Aku
memandangi wajah manismu melalui bingkai foto di hadapanku. Sejenak, kedua
mataku saling terpejam, menautkan diri bersama dengan sang batin yang mulai meraba
bayang-bayangmu. Dalam diam, sedikit demi sedikit, kurasakan rindu yang seiring
detik semakin menjadi bukit. Dia mengganggu, namun membuatku merasa nyaman. Dia
usil, namun membuatku tak akan membiarkannya pergi.
Mataku
kembali terbuka, berniat kembali meniti ronamu walau hanya melalui sebuah foto.
Kumismu, senyummu, tawamu, dan kadang manyun bibirmu, menghiasi malamku. Semua
itu membuat rindu semakin menelusup dalam dadaku, membuatnya semakin terasa
perih karena aku tahu, aku belum sanggup merabamu. Dan rindu kian jadi menyiksa
ketika lantunan nada A Thousand Miles yang
dibawakan oleh Nadya Fatira sebagai cover lagu dari Vanessa Carlton menguar
dari radio kecil di samping bingkai fotomu.
Awalnya,
ronamu yang menciptakan lengkungan senyum di bibirku kini telah berubah
menciptakan sebuah ekspresi datar yang membuatku menatap kosong pada langit
malam. Di sana ,
di langit itu dan di antara bintang yang bersembunyi di balik mendung, aku
mulai melukis bayanganmu, membiarkan hati berbisik tentang apa yang kurang
mengenai gambaranmu. Tapi aku masih ingat semuanya, meski hari-hari yang lalu
membiarkan kita tidak bertemu.
Aku
benci pada jarak. Sejak aku mengenalmu, satu kata itu menjadi sebuah kata yang
membuatku seringkali menyesal pernah mengenalmu dan menyesal pernah merajut
rasa bersamamu. Satu kata itu juga seringkali menjatuhkan bulir-bulir air mata
ketika menyadari aku sangat merindukanmu, namun kau tak ada di sisiku dan aku
tak bisa merabamu, bahkan sekedar menggenggam tanganmu.
Namun,
jarak. Satu kata itu yang sekaligus membuatku terus menyayangimu, saban hari
semakin rindu padamu, dan hanya jarak yang melahirkan alasan kenapa aku
senantiasa memberikan pelukan erat ketika kamu dan aku bertemu.
Di
sini, di tempat aku menulis kisah ini, aku ingat kamu pernah duduk di sisiku,
saling menertawakan tingkah konyol kita, bercerita tentang sinetron ABG Jadi
Manten, Ganteng-Ganteng Seringgila, dan berbagai sinetron yang membuatmu
bergidik jijik, saling menggoda dengan bibir yang saling manyun, bertatapan
dalam, berpelukan, bergelayut manja, bergandengan tangan, mencium kening hingga
mengecup pipi.
Aku
sangat merindukanmu, andai kamu tahu. Pesan singkat, telfon, chatting, bahkan kisah ini—bagiku—sangat
tidak setimpal dengan rasa rinduku. Aku ingin lebih, aku ingin kita bertemu. Malam
ini, aku rindu genggaman tanganmu. Aku rindu bersandar di punggungmu. Aku rindu
aroma tubuhmu. Aku rindu menggigit pundakmu. Aku rindu bergelayut dalam
rangkulanmu. Aku rindu suaramu. Aku rindu bibirmu yang mampu menghapus beku
dalam malamku. Aku rindu pujian bahkan celaanmu. Aku rindu cerita-ceritamu dan
obrolan sok berbobot yang seringkali kita nadakan, entah tentang sang cawapres,
entah tentang buku-buku, entah tentang masa depan, entah tentang apa saja dan
apalagi, yang jelas aku merindukanmu… sangat merindukanmu.
Kisah
ini sempat berhenti ku tulis ketika handphone-ku
berdering nyaring dan membuatku terenyak dari lamunanku. Bibirku kembali
merenda senyum ketika kulihat namamu menjadi penyebab dering handphone-ku. Segera dan tanpa berpikir
seperti biasanya, aku menjawab telfonmu, menyambutmu dengan ceria yang tak
pernah pudar.
“Aku
lagi di Bandung
ini,” katamu dengan penuh semangat.
Aku
berjingkat girang. “Oleh-oleh!” seruku.
Kamu
terdiam sejenak, dan aku tahu kamu pasti mengangkat salah satu alismu. “Oleh-oleh?”
Tanpa
sadar, aku menganggukkan kepalaku dengan semangat. Sadar bahwa kamu tak akan
tahu jika aku menganggukkan kepala, aku segera menambahkan. “Iya, oleh-oleh! Katanya
lagi di Bandung ,
bawain oleh-oleh bisa dong!” pintaku bersemangat.
Kamu
tertawa. “Aku di Bandung cuma ke stasiunnya doang.”
“Terus
pulang ke Solo?”
“Iya
dong!” jawabmu, membuatku yakin bahwa kamu memang pulang untukku.
Aku
berdeham. “Emmm, kalau udah sampai Solo, main ke rumahku yaaa!”
“Siap!”
jawabmu.
Dan
kulanjutkan lagi menulis kisah ini. Andai kamu tahu, aku tak henti merenda
senyum lebar ketika kalimat demi kalimat ini kulukiskan setelah kamu
menelfonku. Sama seperti ketika kita pertama kali bertemu, jantungku tak pernah
menghilangkan degupan-degupan aneh yang kurasakan setiap aku mendengar suaramu.
Aku
sama sekali tak menghilangkan bayanganmu dan membiarkan rindu menuntunku
menulis kisah ini. Dan ketika tulisan ini selesai, aku berdoa untukmu, berdoa
untuk perjalananmu, dan berdoa untuk jarak yang semakin terhapus oleh waktu.
Untukmu,
Stevanus. Semoga selamat sampai di rumah dan semoga senyum sekaligus pelukmu
tak berubah ketika pandang kita bertemu esok. Aku sayang kamu.