Minggu, 08 September 2013

Cinta Versi Kita

Ini bukanlah kisah cinta ala Romeo dan Juliet. Ini juga bukanlah kisah cinta yang terjalin karena pertemuan disebuah pesta dansa. Dan ini bukan kisah cinta yang terjadi karena kejadian-kejadian istimewa sama seperti yang terjadi dalam film-film drama.
            Tetapi ini hanyalah kisah cinta biasa, yang terasa luar biasa. Sebuah kisah cinta sederhana ala aku dan kekasihku, Raga.
            Malam minggu datang lagi. Setelah mengalami berbagai perdebatan tentang kemana kami akan pergi untuk melewati malam spesial bagi kami berdua ini, aku dan Raga memutuskan untuk singgah di sebuah hik dekat Taman Budaya Surakarta, hik Budi Anduk.
            Sama seperti biasa, warung lesehan itu terlihat ramai oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang beristirahat dari kelelahan mereka hari ini. Tawa mereka bercampur dengan tawa kami, tawa gembira antara aku dan Raga yang sedang berbagi cerita berdua. Sambil menikmati es tape dan berbagai macam sate serta gorengan, kami sama-sama bersahut canda, sesekali saling menggoda, sewaktu-waktu saling bertengkar kecil karena hal sepele.
            Tiga hal pokok yang selalu kami lakukan. Biasa, tapi terasa luar biasa.
            Aku akhirnya terdiam, membiarkan Raga sejenak menikmati sate ayamnya. Bibir cowok itu dipenuhi kecap, membuat aku tertawa kecil sehingga Raga menoleh dengan kening berkerut dan bertanya, “Kamu kenapa?”
            Aku mengulum senyum. “Nggak apa-apa,” jawabku kemudian tertawa lagi sambil melirik bibir Raga.
            Raga yang menyadari lirikanku pun menyentuh bibirnya dan menyadari kalau kecap belepotan di sekitar bibirnya. “Sial,” ucapnya kemudian menorehkan kecap di jarinya ke wajahku.
            Aku langsung pura-pura judes. “Apaan sih? Norak!”
            Raga tertawa, kemudian menikmati kembali sate ayamnya sambil sesekali meneguk es tape.
            Aku memandanginya lagi. Senyum mengembang dibibirku, ada rasa sayang yang luar biasa di dalam sudut penggalih rena. Aku sangat menyayangi Raga. Cowok itu selalu mengerti aku, selalu bisa membuatku tertawa, selalu bisa membuatku tersenyum. Sudah dua tahun kami menjalani hubungan ini, tak pernah ada kata putus. Hingga akhirnya aku sadar, Raga tak pernah main-main padaku. Raga juga menyayangi aku.
            Namun, senyum di bibirku seketika pudar ketika aku menyadari sesuatu. Kami bukanlah pasangan terkenal di sekolah. Tak ada yang tahu kalau kami berpacaran. Aku menghembuskan nafas kecewa, mengetahui bahwa kami bukanlah pasangan gaul yang bisa menciptakan romansa di sekolah kami. Kami pasangan yang tersembunyi di seantero sekolah. Kami adalah pasangan yang tak kasat mata di antara teman-teman kami.
            Sebagai remaja, aku juga ingin orang lain bilang kalau aku dan Raga adalah sepasang manusia yang romantis. Sebagai cewek, aku juga ingin orang lain bilang kalau mereka suka gaya berpacaran kami. Tetapi, Raga tak pernah secara terang-terangan mengumbar hubungan kami di depan orang banyak, Raga hanya mengatakan status kami kepada teman-temannya. Tak tahulah aku bagaimana kisah yang ia ceritakan kepada mereka.
            Aku meremas-remas tanganku. Jari-jariku saling berpeluk tak nyaman. Aku resah. Apa jangan-jangan, Raga malu punya pacar seperti aku? Apa jangan-jangan, Raga sebenarnya tak ingin punya pacar yang tak cantik? Aku memang tidak cantik. Aku memang tidak sempurna. Apa jangan-jangan Raga hanya bermain menggunakan perasaanku?
            Aku tidak tahu.
            Hingga pada akhirnya, Raga menyadari kebisuanku. Ia menatapku dengan cemas.
            “Kamu kenapa?” tanyanya singkat.
            Aku langsung menoleh dan menatapnya. “Hm? Enggak, aku nggak kenapa-kenapa, kok.”
            Raga mengibaskan tangan. “Halah, nggak usah bohong. Kita udah dua tahun pacaran, aku udah kenal gimana kamu yang enggak kenapa-kenapa, gimana kamu yang lagi sedih. Jujur aja deh.”
            Aku menatap Raga dengan ragu-ragu, kemudian menggigit bibir bawahku. Aku gugup mau berbagi cerita. Ini baru yang pertama kali.
            “Sebenernya aku…”
            Raga tak melepaskan pandangannya daripadaku.
            “Sebenernya aku kecewa sama sikap kamu.”
            Sejenak, Raga langsung mengerutkan kening. “Kecewa gimana? Kenapa?”
            Aku menelan ludah. “Aku nggak yakin kalau kamu beneran sayang sama aku.”
            “Why?”
            Aku mengangkat bahu lemas. “I don’t know. Kamu nggak pernah ngajak aku terang-terangan pacaran di sekolah, kamu nggak nyantumin nama aku di bio twitter-mu, kamu juga nggak ngajak aku buat merubah status hubungan kita di facebook. Nggak ada yang tahu kalau kita berdua pacaran.”
            Raga terdiam, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat alis. Kenapa harus tertawa? Untuk yang pertama kali, aku merasa Raga tidak bisa memahami aku.
            “Jadi kamu ngerasa kecewa karena empat hal itu?” Raga kembali tertawa. “Lita, Lita. Kamu lucu.”
            “Aku nggak lagi bercanda, Ga.
            Raga terdiam. Bisu. Ia menatapku dengan keseriusan, kemudian ia menyadari kalau aku memang sedang tidak bercanda. Sama seperti biasa, tatapan matanya berubah jadi bijaksana. Ia menghembuskan nafas.
            “Aku sayang kamu apa adanya.”
            “Bukan masalah itu, aku cuma pengen…”
            “Jadi pasangan terkenal di sekolah? Jadi pasangan yang dibilang romantis?”
            Aku diam. Raga menepuk-nepuk ujung kepalaku dengan lembut.
            “Kamu percaya nggak sama aku?”
            Aku hanya bisa diam.
            “Rasa sayang yang tulus nggak didasari sebetapa sering kamu nulis nama pacar kamu di bio twitter, nulis status kalau kamu sayang banget sama pacar kamu di facebook, dan foto sebanyak-banyaknya sama pacar kamu kemudian di share di media sosial. Tetapi, rasa sayang yang tulus ditunjukkan dari betapa besar kamu percaya sama pacar kamu, dan betapa kuat perjuangan kamu untuk mempertahankan dia.”
            Aku menatap Raga. Menatap matanya, menatap maniknya yang bewarna hitam.
            Raga tersenyum. “Aku lebih nyaman nulis nama kamu di hatiku, daripada nulis nama kamu di bio twitter. Percaya itu, Lita.”
            Aku menelan ludah. Belum pernah Raga berbicara dengan nada sedalam dan seserius ini.
            “Biarkan kisah kita jadi kisah kita, biarkan ini mengalir, hingga akhirnya kala kita berdua sama-sama dewasa, kita bikin mereka terkejut dengan romansa tentang aku dan kamu.”
            Raga melebarkan senyumannya.
            “Biarkan ini jadi…”
            Aku meletakkan telunjukku di bibirnya, kemudian tersenyum, “Cinta versi kita,” sahutku lembut.
            Raga tertawa. “Cinta versi kita, biarkan jadi milik kita. Jadi rahasia kita, jadi surprise buat mereka. Aku sayang sama kamu.”

            Senyumku semakin lebar.          

Rabu, 04 September 2013

Untuk Ranu.

Aku memandanginya lagi. Sama seperti biasanya, mataku tak pernah bisa berpaling ketika wajahnya tampak. Aku berada di bangkuku, sedang duduk diam, tak berkutik, tak mendengarkan penjelasan guru, dan membisu dalam sebuah tatapan kepada bentuk bibirnya, lekuk wajahnya, tajam sorot matanya—yang memperhatikan guru—beserta seluruh keindahan yang bertengger dalam citranya.
            Namanya Ranu. Sudah sekian bulan ia berhasil menyita segala perhatian sekaligus konsentrasi dalam diriku terhadap pelajaran. Teman sekelasku itu berhasil meraih seluruh fokus menjadi khayal yang menari dalam lamunan. Segala imajinasi tentangnya mengalir dan berbisik dalam benakku, membuatku kadang jadi merinding sendiri ketika membayangkan khayalan gila soal keberadaannya di sampingku.
            Aku menghembuskan nafas panjang sambil menggigit bibir. Pandanganku masih tak beralih dari Ranu yang tetap tak menyadari bahwa ada satu tatapan yang setia mengawasinya setiap hari. Cowok itu memang sangat cuek, sampai-sampai membuatku bertanya-tanya; apakah sikap yang dia miliki adalah sikap dasar, atau memang sudah menyadari tapi pura-pura tak peduli?
            Kembali aku menghembuskan nafas panjang. Belum pernah aku frustasi karena jatuh cinta begini. Memang benar kata Titiek Puspa, jatuh cinta memang sejuta rasanya. Jatuh cinta memang bisa membuat segala rasa yang terdiri dari berbagai variasi bergabung menjadi satu; antara rasa malas, sangat bersemangat, takut, malu, hingga… sakit hati karena yang dicintai tak kunjung memberi dan membalas kode yang sudah dikirim berjuta kali.
            Ranu mulai mencatat pelajaran Biologi yang ditulis di papan tulis dalam buku catatannya. Sementara aku mulai menulis segala puisi dan pujian kepadanya, dalam buku catatan Biologiku pada halaman paling belakang.
            Sesekali aku senyum-senyum sendiri, melukiskan rasa dan bayangan tentang orang yang kita cintai memang sangat menyenangkan.
            Aku mulai menulis sebuah puisi.
            Untuk Ranu,
            Meraihmu melalui khayal
            Memelukmu melalui doa
            Mendambamu melalui mata yang terpejam
            Jatuh cinta.

            Mata dan mata bertemu
            Diam jadi kata
            Kata jadi tawa
            Tawa jadi canda
            Canda (semoga) jadi cinta
           
            Siang merambat cepat
            Mentarinya pancarkan panas pada tubuh
            Bagai rasa yang juga tak kunjung sembuh   
            Pabila kau tak pernah menyadari adanya cinta

            Menelusup dihati
            Menembus bayang dan imaji
            Meraih konsentrasi
            Semoga kau lekas mengetahui
            Segala rasa cinta yang membuncah dalam hati ini

            Aku kembali membaca puisi buatanku, kemudian menggeleng-geleng kagum. Tak kusangka, kedua tangan di tubuh ini mampu menghasilkan kata berdiksi indah dalam secarik kertas pada halaman paling belakang di buku Biologi. Jatuh cinta memang hebat, sekalipun bukan penyair, ia mampu membuatmu melukiskan segala rasa dengan sejuta kalimat indah yang kau ungkapkan pada kertas, bahkan bisa lebih hebat dari penulis puisi terkenal.
            Aku tersenyum terkagum-kagum, sampai-sampai tak menyadari kalau Ranu sedang berbalik kemudian menatapku.
            “Aku belum punya catatan Biologi yang minggu lalu, nih. Kamu punya, nggak?” tanyanya sambil tersenyum.
            Aku terhipnotis. Senyumnya mampu membuat jantungku merasa luluh. Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Punya,” jawabku seadanya.
            “Aku pinjem ya?” pintanya.
            Segera saja kuberikan buku Biologiku kepada Ranu yang langsung menerimanya dengan senang hati sambil mengucapkan, “Makasih, ya?”
            Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi.
            Sudah selesai dengan tugas masing-masing, seluruh murid langsung berhamburan keluar kelas.
            Aku menatap Ranu yang menjauh bersama teman-temannya. Seperti biasa, ia pasti langsung pulang.
            Aku menghembuskan nafas. Sial, gara-gara harus piket kebersihan, aku tak bisa menatapnya diam-diam saat Ranu keluar dari parkiran sekolah sambil menaiki motornya. Aku menghembuskan nafas kesal.
            Tetapi sepertinya, ada sesuatu yang mengganjal dalam benakku. Sesuatu yang aneh, sekaligus bodoh dan konyol.
***
Malam akhirnya tiba. Aku tak sanggup mengarahkan pikiranku pada buku-buku pelajaran di hadapanku. Sejak pulang sekolah tadi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku merasa ada sebuah hal bodoh yang aku lakukan siang hari tadi. Tetapi ketika aku berusaha merapalkannya, otak tak mau meraih memori tentang apa yang aku lakukan pada siang tadi.
            Sial.
            Hingga akhirnya, malam semakin larut dan aku beranjak tidur. Tidur yang sama sekali tak nyenyak, karena makin dalam aku memejamkan mata, makin dalam dan menyayat rasa gusar dalam hati ini.
***
Dan esok pun tiba lagi.
            Dengan semangat seperti biasa, aku berjalan menuju kelasku; bukan dengan semangat karena siap untuk menerima pelajaran dari para guru pada hari ini, tetapi bersemangat karena hanya di tempat ini aku bisa bertemu dengan Ranu, sang dewa penyemangat.
            Aku masuk ke dalam kelas. Namun merasa aneh juga ketika kulihat Ranu yang ternyata sudah duduk di bangkunya sedang membaca buku catatan Biologiku sambil tersenyum. Aku menyambutnya dengan pertanyaan menginterogasi dan alis terangkat.
            “Ada yang lucu ya sama buku Biologiku?”
            Ranu langsung menoleh dan menatapku. Entah hanya perasaanku saja, atau memang fakta, wajah pria itu langsung merona merah.
            “Kenapa?”
            Ia menutup buku Biologiku kemudian mengulum senyum sambil menyodorkan buku itu kepadaku.
            “Ini buku catatan Biologi apa buku kumpulan puisi cinta, sih?”
            Sejenak aku terdiam, mencoba menerka-nerka arti pertanyaan Ranu dengan seksama. Keningku berkerut, mencoba untuk mengerti sebuah makna. Hingga akhirnya, aku sadar dan mengerti pertanyaan Ranu dan langsung menatapnya dengan mata yang seketika membesar dan membulat.
            “Kamu…”
            “Aku udah baca semuanya,” sahutnya sambil tersenyum.
            Aku terdiam, bisu, bungkam. Jantungku berdegup sangat amat cepat, hingga akhirnya Ranu berkata, “Makasih ya?”
            Aku memberanikan diri untuk menatapnya matanya, kemudian mengangguk.
            Kami terdiam.
            Sedetik…
            Dua detik…
            Tiga detik…
            “Terus, komentar kamu gimana?” tanyaku memecahkan sepi. Lontaran pertanyaan yang sebenarnya cukup berani, sih.
            Ranu tersenyum.
            “Kita temenan aja, ya?”           
            Aku menatapnya, kecewa.
            Ia menelan ludah. “Aku belum ada rasa yang sama, aku belum punya rasa yang kamu punya buat aku. Jadi, aku belum siap. Kita temenan aja, ya?”
            Aku terdiam. Bisu. Tak menyangka, setelah sekian lama aku jatuh cinta, begini ujungnya. Pangkal kebahagiaan, ujung kesakitan.
            “Tapi aku janji, kalau kamu bisa buktikan rasamu itu, dengan berbagai cara, aku akan mempersiapkan diri.”
            Aku menatapnya, heran.
            Ranu tersenyum. “Karena cinta sejati, bukanlah sekedar rasa biasa. Karena cinta sejati, tak akan pernah datang tanpa kesiapan. Dan karena cinta sejati, nggak akan pernah terlambat, sebetapa lama kamu menantinya.”

