Minggu, 04 Agustus 2013

Apakah ini salah Tuhan?

Kita sedang melewati malam minggu di tempat ini. Seperti malam-malam biasanya. Hanya kita berdua, kau dan aku. HIK Budi Anduk terlihat sepi dan remang-remang. Kau dengan tangan menengadah, mata terpejam, dan bibir yang komat-kamit mengucapkan syukur pada Allah-mu atas makanan yang akan kita makan. Sementara aku, dengan tanda Salib di dahi atas, di dada, bahu kiri, dan bahu kanan sedang berdoa kepada Bapa-ku.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, aku sering tertawa dalam hati. Ada apa dengan kita berdua? Pantaskah kita masih bersama? Kau dan aku berbeda. Rosario-ku dan tasbih-mu adalah apa yang membuat orang-orang membicarakan kita. Kita berbeda, beda iman, beda agama, dan berbeda panggilan untuk Tuhan.
Tak hanya teman yang membicarakan perbedaan kita. Aku tahu, kedua orang tuamu dan kedua orang tuaku juga sama-sama menentang hubungan kita.
Ada apa dengan kita?
Katanya, Tuhan hanya satu. Katanya, berkat Tuhan sama-sama mengikat. Apakah kita berdosa? Ataukah memang mereka sok tau dan membuat kita jadi merasa bersalah kepada-Nya?
Kau mengajakku untuk makan ketika ku akhiri doaku dengan tanda Salib-ku. Aku tersenyum. Sambil menikmati nasi bandeng di hadapan kita, kau dan aku sama-sama memulai cerita. Tak ada perbedaan. Tak ada halangan yang mengganggu. Kau dan aku terus berkisah, sama-sama tak menyebutkan dosa kita berdua.
Aku selalu menikmati masa-masa seperti ini bersamamu. Aku tak ingin berpisah. Lima tahun kebersamaan kita meninggalkan berbagai kisah asmara yang benar-benar tak akan kulupakan. Tapi, aku teringat akan kedua orang tua kita! Mereka jadi dua kubu yang bersitegang. Mereka sama-sama membela ‘Tuhan’ mereka masing-masing. Bukankah Tuhan tak perlu dibela?
Sayang, bagaimana caranya kita bertahan? Aku tak sanggup melihat tatapan tajam kedua orang tuamu ketika melihatku, aku tak bisa membiarkan orang tuaku memaksamu untuk mengakhiri ikatan kita berdua! Tidak!
Siapa yang salah? Apakah kita yang salah karena dulu sama-sama tak dapat menahan perasaan dan kemudian saling jatuh cinta? Apakah pandangan mereka yang salah terhadap perbedaan? Atau ini salah Tuhan karena telah mempertemukan kita?
Hanya karena gereja dan masjid, hanya karena rosario dan tasbih dan hanya karena kitab suci dan Al-Quran, kenapa semuanya jadi rumit? Apakah dunia memang rumit? Atau mungkin agama yang membuatnya rumit?
Kau masih menikmati nasi bandengmu, aku masih melayang dalam pikiranku. Nelangsa. Bagaimana ‘kita’ nanti? Bisakah kita tetap bersama? Melihatmu bagaikan tak peduli dengan perbedaan kita membuatku kadang merasa tak tenang. Kita masih sama-sama berusaha meluluhkan perasaan beku kedua orang tua kita tentang perbedaan.
Ya, kita berbeda.
Tiba-tiba kau genggam tanganku. Hangat dan erat. Aku menatapmu dan kau membaca pikiranku melalui kedua sorot mataku. Kau tersenyum. Aku suka senyummu. Aku suka guratan-guratan yang terbentuk di kelopak matamu.
“Tak perlu kamu takut karena kita berbeda. Kita memang berdosa. Tapi adakah di dunia ini yang tak berdosa? Yang masih suci? Kita hanya bisa berdoa, memohon ampun karena ikatan ini. Kita hanya bisa meminta restu pada-Nya, semoga perbedaan ini tak jadi persoalan.”
Aku mengangkat alis, tidak mengerti.
“Tak perlu kamu takut kita tak bisa bersama. Kita akan selalu bersama seperti ini. Kita mencintai Tuhan kita, bukan mencintai agama. Tuhan hanya satu, mengapa kita tak bisa satu?”
Aku tersenyum. Kau selalu bisa membuatku merasa tenang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar