Bagaikan angin yang berhembus
tanpa kita ketahui. Bagaikan derasnya arus sungai yang mengalir secara
tiba-tiba karena hujan. Bagaikan hujan yang tiba-tiba jatuh ketika matahari
sedang terik-teriknya, berita kepergianku dari Slarongan menuju ke Surabaya telah tersebar
hingga ke seluruh warga desa, bahkan hingga ke Jonggrangan dan Kolowenang. Aku
tak tahu bagaimana berita itu bisa tersebar lebih cepat dari aliran air, lebih
cepat dari hembusan angin.
Beberapa
orang tampak sibuk mengangkut barangku ke mobil dan ke dalam sebuah truk di
belakangnya. Aku? Tak sibuk apa-apa. Masih menggunakan baju tidur dan tanpa
alas kaki, dengan sepasang mata yang hampir tak bisa melihat karena bengkak
akibat menangis semalaman, duduk anteng di sitje depan rumah. Tak berkata
apa-apa. Tak bergerak sedikitpun. Bahkan ketika Mbok Darmi datang dan memaksaku
makan. Untuk membuka mulutku saja, aku malas. Aku bagaikan Annalies dalam novel
Pramoedya, yang dipaksa pergi tanpa kemauan sendiri.
“Ayo,
Ata. Kita berangkat sekarang.”
Ku
dengar suara pria, tapi tak sudi kulihat dia. Aku tak mengenal suara itu. Tapi
dia mengenal aku. Aku tak peduli. Yang ada dalam benakku saat ini hanyalah
Panggah, orang gila yang berhasil membuatku jadi gila.
Aku
rasakan hangat memeluk tanganku. Sehangat tatapan Panggah untukku. Aku rasakan
nyaman menelusup ke setiap jemariku. Senyaman kedua mata Panggah yang teduh.
Aku rasakan aman merengkuh jiwaku. Seaman jiwa Panggah yang tak pernah takut
menghadapi dunia. Aku rasakan ringan yang membuatku tiba-tiba tak lagi malas
untuk melangkah. Seringan ketika aku melihat tawa Panggah dan semangatnya
memakai topi kertas di kepala sebelum mendengar ceritaku.
Aku
sadar dari lamunanku. Aku sadar kini aku sudah beranjak dari tempat dudukku. Aku
menatap punggung di hadapanku. Aku tatap sosok yang tak kutahu wajahnya namun
berani memeluk jemariku. Dia membawaku naik ke mobil, tanpa beban, ringan.
Aku
duduk di tengah, antara Bapak dan dia. Ketika kedua tangannya melepaskan
pelukan pada jemariku, ringanku hilang, beban kembali menjatuhiku. Kuputuskan menoleh,
melihat sosok yang mampu memberi ringan ketika tubuhku terasa penuh beban. Dan kulihat
dia, seorang pria yang tampan, duduk di dekat jendela. Kulihat dia dan dia
punya mata teduh yang hampir sama seperti Panggah. Bedanya, tatapan mata
Panggah selalu kosong dan ceria. Sementara pria di sampingku ini, tatapan
matanya tegas dan penuh kasih sayang.
Ketika
kusadari pria itu menoleh kepadaku dan tersenyum, aku tak dapat menghindar. Kubalas
senyumnya dengan senyum tipis. Kulihat objek yang lain. Pria itu tampan, namun
aku tak bisa melupakan Panggah.
Mobil
yang kami tumpangi mulai melaju, melewati persawahan dan banyak kebun bambu
yang senantiasa berderit pilu menghantarkan kepergianku. Kurasakan angin
menyapu dingin kulitku. Dan yang paling membuatku merasa pilu, banyak orang
desa termasuk anak-anak yang merupakan muridku di rumah pohon menghantarkan
kepergianku. Kulihat beberapa balita menangis, kulihat anak-anak yang sering
menemaniku di sawah berlari mengejar di belakang mobil kami yang terus melaju.
“Saya
rasa mereka menyayangi kamu. Saya rasa mereka tak akan rela kamu pergi,” kata
pria di sampingku, membuyarkan lamunanku.
“Saya
memang tak ingin pergi,” balasku ketus, membuat dia langsung diam dan tak lagi
mengucapkan sesuatu.
Dan,
beberapa meter perjalanan kami usai, kulihat dia. Kulihat dia sang pemilik mata
teduh yang selalu membuatku rindu. Kulihat dia yang senantiasa melambaikan
tangan sambil tertawa ceria kepadaku, tak tahu bahwa tingkahnya menyayat
hatiku. Aku memaksa supir untuk menghentikan mobil.
Namun,
sang supir tak mau mendengarkan perintahku. Aku berontak. Kudobrak pintu yang
ada di samping pria tadi, aku berteriak kesetanan. Sang pria berusaha menahanku,
namun aku terus berontak. Aku menangis sejadinya. Menendang apa saja, memukul
benda apapun, berteriak-teriak layaknya orang gila, menarik-narik rambutku
sendiri, mencakar-cakar kulitku, berusaha membuat supir menghentikan mobil yang
kami tumpangi. Karena apa?
Karena
aku hanya ingin memeluk Panggah.
Karena
aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa aku mencintai dia. Dengan sederhana.
Tak merasa terpaksa. Dan apa adanya. Rasa ini jernih untuk dia. Tulus. Tak menuntut
apapun.
Dan
akhirnya supir kami menyerah. Dia menghentikan mobil. Dengan kesetanan, aku
segera loncat dari mobil, segera lari melewati sang pria yang ada di sampingku,
tak peduli ada bagian tubuhnya yang terkena tendanganku, aku hanya ingin segera
memeluk Panggah dan mengucapkan selamat tinggal.
Aku
sampai di jalan setapak. Dari seberang, kupandangi Panggah yang memandangi aku
sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Aku menangis, berlari menghampiri dia
dan menghambur dalam pelukannya. Aku menangis lagi.
“Panggah,
Ata minta maaf kalau Ata pernah nakal sama Panggah. Ata juga minta maaf kalau
Ata pernah merusak mainan Panggah. Ata menyesal pernah menyakiti hati Panggah,”
kataku hampir tak jelas karena menangis.
“Ata
mau liburan ke Surabaya
kenapa menangis?” tanya Panggah polos.
Tangisku
tambah deras mendengar pertanyaannya. “Karena Ata nggak akan pernah kembali,
Panggah,” jawabku dan aku menyadari bahwa Panggah tak akan pernah mengerti
maksudku, terbukti ketika dia malah mengangguk-anggukkan kepala sembari
senyum-senyum ceria.
“Panggah,
dengarkan Ata,” kataku dalam sembari menatap kedua matanya yang teduh. Panggah balas
menatapku dan tersenyum. “Ata menyayangi Panggah. Selama ini, Ata mencintai
Panggah. Tulus dan apa adanya. Sekarang, Ata harus pergi. Tapi, Panggah harus
tahu dan mengingat ini sampai mati; bahkan sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun
lagi, Ata tidak akan pernah berhenti mencintai Panggah. Karena Ata tahu, rasa
ini abadi untuk Panggah.”
Panggah
tersenyum. Aku tak yakin dia mengerti ucapanku. “Panggah tahu Ata menyayangi
dan mencintai Panggah. Panggah juga mencintai Ata. Panggah suka kalau Ata
menemani Panggah bermain layang-layang atau memandikan kerbau. Nanti sore kita
main lagi ya, Ata!”
Mendengar
ajakan Panggah, aku tak sanggup menahan tangis. Aku memeluk dia. Menangis di
dalam dekapan tubuhnya. Kukatakan berkali-kali bahwa aku mencintai dia dan akan
terus mencintai dia.
Hingga
akhirnya kudengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh. Kulihat pria di
sampingku berdiri di seberang jalan, menungguku.
“Kita
harus pergi,” katanya.
Dengan
berat hati, kulepaskan pelukan Panggah, terpaksa membalikkan tubuhku dan
menahan tangis. Aku berjalan menghampiri pria yang duduk di sampingku. Aku menghela
nafas, kini aku harus benar-benar pergi. Yang paling penting, aku sudah
mengatakan kepada Panggah bahwa aku mencintainya, kukatakan itu dengan berani. Dan
aku tak malu, aku bangga mau mengakui rasaku kepadanya. Meski aku tak tahu,
apakah Panggah mengerti apa yang telah aku ucapkan.
Aku
berjalan dan terus berjalan, kupaksakan untuk tak lagi menoleh ke belakang, ke
arah Panggah yang melambaikan tangannya. Aku menegakkan daguku. Dan aku merasa
ada yang aneh ketika melihat sang pria yang duduk di sampingku mengulurkan
tangan kanannya yang terbuka.
Dia
menawarkan perlindungan kepadaku. Dengan senyumnya. Dengan mata tegas sekaligus
teduhnya. Dan tanpa aku ketahui penyebabnya, kubalas uluran tangan itu. Ketika dia
memeluk kedua tanganku erat, aku membalasnya. Dan aku tak tahu mengapa.
Kami
melanjutkan perjalanan dan aku terus menatap ke arah yang berlawanan dari
Panggah. Kupaksakan diri untuk tak melihatnya lagi. Aku harus mengikhlaskan
kepergianku sendiri.
Untuk Panggah yang aku
sayangi,
Kamu harus percaya
Aku mencintai kamu
Tulus
Dan akan selalu begitu.
--Ata