            Aku tersentuh. Ucapan bijaksana dari bibir Ranu membuat bibirku melengkung merenda sebuah senyum tulus pemancar rasa cinta.

Selasa, 03 September 2013

Cinta yang Berjarak

Aku memandang wajah manis Pamor melalui foto yang berbingkai di atas meja belajarku. Sebuah senyum melengkungkan bibirku. Aku memutuskan untuk memejamkan mata, hati mulai bertugas tuk meraba-raba. Ada sebuah rasa yang gila dan menggelitik di dalam dada, orang banyak menyebutnya cinta.
            Lagu yang dilantunkan oleh Mandy Moore berjudul The Way To My Heart mengalun pelan dari mp3 kecil di sampingku. Malam yang dingin membuat aku menyadari bahwa aku sedang merindu, rindu pada seseorang yang berada di jauh sana, di Surabaya.
            Sudah dua tahun aku dan Pamor menjalin hubungan jarak jauh. Susah menjalaninya, butuh komunikasi yang baik agar hubungan tetap berjalan lancar. Apalagi kalau sudah kangen begini, susah untuk mengatasinya. Segala perasaan tidak akan selamanya terasa lega bila tidak diselesaikan dengan tatap muka, begitulah aku.
            Biasanya, jika rindu sedang menelusup dalam ruang hatiku dan membuat pikiranku bernostalgi tentang kenangan kami selama masih tinggal dalam hubungan yang tak berjarak seperti ini, aku langsung menghubunginya; menelfon untuk melepas rindu atau sekedar mengirim pesan singkat untuk melegakan hati yang bertanya-tanya tentang keadaannya.
            Tapi tidak untuk malam ini.
            Pamor bagaikan menghilang ditelan bumi. Gadis itu tidak mengangkat telefon atau sekedar mengirim sms. Aku menghembuskan nafas. Pikiranku jadi melayang-layang tak menentu. PR yang sejak tadi berada di hadapanku sama sekali tidak tersentuh. Aku hanya diam sambil memandangi bintang-bintang yang menghias langit malam itu.
            Hubungan jarak jauh. Hmm, aku berpikir lagi. Tak semua pasangan bisa menjalani hubungan rumit ini. Berarti aku termasuk golongan orang hebat? Ya. Aku memberikan apresiasi yang besar pada mereka, pasangan-pasangan yang mampu menjalani hubungan jarak jauh dengan penuh kesabaran.
            Rindu untuk saling bertatap muka seringkali menghantui pada malam hari, terutama pada malam yang terasa sepi dan dingin begini. Tetapi apa yang bisa dilakukan? Hanya menatap bingkai foto saja sudah cukup.
            Kenangan-kenangan selama masih sangat dekat pun juga sering melayang dalam benak dan pikiran. Sialnya, hati ikut-ikutan memanas-manasi dan bilang bahwa kamu harus menghubungi dia, siapa tau dia lagi cari gebetan lain…
            Aku tertawa membayangkan pikiran itu. Hubungan jarak jauh lucu juga, ya? Dijalani tanpa tatap muka, dijalani hanya dengan sebatas pesan singkat dan telefon, dijalani hanya dengan rindu yang terukir dalam hati tanpa setiap waktu bisa disampaikan pada empunya pemilik hati.
            Asa merengut nyawa, mimpi merengut imaji. Ketika bayang mendambakannya, aku tau aku sedang merindu. Hubungan jarak jauh membuat kita bisa merasa kangen pada seseorang tiap detik. Karena rasa kangen bisa menelusup sewaktu-waktu, meski tanpa perantara.
            Mataku melirik lagi ke arah handphone yang masih sepi. Handphone itu sama sekali tak bergeming dari diamnya. Aku kembali menghembuskan nafas panjang. Beginilah sulitnya menjalani hubungan jarak jauh. Hati selalu dipenuhi rasa kecewa, kecewa, dan kecewa apabila sang pemilik hati tak memberi kabar, tetapi sedetik kemudian merasa sangat amat lega ketika dia akhirnya memberi tahu keadaanya meski hanya melalui pesan singkat, meski rasa lega itu hanya terjadi beberapa saat karena rindu tak mau pergi dan selalu menelusup dalam dasar hati disertai pikiran tentang raga sang kekasih.
            Jantungku berdegup; teringat pertama kali aku terpesona pada Pamor. Teringat pertama kali aku mulai menyukai senyumnya, terpana pada tatapan matanya, terpaku saat mendengar ucap dari bibirnya, hingga akhirnya aku tahu, aku sadar, dan aku merasa; aku jatuh cinta.
            Dan akhirnya kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.
            Pengalaman jatuh cinta yang selalu membuatku melengkungkan bibir kemudian tersenyum, atau bahkan tertawa kecil jika mengingatnya.
            Malam makin larut. Handphone masih belum berdering. Rindu semakin menjadi-jadi. Aku kesal. Kemana dia? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa dia tak memberi kabar? Apa dia tidak rindu kepadaku? Apa dia…. Sejuta pertanyaan tentang apa, mengapa, dimana, sedang apa, dan lain-lain melayang dalam pikiranku: membuatku berpikir lebih sulit dan menerka sesuatu yang tak pasti; sesuatu yang lebih rumit dibanding Matematika.
            Hingga akhirnya, aku meraih handphone-ku. Siap-siap marah karena Pamor tak kunjung memberi kabar, dan kemudian mematikan handphone itu sampai esok pagi dan membaca sms minta maaf dari Pamor karena tak memberi kabar. Tetapi niat itu batal ketika handphone akhirnya berdering juga.
            Aku mengangkat telefon dari Pamor, siap-siap marah.
            “Menunggu kerinduan, mendamba kesabaran. Apa malam ini kamu menanti kabarku, Sayang?” Pamor tertawa.
            Sial. Dia berusaha mengujiku. Aku langsung bersungut-sungut kesal.
            “Iyalah, kamu kemana aja sih?”
            “Hehe, di rumah aja. Tapi sengaja nggak telfon biar aku tau respon kamu. Marah, ya?” godanya.
            Aku uring-uringan dalam hati, tapi lega juga ketika suaranya terdengar dalam telinga.
            “Iyalah, marah.”
            Aku mendengar Pamor tertawa kecil.
            “Sayang, jangan marah-marah lagi, ya? Aku tau kamu kangen, aku juga kok. Tapi sekarang, aku disini, melalui saluran telefon, aku membalas dan menjawab segala tanya yang melayang dalam pikiran kamu. Aku menjelma jadi jawaban, atas pertanyaan gimana kabarku. Aku selalu baik-baik aja, meski jauh dari kamu. Rindumu dan rinduku yang menyatu adalah kekuatan yang tak akan pernah membuat aku goyah.”

            Aku terdiam membiarkan Pamor bercerita dengan kalimat indahnya. Hingga akhirnya dia berhenti, dan aku berkata, “Aku kangen sama kamu.”

Senin, 02 September 2013

Kereta Yang Membawaku Pulang Malam Ini

Oleh: Aj. Susmana
ereta ekonomi membawaku pulang malam ini. Sudah empat jam yang lalu meninggalkan Jakarta dan tinggal dalam hitungan menit memasuki Cirebon.
Ibu di kampung sebenarnya tak memintaku pulang. Hanya aku, perasaanku, yang menginginkan aku pulang meninggalkan kesumpekan Jakarta. Aku sendiri merasa Ibu tak pernah kangen padaku. Dia tak pernah meneleponku atau sekedar titip salam atau tanya kabar melalui SMS. Ibu memang pernah bilang secara tak sengaja kepadaku ketika aku pulang enam bulan yang lalu.
            “Anak lelaki-ku tak pernah bikin aku kangen. Kubiarkan dia pergi kemana dia suka dan aku tak pernah bertanya. Kalau dia pulang juga tak pernah bawa uang atau sekedar oleh-oleh untuk ibunya.” Kata-kata itu memang disampaikan kepada tetangga yang kebetulan main ke rumah. Dan aku hanya tersenyum sambil terus membaca “Simfoni Pastoral” karya Andre Gide. Namun yang kusuka dari Ibu dan betapa jelas ia menunjukkan kasih-sayangnya kepadaku, ia selalu memberikan hidangan yang terbaik buatku bila aku tiba dan tinggal di rumah yang sering tak lebih dari tiga hari. Perlakuan yang istimewa ibuku itu sering membikin cemburu saudara-saudaraku. Tetanggaku yang tak pernah mengerti apa pekerjaanku sebenarnya biasanya hanya bisa menjawab: “Nanti, Bu. Nanti. Sabar. Kalau sudah dapat pekerjaan, pastilah dia juga membalas.”
            Enam bulan yang lalu itu juga aku pamit ke Aceh. Ada kelompok mahasiswa yang mengundangku kesana untuk diskusi Kebudayaan. Aku bilang juga mungkin enam bulan aku akan ada di Aceh. Ibuku tersenyum dan bertanya: “Enam bulan di Aceh? Kebudayaan? Apakah itu juga tak menghasilkan uang?”
            “Tidak. Mereka yang mengundangku juga tak punya uang. Hanya cukup untuk biaya ongkos bolak-balik Jakarta-Aceh,” jawabku.
            “Terus bagaimana kamu makan di sana?”
            “Ah… Ibu seperti tak mengerti saja?” balik aku bertanya.
            “Jangan bilang: burung-burung di udara tak menanam tapi makan ya?”
            Aku tersenyum mendengar canda ibuku. Di desaku burung-burung, terutama burung pipit adalah burung yang paling dibenci walau untuk itu tak perlu ada pembantaian. Bila padi-padi telah mulai menguning, kami sekeluarga dan juga orang-orang desa lainnya terpaksa harus berteriak keras-keras mengusir kawanan pipit itu sampai suara serak sambil menarik-narik dan menggoyang-goyangkan memedi sawah yang sudah dikalungi kaleng-kaleng bekas. Begitulah dulu masa kanak-kanakku sampai sekolah menengah pertama.
“Ibu tak perlu khawatir. Aku bisa makan di mana saja walau tak punya uang. Mereka akan menanggungku. Nanti kalau aku pulang kubawakan Ibu selendang Aceh.”
            “Huu, kamu ini. Tak usah. Mending kamu bawa calon istri saja. Ibu ingin melihat kamu menikah.”
            Menikah. Menikah. Itulah yang selalu ditagih ibuku. Tak hanya enam bulan yang lalu. Tapi juga sebelumnya dan sebelumnya setiap kali aku pulang ke rumah. Walau untuk ini, Ibu tak begitu menuntut amat. Ibu hanya bertanya dan mengingatkan saja bahwa dalam hidup bermasyarakat ini salah satunya adalah menikah. Barangkali jalan pikiran ibuku kira-kira begini: menikah adalah jalan menjadi orang desa yang dewasa. Semacam inisiasi. Aku sendiri merasakan bila pulang ke desa. Tak pernah aku mendapat kewajiban untuk menyumbang pesta pernikahan misalnya sementara adikku yang lebih muda justru berkewajiban menyumbang. Soalnya hanya satu: aku belum menikah dan karenanya masih menjadi tanggungan orang tua. Lagi, bila aku menikah pasti aku segera mencari pekerjaan yang mapan untuk menghidupi isteri dan anak-anak yang dilahirkan.
            “Ingat. Umurmu sudah kepala tiga. Semua pemuda seangkatanmu pun sudah menikah. Tinggal kamu yang belum. Apa kamu tidak malu?”
            “Jangan-jangan ibu sendiri yang malu?”
            “Kamu ini bisanya hanya balik bertanya? Apa itu pelajaran filsafat?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan kritis tak terduga dari ibuku.
            “Jangan bilang kamu: kalau aku pernah mengijinkan dalam hidupmu untuk tidak menikah.”
            Aku pun tertawa ngakak mendengar jawaban Ibuku yang sudah memagari jawabanku begitu rupa.
            “Tidak. Memang belum ada, Ibu. Bukankah aku harus mendapatkan calon istri yang baik, berani dan pintar sehingga tidak membuat malu Ibu?”
            “Alasan saja kamu. Semua kawan kuliahmu yang mampir ke sini semuanya baik di mata ibumu yang bodoh ini. Dimana mereka?”
            “Mereka punya pilihan hidup sendiri,” jawabku cepat. Ibuku pun tak segera melanjutkan bertanya dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sambilannya: membikin roti bila ada pesanan. Biasanya aku hanya membantu mengocok telurnya sampai lembut sebelum dijadikan adonan. Tapi hari ini tidak karena aku sendiri sedang bersiap balik ke Jakarta. Pertanyaan ibuku yang terakhir mengingatkanku pada Wani, satu-satunya kawan perempuan di kampus yang pernah mampir ke rumahku dan aku tak suka membahasnya.Bukan benci tetapi merasa kosong bila mendengar namanya. Seperti kembali ke titik nol dan belajar kembali berkenalan dan mulai menjalani proses mengenal. Jadinya, mengecewakan dan melelahkan. Aku tak mau Ibu tahu sebabnya.
            Ketika aku sudah siap berangkat, aku pamit. “Bu, berangkat sekarang aku. Ke Jakarta.”
            “Ada ongkos?”
            “Ada.”
            “Kapan pulang?”
            “Ya… sekitar enam bulan mungkin. Kalau jadi ke Aceh. Sekalian kubawakan menantu.” Ia tersenyum dan tampak semakin tua dengan rambut panjangnya yang memutih. Aku bersalaman. Lalu pergi.
            Kereta ekonomi yang membawaku malam ini sudah meninggalkan Cirebon tiga jam yang lalu. Seorang perempuan tampak lebih muda dariku, cantik, duduk di sampingku. Mungkin dia naik dari Cirebon dan mendapatkan tempat duduk kosong disampingku dan aku baru menyadarinya sekarang karena sedari tadi mataku lebih banyak terpejam wakau tak dapat tidur. Kereta memang tak berjubel malam ini. Aku iseng bertanya, “Naik dari mana?”
            “Cikampek,” jawabnya pelan. Ya ampun aku tak menyadarinya.
            “Ke Yogya juga?”
            “Iya. Mas, sendiri?”
            “Sama. Kuliah?”
            “Tak lagi. Sedang melamar kerja.”
            “Mending kalau aku jadi perempuan menunggu dilamar saja, kan lebih enak?” Aku menggoda. Dan ia tak menyahut.
            Aku menyesal jadinya. Kenapa yang keluar pertanyaan bodoh yang merendahkan derajat perempuan itu? Beberapa menit kami terdiam. Aku jadi tersiksa menghadapi situasi ini. Bukankah lebih baik jika aku tadi bertanya mengapa melamar kerja di Jakarta. Bukankah Yogya kota yang nyaman untuk bekerja sekaligus bisa melanjutkan kuliah? Lagi, bukankah pertanyaan mengapa membuat orang harus menjawab dengan uraian sehingga ia banyak mengeluarkan kata-kata dan terus menjadi perdebatan. Tidak berhenti senyap seperti ini.
            “Kenapa memilih naik kereta ekonomi? Bukankah tak aman?” Aku beranikan lagi memulai daripada diam membeku sampai Yogyakarta.
            “Kamu sendiri kenapa?” Ai ya, ia justru balik bertanya. Aku jawab sekenanya.
            “Hari seperti ib\ni biasanya sepi. Daripada naik bisnis lebih baik naik ekonomi, toh pelayanan bisnis sekarang hampir tak jauh beda dari kereta ekonomi?”
            “Iya. Sama. Barangkali yang beda cuma…” Ia tak melanjutkan.
            “Cuma apa?”
            Ia tersenyum tipis sehingga tambah manis.
            “Cuma banyak membawa kematian.”
            Aku terkejut perempuan ini punya keberanian mengatakan seperti itu. Bercanda dengan maut di tengah perjalanan hampir dikatakan sebagai tindakan yang sembrono dalam kebudayaan Jawa. Tapi aku tak mau kalah. “Memang lebih baik mati daripada hanya membuat kita cacat dan menjadi beban orang lain.” Lagi, ia tersenyum tipis tanpa menoleh kepadaku.
            “Sudah banyak kereta ekonomi yang menyengsarakan rakyat akhir-akhir ini,” katanya yakin. “Padahal seharusnya dengan penumpang yang selalu berjubel pemerintah bisa menaikkan kualitas mesin kereta api termasuk pelayanannya,” tambahnya. Aku mengangguk-angguk membenarkan.
            “Korupsi. Itulah awal mula dari bencana. Jawatan kereta api juga tak luput dari korupsi. Nyawa manusia pun dianggap murah dengan tindakan tak memperbarui dan merawat secara maksimal mesin-mesin kereta api yang sudah kuno ini.” Ia memandangku. Dan memang cantik.
            “Tentu. Ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi-politik yang dianut dan dijalankan pemerintah,” balasku. Dan ia pun mengangguk membenarkan. Tapi tak segera keluar juga kata-kata dari mulutnya.
            Perempuan disampingku ini kupikir-pikir luar biasa. Ia tampak tak mengenal takut dan cerdas. Mungkin selama mahasiswa ia aktif dalam kegiatan politik atau setidaknya kegiatan politik di kampus. Tapi sekarang sedang melamar kerja? Tak mungkin. Ia bisa berbohong kepadaku atau barangkali ia wartawati yang suka mencari suasana lain karena sudah sering naik kereta eksekutif atau bisa juga ia sedang membikin tulisan-tulisan tentang kecelakaan kereta api yang banyak membawa kematian rakyat ini dan naik kereta api ekonomi ini hanyalah jalan untuk mempertajam reportasenya saja. Tapi aku tak ingin tahu.
            “Kita sudah naik kereta yang bisa membawa celaka ini bahkan sampai pada kematian. Kalau itu terjadi, apa yang kamu inginkan?”
            Aku langsung menyahut pantun gaul, “Edi Sud Rahmat Kartolo.”
            “Maksud lo?” dan kami tertawa ngakak bareng. Menyenangkan sekali bertemu dengan perempuan seperti ini apalagi di kereta ekonomi; membuat perjalanan jadi tak nelangsa. Masih dalam sisa-sisa tawanya ia menjawab:
            “Mungkin tak ada yang aku inginkan dan aku tak berpikir itu akan terjadi.” Ia terdiam mengambil nafas.“Dan toh bila itu terjadi, aku ingin terbang bersama malaikat ke surga.” Ia tersenyum.
            “Kamu sendiri?”
            “Aku? Aku ingin menikah denganmu dan mencium bibirmu,” jawabku pelan sambil memandang matanya yang tampak tak percaya pada kata-kataku.
            “Baik. Kamu orang suka pada kebetulan ya?” Ia bertanya untuk menguasai diri.
            “Kadang-kadang. Dalam hidup selalu ada kebetulan dalam arti lain kecelakaan dan kita harus percaya kepadanya ketika ilmu pengetahuan tak sanggup memastikannya atau belum sanggup membuatnya menjadi pasti, termasuk dalam hal cinta. Kenapa?”
            “Kamu bahkan belum mengenal namaku?”
            “Tinggal berkenalan kan kita?” aku mengajukan tanganku untuk bersalaman. Tangan kanannya pun menyambut.
            “Gita.”
            “Nyali.”
            Kereta yang membawaku pulang malam ini melaju menderu. Terseok-seok melintasi bukit-bukit. Mengaduh-aduh seperti kuda-kuda yang hanya berlari bila dicambuk cemeti berduri. Sudah hampir delapan jam meninggalkan Jakarta. Jeritnya membelah bukit-bukit. Ketika memasuki lorong gelap, jeritannya semakin keras menyayat seperti suara anak-anak manusia yang terluka. Aku pun mendengar jeritan-jeritan terluka itu semakin dekat di telingaku. Lorong gelap itu semakin tampak tak berujung dan tak berakhir. Jeritan-jeritan pun semakin menjauh. Menjauh. Menjauh.
***
“Ibu, inilah anak lelakimu. Pulang membawa istri pilihan, menantu yang ibu nanti-nantikan. Ibu tak akan kecewa.” Aku melihat wajah Ibu tersenyum, semakin tua dengan rambut panjangnya yang semakin memutih.


Jakarta, 20 Februari 2007