Rabu, 07 Agustus 2013

Puisi Tanpa Raga 2

            Hati yang merasa
            Jiwa yang melayang
            Jantung yang berlari
            Bibir yang terkunci
            Raga yang mematung
            Nafas yang menggebu
            Sejenak datang
            Sejenak meneguhkan
            Bersatu dalam diam
            Berpadu dalam lamunan
            Kau dan aku berpapasan
            Kau dan aku saling menatap

            Tubuh ini terbungkam
            Senyummu menyergap pikiran
            Pesonamu mencuri iman
            Auramu membawa katresnan

            Kau hanya diam, aku hanya memandang
            Kau tersenyum, aku langsung terpana
            Panah cinta para dewa memanah rena ini
            Ujung tombak para Indian menusuk pikiran ini

            Selalu,
            Sliramu tak mampu terhapus
            Selalu,
            Sliramu tak mampu melepasku
            Dari keterpanaan
            Dari cinta
            Dari alam pikiran

            Kau dan aku  
            Bisakah bertemu?
            Kau dan aku
            Bisakah menyatu?
           
Sebuah puisi lagi! Tanpa nama. Masih tanpa nama.
            Aku sudah siap merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil, tetapi hati tak pernah rela. Kata-kata itu, kalimat-kalimat itu, bait-bait itu, mampu memberikan sensasi melayang di atas awan. Sensasi. Puisi itu eksotis sehingga menimbulkan sebuah sensasi yang mengikatku erat dalam jangkauannya.
            Hatiku tak pernah mampu untuk membenci sang penulis meski sifatnya pengecut. Tetapi raga ini tak pernah mau berhenti untuk menerka-nerka siapa pengirimnya.
            Teman-temanku tak bertanya ada apa denganku. Mereka sudah tau alasan mengapa aku tiap pagi uring-uringan. Puisi, hanya karena sebuah puisi.
            Aku mendengus kesal. Kau dan aku, bisakah kita bertemu? Tanpa sadar aku mengangguk.
            Aku menunggu ragamu datang padaku.
***
            “Jadi lo yang selama ini nulis-nulis puisi nggak jelas ini?” Aku marah besar. A-ha! Pengirimnya sudah ketemu. Aku tahu siapa dia!
            Niko, ternyata dia pengirimnya! Salah satu teman dari seseorang yang kabarnya pernah naksir aku itu terperanjat kaget. Ia menatapku, wajahnya memucat.
            “Kenapa sih selama ini lo nggak bilang secara terang-terangan?”
            Niko menatapku, wajahnya masih pucat saking kagetnya. Tetapi bibirnya mulai bergerak. Ia ingin memberikan sebuah jawaban.
            “Puisi-puisi lo bagus, keren, puitis. Bahkan puisi-puisi itu berhasil menahan hasrat gue untuk robek-robek jadi serpihan kecil atau gue buang di tempat sampah. Tetapi kenapa lo nggak pernah kasih nama? Kenapa lo biarin ini semua jadi puisi tanpa raga?”
            Niko menggeleng.
            “Karena bukan gue pengirimnya.”
            Aku terenyak. Kakiku menghentak kesal.
            “Bukan? Jelas-jelas elo yang naruh puisi itu di meja gue, lo masih bilang bukan?
            “Memang gue yang naruh puisi-puisi macam itu di meja lo tiap pagi. Tapi bukan gue pengirimnya, gue hanya suruhan.”
            Aku berdecak kesal.
            “Terus siapa? Lo bego banget sih, mau-maunya jadi suruhan buat seorang pengecut yang ngirim sendiri puisi ini aja nggak bisa!”
            “Dia bukan pengecut,” Niko langsung menyahut dengan nada tidak terima.
            “Terus apa kalau bukan pengecut? Pecundang? Penakut?”
            “Jelas-jelas dia itu orang yang sayang sama lo. Lo nggak bisa baca puisinya apa?”
            “Gue bisa baca puisinya, tapi gue nggak bisa raganya.”
            Niko terdiam, tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab. Ia menelan ludah.
            “Udahlah, Nik. Suruh dia berhenti. Gue akan nolak dia kalau seandainya dia masih pengecut begini.”
            Niko langsung menatapku dengan tatapan serius.
            “Dia nggak akan berhenti, Nis. Dia nggak bisa berhenti. Tangannya nggak kuat kalau nggak nulis puisi. Sembahyang-nya cuma satu, semoga dia berani buat ketemu sama lo.”
            Aku mengangkat alis.
            “Rupa-rupanya lo kenal dia, heh?”
            “Gue nggak perlu jawab, satu hal yang harus lo tahu. Dia udah siap.”
            Aku mengerutkan kening, heran.
            “Siap buat apa?”
            Niko hanya tersenyum, kemudian beranjak meninggalkanku. “Nanti juga lo pasti tahu.”
            Dan pria itu menghilang di balik pintu kelasku.


 (Bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar