oleh: Lalita.
Dalam
malam yang hening, di tengah haribaan yang kerontang, dua mata memandang langit
yang amat terang dihiasi gelantungan bintang-bintang. Hari itu mendung tiada
lagi menyelimuti desa dan dingin tak lekat pada tubuhku yang senantiasa berdiri
di sebuah rumah yang dibangun di atas sebuah pohon trembesi besar, yang berdiri
gagah di tengah lahan kering di teritori desa kami.
Aku
tidak sepenuhnya sendiri, sebenarnya. Ada
doa para katak yang diwarnai oleh suara arus air di sungai dekat rumah pohon
ini. Ada juga
kerik para jangkrik yang tinggal di ilalang di belakang rumah pohon ini. Namun,
mereka jauh. Dan aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan. Yang aku tahu,
mereka sebatas bernyanyi dan berkomunikasi, dengan cara mereka sendiri. Atau
mungkin mereka sedang menyapa sang Ilahi? Aku tiada tahu.
Berdiri
di sini, seorang gadis, sendirian sebenarnya sangat mengherankan. Namun aku
sendirian di sini bukan tanpa maksud dan tujuan. Aku masih singgah di sini,
membiarkan senja ditutup oleh azan Magrib yang berkumandang beberapa menit yang
lalu dengan tujuan menunggu seseorang, membiarkan mataku terpuaskan melihat
wajahnya yang senantiasa memancarkan keceriaan, memuaskan hatiku yang hampir
saban hari meratap menemui dia yang hingga saat ini tak kunjung datang.
Batinku
bagai kehausan dalam kemarau panjang ketika dia yang aku tunggu tak kunjung
memancarkan citranya. Namun mengalami kepuasan tiada hingga ketika pintu rumah
pohon yang awalnya tertutup rapat pada akhirnya terbuka.
Aku
menoleh. Dan dia yang aku tunggu akhirnya datang, menunjukkan tampang
penyesalan. “Maafkan, Ata! Maafkan Panggah terlambat! Panggah bantuin Simbok,
jatuh di pasar!” jelasnya tak henti-henti meminta ampun dariku.
Aku
menghampirinya, menuntunnya duduk di sampingku. “Tak apa, Panggah. Ata
memaafkan Panggah pun Panggah tak minta ampun sama Ata. Simbok nggak apa-apa?”
tanyaku.
Panggah
mengangguk. “Tapi, Panggah terlambat. Panggah nggak baik,” katanya lagi, masih
diwarnai penyesalan. Matanya menatap ke segala arah, tidak ke mataku.
Aku
tersenyum. “Panggah, dengar baik-baik. Saya sudah memaafkan kamu,” ujarku.
Panggah
mengangguk lagi, entah apa maksudnya. “Panggah masih bisa dengar cerita Ata?”
tanyanya. Kali ini matanya memandangku dengan penuh harap. “Panggah nggak mau
dihukum, Ata. Panggah terlambat, Panggah nggak mau dihukum! Tapi Panggah mau
mendengarkan cerita dari Ata,” ucapnya.
Aku
mengangguk. “Panggah nggak dihukum. Ata memang mau ngasih cerita buat Panggah,”
jawabku.
Panggah
mengibas-ngibaskan tangannya. Melompat-lompat senang. Tertawa-tawa. “Asik!
Asik! Panggah mendengarkan cerita! Panggah mendengarkan cerita!” katanya riang.
Aku
tertawa. Senang melihat Panggah yang tersenyum ceria. Aku berjalan menuju ke
sebuah meja, mengambil salah satu topi kertas yang biasa digunakan anak-anak
jika mereka ingin mendengarkan dongeng dariku. Aku memang suka membacakan
dongeng kepada mereka, setidaknya rumah pohon ini menjadi sarana untuk mereka
berkumpul dan mendengarkan dongeng.
“Pakai
ini dulu,” pintaku sembari memberikan topi kertas di genggamanku kepada Panggah
yang langsung menerimanya dengan riang. “Topi kertas!” serunya sembari
meletakkan topi kertas di kepalanya.
Aku
tersenyum. “Dengarkan saya baik-baik ya,” ujarku. Dan aku mulai bercerita.
Kalian tahu dongeng dari nun jauh di sana ,
tentang seorang putri yang mencintai pangeran buruk rupa, bukan? Tentu saja,
dongeng itu sudah terkenal dimana-mana. Aku mengisahkan dongeng itu kepada
Panggah yang senantiasa memusatkan perhatian pada bibirku yang tak henti
bercerita dan kedua tanganku yang bergerak-gerak memberikan gestur pada
dongengku kepada Panggah.
Aku
menyukai caranya mendengarkan ceritaku. Aku suka kedua telinganya yang
kadang-kadang bergerak secara tidak sadar ketika Panggah berkonsentrasi
terhadap dongengku. Aku menyukai kedua matanya yang menatap bibirku. Matanya
yang jernih. Matanya yang polos. Matanya yang kanak-kanak, yang tidak sesuai
dengan umurnya saat ini.
Di
desa ini, Panggah—anak pedagang singkong di pasar Ngijon, pasar dekat desa
kami—dianggap gila. Dia bertingkah layaknya anak kecil, bergabung dan bermain
bersama anak-anak kecil, ketika siang hari dan seluruh pria yang seumuran
dengannya bekerja di ladang, Panggah bermain layang-layang atau ikut memandikan
kerbau, masih bersama sahabatnya, anak-anak di desa kami. Setiap sore, Panggah
menyempatkan diri datang di rumah pohon, bergabung bersama anak-anak desa dan
mendengarkan dongengku. Pernah sekali, Panggah ikut berperan dalam drama yang
diselenggarakan saat perayaan tujuh belasan, drama yang aku buat dan melibatkan
anak-anak di desaku. Alhasil, tingkah Panggah yang lucu mengundang gelak tawa
warga desa dan menjadikan perayaan tujuh belasan malam itu sarat akan
wajah-wajah ceria, terutama untuk para pejabat desa.
Tapi
aku menyukainya. Tak peduli warga desa menganggapnya gila atau kurang waras. Aku
berlindung dari semua masalahku dikedua matanya yang selalu teduh. Aku merasa
tenang ketika bibir tipisnya memancarkan ceria yang tak pernah pudar. Dia yang
dianggap sinting malah membuatku senantiasa menunggu kehadirannya.
Dan,
jika kalian tahu. Maksudku memberikan dongeng tentang putri cantik dan pangeran
buruk rupa adalah salah satu caraku mengungkapkan perasaanku pada Panggah. Aku
tak pernah menganggap Panggah sebagai buruk rupa, tetapi dongeng itu
menyampaikan rasaku, bahwa aku mencintai Panggah. Aku mencintai kekurangannya.
Aku mencintai Panggah apa adanya. Tak peduli slentingan orang tentang dirinya
yang memang mengalami keterbelakangan mental.
“Nah,
pada akhirnya, Putri Cantik dan Pangeran Buruk Rupa hidup bahagia selama-lamanya,”
tutupku pada dongengku malam ini.
Panggah
bertepuk tangan. “Hore! Hore!” serunya gembira, pada dongengku yang sederhana.
Aku
menengok arloji di tanganku, kemudian menatap Panggah. Waktu berjalan terlampau
cepat, batinku. Hari tahu-tahu sudah makin malam. “Panggah, udah malam. Simbok
pasti cemas. Kita pulang, ya?”
Panggah
menggerutu. “Ya-ya, Panggah memang harus pulang kalau hari sudah gelap.”
“Panggah
mau pulang bareng Ata, nggak?” tawarku, berharap Panggah menjawab iya.
Dan
Panggah memang menjawab iya. “Panggah mau pulang bareng Ata! Panggah mau!”
serunya bersemangat sembari menatapku dengan mata teduhnya.
***
Simbok
mengantarkan aku keluar dari rumah bambunya ketika Panggah sudah masuk ke dalam
kamar. Kecemasan tergantung di wajahnya. Simbok menatapku, ingin berbicara,
namun urung. Menatapku lagi, ingin bicara, namun kembali urung. Aku jadi
bingung melihat sikapnya, kutatap Simbok dengan penuh tanda tanya.
“Ada apa, Mbok? Kayaknya
kok cemas begitu?” tanyaku.
Simbok
bermain-main dengan jemarinya. “Anu, Non. Saya bingung gimana cara ngomongnya,”
katanya.
Aku
mengerutkan kening. “Memangnya ada apa?”
Simbok
menahan suara, menelan ludah, kemudian menatapku dengan setengah hati. “Begini
lho, Non. Kita tau Panggah mengalami keterbelakangan mental, kita juga tahu
kalau di desa ini, Panggah dianggap kurang waras. Bahkan orang-orang di desa
sebelah juga menganggapnya demikian. Apalagi, Panggah sering jadi bahan
olok-olok.”
Keningku
semakin berkerut bingung, aku tak mengerti kemana ucapan Simbok bermuara.
“Langsung aja, Mbok,” ucapku tak sabar.
“Saya—bukannya
gimana-gimana—sebenarnya agak khawatir sama Non Ata. Sebaiknya, Non Ata jaga
jarak sama Panggah. Panggah, anak Simbok memang anak yang baik. Tapi, kalau Non
Ata terus-menerus dekat dan menaruh perhatian kepada Panggah, saya takut kalau
orang-orang desa jadi berpikiran macam-macam dan Non Ata mendapatkan
selentingan-selentingan yang agak nggerus
ati,” jelas Simbok dengan citra kecemasan yang makin menggores wajahnya.
Aku
menghembuskan nafas panjang. Diam menyelimuti malam kami. Warga desa sudah
masuk ke dalam rumah mereka masing-masing, malam memang sudah larut. Aku
berpikir sejenak, memejamkan mata dan membiarkan hatiku bergelora. Ketika
merasa harus menyudahi keheningan kami, aku menatap Simbok dengan tatapan teduh
dan tersenyum.
“Mbok,
izinkan saya mencintai Panggah,” ucapku yakin. Dan seperti yang aku duga,
Simbok tampak terkejut. Ia mencerna kata-kataku, menganggap ucapanku salah,
menganggap aku tak berbicara kepadanya.
“Non—non
Ata ngomong sama saya?”
Aku
mengangguk. “Saya mencintai Panggah, Mbok. Saya mencintai mata teduhnya dan
bibirnya yang selalu merenda ceria.”
“Tapi,
Non—”
“Saya
mencintai Panggah apa adanya,” putusku lalu pamit pulang. Simbok masih terdiam,
berdiri di depan rumah bambunya dan menganggapku sebagai hantu yang tiba-tiba
datang mengejutkannya dengan sebuah ungkapan kata.
***
Aku
bangun esok paginya. Dengan semangat yang menggelora, aku membasuh muka,
mengeluarkan sepeda kebo yang setia menemaniku plesir keliling desa. Setiap
pagi, setiap Bapak sudah berangkat ke ladangnya mengawasi padi, aku mengayuh
sepedaku diam-diam menuju ke rumah Panggah. Bapak tidak akan senang jika aku
melakukannya. Dia akan marah besar. Namun, kayuhan sepedaku menuju ke rumah
Panggah tak pernah diketahui Bapak.
Dan
pagi itu, seperti biasa, Panggah berada di beranda rumahnya, dengan baju kumal
dan kusam yang juga sudah biasa, membantu Simbok menaikkan singkong ke dalam keranjang
sepedanya sembari bernyanyi-nyanyi kecil, kali itu dia menyanyikan lagu Selamat
Ulang Tahun, entah siapa yang berulang tahun.
Aku
menghampiri mereka berdua, melambaikan tangan. Panggah menyambutku ceria, namun
tidak dengan Simbok. Agaknya dia masih tak percaya dengan ucapanku kemarin
malam.
Aku—dengan
susah payah—membantu Panggah menggotong karung-karung berisi singkong. Seumur
hidup, aku belum pernah mengangkat beban seberat ini. Susah
payah yang aku lakukan dianggap lelucon oleh Panggah, dia menertawakan aku.
Tapi tak apa, aku senang jika aku berhasil membuatnya tertawa. Toh, susah payah
yang membuat wajahku terlihat jelek dan tawa Panggah mengundang tawa Simbok
yang awalnya masih beku terhadap kehadiranku.
Kami
akhirnya memutuskan untuk bersepeda menuju ke Pasar Ngijon yang jaraknya
kira-kira lima
belas kilometer dari desa kami. Pagi itu matari cerah, hari yang penuh bahagia.
Simbok memboncengkan karung-karung berisi singkong, sementara diboncenganku,
Panggah duduk sembari bermain-main dengan ketapel yang selalu dia bawa.
Hari
tercerah dalam hidupku.
Ketika
siang tiba, Simbok mengizinkan aku mengajak Panggah makan soto di sebuah warung
soto yang terkenal paling lezat di desa kami. Ditengah mentari yang semakin
terik, aku bergabung bersama Panggah dan anak-anak desa bermain layang-layang
di tengah ladang yang kering. Ketika kami bosan, kami merangkak-rangkak dibawah
ilalang, memasang ekspresi was-was dan terus terdiam sembari mengintai ndog gemak yang berkeliaran. Dengan
ketangkasan ketapel, kami berhasil menangkap beberapa ndog gemak dan menjadikannya cemilan di bawah rumah pohon kami.
Dan
ketika senja tiba, membentuk siluet-siluet dan mengundang mentari untuk
bersembunyi, aku pamit pulang. Aku tau Bapak pasti mencariku dan akan memarahi
aku di hari yang paling bahagia ini ketika aku pulang nanti.
Aku
membalikkan tubuh, menatap Panggah sejenak sebelum pulang ke rumah. Matanya
tetap teduh, tak mengetahui bahwa perasaanku kini gusar karena harus berpisah
dari dia. “Ata pamit pulang, ya!” pamitku kepadanya, yang langsung mengacungkan
dua ibu jari.
“Sampai
ketemu besok, Ata!” Panggah melambaikan tangannya.
Aku
berpamitan kepada anak-anak, melangkah pergi, siap pulang ke rumah dan siap
menghadapi Bapak yang pasti murka.
Bersambung...