Hati yang merasa
Jiwa yang melayang
Jantung yang berlari
Bibir yang terkunci
Raga yang mematung
Nafas yang menggebu
Sejenak datang
Sejenak meneguhkan
Bersatu dalam diam
Berpadu dalam lamunan
Kau dan aku berpapasan
Kau dan aku saling menatap
Tubuh ini terbungkam
Senyummu menyergap pikiran
Pesonamu mencuri iman
Auramu membawa katresnan
Kau hanya diam, aku hanya memandang
Kau tersenyum, aku langsung terpana
Panah cinta para dewa memanah rena
ini
Ujung tombak para Indian menusuk pikiran
ini
Selalu,
Sliramu tak mampu terhapus
Selalu,
Sliramu tak mampu melepasku
Dari keterpanaan
Dari cinta
Dari alam pikiran
Kau dan aku
Bisakah bertemu?
Kau dan aku
Bisakah menyatu?
Sebuah puisi lagi! Tanpa nama.
Masih tanpa nama.
Aku
sudah siap merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil, tetapi hati tak pernah
rela. Kata-kata itu, kalimat-kalimat itu, bait-bait itu, mampu memberikan
sensasi melayang di atas awan. Sensasi. Puisi itu eksotis sehingga menimbulkan
sebuah sensasi yang mengikatku erat dalam jangkauannya.
Hatiku
tak pernah mampu untuk membenci sang penulis meski sifatnya pengecut. Tetapi
raga ini tak pernah mau berhenti untuk menerka-nerka siapa pengirimnya.
Teman-temanku
tak bertanya ada apa denganku. Mereka sudah tau alasan mengapa aku tiap pagi
uring-uringan. Puisi, hanya karena sebuah puisi.
Aku
mendengus kesal. Kau dan aku, bisakah kita bertemu? Tanpa sadar aku
mengangguk.
Aku menunggu ragamu datang padaku.
***
“Jadi
lo yang selama ini nulis-nulis puisi nggak jelas ini?” Aku marah besar. A-ha!
Pengirimnya sudah ketemu. Aku tahu siapa dia!
Niko,
ternyata dia pengirimnya! Salah satu teman dari seseorang yang kabarnya pernah
naksir aku itu terperanjat kaget. Ia menatapku, wajahnya memucat.
“Kenapa
sih selama ini lo nggak bilang secara terang-terangan?”
Niko
menatapku, wajahnya masih pucat saking kagetnya. Tetapi bibirnya mulai
bergerak. Ia ingin memberikan sebuah jawaban.
“Puisi-puisi
lo bagus, keren, puitis. Bahkan puisi-puisi itu berhasil menahan hasrat gue
untuk robek-robek jadi serpihan kecil atau gue buang di tempat sampah. Tetapi
kenapa lo nggak pernah kasih nama? Kenapa lo biarin ini semua jadi puisi tanpa
raga?”
Niko
menggeleng.
“Karena
bukan gue pengirimnya.”
Aku
terenyak. Kakiku menghentak kesal.
“Bukan? Jelas-jelas elo yang naruh puisi
itu di meja gue, lo masih bilang bukan?”
“Memang
gue yang naruh puisi-puisi macam itu di meja lo tiap pagi. Tapi bukan gue
pengirimnya, gue hanya suruhan.”
Aku
berdecak kesal.
“Terus
siapa? Lo bego banget sih, mau-maunya jadi suruhan buat seorang pengecut yang
ngirim sendiri puisi ini aja nggak bisa!”
“Dia
bukan pengecut,” Niko langsung menyahut dengan nada tidak terima.
“Terus
apa kalau bukan pengecut? Pecundang? Penakut?”
“Jelas-jelas
dia itu orang yang sayang sama lo. Lo nggak bisa baca puisinya apa?”
“Gue
bisa baca puisinya, tapi gue nggak bisa raganya.”
Niko
terdiam, tidak menjawab dan tidak berniat untuk menjawab. Ia menelan ludah.
“Udahlah,
Nik. Suruh dia berhenti. Gue akan nolak dia kalau seandainya dia masih pengecut
begini.”
Niko
langsung menatapku dengan tatapan serius.
“Dia
nggak akan berhenti, Nis .
Dia nggak bisa berhenti. Tangannya nggak kuat kalau nggak nulis puisi.
Sembahyang-nya cuma satu, semoga dia berani buat ketemu sama lo.”
Aku
mengangkat alis.
“Rupa-rupanya
lo kenal dia, heh?”
“Gue
nggak perlu jawab, satu hal yang harus lo tahu. Dia udah siap.”
Aku
mengerutkan kening, heran.
“Siap
buat apa?”
Niko
hanya tersenyum, kemudian beranjak meninggalkanku. “Nanti juga lo pasti tahu.”
Dan pria itu menghilang di balik pintu kelasku.
Dan pria itu menghilang di balik pintu kelasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar