Sabtu, 22 November 2014

Balada Cinta Panggah 3

Bagaikan angin yang berhembus tanpa kita ketahui. Bagaikan derasnya arus sungai yang mengalir secara tiba-tiba karena hujan. Bagaikan hujan yang tiba-tiba jatuh ketika matahari sedang terik-teriknya, berita kepergianku dari Slarongan menuju ke Surabaya telah tersebar hingga ke seluruh warga desa, bahkan hingga ke Jonggrangan dan Kolowenang. Aku tak tahu bagaimana berita itu bisa tersebar lebih cepat dari aliran air, lebih cepat dari hembusan angin.
            Beberapa orang tampak sibuk mengangkut barangku ke mobil dan ke dalam sebuah truk di belakangnya. Aku? Tak sibuk apa-apa. Masih menggunakan baju tidur dan tanpa alas kaki, dengan sepasang mata yang hampir tak bisa melihat karena bengkak akibat menangis semalaman, duduk anteng di sitje depan rumah. Tak berkata apa-apa. Tak bergerak sedikitpun. Bahkan ketika Mbok Darmi datang dan memaksaku makan. Untuk membuka mulutku saja, aku malas. Aku bagaikan Annalies dalam novel Pramoedya, yang dipaksa pergi tanpa kemauan sendiri.
            “Ayo, Ata. Kita berangkat sekarang.”
            Ku dengar suara pria, tapi tak sudi kulihat dia. Aku tak mengenal suara itu. Tapi dia mengenal aku. Aku tak peduli. Yang ada dalam benakku saat ini hanyalah Panggah, orang gila yang berhasil membuatku jadi gila.
            Aku rasakan hangat memeluk tanganku. Sehangat tatapan Panggah untukku. Aku rasakan nyaman menelusup ke setiap jemariku. Senyaman kedua mata Panggah yang teduh. Aku rasakan aman merengkuh jiwaku. Seaman jiwa Panggah yang tak pernah takut menghadapi dunia. Aku rasakan ringan yang membuatku tiba-tiba tak lagi malas untuk melangkah. Seringan ketika aku melihat tawa Panggah dan semangatnya memakai topi kertas di kepala sebelum mendengar ceritaku.
            Aku sadar dari lamunanku. Aku sadar kini aku sudah beranjak dari tempat dudukku. Aku menatap punggung di hadapanku. Aku tatap sosok yang tak kutahu wajahnya namun berani memeluk jemariku. Dia membawaku naik ke mobil, tanpa beban, ringan.
            Aku duduk di tengah, antara Bapak dan dia. Ketika kedua tangannya melepaskan pelukan pada jemariku, ringanku hilang, beban kembali menjatuhiku. Kuputuskan menoleh, melihat sosok yang mampu memberi ringan ketika tubuhku terasa penuh beban. Dan kulihat dia, seorang pria yang tampan, duduk di dekat jendela. Kulihat dia dan dia punya mata teduh yang hampir sama seperti Panggah. Bedanya, tatapan mata Panggah selalu kosong dan ceria. Sementara pria di sampingku ini, tatapan matanya tegas dan penuh kasih sayang.
            Ketika kusadari pria itu menoleh kepadaku dan tersenyum, aku tak dapat menghindar. Kubalas senyumnya dengan senyum tipis. Kulihat objek yang lain. Pria itu tampan, namun aku tak bisa melupakan Panggah.
            Mobil yang kami tumpangi mulai melaju, melewati persawahan dan banyak kebun bambu yang senantiasa berderit pilu menghantarkan kepergianku. Kurasakan angin menyapu dingin kulitku. Dan yang paling membuatku merasa pilu, banyak orang desa termasuk anak-anak yang merupakan muridku di rumah pohon menghantarkan kepergianku. Kulihat beberapa balita menangis, kulihat anak-anak yang sering menemaniku di sawah berlari mengejar di belakang mobil kami yang terus melaju.
            “Saya rasa mereka menyayangi kamu. Saya rasa mereka tak akan rela kamu pergi,” kata pria di sampingku, membuyarkan lamunanku.
            “Saya memang tak ingin pergi,” balasku ketus, membuat dia langsung diam dan tak lagi mengucapkan sesuatu.
            Dan, beberapa meter perjalanan kami usai, kulihat dia. Kulihat dia sang pemilik mata teduh yang selalu membuatku rindu. Kulihat dia yang senantiasa melambaikan tangan sambil tertawa ceria kepadaku, tak tahu bahwa tingkahnya menyayat hatiku. Aku memaksa supir untuk menghentikan mobil.
            Namun, sang supir tak mau mendengarkan perintahku. Aku berontak. Kudobrak pintu yang ada di samping pria tadi, aku berteriak kesetanan. Sang pria berusaha menahanku, namun aku terus berontak. Aku menangis sejadinya. Menendang apa saja, memukul benda apapun, berteriak-teriak layaknya orang gila, menarik-narik rambutku sendiri, mencakar-cakar kulitku, berusaha membuat supir menghentikan mobil yang kami tumpangi. Karena apa?
            Karena aku hanya ingin memeluk Panggah.
            Karena aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa aku mencintai dia. Dengan sederhana. Tak merasa terpaksa. Dan apa adanya. Rasa ini jernih untuk dia. Tulus. Tak menuntut apapun.
            Dan akhirnya supir kami menyerah. Dia menghentikan mobil. Dengan kesetanan, aku segera loncat dari mobil, segera lari melewati sang pria yang ada di sampingku, tak peduli ada bagian tubuhnya yang terkena tendanganku, aku hanya ingin segera memeluk Panggah dan mengucapkan selamat tinggal.
            Aku sampai di jalan setapak. Dari seberang, kupandangi Panggah yang memandangi aku sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Aku menangis, berlari menghampiri dia dan menghambur dalam pelukannya. Aku menangis lagi.
            “Panggah, Ata minta maaf kalau Ata pernah nakal sama Panggah. Ata juga minta maaf kalau Ata pernah merusak mainan Panggah. Ata menyesal pernah menyakiti hati Panggah,” kataku hampir tak jelas karena menangis.
            “Ata mau liburan ke Surabaya kenapa menangis?” tanya Panggah polos.
            Tangisku tambah deras mendengar pertanyaannya. “Karena Ata nggak akan pernah kembali, Panggah,” jawabku dan aku menyadari bahwa Panggah tak akan pernah mengerti maksudku, terbukti ketika dia malah mengangguk-anggukkan kepala sembari senyum-senyum ceria.
            “Panggah, dengarkan Ata,” kataku dalam sembari menatap kedua matanya yang teduh. Panggah balas menatapku dan tersenyum. “Ata menyayangi Panggah. Selama ini, Ata mencintai Panggah. Tulus dan apa adanya. Sekarang, Ata harus pergi. Tapi, Panggah harus tahu dan mengingat ini sampai mati; bahkan sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, Ata tidak akan pernah berhenti mencintai Panggah. Karena Ata tahu, rasa ini abadi untuk Panggah.”
            Panggah tersenyum. Aku tak yakin dia mengerti ucapanku. “Panggah tahu Ata menyayangi dan mencintai Panggah. Panggah juga mencintai Ata. Panggah suka kalau Ata menemani Panggah bermain layang-layang atau memandikan kerbau. Nanti sore kita main lagi ya, Ata!”
            Mendengar ajakan Panggah, aku tak sanggup menahan tangis. Aku memeluk dia. Menangis di dalam dekapan tubuhnya. Kukatakan berkali-kali bahwa aku mencintai dia dan akan terus mencintai dia.
            Hingga akhirnya kudengar seseorang memanggil namaku. Aku menoleh. Kulihat pria di sampingku berdiri di seberang jalan, menungguku.
            “Kita harus pergi,” katanya.
            Dengan berat hati, kulepaskan pelukan Panggah, terpaksa membalikkan tubuhku dan menahan tangis. Aku berjalan menghampiri pria yang duduk di sampingku. Aku menghela nafas, kini aku harus benar-benar pergi. Yang paling penting, aku sudah mengatakan kepada Panggah bahwa aku mencintainya, kukatakan itu dengan berani. Dan aku tak malu, aku bangga mau mengakui rasaku kepadanya. Meski aku tak tahu, apakah Panggah mengerti apa yang telah aku ucapkan.
            Aku berjalan dan terus berjalan, kupaksakan untuk tak lagi menoleh ke belakang, ke arah Panggah yang melambaikan tangannya. Aku menegakkan daguku. Dan aku merasa ada yang aneh ketika melihat sang pria yang duduk di sampingku mengulurkan tangan kanannya yang terbuka.
            Dia menawarkan perlindungan kepadaku. Dengan senyumnya. Dengan mata tegas sekaligus teduhnya. Dan tanpa aku ketahui penyebabnya, kubalas uluran tangan itu. Ketika dia memeluk kedua tanganku erat, aku membalasnya. Dan aku tak tahu mengapa.
            Kami melanjutkan perjalanan dan aku terus menatap ke arah yang berlawanan dari Panggah. Kupaksakan diri untuk tak melihatnya lagi. Aku harus mengikhlaskan kepergianku sendiri.

Untuk Panggah yang aku sayangi,
Kamu harus percaya
Aku mencintai kamu
Tulus
Dan akan selalu begitu.


--Ata

Balada Cinta Panggah 2

Mataku melirik was-was ke berbagai sudut yang ada di sekitarku. Kedua kakiku melangkah pelan dan berjinjit-jinjit sedikit demi sedikit. Sandal sengaja ku lepas, kubiarkan kakiku telanjang agar langkah-langkahku tak menciptakan suara. Nafasku berhembus pelan-pelan, dengan jeda yang panjang-panjang, meski seharusnya nafas ini bergelora karena detak jantung tengah berdegup cepat, meninggalkan dentuman-dentuman karena laju lari yang amat cepat untuk mengejar senja agar tak kunjung berpulang menjadi malam.
            Aku sampai di depan pintu kamarku. Nafas yang sempat tertahan kubiarkan menguap lega. Mataku tak lagi melirik was-was ke berbagai sudut yang ada di sekitarku. Tanpa ada lagi perasaan waspada, kulurkan tanganku untuk membuka handel pintu.
            Tetapi tiba-tiba semua lampu yang awalnya mati langsung menyala. Bukan satu per satu, namun seluruhnya secara bersamaan. Mataku membelalak. Jantungku berdegup. Yang aku takutkan terjadi.
            Aku menatap langit-langit. Kutatap lampu-lampu terang itu satu per satu, lalu menatap seseorang yang berdiri gagah di dekat saklar salah satu lampu. Mataku meredup. Di sana, kuyakini terpancar ketakutan yang menggebu dalam hatiku.
            Seseorang berkumis tebal. Tubuhnya tinggi dan gagah. Matanya melotot tajam. Giginya gemertak menahan amarah. Dia bapakku. Dan dia marah, aku tahu. Aku menundukkan kepala. Kutunggu dia mengucapkan sesuatu.
            “Dari mana kamu?” tanya dia setelah beberapa menit memandangku dari tempatnya berpijak, dengan kedua mata yang masih menatapku dengan beku.
            “Saya… saya dari tempat penggilingan padi di Kulon Progo. Saya lihat-lihat dan memeriksa keuntungan kita bulan ini.”
            Kulihat bapakku mengepalkan kedua tangan. “Bohong!” tudingnya penuh amarah.
            “Saya tidak bohong, Bapak!” kubiarkan bibirku menguapkan dusta.
            Bapak menghampiriku, asap mengepul dari balik cerutu yang dia bawa. Bapak mendekatkan wajahnya kepada wajahku, membiarkan bau rokok dari mulutnya memusingkan kepalaku. “Kau pikir Bapak tidak tahu ke mana kamu pergi? Bersama siapa kamu pergi? Dan apa yang kamu lakukan selama kamu pergi?” interogasinya dengan nada tinggi.
            Aku terhenyak. Aku tak lagi bisa berdusta sekarang.
            Bapak menghisap cerutunya, lalu menghembuskan melalui mulutnya, tanpa menoleh dan mengarahkan hembusan nafasnya ke arah lain, membiarkan asap rokok menerpa kulitku dan kepalaku langsung pusing dibuatnya.
            “Kau pergi bersama orang gila anak dari pedagang singkong di Pasar Ngijon, ya ta? Bahkan, kau ajak dia makan bersama di tempat makan yang mahal, di warung soto paling terkenal di desa ini, huh? Kau ikut mandikan kerbau-kerbau dan sapi di sungai, tanpa pemiliknya membayar jasamu? Kau anak gadis yang bodoh!”
            Aku mengerutkan kening di balik kepalaku yang tertunduk. Dari mana bapak tahu?
            “Aku tak sudi anak gadisku bermain dengan kere gila macam anak pedagang singkong dari Pasar Ngijon itu!”
            “Dia tak gila, Bapak!”
            Aku mengangkat kepalaku. Kupandang kedua matanya yang nyalang menatap mataku.
            “Dia gila! Tidakkah kamu melihat dia? Tingkah lakunya? Dia memang tak cuma gila, dia juga kere! Miskin!”
            “Dia tidak kere! Panggah tidak miskin!”
            “Namanya Panggah, ya?” Bapak menarik sudut bibirnya. “Bahkan mendengar bibirmu menyebut namanya pun aku tak sudi!”
            “Bapak…”
            “Dia kere! Miskin! Tak seperti kita! Buat apa kamu berteman dengan dia? Dia tak bisa memberikan apa-apa buat kita! Bahkan, dia tak bisa beli nasi, ta? Buat apa kau mengeluarkan uang demi bayar makanan mereka, yang bahkan memberi kita makan pun mereka tak mungkin sanggup!”
            Aku mundur selangkah. Ucapan Bapak berhasil membuatku terenyak. Mulutku menganga, tak kusangka Bapak mengucapkan demikian. Air mataku menitik, menyesali kondisi Bapak sebagai orang kaya di desa kami, membuat dia akhirnya mengabdikan diri untuk jadi seorang rentenir, memeras dan menindas mereka yang tak mampu, membiarkan mereka menjerit karena tercekik oleh kondisi ekonomi, sementara Bapak tertawa terbahak di antara tumpukan uang yang dia hasilkan melalui bunga yang tinggi.
            “Bukan Panggah dan keluarganya yang kere, Pak!” Aku menelan ludah, menatap Bapakku dengan tegas. “Justru Bapak yang kere!”
            Kedua mata Bapak makin melotot. “Apa maksudmu, huh?”
            “Hati Bapak kere! Bapak memang punya uang banyak, tapi Bapak tak punya apa yang mereka punya! Bapak tak punya hati, tak seperti mereka yang Bapak tindas melalui bunga pinjaman yang tinggi! Bapak memang punya puluhan hektar sawah dan pabrik-pabrik, tetapi Bapak tak punya hati nurani! Bapak…”
            Plak!
            Aku terjerembab jatuh ke lantai. Kupegangi pipiku yang memanas. Kutatap Bapakku, tak kusangka dia lakukan ini kepadaku. Bapak menamparku. Dan tanpa rasa bersalah, dia masih menatapku dengan mata nyalangnya.
            “Siapa yang ajari kau berkata demikian pada Bapakmu? Tau apa kamu soal hati? Hati dan harta, satu kesatuan, kau gadis bodoh!” Bapak menggumam kesal dan jengkel. “Orang-orang miskin memang selalu memberi ajaran buruk kepada anak-anak orang kaya. Bahkan mereka ajari anakku sendiri berkhotbah di hadapan ayahnya! Memang demikian orang miskin, bicaranya tak tahu aturan dan pendidikan. Mereka tak kenal sopan santun kepada orang tua, mereka…”
            “Dan Bapak tak mengenal kasih sayang kepada sesama! Memang demikian orang kaya, bicaranya halus dan lembut tapi penuh dengan jebakan, di balik kata-kata manis mereka tersimpan lidah ular yang licik!”
            Bapak menarikku berdiri. Dia tampar pipi kiriku dan membiarkan aku jatuh terjerembab lagi ke lantai.
            “Bahkan kau bilang Bapakmu ini ular!?” serunya dengan nada lebih tinggi.
            “Bapak sendiri yang membuat saya berkata demikian!”
            “Kau…!”
            “Ndoro, semua baju sudah masuk dalam kopor.”
            Aku dan Bapak menoleh bersamaan. Kami berdua menatap satu titik yang sama, sebuah titik yang menundukkan kepalanya dan berusaha menyembunyikan isak tangis. Aku terpana, agak bingung melihat Mbok Darmi, salah seorang pembantu rumah tangga kami berdiri di pintu kamarku, dengan sebuah kopor besar di tangannya. Berkali-kali kulihat dia menyeka air mata.
            Aku mengerutkan kening. Apa isi kopor itu? Kenapa Mbok Darmi menangis? Ketika ratusan pertanyaan lain muncul di dalam benakku, air mataku menitik. Aku menyadari sesuatu. Buru-buru, aku berlari meninggalkan Bapak, melupakan rasa perih di pipiku. Aku berlari ke kamarku, aku buka lemari di mana semua bajuku disimpan. Dan kedua kakiku melemas. Semua sudah tidak ada. Semua sudah dimasukkan ke dalam kopor yang ada di genggaman Mbok Darmi.
            Aku berlari menghampiri Mbok Darmi. Air mataku menitik semakin deras. Ketika menyadari hal itu, isak Mbok Darmi makin keras.
            “Ada apa, Mbok? Bajuku di mana? Di dalam kopor ini, ya? Mau dibawa ke mana?”
            Mbok Darmi tidak menjawab, dia malah menyeka air matanya.
            “Mbok, tolong jawab, Mbok. Baju-baju saya mau di bawa ke mana?”
            “Ke Surabaya,” jawab Bapak tanpa diminta.
            Aku menatap Bapak. Keningku berkerut. “Kenapa, Pak? Kenapa baju-baju saya harus dibawa ke Surabaya?”
            “Tidak hanya bajumu yang akan dibawa ke Surabaya,” Bapak langsung menatapku. “Tapi juga kau!”
            Aku terhenyak. “Bapak… mengusir saya?”
            “Bapak tidak tega melihat kau bergaul dengan orang miskin dan tidak berpendidikan di desa ini. Anak gadis dari orang kaya seperti kau, tak pantas bersepeda bersama orang gila anak penjual singkong, atau bermain kincir angin bersama anak-anak ndeso di sawah. Anak gadis dari orang kaya seperti kau hanya pantas mendapat pendidikan yang layak dan suami yang bahkan lebih kaya dari kita!”
            “Saya tidak akan pergi!” Aku kembali menatap Mbok Darmi. Air mataku menitik makin deras. “Mbok, baju saya ada di kopor itu kan, Mbok? Sini, Mbok saya bantu masukin ke lemari lagi ya, Mbok? Ayo, Mbok kita keluarin baju-baju saya dari kopor, kita masukin lagi ke dalam lemari, ya? Jangan bawa baju saya pergi, Mbok. Saya masih mau menemani Mbok Darmi masak di pawon atau mencuci baju di kali belakang rumah kita. Saya nggak mau pergi, Mbok.”
            Mbok Darmi mendekap mulutnya. Dia menangis tanpa suara.
            Bapak menatap kami dengan ekspresi beku. Tak ada iba di kedua matanya. “Bawa kopor itu ke mobil! Sekarang!” perintahnya kemudian.
            Mbok Darmi melangkah berat. Dia mulai meninggalkan aku. Tapi aku tak sudi melihatnya pergi. Aku langsung menjatuhkan diri. Kupeluk kedua kakinya dan menangis sejadinya. Kupeluk Mbok Darmi dengan erat, meminta dia supaya tidak membiarkan aku pergi.
            Tetapi Mbok Darmi tidak peduli. Dia hanya terus melangkah dengan langkah yang semakin berat karena aku memeluk kedua kakinya. Mbok Darmi menangis dan menangis. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
            Bapak langsung menarik tubuhku dengan gerakan cepat ketika kami sampai di pintu depan. Dia paksa aku melepaskan pelukanku. Dia paksa aku memisahkan diri dari Mbok Darmi yang sudah aku anggap sebagai ibuku. Dia seret aku menuju ke kamarku. Tak ada kasih sayang. Yang ada hanya kejengkelan dan amarah yang menggebu di dalam hatinya.
            “Kau tidur! Kita berangkat ke Surabaya jam tujuh pagi!”
            Bapak menutup pintu kamarku dengan satu gerakan cepat hingga akhirnya menciptakan suara dentuman. Dia meninggalkan aku, membiarkan aku menangis melolong semalaman.

            Dalam setiap tangisku, hanya ada Panggah dan mata teduhnya. Dibalik linangan air mata yang tumpah dari kedua mataku, kuhitung berapa banyak tetes yang jatuh sia-sia dan kuanggap itu cinta untuk Panggah.

Sabtu, 26 Juli 2014

Selamat Pulang

            Aku memandangi wajah manismu melalui bingkai foto di hadapanku. Sejenak, kedua mataku saling terpejam, menautkan diri bersama dengan sang batin yang mulai meraba bayang-bayangmu. Dalam diam, sedikit demi sedikit, kurasakan rindu yang seiring detik semakin menjadi bukit. Dia mengganggu, namun membuatku merasa nyaman. Dia usil, namun membuatku tak akan membiarkannya pergi.
            Mataku kembali terbuka, berniat kembali meniti ronamu walau hanya melalui sebuah foto. Kumismu, senyummu, tawamu, dan kadang manyun bibirmu, menghiasi malamku. Semua itu membuat rindu semakin menelusup dalam dadaku, membuatnya semakin terasa perih karena aku tahu, aku belum sanggup merabamu. Dan rindu kian jadi menyiksa ketika lantunan nada A Thousand Miles yang dibawakan oleh Nadya Fatira sebagai cover lagu dari Vanessa Carlton menguar dari radio kecil di samping bingkai fotomu.
            Awalnya, ronamu yang menciptakan lengkungan senyum di bibirku kini telah berubah menciptakan sebuah ekspresi datar yang membuatku menatap kosong pada langit malam. Di sana, di langit itu dan di antara bintang yang bersembunyi di balik mendung, aku mulai melukis bayanganmu, membiarkan hati berbisik tentang apa yang kurang mengenai gambaranmu. Tapi aku masih ingat semuanya, meski hari-hari yang lalu membiarkan kita tidak bertemu.
            Aku benci pada jarak. Sejak aku mengenalmu, satu kata itu menjadi sebuah kata yang membuatku seringkali menyesal pernah mengenalmu dan menyesal pernah merajut rasa bersamamu. Satu kata itu juga seringkali menjatuhkan bulir-bulir air mata ketika menyadari aku sangat merindukanmu, namun kau tak ada di sisiku dan aku tak bisa merabamu, bahkan sekedar menggenggam tanganmu.
            Namun, jarak. Satu kata itu yang sekaligus membuatku terus menyayangimu, saban hari semakin rindu padamu, dan hanya jarak yang melahirkan alasan kenapa aku senantiasa memberikan pelukan erat ketika kamu dan aku bertemu.
            Di sini, di tempat aku menulis kisah ini, aku ingat kamu pernah duduk di sisiku, saling menertawakan tingkah konyol kita, bercerita tentang sinetron ABG Jadi Manten, Ganteng-Ganteng Seringgila, dan berbagai sinetron yang membuatmu bergidik jijik, saling menggoda dengan bibir yang saling manyun, bertatapan dalam, berpelukan, bergelayut manja, bergandengan tangan, mencium kening hingga mengecup pipi.
            Aku sangat merindukanmu, andai kamu tahu. Pesan singkat, telfon, chatting, bahkan kisah ini—bagiku—sangat tidak setimpal dengan rasa rinduku. Aku ingin lebih, aku ingin kita bertemu. Malam ini, aku rindu genggaman tanganmu. Aku rindu bersandar di punggungmu. Aku rindu aroma tubuhmu. Aku rindu menggigit pundakmu. Aku rindu bergelayut dalam rangkulanmu. Aku rindu suaramu. Aku rindu bibirmu yang mampu menghapus beku dalam malamku. Aku rindu pujian bahkan celaanmu. Aku rindu cerita-ceritamu dan obrolan sok berbobot yang seringkali kita nadakan, entah tentang sang cawapres, entah tentang buku-buku, entah tentang masa depan, entah tentang apa saja dan apalagi, yang jelas aku merindukanmu… sangat merindukanmu.
            Kisah ini sempat berhenti ku tulis ketika handphone-ku berdering nyaring dan membuatku terenyak dari lamunanku. Bibirku kembali merenda senyum ketika kulihat namamu menjadi penyebab dering handphone-ku. Segera dan tanpa berpikir seperti biasanya, aku menjawab telfonmu, menyambutmu dengan ceria yang tak pernah pudar.
            “Aku lagi di Bandung ini,” katamu dengan penuh semangat.
            Aku berjingkat girang. “Oleh-oleh!” seruku.
            Kamu terdiam sejenak, dan aku tahu kamu pasti mengangkat salah satu alismu. “Oleh-oleh?”
            Tanpa sadar, aku menganggukkan kepalaku dengan semangat. Sadar bahwa kamu tak akan tahu jika aku menganggukkan kepala, aku segera menambahkan. “Iya, oleh-oleh! Katanya lagi di Bandung, bawain oleh-oleh bisa dong!” pintaku bersemangat.
            Kamu tertawa. “Aku di Bandung cuma ke stasiunnya doang.”
            “Terus pulang ke Solo?”
            “Iya dong!” jawabmu, membuatku yakin bahwa kamu memang pulang untukku.
            Aku berdeham. “Emmm, kalau udah sampai Solo, main ke rumahku yaaa!”
            “Siap!” jawabmu.
            Dan kulanjutkan lagi menulis kisah ini. Andai kamu tahu, aku tak henti merenda senyum lebar ketika kalimat demi kalimat ini kulukiskan setelah kamu menelfonku. Sama seperti ketika kita pertama kali bertemu, jantungku tak pernah menghilangkan degupan-degupan aneh yang kurasakan setiap aku mendengar suaramu.
            Aku sama sekali tak menghilangkan bayanganmu dan membiarkan rindu menuntunku menulis kisah ini. Dan ketika tulisan ini selesai, aku berdoa untukmu, berdoa untuk perjalananmu, dan berdoa untuk jarak yang semakin terhapus oleh waktu.
            Untukmu, Stevanus. Semoga selamat sampai di rumah dan semoga senyum sekaligus pelukmu tak berubah ketika pandang kita bertemu esok. Aku sayang kamu.
           
           


Minggu, 15 Juni 2014

Balada Cinta Panggah 1

oleh: Lalita.

            Dalam malam yang hening, di tengah haribaan yang kerontang, dua mata memandang langit yang amat terang dihiasi gelantungan bintang-bintang. Hari itu mendung tiada lagi menyelimuti desa dan dingin tak lekat pada tubuhku yang senantiasa berdiri di sebuah rumah yang dibangun di atas sebuah pohon trembesi besar, yang berdiri gagah di tengah lahan kering di teritori desa kami.
            Aku tidak sepenuhnya sendiri, sebenarnya. Ada doa para katak yang diwarnai oleh suara arus air di sungai dekat rumah pohon ini. Ada juga kerik para jangkrik yang tinggal di ilalang di belakang rumah pohon ini. Namun, mereka jauh. Dan aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan. Yang aku tahu, mereka sebatas bernyanyi dan berkomunikasi, dengan cara mereka sendiri. Atau mungkin mereka sedang menyapa sang Ilahi? Aku tiada tahu.
            Berdiri di sini, seorang gadis, sendirian sebenarnya sangat mengherankan. Namun aku sendirian di sini bukan tanpa maksud dan tujuan. Aku masih singgah di sini, membiarkan senja ditutup oleh azan Magrib yang berkumandang beberapa menit yang lalu dengan tujuan menunggu seseorang, membiarkan mataku terpuaskan melihat wajahnya yang senantiasa memancarkan keceriaan, memuaskan hatiku yang hampir saban hari meratap menemui dia yang hingga saat ini tak kunjung datang.
            Batinku bagai kehausan dalam kemarau panjang ketika dia yang aku tunggu tak kunjung memancarkan citranya. Namun mengalami kepuasan tiada hingga ketika pintu rumah pohon yang awalnya tertutup rapat pada akhirnya terbuka.
            Aku menoleh. Dan dia yang aku tunggu akhirnya datang, menunjukkan tampang penyesalan. “Maafkan, Ata! Maafkan Panggah terlambat! Panggah bantuin Simbok, jatuh di pasar!” jelasnya tak henti-henti meminta ampun dariku.
            Aku menghampirinya, menuntunnya duduk di sampingku. “Tak apa, Panggah. Ata memaafkan Panggah pun Panggah tak minta ampun sama Ata. Simbok nggak apa-apa?” tanyaku.
            Panggah mengangguk. “Tapi, Panggah terlambat. Panggah nggak baik,” katanya lagi, masih diwarnai penyesalan. Matanya menatap ke segala arah, tidak ke mataku.
            Aku tersenyum. “Panggah, dengar baik-baik. Saya sudah memaafkan kamu,” ujarku.
            Panggah mengangguk lagi, entah apa maksudnya. “Panggah masih bisa dengar cerita Ata?” tanyanya. Kali ini matanya memandangku dengan penuh harap. “Panggah nggak mau dihukum, Ata. Panggah terlambat, Panggah nggak mau dihukum! Tapi Panggah mau mendengarkan cerita dari Ata,” ucapnya.
            Aku mengangguk. “Panggah nggak dihukum. Ata memang mau ngasih cerita buat Panggah,” jawabku.
            Panggah mengibas-ngibaskan tangannya. Melompat-lompat senang. Tertawa-tawa. “Asik! Asik! Panggah mendengarkan cerita! Panggah mendengarkan cerita!” katanya riang.
            Aku tertawa. Senang melihat Panggah yang tersenyum ceria. Aku berjalan menuju ke sebuah meja, mengambil salah satu topi kertas yang biasa digunakan anak-anak jika mereka ingin mendengarkan dongeng dariku. Aku memang suka membacakan dongeng kepada mereka, setidaknya rumah pohon ini menjadi sarana untuk mereka berkumpul dan mendengarkan dongeng.
            “Pakai ini dulu,” pintaku sembari memberikan topi kertas di genggamanku kepada Panggah yang langsung menerimanya dengan riang. “Topi kertas!” serunya sembari meletakkan topi kertas di kepalanya.
            Aku tersenyum. “Dengarkan saya baik-baik ya,” ujarku. Dan aku mulai bercerita. Kalian tahu dongeng dari nun jauh di sana, tentang seorang putri yang mencintai pangeran buruk rupa, bukan? Tentu saja, dongeng itu sudah terkenal dimana-mana. Aku mengisahkan dongeng itu kepada Panggah yang senantiasa memusatkan perhatian pada bibirku yang tak henti bercerita dan kedua tanganku yang bergerak-gerak memberikan gestur pada dongengku kepada Panggah.
            Aku menyukai caranya mendengarkan ceritaku. Aku suka kedua telinganya yang kadang-kadang bergerak secara tidak sadar ketika Panggah berkonsentrasi terhadap dongengku. Aku menyukai kedua matanya yang menatap bibirku. Matanya yang jernih. Matanya yang polos. Matanya yang kanak-kanak, yang tidak sesuai dengan umurnya saat ini.
            Di desa ini, Panggah—anak pedagang singkong di pasar Ngijon, pasar dekat desa kami—dianggap gila. Dia bertingkah layaknya anak kecil, bergabung dan bermain bersama anak-anak kecil, ketika siang hari dan seluruh pria yang seumuran dengannya bekerja di ladang, Panggah bermain layang-layang atau ikut memandikan kerbau, masih bersama sahabatnya, anak-anak di desa kami. Setiap sore, Panggah menyempatkan diri datang di rumah pohon, bergabung bersama anak-anak desa dan mendengarkan dongengku. Pernah sekali, Panggah ikut berperan dalam drama yang diselenggarakan saat perayaan tujuh belasan, drama yang aku buat dan melibatkan anak-anak di desaku. Alhasil, tingkah Panggah yang lucu mengundang gelak tawa warga desa dan menjadikan perayaan tujuh belasan malam itu sarat akan wajah-wajah ceria, terutama untuk para pejabat desa.
            Tapi aku menyukainya. Tak peduli warga desa menganggapnya gila atau kurang waras. Aku berlindung dari semua masalahku dikedua matanya yang selalu teduh. Aku merasa tenang ketika bibir tipisnya memancarkan ceria yang tak pernah pudar. Dia yang dianggap sinting malah membuatku senantiasa menunggu kehadirannya.
            Dan, jika kalian tahu. Maksudku memberikan dongeng tentang putri cantik dan pangeran buruk rupa adalah salah satu caraku mengungkapkan perasaanku pada Panggah. Aku tak pernah menganggap Panggah sebagai buruk rupa, tetapi dongeng itu menyampaikan rasaku, bahwa aku mencintai Panggah. Aku mencintai kekurangannya. Aku mencintai Panggah apa adanya. Tak peduli slentingan orang tentang dirinya yang memang mengalami keterbelakangan mental.
            “Nah, pada akhirnya, Putri Cantik dan Pangeran Buruk Rupa hidup bahagia selama-lamanya,” tutupku pada dongengku malam ini.
            Panggah bertepuk tangan. “Hore! Hore!” serunya gembira, pada dongengku yang sederhana.
            Aku menengok arloji di tanganku, kemudian menatap Panggah. Waktu berjalan terlampau cepat, batinku. Hari tahu-tahu sudah makin malam. “Panggah, udah malam. Simbok pasti cemas. Kita pulang, ya?”
            Panggah menggerutu. “Ya-ya, Panggah memang harus pulang kalau hari sudah gelap.”
            “Panggah mau pulang bareng Ata, nggak?” tawarku, berharap Panggah menjawab iya.
            Dan Panggah memang menjawab iya. “Panggah mau pulang bareng Ata! Panggah mau!” serunya bersemangat sembari menatapku dengan mata teduhnya.
***
            Simbok mengantarkan aku keluar dari rumah bambunya ketika Panggah sudah masuk ke dalam kamar. Kecemasan tergantung di wajahnya. Simbok menatapku, ingin berbicara, namun urung. Menatapku lagi, ingin bicara, namun kembali urung. Aku jadi bingung melihat sikapnya, kutatap Simbok dengan penuh tanda tanya.
            “Ada apa, Mbok? Kayaknya kok cemas begitu?” tanyaku.
            Simbok bermain-main dengan jemarinya. “Anu, Non. Saya bingung gimana cara ngomongnya,” katanya.
            Aku mengerutkan kening. “Memangnya ada apa?”
            Simbok menahan suara, menelan ludah, kemudian menatapku dengan setengah hati. “Begini lho, Non. Kita tau Panggah mengalami keterbelakangan mental, kita juga tahu kalau di desa ini, Panggah dianggap kurang waras. Bahkan orang-orang di desa sebelah juga menganggapnya demikian. Apalagi, Panggah sering jadi bahan olok-olok.”
            Keningku semakin berkerut bingung, aku tak mengerti kemana ucapan Simbok bermuara. “Langsung aja, Mbok,” ucapku tak sabar.
            “Saya—bukannya gimana-gimana—sebenarnya agak khawatir sama Non Ata. Sebaiknya, Non Ata jaga jarak sama Panggah. Panggah, anak Simbok memang anak yang baik. Tapi, kalau Non Ata terus-menerus dekat dan menaruh perhatian kepada Panggah, saya takut kalau orang-orang desa jadi berpikiran macam-macam dan Non Ata mendapatkan selentingan-selentingan yang agak nggerus ati,” jelas Simbok dengan citra kecemasan yang makin menggores wajahnya.
            Aku menghembuskan nafas panjang. Diam menyelimuti malam kami. Warga desa sudah masuk ke dalam rumah mereka masing-masing, malam memang sudah larut. Aku berpikir sejenak, memejamkan mata dan membiarkan hatiku bergelora. Ketika merasa harus menyudahi keheningan kami, aku menatap Simbok dengan tatapan teduh dan tersenyum.
            “Mbok, izinkan saya mencintai Panggah,” ucapku yakin. Dan seperti yang aku duga, Simbok tampak terkejut. Ia mencerna kata-kataku, menganggap ucapanku salah, menganggap aku tak berbicara kepadanya.
            “Non—non Ata ngomong sama saya?”
            Aku mengangguk. “Saya mencintai Panggah, Mbok. Saya mencintai mata teduhnya dan bibirnya yang selalu merenda ceria.”
            “Tapi, Non—”
            “Saya mencintai Panggah apa adanya,” putusku lalu pamit pulang. Simbok masih terdiam, berdiri di depan rumah bambunya dan menganggapku sebagai hantu yang tiba-tiba datang mengejutkannya dengan sebuah ungkapan kata.
***
            Aku bangun esok paginya. Dengan semangat yang menggelora, aku membasuh muka, mengeluarkan sepeda kebo yang setia menemaniku plesir keliling desa. Setiap pagi, setiap Bapak sudah berangkat ke ladangnya mengawasi padi, aku mengayuh sepedaku diam-diam menuju ke rumah Panggah. Bapak tidak akan senang jika aku melakukannya. Dia akan marah besar. Namun, kayuhan sepedaku menuju ke rumah Panggah tak pernah diketahui Bapak.
            Dan pagi itu, seperti biasa, Panggah berada di beranda rumahnya, dengan baju kumal dan kusam yang juga sudah biasa, membantu Simbok menaikkan singkong ke dalam keranjang sepedanya sembari bernyanyi-nyanyi kecil, kali itu dia menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, entah siapa yang berulang tahun.
            Aku menghampiri mereka berdua, melambaikan tangan. Panggah menyambutku ceria, namun tidak dengan Simbok. Agaknya dia masih tak percaya dengan ucapanku kemarin malam.
            Aku—dengan susah payah—membantu Panggah menggotong karung-karung berisi singkong. Seumur hidup, aku belum pernah mengangkat beban seberat ini. Susah payah yang aku lakukan dianggap lelucon oleh Panggah, dia menertawakan aku. Tapi tak apa, aku senang jika aku berhasil membuatnya tertawa. Toh, susah payah yang membuat wajahku terlihat jelek dan tawa Panggah mengundang tawa Simbok yang awalnya masih beku terhadap kehadiranku.
            Kami akhirnya memutuskan untuk bersepeda menuju ke Pasar Ngijon yang jaraknya kira-kira lima belas kilometer dari desa kami. Pagi itu matari cerah, hari yang penuh bahagia. Simbok memboncengkan karung-karung berisi singkong, sementara diboncenganku, Panggah duduk sembari bermain-main dengan ketapel yang selalu dia bawa.
            Hari tercerah dalam hidupku.
            Ketika siang tiba, Simbok mengizinkan aku mengajak Panggah makan soto di sebuah warung soto yang terkenal paling lezat di desa kami. Ditengah mentari yang semakin terik, aku bergabung bersama Panggah dan anak-anak desa bermain layang-layang di tengah ladang yang kering. Ketika kami bosan, kami merangkak-rangkak dibawah ilalang, memasang ekspresi was-was dan terus terdiam sembari mengintai ndog gemak yang berkeliaran. Dengan ketangkasan ketapel, kami berhasil menangkap beberapa ndog gemak dan menjadikannya cemilan di bawah rumah pohon kami.
            Dan ketika senja tiba, membentuk siluet-siluet dan mengundang mentari untuk bersembunyi, aku pamit pulang. Aku tau Bapak pasti mencariku dan akan memarahi aku di hari yang paling bahagia ini ketika aku pulang nanti.
            Aku membalikkan tubuh, menatap Panggah sejenak sebelum pulang ke rumah. Matanya tetap teduh, tak mengetahui bahwa perasaanku kini gusar karena harus berpisah dari dia. “Ata pamit pulang, ya!” pamitku kepadanya, yang langsung mengacungkan dua ibu jari.
            “Sampai ketemu besok, Ata!” Panggah melambaikan tangannya.
            Aku berpamitan kepada anak-anak, melangkah pergi, siap pulang ke rumah dan siap menghadapi Bapak yang pasti murka.  
Bersambung...

