Kita sedang
melewati malam minggu di tempat ini. Seperti malam-malam biasanya. Hanya kita
berdua, kau dan aku. HIK Budi Anduk terlihat sepi dan remang-remang. Kau dengan
tangan menengadah, mata terpejam, dan bibir yang komat-kamit mengucapkan syukur
pada Allah-mu atas makanan yang akan kita makan. Sementara aku, dengan tanda
Salib di dahi atas, di dada, bahu kiri, dan bahu kanan sedang berdoa kepada
Bapa-ku.
Dalam situasi
dan kondisi seperti ini, aku sering tertawa dalam hati. Ada apa dengan kita berdua? Pantaskah kita
masih bersama? Kau dan aku berbeda. Rosario-ku dan tasbih-mu adalah apa yang
membuat orang-orang membicarakan kita. Kita berbeda, beda iman, beda agama, dan
berbeda panggilan untuk Tuhan.
Tak hanya
teman yang membicarakan perbedaan kita. Aku tahu, kedua orang tuamu dan kedua
orang tuaku juga sama-sama menentang hubungan kita.
Katanya, Tuhan
hanya satu. Katanya, berkat Tuhan sama-sama mengikat. Apakah kita berdosa?
Ataukah memang mereka sok tau dan membuat kita jadi merasa bersalah kepada-Nya?
Kau mengajakku
untuk makan ketika ku akhiri doaku dengan tanda Salib-ku. Aku tersenyum. Sambil
menikmati nasi bandeng di hadapan kita, kau dan aku sama-sama memulai cerita. Tak
ada perbedaan. Tak ada halangan yang mengganggu. Kau dan aku terus berkisah,
sama-sama tak menyebutkan dosa kita berdua.
Aku selalu
menikmati masa-masa seperti ini bersamamu. Aku tak ingin berpisah. Lima tahun kebersamaan kita meninggalkan berbagai kisah asmara yang benar-benar
tak akan kulupakan. Tapi, aku teringat akan kedua orang tua kita! Mereka jadi
dua kubu yang bersitegang. Mereka sama-sama membela ‘Tuhan’ mereka
masing-masing. Bukankah Tuhan tak perlu dibela?
Sayang,
bagaimana caranya kita bertahan? Aku tak sanggup melihat tatapan tajam kedua
orang tuamu ketika melihatku, aku tak bisa membiarkan orang tuaku memaksamu
untuk mengakhiri ikatan kita berdua! Tidak!
Siapa yang
salah? Apakah kita yang salah karena dulu sama-sama tak dapat menahan perasaan
dan kemudian saling jatuh cinta? Apakah pandangan mereka yang salah terhadap
perbedaan? Atau ini salah Tuhan karena telah mempertemukan kita?
Hanya karena gereja
dan masjid, hanya karena rosario
dan tasbih dan hanya karena kitab suci dan Al-Quran, kenapa semuanya jadi
rumit? Apakah dunia memang rumit? Atau mungkin agama yang membuatnya rumit?
Kau masih
menikmati nasi bandengmu, aku masih melayang dalam pikiranku. Nelangsa.
Bagaimana ‘kita’ nanti? Bisakah kita tetap bersama? Melihatmu bagaikan tak
peduli dengan perbedaan kita membuatku kadang merasa tak tenang. Kita masih
sama-sama berusaha meluluhkan perasaan beku kedua orang tua kita tentang
perbedaan.
Ya, kita
berbeda.
Tiba-tiba kau
genggam tanganku. Hangat dan erat. Aku menatapmu dan kau membaca pikiranku
melalui kedua sorot mataku. Kau tersenyum. Aku suka senyummu. Aku suka
guratan-guratan yang terbentuk di kelopak matamu.
“Tak perlu
kamu takut karena kita berbeda. Kita memang berdosa. Tapi adakah di dunia ini
yang tak berdosa? Yang masih suci? Kita hanya bisa berdoa, memohon ampun karena
ikatan ini. Kita hanya bisa meminta restu pada-Nya, semoga perbedaan ini tak jadi
persoalan.”
Aku mengangkat
alis, tidak mengerti.
“Tak perlu
kamu takut kita tak bisa bersama. Kita akan selalu bersama seperti ini. Kita
mencintai Tuhan kita, bukan mencintai agama. Tuhan hanya satu, mengapa kita tak
bisa satu?”
Aku tersenyum.
Kau selalu bisa membuatku merasa tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar