jadi nanar ketika gadis itu akhirnya memutuskan untuk menyudahi keberadaannya di sekolah ini. Ia memilih untuk melangkah lewat di depanku dengan mata yang—entahlah—berusaha untuk tidak menaruh pandangan kepadaku atau memang tidak peduli dengan adanya aku di sekitarnya. Yang jelas, laluan langkahnya yang angkuh dengan bibir bisu yang tak lagi menyapaku dengan nada cerianya seperti dulu menyadarkanku bahwa aku rindu kepadanya.
            Ya. Rindu, amat sangat rindu.
            Dia bukan pacarku dan dia bukan mantan kekasihku. Hal pertama-lah yang membuatku menyesal. Seharusnya, sejak dulu aku mengajaknya jadian. Ya, seharusnya sejak dulu aku mencoba membalas rasanya.
            Gadis itu bukanlah dambaanku, tetapi dulu perhatiannya selalu diberikan kepadaku. Tawanya selalu bisa memamcingku untuk ikut tertawa, sementara berbagai kisah yang mewarnai dunianya selalu mampu membuatku merelakan kedua telinga untuk mendengarkannya.
            Dia juga pernah mengungkapkan rasa sayangnya kepadaku. Tak hanya sekali, tapi hampir jutaan kali. Dia selalu mendoakan aku tiap malam dan menyampaikan rasa galaunya melalui jejaring sosial serta rasa rindunya melalui SMS yang selalu dikirimkan kepadaku setiap hari. Tetapi aku selalu menolaknya, mengabaikannya, dan menganggap bahwa rasa sayang dan rindunya hanya sebagai angin lalu.
            Dan itu terjadi dulu. Dulu, dulu sekali.
            Sementara kini? Kini semua telah berbeda. Semua rasa rindu dan sayangnya bagaikan berbalik kepadaku. Mungkin aku kena karma, tapi aku tak percaya pada karma. Sekarang, aku selalu merindukannya dan mungkin… mulai menyayangi dia.
***
Cahaya langit senja yang bewarna oranye menembus kaca kelasku. Aku masih berada di dalam kelas, sendirian dan berkutat dengan tugasku yang belum selesai.
            “Cela udah pulang, ya?”
            Aku menoleh. Gadis itu berada di sana. Gadis yang selama ini aku nanti sapaannya, sedang berada di depan pintu dengan tatapan mencari-cari. Mataku membesar, kaget dengan kehadirannya sama seperti matanya yang menyorotkan keterpanaan ketika mengetahui bahwa aku-lah yang berada di dalam kelas.
            Tatapan gadis itu meluruh. “Cela udah pulang, ya?” ulangnya sekali lagi.
            Aku perlahan-lahan mengangguk. “Udah,” jawabku seadanya membuat gadis itu balas mengangguk. Kemudian, “Oh,” balasnya singkat.
            Tetapi dia tak kunjung pergi. Dan aku memang tak ingin dia pergi.
            “Kalau begitu, makasih, ya? Aku pulang duluan.”
            Bibirku membisu, aku mengumpat di dalam hati. Hanya anggukan yang jadi jawaban atas ucapannya. Dan setelah anggukan singkat itu, dia mulai melangkah pergi.
            Tetapi tiba-tiba dia berbalik lagi, aku sadar, aku baru saja memanggilnya tanpa berpikir apa yang akan aku katakan kepadanya.
            “Apa?” tanyanya dengan alis terangkat.
            “Emm,” aku mulai gugup. “Emmm, kamu pulang bareng siapa?”
            Gadis itu tampak berpikir. “Harusnya sih sama Cela, tapi ternyata dia udah pulang. Yah, terpaksa nunggu jemputan deh.”
            “Pulang bareng aku aja, mau nggak?” responku cepat, membuat gadis itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
            “Emm, nggak usah, aku pulang sendiri aja,” jawabnya kemudian berbalik lagi. “Aku pulang duluan yah, daaa!” pamitnya tanpa menoleh lagi padaku.
            “Kamu berubah,” kataku tiba-tiba, membuatnya menghentikan langkah dan menoleh ke arahku lagi. Aku menelan ludah, gugup ketika melihat matanya mengirimkan tatapan dalam kepadaku. Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekatinya.
“Katanya kamu nggak akan ninggalin aku, katanya kamu bakal terus nungguin aku, katanya kamu nggak akan diam sama aku. Tapi lihat buktinya sekarang, apa kamu begitu?”
Gadis itu mulanya terdiam dengan kepala tertunduk, tetapi setelah beberapa detik dia menatapku. “Buat apa aku nungguin kalau nggak akan pernah mendapat kepastian? Buat apa aku memperjuangkan kalau aku akan terus mendapat pengabaian? Buat apa aku terus bicara sayang sama kamu tetapi akhirnya aku dijatuhkan? Aku nggak mau hatiku tersakiti dan inilah waktu yang tepat untuk berhenti menanti,” jawabnya dengan nada dalam, membuat hatiku seketika terasa dihunus pisau tajam. Aku sadar, dia memang pernah sangat menyayangi aku.
Kutatap matanya lebih dalam, tetapi dia tak gentar. Ia tetap menatapku. “Aku mulai sayang sama kamu, aku mulai rindu sama kamu, hatimu masih terbuka buat aku?”
Gadis itu terdiam, untuk beberapa detik kami terdiam. Gadis itu sibuk dengan keputusannya, sementara aku sibuk membiarkannya memikirkan jawaban.
“Terlambat,” katanya tiba-tiba membuatku menatapnya. Gadis itu malah tersenyum. “Aku udah nggak bisa.”
Aku menelan ludah. “Kenapa?”
“Semuanya udah beda, semuanya udah nggak sama. Rasaku juga sudah beda, aku memang belum bisa lupa, tapi aku memutuskan untuk berhenti. Ini bukan balas dendam, tapi aku tahu keputusanku nggak salah.”
“Maksud kamu?”
“Aku nggak bisa nerima kamu, aku udah…”
“Kania!”
Aku dan Kania menoleh. Seorang cowok berpostur tinggi dan berkacamata berdiri di belakang kami.
Kania tersenyum padaku. “Aku udah menemukan yang baru. Dan aku sudah bahagia,” jawabnya kemudian menyambut pria yang tadi memanggil namanya. “Aku pulang dulu, ya? Daaah!”
Aku tahu apa maksudnya. Aku tahu bagaimana perasaannya padaku sekarang. Aku sadar, aku memang terlambat. Dan kini, aku hanya mampu melempar sebatas pandangan pada Kania dan kekasihnya yang merangkul bahu gadis itu dengan kasih sayang.