Minggu, 15 Juni 2014

Balada Cinta Panggah 1

oleh: Lalita.

            Dalam malam yang hening, di tengah haribaan yang kerontang, dua mata memandang langit yang amat terang dihiasi gelantungan bintang-bintang. Hari itu mendung tiada lagi menyelimuti desa dan dingin tak lekat pada tubuhku yang senantiasa berdiri di sebuah rumah yang dibangun di atas sebuah pohon trembesi besar, yang berdiri gagah di tengah lahan kering di teritori desa kami.
            Aku tidak sepenuhnya sendiri, sebenarnya. Ada doa para katak yang diwarnai oleh suara arus air di sungai dekat rumah pohon ini. Ada juga kerik para jangkrik yang tinggal di ilalang di belakang rumah pohon ini. Namun, mereka jauh. Dan aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan. Yang aku tahu, mereka sebatas bernyanyi dan berkomunikasi, dengan cara mereka sendiri. Atau mungkin mereka sedang menyapa sang Ilahi? Aku tiada tahu.
            Berdiri di sini, seorang gadis, sendirian sebenarnya sangat mengherankan. Namun aku sendirian di sini bukan tanpa maksud dan tujuan. Aku masih singgah di sini, membiarkan senja ditutup oleh azan Magrib yang berkumandang beberapa menit yang lalu dengan tujuan menunggu seseorang, membiarkan mataku terpuaskan melihat wajahnya yang senantiasa memancarkan keceriaan, memuaskan hatiku yang hampir saban hari meratap menemui dia yang hingga saat ini tak kunjung datang.
            Batinku bagai kehausan dalam kemarau panjang ketika dia yang aku tunggu tak kunjung memancarkan citranya. Namun mengalami kepuasan tiada hingga ketika pintu rumah pohon yang awalnya tertutup rapat pada akhirnya terbuka.
            Aku menoleh. Dan dia yang aku tunggu akhirnya datang, menunjukkan tampang penyesalan. “Maafkan, Ata! Maafkan Panggah terlambat! Panggah bantuin Simbok, jatuh di pasar!” jelasnya tak henti-henti meminta ampun dariku.
            Aku menghampirinya, menuntunnya duduk di sampingku. “Tak apa, Panggah. Ata memaafkan Panggah pun Panggah tak minta ampun sama Ata. Simbok nggak apa-apa?” tanyaku.
            Panggah mengangguk. “Tapi, Panggah terlambat. Panggah nggak baik,” katanya lagi, masih diwarnai penyesalan. Matanya menatap ke segala arah, tidak ke mataku.
            Aku tersenyum. “Panggah, dengar baik-baik. Saya sudah memaafkan kamu,” ujarku.
            Panggah mengangguk lagi, entah apa maksudnya. “Panggah masih bisa dengar cerita Ata?” tanyanya. Kali ini matanya memandangku dengan penuh harap. “Panggah nggak mau dihukum, Ata. Panggah terlambat, Panggah nggak mau dihukum! Tapi Panggah mau mendengarkan cerita dari Ata,” ucapnya.
            Aku mengangguk. “Panggah nggak dihukum. Ata memang mau ngasih cerita buat Panggah,” jawabku.
            Panggah mengibas-ngibaskan tangannya. Melompat-lompat senang. Tertawa-tawa. “Asik! Asik! Panggah mendengarkan cerita! Panggah mendengarkan cerita!” katanya riang.
            Aku tertawa. Senang melihat Panggah yang tersenyum ceria. Aku berjalan menuju ke sebuah meja, mengambil salah satu topi kertas yang biasa digunakan anak-anak jika mereka ingin mendengarkan dongeng dariku. Aku memang suka membacakan dongeng kepada mereka, setidaknya rumah pohon ini menjadi sarana untuk mereka berkumpul dan mendengarkan dongeng.
            “Pakai ini dulu,” pintaku sembari memberikan topi kertas di genggamanku kepada Panggah yang langsung menerimanya dengan riang. “Topi kertas!” serunya sembari meletakkan topi kertas di kepalanya.
            Aku tersenyum. “Dengarkan saya baik-baik ya,” ujarku. Dan aku mulai bercerita. Kalian tahu dongeng dari nun jauh di sana, tentang seorang putri yang mencintai pangeran buruk rupa, bukan? Tentu saja, dongeng itu sudah terkenal dimana-mana. Aku mengisahkan dongeng itu kepada Panggah yang senantiasa memusatkan perhatian pada bibirku yang tak henti bercerita dan kedua tanganku yang bergerak-gerak memberikan gestur pada dongengku kepada Panggah.
            Aku menyukai caranya mendengarkan ceritaku. Aku suka kedua telinganya yang kadang-kadang bergerak secara tidak sadar ketika Panggah berkonsentrasi terhadap dongengku. Aku menyukai kedua matanya yang menatap bibirku. Matanya yang jernih. Matanya yang polos. Matanya yang kanak-kanak, yang tidak sesuai dengan umurnya saat ini.
            Di desa ini, Panggah—anak pedagang singkong di pasar Ngijon, pasar dekat desa kami—dianggap gila. Dia bertingkah layaknya anak kecil, bergabung dan bermain bersama anak-anak kecil, ketika siang hari dan seluruh pria yang seumuran dengannya bekerja di ladang, Panggah bermain layang-layang atau ikut memandikan kerbau, masih bersama sahabatnya, anak-anak di desa kami. Setiap sore, Panggah menyempatkan diri datang di rumah pohon, bergabung bersama anak-anak desa dan mendengarkan dongengku. Pernah sekali, Panggah ikut berperan dalam drama yang diselenggarakan saat perayaan tujuh belasan, drama yang aku buat dan melibatkan anak-anak di desaku. Alhasil, tingkah Panggah yang lucu mengundang gelak tawa warga desa dan menjadikan perayaan tujuh belasan malam itu sarat akan wajah-wajah ceria, terutama untuk para pejabat desa.
            Tapi aku menyukainya. Tak peduli warga desa menganggapnya gila atau kurang waras. Aku berlindung dari semua masalahku dikedua matanya yang selalu teduh. Aku merasa tenang ketika bibir tipisnya memancarkan ceria yang tak pernah pudar. Dia yang dianggap sinting malah membuatku senantiasa menunggu kehadirannya.
            Dan, jika kalian tahu. Maksudku memberikan dongeng tentang putri cantik dan pangeran buruk rupa adalah salah satu caraku mengungkapkan perasaanku pada Panggah. Aku tak pernah menganggap Panggah sebagai buruk rupa, tetapi dongeng itu menyampaikan rasaku, bahwa aku mencintai Panggah. Aku mencintai kekurangannya. Aku mencintai Panggah apa adanya. Tak peduli slentingan orang tentang dirinya yang memang mengalami keterbelakangan mental.
            “Nah, pada akhirnya, Putri Cantik dan Pangeran Buruk Rupa hidup bahagia selama-lamanya,” tutupku pada dongengku malam ini.
            Panggah bertepuk tangan. “Hore! Hore!” serunya gembira, pada dongengku yang sederhana.
            Aku menengok arloji di tanganku, kemudian menatap Panggah. Waktu berjalan terlampau cepat, batinku. Hari tahu-tahu sudah makin malam. “Panggah, udah malam. Simbok pasti cemas. Kita pulang, ya?”
            Panggah menggerutu. “Ya-ya, Panggah memang harus pulang kalau hari sudah gelap.”
            “Panggah mau pulang bareng Ata, nggak?” tawarku, berharap Panggah menjawab iya.
            Dan Panggah memang menjawab iya. “Panggah mau pulang bareng Ata! Panggah mau!” serunya bersemangat sembari menatapku dengan mata teduhnya.
***
            Simbok mengantarkan aku keluar dari rumah bambunya ketika Panggah sudah masuk ke dalam kamar. Kecemasan tergantung di wajahnya. Simbok menatapku, ingin berbicara, namun urung. Menatapku lagi, ingin bicara, namun kembali urung. Aku jadi bingung melihat sikapnya, kutatap Simbok dengan penuh tanda tanya.
            “Ada apa, Mbok? Kayaknya kok cemas begitu?” tanyaku.
            Simbok bermain-main dengan jemarinya. “Anu, Non. Saya bingung gimana cara ngomongnya,” katanya.
            Aku mengerutkan kening. “Memangnya ada apa?”
            Simbok menahan suara, menelan ludah, kemudian menatapku dengan setengah hati. “Begini lho, Non. Kita tau Panggah mengalami keterbelakangan mental, kita juga tahu kalau di desa ini, Panggah dianggap kurang waras. Bahkan orang-orang di desa sebelah juga menganggapnya demikian. Apalagi, Panggah sering jadi bahan olok-olok.”
            Keningku semakin berkerut bingung, aku tak mengerti kemana ucapan Simbok bermuara. “Langsung aja, Mbok,” ucapku tak sabar.
            “Saya—bukannya gimana-gimana—sebenarnya agak khawatir sama Non Ata. Sebaiknya, Non Ata jaga jarak sama Panggah. Panggah, anak Simbok memang anak yang baik. Tapi, kalau Non Ata terus-menerus dekat dan menaruh perhatian kepada Panggah, saya takut kalau orang-orang desa jadi berpikiran macam-macam dan Non Ata mendapatkan selentingan-selentingan yang agak nggerus ati,” jelas Simbok dengan citra kecemasan yang makin menggores wajahnya.
            Aku menghembuskan nafas panjang. Diam menyelimuti malam kami. Warga desa sudah masuk ke dalam rumah mereka masing-masing, malam memang sudah larut. Aku berpikir sejenak, memejamkan mata dan membiarkan hatiku bergelora. Ketika merasa harus menyudahi keheningan kami, aku menatap Simbok dengan tatapan teduh dan tersenyum.
            “Mbok, izinkan saya mencintai Panggah,” ucapku yakin. Dan seperti yang aku duga, Simbok tampak terkejut. Ia mencerna kata-kataku, menganggap ucapanku salah, menganggap aku tak berbicara kepadanya.
            “Non—non Ata ngomong sama saya?”
            Aku mengangguk. “Saya mencintai Panggah, Mbok. Saya mencintai mata teduhnya dan bibirnya yang selalu merenda ceria.”
            “Tapi, Non—”
            “Saya mencintai Panggah apa adanya,” putusku lalu pamit pulang. Simbok masih terdiam, berdiri di depan rumah bambunya dan menganggapku sebagai hantu yang tiba-tiba datang mengejutkannya dengan sebuah ungkapan kata.
***
            Aku bangun esok paginya. Dengan semangat yang menggelora, aku membasuh muka, mengeluarkan sepeda kebo yang setia menemaniku plesir keliling desa. Setiap pagi, setiap Bapak sudah berangkat ke ladangnya mengawasi padi, aku mengayuh sepedaku diam-diam menuju ke rumah Panggah. Bapak tidak akan senang jika aku melakukannya. Dia akan marah besar. Namun, kayuhan sepedaku menuju ke rumah Panggah tak pernah diketahui Bapak.
            Dan pagi itu, seperti biasa, Panggah berada di beranda rumahnya, dengan baju kumal dan kusam yang juga sudah biasa, membantu Simbok menaikkan singkong ke dalam keranjang sepedanya sembari bernyanyi-nyanyi kecil, kali itu dia menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, entah siapa yang berulang tahun.
            Aku menghampiri mereka berdua, melambaikan tangan. Panggah menyambutku ceria, namun tidak dengan Simbok. Agaknya dia masih tak percaya dengan ucapanku kemarin malam.
            Aku—dengan susah payah—membantu Panggah menggotong karung-karung berisi singkong. Seumur hidup, aku belum pernah mengangkat beban seberat ini. Susah payah yang aku lakukan dianggap lelucon oleh Panggah, dia menertawakan aku. Tapi tak apa, aku senang jika aku berhasil membuatnya tertawa. Toh, susah payah yang membuat wajahku terlihat jelek dan tawa Panggah mengundang tawa Simbok yang awalnya masih beku terhadap kehadiranku.
            Kami akhirnya memutuskan untuk bersepeda menuju ke Pasar Ngijon yang jaraknya kira-kira lima belas kilometer dari desa kami. Pagi itu matari cerah, hari yang penuh bahagia. Simbok memboncengkan karung-karung berisi singkong, sementara diboncenganku, Panggah duduk sembari bermain-main dengan ketapel yang selalu dia bawa.
            Hari tercerah dalam hidupku.
            Ketika siang tiba, Simbok mengizinkan aku mengajak Panggah makan soto di sebuah warung soto yang terkenal paling lezat di desa kami. Ditengah mentari yang semakin terik, aku bergabung bersama Panggah dan anak-anak desa bermain layang-layang di tengah ladang yang kering. Ketika kami bosan, kami merangkak-rangkak dibawah ilalang, memasang ekspresi was-was dan terus terdiam sembari mengintai ndog gemak yang berkeliaran. Dengan ketangkasan ketapel, kami berhasil menangkap beberapa ndog gemak dan menjadikannya cemilan di bawah rumah pohon kami.
            Dan ketika senja tiba, membentuk siluet-siluet dan mengundang mentari untuk bersembunyi, aku pamit pulang. Aku tau Bapak pasti mencariku dan akan memarahi aku di hari yang paling bahagia ini ketika aku pulang nanti.
            Aku membalikkan tubuh, menatap Panggah sejenak sebelum pulang ke rumah. Matanya tetap teduh, tak mengetahui bahwa perasaanku kini gusar karena harus berpisah dari dia. “Ata pamit pulang, ya!” pamitku kepadanya, yang langsung mengacungkan dua ibu jari.
            “Sampai ketemu besok, Ata!” Panggah melambaikan tangannya.
            Aku berpamitan kepada anak-anak, melangkah pergi, siap pulang ke rumah dan siap menghadapi Bapak yang pasti murka.  
Bersambung...

            

3 komentar:

  1. Sastra indah, jarang ada seusiamu dpt menulis seperti itu, tetap menulis dan melukis mimpimu!

    BalasHapus
  2. Kak Lalita emang pinter bikin "orang penasaran". Cerita selanjutnya mana kak ?
    I was waiting to read again =))

    BalasHapus
  3. Cerita yang bagus, membacanya seolah terjadi pada diri sendiri. Di tunggu kelanjutannya kak. DIPANSERHATI

    BalasHapus