Selasa, 21 April 2015

Anak Emak

            Slarongan dibuat gempar hari ini. Sudah sejak setengah jam para tua-tua, pemuda-pemudi bahkan para anak berdiri di pertigaan batas desa. Ibu-ibu yang bunting sekaligus punya anak yang masih bayi-bayi rela berdiri panas-panas sembari memeluk anak mereka dalam pelukan. Para bapak, juga nongkrong di tempat yang sama. Sembari menghisap dan menghembuskan asap rokok, mereka duduk di bawah pohon trembesi tua yang selama ini dijadikan patokan batas desa Slarongan dan Jonggrangan. Sementara para anak, mereka tampak berlarian kesana-kemari, blusukan di semak-semak, main delikan. Seperti biasa, tanpa busana. Semuanya panas-panasan. Tak apa panas-panas, asal bisa lihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat. Itu prinsip mereka.
            Yang mereka tunggu nampak sebagai sebuah titik hitam yang semakin lama semakin mendekat, melayang samar-samar dari jalan setapak Jonggrangan. Mereka bersamaan berdiri, semuanya memandang ke satu titik yang sama. Wajah penuh peluh dan kusut, bola mata yang makin lama makin membesar penuh keingintahuan, bibir yang menganga karena kekaguman, mereka tunjukkan ketika titik hitam itu telah menjelma sebagai sebuah mobil bercat hitam mengkilat yang berhenti di hadapan mereka.
            Pintu mobil hitam dengan cap mengkilat itu terbuka sedikit, nampak kaki jenjang beralaskan sepatu berhak tinggi bewarna merah dengan manik-manik secerah permata turun dari mobil. Sedikit demi sedikit, sosok pemiliknya turun dan terlihat nyata di hadapan mata.
            Amboi, cantiknya! Aku menganga. Belum pernah aku lihat wanita secantik dia! Untuk pertama kali dalam hidupku, aku melihat salah seorang wanita cantik yang biasanya aku lihat di teve. Bibirnya merah polesan gincu, pipinya juga merona, di kelopak matanya ada warna merah muda, matanya besar dengan bulu mata yang begitu tebal. Diakah Sundari yang pernah aku kenal dulu?
            Terakhir aku bertemu dengannya adalah ketika ia berangkat ke Jakarta, dengan tampang kusut ala perempuan desa, kulit yang kusam karena dia sering membantu ibu dan almarhum bapaknya mengolah gabah, dengan memakai setelan seadanya. Kini, dia telah bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Aku yakin, para pemuda desa tengah memikirkan seribu cara agar mendapatkan dia atau malah pikiran mesum yang ingin menguasai si cantik Sundari.
            Sundari tampaknya tak ingin berlama-lama di bawah teriknya sinar mata hari, terbukti sopirnya buru-buru keluar dengan payung terbuka dalam genggaman tangan. Sundari memakai kacamata hitam. Lalu, dia membalikkan tubuh dan berjalan hati-hati diikuti sopir dan para warga Slarongan.
***
            Aku ingat hari itu, tak aku sengaja aku melewati rumah Sundari yang rupanya telah direnovasi sejak kepulangannya ke Slarongan. Dia melihat aku. Dengan ramah, dia sapa aku dan meminta aku mampir ke rumahnya. Jika aku boleh menyombongkan diri, pria desa pertama yang diajak mengunjungi rumah perempuan kaya itu adalah aku. Memang aku.
            Aku mampir. Dengan sedikit canggung, karena lama aku tak bertemu dengannya, aku duduk di teras. Sundari tersenyum. “Tak usah canggung-canggung, Mas. Memang telah lama kita tak bertemu, tapi kita tetangga satu kampung bukan?” ucapnya ramah sembari menuangkan teh ke dalam cangkir.
            Aku mengangguk.
            Sundari duduk di sampingku, masih saja tersenyum manis. “Diminum Mas, tehnya,” ujarnya lagi, lalu memandang ke halaman rumah. Dia menghembuskan nafas. “Tiga tahun Sundari pergi, ternyata Slarongan tak banyak berubah ya?”
            “Memang tidak, bahkan jumlah murid sekolah dasar di Jonggrangan saat ini hanya tujuh belas.”
            “Memang desa ini tak banyak berkembang.”
            “Ya begitulah, barangkali para warga berpikir tak ada gunanya bersekolah kalau ujung-ujungnya hanya bertani,” ujarku filosofis.
            Sundari tertawa. “Tak apa, Mas. Bertani pun baik. Toh tiap manusia punya nasibnya sendiri bukan?”
            “Ya, kau benar. Dan siapa saja tiada yang tahu nasib bakal berujung. Kita lihat Ahmad, anak Pak Haji Samad. Dia dulu begitu kaya dan menghamburkan uang, kini dia jadi petani sama seperti aku.” Aku menatap Sundari yang rupanya menatap aku. “Kau pun begitu. Dulu kau perempuan yang biasa saja. Tapi kini kau bermetamorfosis jadi perempuan sempurna. Kau kini cantik, kaya dan aku yakin para pemuda banyak yang menyukaimu. Kau bermetamorfosis sebagai kupu-kupu.”
            Sundari tampak merona. Dia tersenyum malu-malu, barangkali aku terlalu berlebihan memuji dia. “Aku tak sesempurna itu, Mas,” ucapnya lembut.
            Aku mengambil caping yang aku letakkan di sebelahku. Dari sitje, aku beranjak berdiri. Sundari ikut berdiri. Dia mengerutkan kening.
            “Sedemikian cepat kamu pergi, Mas?”
            “Ya, aku tak bisa duduk lama-lama. Aku janji datang ke rumah Pak Dukuh pagi ini. Lain kali kalau ada waktu, aku pasti mampir.”
            Sundari tersenyum dan mengangguk.
            Aku berjalan meninggalkan dia, menghampiri sepeda tuaku dan naik ke atasnya. Sembari melambaikan tangan kepada Sundari yang mengantar kepergianku, aku mulai mengayuh sepeda, perlahan-lahan meninggalkan rumah itu sekaligus pemiliknya yang amat cantik.
***
            Sundari memang begitu kaya! Duitnya kini banyak dan di desa ini dia melakukan apa yang dia mau. Terakhir aku dengar dari obrolan ringan para petani yang menggarap sawah Pak Dukuh, Sundari tengah memugar kuburan almarhum bapaknya. Terakhir aku lewat di Kuburan Sorogenen, makam almarhum bapak Sundari yang awalnya hanya berupa tanah dilindungi tumpukan batu bata kini sudah berubah jadi mewah, seperti rumah kecil dengan taburan bunga segar setiap harinya.
            Aku begitu ternganga melihat perubahan yang dialami Sundari. Hanya butuh waktu tiga tahun merantau ke Jakarta, Sundari sudah bisa mandi duit! Merenovasi rumah, memugar makam, membeli mobil, memakai baju yang penuh pernak-pernik mewah bahkan lebih dari itu bisa dia lakukan! Apalagi, kini sebuah gelang dan cincin emas selalu melingkar di pergelangan tangan dan jarinya, selalu dia pakai kalau dia pergi ke Pasar Ngijon, membuat ibu-ibu yang berdagang di sana jadi gigit jari dan ingin bermetamorfosis macam Sundari.
            Sundari menjadi momok untuk desa ini. Aku dengar, hampir separuh warga desa memutuskan untuk berhenti menjadi petani dan merantau ke Jakarta. Hanya modal nekat dan keberanian, tanpa membawa modal yang lain seperti kepandaian dan keterampilan. Toh, Sundari juga begitu. Dia ke Jakarta dengan tangan hampa beberapa tahun yang lalu, kata mereka meremehkan Jakarta.
            Aku duduk di sitje, menghisap rokok dan menghembuskan asapnya membentuk bayang-bayang lingkaran di udara. Aku berpikir sekaligus mengandai-andai. Dalam hatiku, aku cukup tertarik mengikuti jejak para perantau dari desaku. Aku juga ingin mengadu nasib di Jakarta. Barangkali aku beruntung, siapa tahu?
            Bayangkan saja aku memakai jas hitam seperti eksekutif muda yang sering tampil di TVRI, bayangkan saja aku naik mobil mewah, duduk di belakang kemudi dan memakai kacamata hitam. Bayangkan saja aku memakai sepatu hitam yang mengkilap. Ah, aku terlalu pandai mengkhayal. Memakai sandal saja sudah barang mewah buatku, apalagi sepatu hitam yang mengkilap? Lebih berani aku bermimpi!
            Aku memutuskan untuk tidur ketika gelap semakin merayap atas cakrawala. Besok pagi, akan aku temui Sundari dan bertanya kepada gadis itu di mana dia bekerja. Dan kalau ada peluang untuk aku masuk, aku akan bergabung dengan perusahaan tempat gadis itu bekerja.
***
            Aku datang ke rumah Sundari pagi-pagi sekali. Sopirnya tampak sedang mencuci mobil, hingga warnanya makin mengkilap dan memberikan efek kinclong bagai iklan-iklan sabun cuci mobil di teve. Sundari tampak berdandan di depan rumah, memakai bedak dan gincu warna merah merekah. Saking sibuknya berdandan, dia tak lihat aku berdiri di beranda.
            “Sibuk, Ri?”tanyaku menyapa, membuat Sundari agak terkejut. Nasib baik gincunya tak sampai mencoret pipinya karena kebablasan.
            “Eh, Mas Seno? Tidak, tidak sibuk. Silakan duduk,” balas Sundari ramah. Dia menggeser posisi dan aku duduk di sebelahnya. Aku lepaskan caping di kepalaku sebelum mengutarakan tujuanku datang menemui dia.
            “Jadi begini, aku hanya tertarik pada perubahanmu sejak kau pulang dari Jakarta. Kau begitu berduit dan nasibmu benar-benar berubah sekarang,” ucapku, membuat Sundari mengerutkan kening. “Langsung saja, apa pekerjaanmu, Ri?”
            Kerutan di kening Sundari perlahan-lahan pudar. Tatapannya padaku jadi gugup. Tidak, tidak lagi gugup. Bahkan dia cepat-cepat memalingkan wajah dan tak lagi memandang kepadaku. Dia menggigit bibir dan jemarinya berpeluk cemas.
            “Aku,” dia menelan ludah. “Aku karyawan pabrik, Mas.”
            Aku mengerutkan kening. “Karyawan pabrik?” ulangku tak percaya. “Mana ada karyawan pabrik bisa sekaya kau? Punya mobil, bisa merenovasi rumah...”
            “Sungguh, Mas. Aku memang karyawan biasa, hanya saja aku rajin menabung untuk beli ini dan beli itu.”
            Aku mengerutkan kening. Hati kecilku sebenarnya tak begitu percaya pada Sundari. Mana ada karyawan pabrik sekaya itu? Bahkan salah satu warga di Slarongan yang anaknya juga karyawan pabrik tekstil di Malioboro masih terlilit utang rentenir.
            “Sepertinya menarik, Ri. Menjadi karyawan dengan gaji besar. Masihkah ada peluang untuk karyawan baru di pabrik itu? Maksud kedatanganku kemari adalah bertanya, barangkali pabrik tempatmu bekerja membutuhkan karyawan baru dan aku berpeluang untuk bekerja di sana.”
            “Tidak mas,” jawab Sundari terburu-buru. “Lamaran itu baru saja ditutup tiga hari yang lalu.”
            Aku mengerutkan kening, masih tak percaya dengan argumentasi Sundari. “Hmm, begitu. Barangkali nasibku memang jadi petani,” ucapku, membuat Sundari langsung menatapku dengan perasaan tak nyaman.
            “Maaf, Mas. Harusnya sejak dulu aku memberitahumu.”
            Aku tersenyum. “Tak apa. Tak masalah, toh aku belum bosan jadi petani,” kataku, kemudian menatap Sundari dengan sorot mata ingin tahu. “Kau mau pergi?”
            “Ya, Mas. Aku pulang ke Jakarta hari ini,” jawab Sundari.
            “Oh, kalau begitu, aku pulang sajalah. Tak mau aku mengganggumu bersiap pulang ke Jakarta. Liburanmu menyenangkan bukan walau hanya ke kampung?”
            “Alhamdullilah, Mas. Menyenangkan sekali, sama kala aku masih tinggal di kampung dan belum berangkat ke Jakarta.”
            “Aku mengerti.”
            Aku beranjak dari sitje, Sundari mengekor di belakang. Kuhampiri sepeda tuaku dan naik ke atasnya. Sembari melambaikan tangan, aku mengayuh sepeda dan meninggalkan Sundari dengan senyumnya yang amat menggoda.
***
            Kepergian Sundari beberapa bulan yang lalu diikuti kepergian satu per satu warga desa yang ingin berubah sebagai Sundari. Berangsur-angsur desa ini sepi, juga sawah dan ladang. Biasanya, pagi-pagi begini para ibu sedang membuat besek atau apapun yang dianyam dari bambu, sementara para bapak sudah siap dengan cangkul, sabit dan sepeda jengkinya menuju ke sawah atau ladang dan bertani.
            Hari itu, Bu Sakarya memintaku datang ke rumahnya. Ibu Sundari sudah tua, orang-orang pun tahu dia sudah sakit-sakitan. Aku agak bingung juga ketika mengetahui wanita tua itu memanggil aku dan kini ia tengah berdiri di serambi rumahnya dengan penuh harap.
            “Seno, aku tahu kau teman dekat Sundari sejak dia masih kecil,” ucapnya. Bahkan sebelum aku sampai di teras, dia sudah berjalan buru-buru menghampiri aku.
            “Ada apa, Bu?”
            “Duduklah dulu,” Bu Sakarya memintaku duduk di sitje sementara dia menuangkan teh ke dalam cangkir. “Minumlah dulu.”
            Aku minum sedikit. “Ada kepentingan apa Bu Sakarya memanggil Seno kemari?”
            “Begini lho. Kau tahu, Sundari beberapa bulan yang lalu sudah pulang. Tapi, ibu masih merasa rindu dengan dia. Tiga tahun tidak bertemu dengan Ndari, dia hanya pulang beberapa hari di sini. Rasanya, belum cukup aku bertemu dengan dia.”
            Aku mengerutkan kening. “Lalu?”
            “Aku harap, kau mau menemani aku ke Jakarta dan bertemu dengan Ndari. Tak mungkin kan aku pergi ke sana sendirian? Aku belum pernah ke Jakarta dan aku takut berada di sana.”
            Aku menggeleng. “Tapi Seno juga belum pernah ke Jakarta. Kenapa ibu tak minta ditemani oleh Hamid? Dia pernah ke Jakarta.”
            Bu Sakarya menghembuskan nafas panjang. “Dari seluruh warga desa di Slarongan, hanya kau yang aku percaya. Aku mohon Seno, temani aku ke Jakarta.”
            Aku terdiam cukup lama, berpikir matang-matang. Aku belum pernah ke Jakarta sebelumnya, tak dapat aku bayangkan bagaimana kota itu berada. Tapi, kesempatan ini tak boleh aku lewatkan. Barangkali sembari menunggu Bu Sakarya melepas rasa rindunya kepada Sundari selama dia tinggal di Jakarta, aku bisa mencari kerja.
            Ide bagus. Aku menatap Bu Sakarya dan aku katakan kepadanya, aku bersedia menemaninya ke Jakarta.
***
            Aku dan Bu Sakarya menunggu bus Prayogo di Kolowenang. Hampir lima belas menit kami menunggu di bawah naungan pohon akasia yang tumbuh di sana. Tak lama kemudian, bus yang tengah kami tunggu itu datang. Kami naik ke dalamnya, agak kesulitan karena bus sudah penuh dan kondekturnya tetap meminta siapa saja yang menunggu bus itu naik. Dia pikir kami ikan teri, diperlakukan sedemikian rupa. Terpaksa aku tak duduk dan bergantung di pintu bus.
            Untuk pertama kali dalam hidupku, aku menginjak Stasiun Tugu. Bangunannya begitu megah dan mewah. Aku membelikan tiket kereta api untuk aku dan Bu Sakarya. Dengan kereta ekonomi yang kondisinya tak jauh berbeda dengan naik bus, aku dan Bu Sakarya resmi melancong ke Jakarta.
***
            Sibuknya Stasiun Gambir membuat Bu Sakarya jadi panik. Dia sama sekali tak melepaskan genggaman tangannya dari lenganku. Dia begitu takut, belum pernah dia berada di antara keramaian yang sedemikian rupa.
            Agak bingung mencari jalan keluar stasiun, aku dan Bu Sakarya malah berputar-putar entah ke mana.
            Gambaran kota Jakarta terpampang jelas di stasiun ini. Ada yang berdiri layaknya Sundari, dengan gaya dan penampilan necis dan modis, sepatu bermerk dan pakaian warna-warni. Tapi di sekitar mereka, ada yang mondar-mandir berpakaian lusuh, membawa barang dagangan dengan peluh mengalir dan terjatuh di tanah Jakarta. Jerih payah mereka melebihi orang-orang berpenampilan layaknya Sundari, tapi apa yang mereka dapat tak sama seperti Sundari.
            Gambaran ketidakadilan hidup terlukis jelas di mataku. Muncul ketakutan dan kecemasan dalam diriku, andai saja aku tak berhasil bagai Sundari malah menjadi buruh dengan peluh yang membuat wajah makin kusut dan badan makin bau penguk. Ah, nasib baik aku jadi petani. Dapat jatah beras tiap musim panen, sedangkan mereka? Mereka harus berdesak-desakan, pingsan, terinjak bahkan mati hanya karena berebut beras seperti yang aku lihat pada berita-berita di teve.
            “Seno, harus kemana lagi kita?”
            Aku mengangkat bahu. “Kita tanya saja pada petugas stasiun, Bu. Mereka pasti mau membantu. Ibu tunggu di sini,” ucapku, lalu meninggalkan Bu Sakarya berdiri di tepi rel kereta api.
            Aku menghampiri seorang pria berseragam yang berdiri di sebelah tiang. Kutanya kepadanya, di mana pintu keluar stasiun. Dia menjelaskan dengan begitu rinci dan saking bersemangatnya, aku berbalik dan berlari buru-buru menghampiri Bu Sakarya hingga pada akhirnya aku menubruk seorang pedagang koran dan majalah yang sedang berjalan.
            Semua korannya terjatuh, dia memunguti dagangannya sembari uring-uringan. Aku jadi tak enak hati. Kubeli satu majalahnya secara acak sebagai permintaan maafku dan kusuruh dia mengambil kembalian yang seharusnya menjadi hakku.
            Aku berjalan sembari membuka-buka isi majalah yang aku beli, penasaran juga dengan isinya. Ternyata majalah yang aku beli secara tak sengaja itu majalah dewasa. Aku membuka halaman terakhir majalah itu tanpa sengaja. Toh walaupun kulihat tanpa sengaja, rubrik itu membuat kedua mataku terbelalak tak percaya dan mulutku menganga lebar. Bukan karena modelnya yang berpose tanpa mengenakan sehelai pakaian pun selain celana dalam, tapi lebih penting dari itu.
            Aku menghampiri Bu Sakarya. Dia tampak berbinar melihat kedatanganku dan segera mengajakku keluar dari stasiun dan menemui anak gadisnya. Namun ketika melihat binar di wajahku untuk bertemu dengan Sundari telah sirna, Bu Sakarya bertanya kepadaku dengan kening berkerut. “Ada apa, Seno?”
            Aku tak enak hati. Kuulurkan majalah di tanganku kepadanya dengan raut kecewa. Majalah dewasa itu kini berada di genggaman tangan Bu Sakarya. Dia lihat halaman yang aku buka. Matanya langsung terbelalak kaget dan dia bekap mulutnya yang menganga lebar. Dia benar-benar tak percaya dan tangis tiada bisa dia tahan. Ya, wanita yang berpose tanpa busana itu adalah anak gadisnya.

Kamis, 16 April 2015

Untuk Cungkring

Selamat malam, Stevanus.
Selamat atas satu tahun yang pernah kita lewati bersama. Selamat atas dua belas bulan yang penuh cinta. Selamat atas ribuan hari yang bahkan aku malas untuk menghitungya. Terima kasih untuk segala cinta, terima kasih untuk semua ketulusan yang selama ini kamu berikan untuk aku.

Aku masih ingat, hari itu hari Jumat, bulan Maret, masih tahun dua ribu empat belas. Untuk pertama kali, kamu datang ke rumahku. Dengan motor beat merah mudamu, kamu bingung mencari rumahku. Kita janjian pukul tujuh malam, tapi kamu datang nyaris jam setengah sembilan malam. Untuk pertama kali pada malam itu, aku merasa canggung bicara pada lawan jenis. Kamu canggung, aku canggung. Kita terlalu banyak diam malam itu. Dan dari sekian tamu yang datang untuk aku, kamu yang pertama berani pulang larut malam. Pukul sepuluh lebih, kamu meninggalkan rumahku setelah jutaan detik kamu duduk di sampingku.

Aku masih ingat, hari Minggu, tanggal 13 April, masih tahun dua ribu empat belas. Kali kedua kamu datang, aku menyuguhkan kepadamu segelas coklat panas. Kamu nurut pada pesan galakku, “Jangan lupa bawa laptop!”. Setelah suguhan siap, kamu nyalakan laptopmu dan aku tancapkan flash disk­-ku. Kita dengan asyik nonton film Kata Hati, sebuah film yang sudah pernah aku tonton lebih dari sepuluh kali dan tak pernah membuatku merasa jenuh, karena latar tempat pengambilan film berada di Jogja. Kamu tahu, aku suka Jogja.

Sebelum film selesai, aku ingat betul aku memberanikan diri bertanya kepadamu, “Kalo kamu, mas. Pernah nggak jatuh cinta?” Pertanyaan yang sama dengan yang ada di film. Dan kamu menjawab pernah, membuatku sedikit kecewa. Karena aku bukan yang pertama untuk kamu. Ketika kamu menanyakan hal yang sama dan aku menjawab hal yang sama, entah apakah kamu kecewa. Apakah jawabanku berpengaruh pada hatimu. Sepertinya kamu tidak begitu peduli.

Ketika film selesai, aku ingat, kita berdua sama-sama terdiam. Kamu berbasa-basi meminum segelas coklat panasmu dan aku sibuk memainkan flash disk-ku, bingung mau bilang apa. Lalu kamu punya inisiatif, kamu berusaha menarik perhatianku, mengajakku ngobrol sesuatu yang menurutmu menarik untuk aku. Tapi ternyata aku tidak tertarik sama sekali dan itu terlihat jelas dari matamu. Seperti yang sering kamu katakan, aku judes.

Tiba-tiba, ketika aku masih sibuk bermain dengan flash disk­ di tanganku, kamu menarik tanganku, membuat aku menoleh. Dan ketika aku melihatmu, kamu tersenyum dan menggenggam tanganku begitu erat. Kamu harus tahu, hingga saat ini, kejadian itu masih menjadi momen paling utama dalam pikiranku. Sebuah momen yang tak akan pernah aku lupakan, satu momen termanis dalam hidupku.

Kamu masih tersenyum dan aku masih memandangi kamu. Pada malam yang begitu sepi, aku tahu, tanpa sedikitpun keraguan kamu mengatakan padaku sesuatu yang selama ini aku anggap sebagai mimpi. “Maria Lalita, mau nggak kamu jadi pacarku?”

Satu kalimat tanya, hanya tujuh kata. Tapi efeknya luar biasa. Kamu harus tahu, kalimat tanya itu, walau hanya sederhana, diucapkan tanpa sepucuk mawar, tanpa kejutan manis yang luar biasa, tanpa taburan bunga ditengah lilin yang membentuk simbol cinta, kamu membuatnya sarat dengan makna. Kamu mencintai aku, meski kita baru dua kali bertemu.

Sebenarnya aku agak ragu, kita baru sebentar saling tahu. Kamu tak tahu apa kata teman-temanku, mereka bilang aku harus menolak kamu dulu dan melihatmu berjuang untuk aku. Namun, senyummu yang begitu tulus dan genggaman tanganmu yang begitu hangat di setiap sela jemariku, membuat otak dan hatiku tak ingin membuatmu menunggu terlalu lama. Aku menerima kamu, aku mau jadi pacarmu. Detik itu juga, aku sadar. Aku juga mencintai kamu.

Terima kasih untuk semua kenangan yang kamu beri untuk aku, entah ketika kamu ada di sisiku atau tidak. Segala kenangan bersamamu, meski pahit, akan selalu terasa manis.

Terima kasih atas segala perjalanan yang sedikit demi sedikit mendewasakan aku. Bersama kamu, segala sesuatu terasa mudah, karena meski kamu jauh, kamu ada untuk aku. Semoga, aku juga begitu.

Terima kasih untuk semua pesan manis yang kamu ucapkan padaku, meski banyak typo dan ketika kamu mencoba membuat puisi untuk aku, malah menjadikannya sederet kalimat wagu, lebay, aneh, lucu. Bukannya bikin terharu, malah bikin ngakak terbahak-bahak! Biar begitu, kamu harus tahu, hidupku berwarna karena puisi-puisimu.

Untuk Stevanus Aditya Pangestu,
Terima kasih atas segala cinta.

Dari pacarmu yang katanya galak, judes, bawel tapi sebenernya kalem, imut, lucu, unyu-unyu dan bikin gemes.

Lalita, akan selalu sayang sama kamu.
*tanda tangan*

Sabtu, 14 Maret 2015

Cerita Mata (2)



“Kau suka betul, Zul pada si Renata?” tanya Topan suatu hari ketika kami sedang berjalan melewati guludan yang agak becek di antara pematang rumput yang sudah tinggi.
            Aku tidak menoleh, malah asyik menyisir rerumputan yang berayun ditiup angin menggunakan salah satu tanganku. “Memangnya kenapa?” tanyaku seadanya.
            Topan mengangkat bahu. “Kamu tahu, Zul. Renata buta.”
            Mendengar pernyataannya, barulah aku terdiam. Hanya menghembuskan nafas panjang lalu membiarkan udara berdesir gamang. Sejenak, aku renungkan lagi ucapan Topan, menimbang-nimbang apakah aku benar-benar bisa menerima kekurangan Renata. Akan tetapi, di manapun burung terbang dan daun kering berhamburan, cinta akan selalu buta. Begitulah hukumnya.
            “Ya, aku tahu Renata buta.” Aku memandangi Bukit Menoreh yang membentang tampak biru tua nun jauh dari hadapan mataku. “Tapi dia cukup puas melihat dalam kegelapa yang abadi. Dia cukup puas bisa meraba-raba. Dan aku yakin dia sanggup melihatku, walau tanpa kedua mata. Bagiku, begitu saja sudah cukup.”
            Topan memandangi aku, agak saksi dengan ucapanku yang lagaknya sudah seperti orang dewasa. Memang, agak aneh mendengar seorang bocah berusia enam belas tahun mengucapkan kalimat sedemikian rupa. Tapi, memang begitu adanya. Dua tahun sejak aku pergi bersama Renata ke pasar malam waktu itu, aku semakin yakin; aku mencintai Renata. Mencintai segala kekurangan yang melebihi kelebihannya.
            Topan menghembuskan nafas panjangnya. “Ya, Zul. Aku tahu kau begitu mencintainya. Tergambar indah di kedua matamu.”
            Aku menoleh, memandangi Topan. “Apakah terlihat jelas?”
            Topan mengangguk. “Ya, Zul. Aku yakin jika Renata melihatnya, gadis itu tak akan pernah melepasmu.”
            Aku tertawa. Topan memang kawan yang baik.
            Topan dan aku terus berjalan, menelusuri jalan setapak menuju sebuah sekolah—yang bahkan aku tak tahu apakah namanya terdengar hingga kecamatan—bersama pemuda dan bocah-bocah tanpa alas kaki yang juga ingin bersekolah. Melihat situasi di sekitarku, aku jadi bersyukur bisa memakai alas kaki walau masih terbatas pada sepatu sandal. Di desa kami, sandal adalah barang mewah. Sementara sepatu adalah mimpi di siang bolong.
            Rupanya, Topan sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang sangat amat serius dan mengusik pikirannya. “Syahrir dan Hamid sudah berangkat ke Jakarta, Zul. Berupaya mengubah nasib dengan menjadi seorang buruh.”
            Aku mengangguk.
            “Tak inginkah kau melakukan hal yang sama?”
            Aku mengerutkan kening. “Menjadi buruh?”
            Topan tertawa. “Bukan. Tapi kuliah.”
            Aku memikirkan ucapan Topan. Sejenak merenung, tapi sedetik kemudian tertawa terbahak-bahak. “Apa? Kuliah? Kau bercanda, huh?”
            “Tidak, Zul!” Topan berargumen. “Kuliah! Setelah lulus SMA, kita kuliah! Kita masuk ke universitas yang ada di Jakarta! Atau Bandung! Dan, kita jadi orang yang sukses! Kita kembali ke desa dan melakukan perubahan!”
            Bagiku, Topan terdengar begitu bersemangat. Bersemangat untuk bermimpi, maksudku. “Kau ya yang bayar uang kuliah?” tantangku.
            Topan menepuk bahu. “Lembaran uang tiada berarti demi masa depan yang lebih indah, Zul. Itu prinsipku.”
            Huh, sekarang dia bicara tentang prinsip yang bahkan aku tak tahu apa artinya! Aku masih saja tertawa, menganggap ucapan Topan hanyalah asa yang melayang terlalu tinggi dari realita yang ada. Namun, ada benih-benih yang muncul dalam hatiku, sebuah benih yang begitu menggebu dan bersemangat mengejar langkah Topan. Aku ingin kuliah.
***
            Ibu dan Bapak serta hampir seluruh warga dari Slarongan, Jonggrangan dan Tiban mengantar aku dan Topan menunggu bus di Kolowenang, batas desa kami. Ibuku dan Ibu Topan sama-sama terisak, entah terharu atau sedih melepas kami pergi. Ku lihat Topan memeluk kelima adiknya dengan mata sembab. Sementara bapak kami sibuk mengobrol dan membangga-banggakan kami kepada warga desa.
            Bus Prayogo yang kami tunggu tiba. Melihatku beranjak naik, Ibu berlari menarik kemeja baruku yang dia beli dari laba berjualan blanggreng dan klepon. “Jangan pergi, Zul! Jangan pergi!” isak Ibu begitu keras.
            “Ibu tak ingin aku sukses?”
            Ibu terdiam, memandangi aku dan membelai pipiku begitu sayangnya. “Jaga diri baik-baik. Menelfonlah kalau ada waktu. Nomor telfon Pak Ramto sudah kau bawa?” tanyanya membuatku mengangguk.
            “Sukseslah kau, Zul dengan bersekolah di IBB.”
            Aku tersenyum geli. “ITB, Bu,” koreksiku.
            “Iya, ITB maksudku,” ucap Ibu kemudian memandangi aku lagi yang juga memandanginya. Aku mengusap kedua matanya. Kubenarkan kerudung yang terlipat di kepalanya. Aku akan merindukan Ibu.
            Aku berbalik, menyusul Topan yang sudah duduk di dalam bus. Aku duduk di dekat jendela. Bus bergerak perlahan, meninggalkan Kolowenang. Dan perempuan yang terakhir kulihat hanyalah seorang gadis cantik dengan bola mata putih yang berdiri di samping ibunya sembari melambaikan tangan. Aku tersenyum, menahan pahit harus meninggalkannya. Aku akan merindukannya juga, seorang gadis yang semalam tadi kucium lembut bibirnya, Renata.
***
            “Masih jauhkah, Zul?” tanya Raquel di belakangku. Dia berjalan menelusuri guludan di antara rumput yang tengah mengering sembari kerepotan menenteng sebuah kopor dengan ukuran cukup besar.
            Aku melongok ke belakang, tersenyum geli melihat Raquel yang sedari tadi sok kuat. “Tidak. Seratus meter lagi.”
            “Hah!?” Raquel melongo.
            Aku tertawa. “Tidak, tidak. Rumahku di ujung sana. Kau lihat atap-atap itu?” tanyaku membuat Raquel mengangguk. “Di sanalah aku tinggal. Hmm, ngomong-ngomong, mau aku bawakan kopormu?”
            Raquel tampak berpikir. “Asal kau tidak menganggapku sebagai perempuan yang lemah!”
            Aku hanya tertawa. Kubawakan kopornya dan melanjutkan perjalanan. Ibu dan Bapak rupanya tengah menunggu aku di serambi. Melihatku tampak dari perempatan, mereka berlari menghampiri aku dan memelukku begitu senangnya. Aku perkenalkan Raquel, teman kuliahku yang super cerdas kepada mereka dan mereka menyambutnya begitu antusias dan mengajak kami makan siang.
            Begitu makan siang usai, aku menggandeng Raquel, merengek agar dia mau berkeliling desa.
            “Desaku terlalu indah jika hanya dikunjungi untuk beristirahat!” ucapku bersemangat. “Mari aku perkenalkan kau pada kekasihku!”
            Raquel yang awalnya tampak antusias langsung berubah air wajahnya. “Kau… sudah punya kekasih?” tanyanya terdengar gamang.
            “Ya! Pada awalnya dia sering memberi kabar, tapi lama-kelamaan, kabar tentangnya hilang dan ibu pun tak pernah bercerita tentangnya lagi. Aku begitu rindu padanya dan ingin melihatnya! Ingin sekali aku memeluknya! Kau pasti tahu bagaimana rasanya rindu?”
            Beranjaklah kami keluar dari rumah. Mengetahui tujuanku bertemu Renata, Ibu langsung menghampiri aku dengan mata melototnya. “Jangan kunjungi Renata! Jangan temui dia!” bentaknya.
            Aku mengerutkan kening tak mengerti. “Ada apa, Bu?”
            “Tidak! Tidak! Jangan temui dia, kau tak mengerti!”
            Aku menggeleng. Rinduku tengah menggebu-gebu. Ingin sekali aku memeluk Renata dan mencium rambutnya yang selalu wangi. “Ibu tak mengerti. Aku begitu rindu pada Renata!”
            “Tidak, Zul! Jangan! Aku mohon!”
            Aku tak mengindahkan ucapan Ibu. Bersama Raquel, aku berlari pergi. Aku tak sabar lagi.
***
            Rumah Renata kini bercat coklat. Dindingnya tak lagi bambu. Rumahnya lebih bagus dengan gaya cukup mewah bila dibanding rumah-rumah lain di desa kami. Bahkan, kulihat di serambi rumahnya terpampang meja dan sitje untuk tamu. Aku mengerutkan kening. Dari mana Renata mendapatkan uang untuk membenahi rumahnya? Apa pekerjaannya sekarang?
            “Ini rumah kekasihmu, Zul?” tanya Raquel di belakang punggungku.
            “Ya, ini rumahnya. Sungguh berbeda dari lima tahun yang lalu sejak aku pergi.”
            Raquel tak lagi bersuara. Dia sibuk melihat-lihat. Aku mengetuk pintu rumahnya sembari memanggil nama Renata dengan jantung yang berdegup begitu menggebu dan tak sabar. Tak sampai lima menit, ku dengar langkah kaki. Dan pintu dibuka. Aku begitu terpana.
            Di hadapanku, Renata berdiri. Wajahnya masih sama. Masih cantik. Rambutnya tetap panjang dan hitam. Tubuhnya juga wangi sama seperti dulu. Tapi… matanya tak lagi putih.
            “Zul, kau-kah itu?”
            Aku menelan ludah. “Ya, Re. Aku Zul.”
            Renata terpana. Sekejap setelah terdiam beberapa detik, dia memeluk aku. “Kau pulang, Zul! Akhirnya!”
            Aku tertawa dan membalas pelukannya. “Ya, Re. Aku sudah pulang,” jawabku sembari menatap wajahnya lagi. Aku begitu bahagia melihat kedua bola mata Renata tak lagi putih. Kini kedua bola matanya normal. Dia bisa melihat. Dia bisa melihatku.
            “Kedua matamu kini …”
            “Ya, Zul. Seseorang membantuku transplantasi kornea. Kini aku sudah bisa melihat dengan jelas.”
            “Aku senang mendengarnya, Re!” Aku memeluk Renata lagi. Betapa besar rinduku untuknya. Renata membalas pelukanku, hangat dan begitu melegakan. Kuuraikan pelukanku pada detik berikutnya, ku genggam jemarinya. “Mari pergi bersamaku, Re. Kita habiskan waktu bersama.”
            Aku mengajaknya berlari, namun rupanya Renata tak beranjak. Dia hanya memandang aku. Bibirnya tersenyum, namun kedua matanya menatapku begitu gamang. ”Ada apa, Re? Tak inginkah kau menemani aku? Aku pulang untukmu sekarang.”
            Senyum Renata memudar, dia menundukkan kepalanya. Belum sempat dia berucap, seorang bocah menghampirinya. “Ibu, aku lapar,” rengeknya.
            “Ya, nak. Makanlah,” jawab Renata sembari membelai lembut rambut anak itu.
            Aku terpana. Kupandangi Renata dengan kedua mata tak percaya. “Ibu?” tanyaku.
            Renata tersenyum memandangi aku. Kedua matanya masih gamang. Dia menelan ludah sebelum bicara. “Ini anakku, Zul.”
            Parang bagai menusuk jantungku. Dentuman terdengar di telingaku. Aku terpana. Benar-benar tak percaya. “A… anak?”
            “Ya, Zul. Aku menikah dengan dokter yang melakukan transplantasi kornea untukku. Maafkan aku,” isak Renata menundukkan kepala.
            Jantungku meletup penuh emosi. “Kenapa kau tak menungguku, Re?”
            “Kau pergi terlalu lama, Zul!”
            Aku mendekati Renata, memandanginya yang tak berani memandang aku. “Tapi hatiku tak pernah benar-benar pergi dari hatimu, Re,” bisikku begitu sedih. Aku mundur selangkah dan memaksakan senyum. “Anakmu begitu tampan, Re. Kau pantas memiliki anak sepertinya.”
            Renata diam.
            “Aku harus pulang.”
            “Maafkan aku, Zul.”
            Aku membalikkan tubuh, tak mengindahkan permintaan maafnya. Aku berlari, lupa kalau Raquel ada di sana. Melihatku pergi, Raquel mengejarku, mengikuti langkahku yang terburu-buru.
            Aku berhenti di suatu titik. Di sebuah batu besar di antara arus sungai yang mengalir bening nan deras. Aku masih ingat aku seringkali menghabiskan waktu bersama Syahrir, Hamid dan Topan di tempat itu. Masa kecil yang begitu indah, dengan Renata yang menjadi pelengkap keindahannya. Renata tumpuan harapanku dulu, yang menerbangkan imajinasiku menjadi asa yang begitu tinggi. Renata adalah cinta pertamaku, cinta terbesar yang pernah aku kenal. Dia pemilik ciuman pertamaku, bahkan pemilik senyum yang begitu indah yang akan membuatku jatuh sakit jika sehari tak melihatnya. Aku begitu mencintai Renata.
            Raquel menghampiri aku. “Kau menangis, Zul?”
            Aku terlalu sakit hati. Hingga label jagoan yang pernah menempel untukku tak bisa mengalahkan air mataku. “Ya, Ra. Aku menangis.”
            “Tak perlu malu.” Raquel berdiri di batu besar tempatku berdiri. “Aku tahu bagaimana perasaanmu.”
            “Dia cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Terlalu dalam untuk mencintainya,” ucapku.
            Raquel tersenyum. Dia memainkan air menggunakan jemari kaki yang kukunya dicat merah. “Kau pria baik, Zul. Tak sulit bagimu untuk mencari gadis yang lain. Dibalik semua ini, kau harus belajar bahwa cinta sejati bukan berarti orang pertama yang membuatmu jatuh cinta.”
            “Aku tak punya waktu untuk mencari cinta sejati,” jawabku.
            Raquel menundukkan kepalanya. “Kau tak perlu mencari, Zul. Karena dia menunggumu sudah sejak lama. Dia selalu ada di dekatmu, namun kau tak memandangnya karena terlalu rindu pada cinta pertamamu,” ucap Raquel membuatku mengerutkan kening.
            “Seseorang menunggu aku?” Aku menatap Raquel yang menundukkan kepalanya. “Siapa?”

            Raquel mengangkat kepalanya, memandangi Bukit Menoreh yang terbentang biru tua dengan puncak tertutup awan nun jauh dari hadapan kami, kemudian memandang aku. Dia memandang jauh ke dalam kedua mataku. Begitu pun aku yang berlayar kemudian berlayar di dalam kedua mata teduhnya. Dan, tak perlu menunggu waktu yang begitu lama. Aku melihat kedua matanya memancarkan cinta. Untuk aku.          

Selasa, 10 Maret 2015

Cerita Mata



picture source by google

Melalui sebuah lubang kecil yang menempel pada dinding bambu yang reyot di hadapanku kini, aku bisa melihat sebuah sumur timba, ember-ember berisi air dan jemuran yang belum terlalu kering. Kamar mandi terbuka dengan ukuran yang bisa dibilang cukup luas jika dibandingkan kamar mandi lain milik rumah-rumah kecil di desaku itu hanya ditutup oleh dinding-dinding bambu yang bahkan sudah berlubang di sana-sini. Tapi tetap saja kamar mandi itu bisa dibilang mewah. Di desaku, punya kamar mandi saja sudah dianggap orang kaya. Di tempat itu, sesekali lubang hidungku mencium bau tak sedap dari air selokan yang mengalir tepat di samping tanahku berpijak. Aku sebenarnya sudah tak tahan berdiri sendirian di tempat ini dengan tubuh sedikit membungkuk agar bisa menaruh pandanganku kepada kamar mandi melalui sebuah lubang kecil pada pembatasnya, kalau aku boleh jujur. Tapi jangan salah, aku punya maksud tertentu berdiri berlama-lama dengan posisi begini.
            Dari pintu kamar mandi keluar seorang wanita. Aku jadi was-was, takut kehadiranku disadari olehnya. Tapi tidak, wanita itu tetap berjalan mengambil handuk dari tali jemuran dan sepasang pakaian dalam, kemudian kembali lagi menghampiri pintu kamar mandi sembari mengulurkan kedua tangannya. “Hati-hati,” ujarnya lembut, selembut pelukan tangan milik sosok yang belum muncul dari balik pintu kamar mandi.
            Dan, ketika sosok itu tampak, jantungku makin tak karuan. Darahku naik ke ubun-ubun. Syaraf-syarafku mendidih girang. Seorang gadis dengan kulitnya yang kuning langsat, rambut yang begitu hitam dan panjangnya sekaligus wajah mulus nan tampak lembut yang jauh berbeda dari para wanita di desaku keluar dengan hati-hati dari balik pintu kamar mandi.
            “Renata,” bibirku mengucap pelan.
            Sang Ibu menyisir rambut Renata pelan-pelan, begitu menikmati setiap sentuhan helai lembut rambut gadis itu, tak ingin sehelai rambut pun jadi bercabang. Digulungnya rambut Rena, agar tak basah kena air mandi yang akan dipakainya. Mataku terbelalak, Renata begitu cantik dan sedap dipandang mata.
            Rena duduk di sebuah dipan tempatnya biasa mandi. Tubuhku semakin mendidih. Ada bagian tubuh yang ikut berdiri di balik pakaianku. Rena, Rena, manismu sudah jadi harga mati.
            Sang Ibu berdiri di belakang Rena. Sedikit-sedikit melepas jarik yang membungkus lekuk indah tubuh itu. Hampir-hampir kedua mataku melihat tubuh polosnya…
            “Zul! Sedang apa kau!”
            Aku kaget bukan main! Segera aku beranjak dari posisiku dan memutuskan untuk berlari. Tapi sialan! Tubuhku tak sengaja menubruk dinding bambu reyot di hadapanku, membuat ibu Renata yang sebenarnya masih tak menyadari kehadiranku di situ langsung tanggap dan mengambil air melalui ember lalu segera berlari menuju ke dinding. Disiramnya air di dalam ember melalui dinding bambu sambil mengumpat, tak terima seorang bocah mengintip anak gadisnya mandi.
            Aku berlari dan terus-menerus berlari, pergi menjauh dari tempatku berpijak. Sialan, sialan! Di sebuah tanah lapang, kulihat teman-teman sebayaku memandangi aku sambil tertawa terbahak-bahak. Rupa-rupanya mereka yang membuat tujuanku tidak berjalan dengan baik!
            “Wajahmu merah, Zul?” ledek Hamid ketika aku duduk di sampingnya.
            Teman-temanku tertawa.
            “Bocah kecil sudah berani mengintip anak gadis mandi, huh? Kalau sudah dewasa mau mengintip Nenek Abdulah yang sudah bau tanah saat dia mandi?”
            Sialan! Tawa teman-temanku makin menjadi, sementara panas dan rona semakin membakar wajahku. Aku malu bukan main.
            Tiba-tiba Topan menghampiri aku, menepuk bahu dengan wajah sok menghibur. “Keberanianmu patut diacungi jempol, Zul! Aku bangga punya teman sepertimu!” ucapnya dengan nada bangga. Tapi tetap saja maksud hatinya mengejek aku.
            Aku jadi geram. Lekuk tubuh Renata tak mau hilang dari benakku. Apalagi kejadian menubruk dinding kamar mandi Rena yang membuat ibunya mengetahui niat burukku sehingga dia mengucapkan serapah untukku. Benakku jadi bertanya-tanya, apakah ibu Rena tahu bahwa yang mengintip anaknya adalah aku? Bagaimana jika dia tahu? Bagaimana jika dia mengadu kepada ibuku? Biarpun aku dibilang jagoan di desaku, tetap saja aku takut pada ibuku yang tubuhnya begitu gemuk sampai-sampai bapak pun tak berani membuatnya marah.
            Aku jadi semakin panas, teman-teman semakin meledekku dan tak peduli bahwa kini aku sedang cemas. Aku beranjak dari tempatku. Dengan begitu geram, aku melangkah pergi. “Minggir, minggir!”
            Hamid yang melihatku pergi langsung mengeluarkan kalimat pedasnya lagi. “Mau kemana kau, Zul? Jangan bilang kau akan pergi ke kamar mandi Nenek Abdullah untuk mengintipnya!”
            Tawa kembali meledak. Aku jadi semakin kesal.
***
            Malam ini akan jadi malam yang begitu sepi di desaku. Orang-orang sibuk mempersiapkan diri untuk pergi menonton pasar malam dan menikmati wahana-wahananya atau bahkan menonton layar tancap. Pasar malam memang selalu menjadi sebuah hiburan supermewah. Sebelum pasar malam diadakan, orang-orang akan menabung agar bisa menikmati hiruk-pikuk pasar malam dan membeli berbagai aksesoris dari sana.
            Syahrir, Hamid dan Topan membunyikan bel sepeda mereka dengan bersemangat ketika mereka sampai di halaman rumahku. Aku keluar dengan langkah gontai, mereka tengah mengganggu tidurku.
            “Kau bangun tidur, Zul? Tak ikutkah kau dengan kami?” tanya Topan sangsi melihatku bangun tidur.
            “Ke mana?” tanyaku tak acuh.
            “Melihat orang-orang kota memasang wahana pasar malam! Aku begitu penasaran bagaimana cara mereka memasang komedi putar, atau membuat wahana sangkar burung yang begitu tinggi dan melihat para remaja kota berlatih untuk tampil di tong setan malam nanti,” Topan menjelaskan dengan begitu menggebu-gebu sementara Syahrir dan Hamid mendukung argumennya dengan anggukan kepala yang tak henti-henti.
            Aku menguap. “Aku tidak pergi,” jawabku, membuat teman-temanku langsung melongo dengan mata terbelalak.
            “Apa, Zul? Kau tidak pergi? Tidak penasarankah kau?”
            “Tidak,” jawabku. “Aku sudah pernah melihatnya ketika bapak pergi membantu orang-orang kota mempersiapkan pasar malam. Bapakku pernah menjadi buruh sementara di sana dan aku melihatnya bekerja.”
            Syahrir mengangkat bahu. “Ya sudahlah kalau begitu. Jangan menyesal jika kau tak ikut bersama kami ya! Kami akan bertemu dengan gadis-gadis cantik dari desa lain,” katanya berusaha membujukku.
            Aku menggeleng. “Tak ada gadis yang lebih cantik dari Renata,” balasku, membuat mereka tak lagi berusaha mengajakku. Mereka tahu aku begitu menyukai Renata.
            “Terserah kau sajalah, Zul! Kau memang aneh,” kata Hamid lalu mengayuh sepedanya menjauh, diikuti Syahrir dan Topan yang melambaikan tangan padaku.
***
            Sudah aku duga sejak awal, desa ini menjadi sangat sepi malam ini. Setelah berpamitan dengan ibuku, aku berjalan meninggalkan rumah, menelusuri jalan setapak yang baru setahun yang lalu dilapisi aspal. Aku memandangi bintang, mengandai-andai. Syahrir, Hamid dan Topan pasti sedang menikmati sangkar burung atau main komedi putar atau melihat tong setan atau mungkin makan bakso dan mi ayam. Mereka pasti sedang sangat gembira.
            Tapi tidak! Malam ini, hanyalah aku manusia paling bahagia di dunia! Lihat saja!
            Aku memasuki sebuah pelataran rumah, dengan gugup kuketuk pintu hijau di hadapanku. Tak menunggu lama, seseorang membukanya dan tersenyum melihat kehadiranku. “Kau rupanya, Zul? Masuklah!”
            Aku masuk ke dalam rumah. Sedikit canggung, aku duduk di ruang tamu.
            “Tunggu sebentar ya!”
            Aku mengangguk pada sosok yang tadi membuka pintu untuk aku, ibu Renata. Baru pertama kali dari sekian tahun aku menyukai Renata, aku duduk di ruang tamu rumahnya. Dulu, menginjak halaman rumahnya saja aku takut apalagi masuk ke dalam. Tetapi malam ini, aku berusaha memberanikan diri untuk datang, mengajaknya pergi dan menunjukkan kepadanya bahwa aku menyukainya sudah sejak lama. Kalau tidak begini, kapan             Renata tahu ada seorang bocah empat belas tahun yang menyukai dan begitu memuji-muji dia baik di alam sadar maupun di dalam mimpi? Walau dengan gamblang diucapkan bahkan secara diam-diam dari dalam hati?
            Ibu Renata keluar dari balik ruangan yang ditutup oleh gorden sebagai pintunya. Di samping beliau, Renata tampak begitu manis dengan kerudung di kepalanya. Mereka berdua berjalan berdampingan dengan hati-hati. Ibu Renata menggenggam erat-erat pelukan jemari Renata di lengannya sementara kedua kakinya melangkah pelan agar Renata bisa mengikuti langkah kakinya.
            “Rena, Zul sudah datang. Kau mau kan pergi bersamanya?” tanya Ibu pada Renata yang nampaknya mengangguk samar.
            “Iya, jika hanya ibu mengijinkan,” jawab Rena malu-malu.
            Ibu tersenyum geli, dirasa anaknya sudah cukup dewasa untuk pergi bersama seorang laki-laki (yang sebenarnya bocah kecil ingusan yang sedang dilanda asmara). “Tak perlu malu-malu begitu,” kata Ibu bercanda. “Zul anak yang baik, tentu Ibu mengijinkan kamu pergi bersama dia. Ya kan, Zul?”
            Aku hanya mengangguk sambil menyiratkan senyum lebar di bibir, tak tahu harus berbuat apa selain begini.
            Ibu mendekati aku. Dia masih saja tersenyum, namun keduanya memancarkan harapan sekaligus kekhawatiran. Melihat senyum lembutnya, aku jadi bersyukur Ibu Renata tidak tahu aku pernah bahkan sering mengintip Renata mandi. Semoga saja dia tak pernah tahu, sehingga senyum lembutnya untukku tak lekang nan pudar.
            “Zul, aku ijinkan kamu mengajak anak gadisku pergi. Ku rasa sudah waktunya dia keluar dari rumah untuk beberapa saat dan menikmati keramaian selain di rumah saja,” ucap Ibu lembut. “Tapi, jagalah Rena dengan sungguh-sungguh. Jangan mengajak dia ke tempat yang terlalu bising karena dia belum terbiasa dengan keramaian. Jangan melangkah terlalu cepat sehingga langkahnya tak tertinggal olehmu. Teruslah menggenggam tangannya, jangan sampai lepas. Ibu sangat cemas kalau sesuatu terjadi padanya. Kau tahu, Rena buta.”
            “Zul mengerti, Bu,” jawabku gamblang dengan nada sok pahlawan.
            “Rena hartaku satu-satunya, sahabat sekaligus anak gadis yang amat aku cintai. Kau tahu suamiku telah meninggal dan tak ada siapa-siapa yang menemaniku selain Renata. Jangan sampai terjadi apa-apa pada anakku, Zul.”
            Aku mengangguk penuh keyakinan. “Zul berjanji akan menjaga Renata selama kami berdua pergi,” kataku.
            “Yaya, aku tahu kau anak yang baik dan bertanggung jawab. Seringkali kulihat kau membantu ibumu dengan bersepeda ke pasar membawa keranjang penuh dengan karung-karung singkong. Aku percaya kau bisa menjaga Rena.”
            “Kami pergi dulu, Bu.”
            Ibu mengangguk, mengantarkan kami berdua keluar dari rumah. Aku mengulurkan tangan, meraih tangan Renata, mendekap jemarinya dalam sebuah pelukan hangat penuh perlindungan. Renata menatapku entah mengapa. Aku tahu dia buta, tapi aku juga tahu, Renata sedang menatapku, mungkin terkesima dengan genggaman yang begitu erat dari seorang laki-laki. Aku tahu, genggaman seorang laki-laki adalah yang pertama untuk Renata.
            “Hati-hati, Zul!”
            Aku dan Renata melangkah pergi, meninggalkan pelataran rumah menelusuri jalan setapak yang baru tahun lalu dilapisi aspal. Begitu sejuk bersama Renata, begitu indah berjalan bersamanya dibawah jutaan gemilang bintang.
***
“Cobalah makan ini. Sudah pernah mencoba?”
            Renata menerima permen kapas dari genggaman tanganku. Dia merobek sedikit, kemudian mengunyahnya.
            “Tak perlu dikunyah,” aku tersenyum geli.
            Renata nampaknya menikmati permen kapas pemberianku. “Ini enak sekali, Zul! Bagaimana cara membuatnya?”
            Aku tertawa, senang sekali dia menyukainya. “Hmmm, setahuku dengan gula. Tapi aku tak tahu bagaimana cara mengolahnya sehingga butiran-butiran gula bisa menjadi selembut kapas.”
            “Enak sekali! Boleh lagi?”
            Sembari berjalan menelusuri keramaian dan hiruk-pikuk pasar malam, aku dan Renata menikmati permen kapas kami. Walau tak dapat melihat, aku yakin Renata menikmati apa yang dia dengar dan dia rasakan.
            “Maukah kau naik bianglala bersamaku, Re?”
            “Apa itu bianglala, Zul?” Renata mengerutkan kening.
            “Orang-orang di sini menyebutnya sangkar burung karena bentuknya memang mirip dengan sangkar. Tapi kudengar orang kota menyebutnya bianglala. Sangat asyik, Re! Kau bisa melihat seluruh bagian desa dari atas sana!”
            Renata menggeleng. “Aku tak dapat melihat, Zul.”
            Aku tersenyum, mempererat genggaman tanganku pada setiap jemarinya. “Bersamaku, apa yang tak kau lihat akan kau lihat dengan lebih indah, Re. Aku janji.”
            Renata diam. Dia menoleh kepadaku, entah apa yang dia lihat. Setelah berpikir beberapa saat, Renata setuju.
            Kami berjalan menuju wahana bianglala. Banyak muda-mudi dan anak-anak naik wahana itu. Aku dan Renata masuk ke salah satunya. Bianglala perlahan-lahan bergerak, sedikit demi sedikit bergerak naik, perlahan-lahan, lembut nan tenang, bianglala menuju ke atas dan tiupan angina semakin kencang. Kulihat untaian rambut Renata melayang bebas, begitu kemayu.
            “Kita sudah di atas, Zul?”
            “Ya, Re.”
            “Apa yang kita lihat?
            “Hamparan sawah nan hijau, lampu-lampu yang tampak menyala dari Bukit Menoreh, Jonggrangan, Pasar Ngijon…”
            “Indahkah itu semua, Zul?”
            Aku mengangguk. “Ya, Re.” Aku menatap Renata, memandang wajahnya tanpa merasa sangsi dengan bola matanya yang bewarna putih. “Namun tak ada yang lebih indah selain melihatmu.”
            Rena terdiam. Dia menundukkan kepala. Kulihat wajahnya merona begitu merah. Aku pun begitu. Wajahku panas bukan main. Dasar bocah kecil ingusan yang sok jantan, dari mana aku mendapat keberanian yang begitu edan?

            Bianglala yang awalnya berdiam di atas, tiba-tiba bergerak turun dengan begitu cepat. Orang-orang berteriak, tak terkecuali Renata. Pelukan tangannya bertambah erat. Dia benar-benar terkejut. Aku tertawa, menikmati sensasi demi sensasi yang diciptakan oleh putaran-putaran bianglala, menikmati tiap pelukan Renata yang makin erat, menikmati wangi rambut gadis itu dan mencuri sebuah ciuman yang begitu lembut dan tak kentara sampai-sampai Renata tak menyadarinya.