            

Senin, 07 April 2014

Keludtus.

            Aku berlari terhuyung-huyung menuju ke pintu kafe. Batuk melandaku siang ini, tenggorokanku terasa sesak, kuman-kuman menutupnya dengan virus. Di sekitar kafe milikku, kulihat tak ada toko yang buka. Semua tutup. Debu vulkanik beterbangan ringan, menutup cerahnya mentari sehingga pagi ini mega tak dibiarkan bersinar untuk mencerahkan hari.
            Aku segera menutup pintu, tak akan kubiarkan partikel-partikel kecil yang memabukkan dari gunung Kelud itu menjadi pengunjung yang menodai kebersihan kafeku. Seluruh kursi kutata di atas meja, kuputuskan untuk membiarkan debu menghias meja kafe. Toh, tak ada yang akan peduli. Tak ada yang mengunjungi tempat ini.
            Radio kubiarkan menyala. Setidaknya, walaupun berisik, aku bisa mendengarkan apa yang terjadi di luar sana. Ku dengar debu vulkanik sudah beterbangan menuju Tasikmalaya. Aku berdecak heran. Dalam waktu hanya beberapa jam, debu-debu sialan hasil amukan Gunung Kelud itu main rusak dan menghancurkan kota saja.
            Aku mengambil tasku, kumasukkan beberapa buku catatan ke dalamnya kemudian mengambil kunci mobil. Aku memutuskan untuk segera pulang meski jam kerja belum habis. Baru saja aku akan berjalan menuju ke pintu belakang, ku dengar seorang wanita berteriak-teriak minta tolong di luar kafe.
            Aku menoleh.
            Seorang wanita menggedor-gedor pintu kafeku. Aku melongo. Hebat juga wanita ini. Dia menjerit meminta tolong di luar sana. Aku mengerutkan kening bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau aku membuka pintu dan mengizinkannya masuk, seluruh debu yang beterbangan tertiup angin di luar sana pasti ikut masuk. Tetapi jika aku membiarkan wanita itu berada di luar sana, dia bisa saja mati karena kehabisan nafas.
            Untung saja aku punya jiwa kemanusiaan. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju ke pintu, ku hasilkan sedikit celah. Benar saja, debu langsung menerpa wajahku dan membuat mataku terasa pedih.
            “Mau apa?” tanyaku sewot.
            Wanita itu terbatuk-batuk dengan tubuh tiba-tiba terjatuh lemas di kakiku. “Biarkan aku masuk,” jawabnya.
            Aku mengerutkan kening. “Untuk apa? Kafeku sudah tutup.”
            “Kumohon, izinkan aku masuk,” wanita itu berucap dengan nada memelas.
            Aku menatapnya iba. Kupersilakan dia masuk setelah berpikir sejenak. Wanita itu berusaha untuk bangkit. Tubuhnya terhuyung-huyung, refleks aku membantunya berdiri. Wanita itu terbatuk-batuk dan berpeluk pada dadaku. Seluruh rambutnya putih. Debu menyelimuti seluruh bagian mantel hitam yang dia pakai. Kulit telapak tangannya terasa kering dan kotor. Matanya tak dapat melihat dengan jelas.
            Aku mengambil sebuah kursi, ku bantu dia untuk duduk.
            “Mau apa?” tanyaku lagi.
            Wanita itu menatapku dengan mata separuh terpejam. “Boleh minta teh?”
            Aku mengeluh. Seharusnya hari ini aku libur, batinku kesal. “Tentu saja,” jawabku kemudian melangkah menuju ke balik bar.
            “Aku minta jangan terlalu banyak gula. Gula mengandung kalori yang sangat tinggi,” pesannya membuatku menatapnya sejenak, kemudian mengedikkan bahu dan kembali melanjutkan meracik teh.
            “Hujan debu benar-benar parah. Kau tak akan bisa melihat apa-apa di luar sana.”
            Aku mengangkat alis. Ku antarkan teh ke hadapan wanita itu. Dia sedang berusaha membersihkan debu di mantelnya. “Apa yang kau lakukan di luar sana? Bunuh diri?”
            “Tidak.” Wanita itu menatapku. “Aku sedang menikmati alam.”
            Aku mengerutkan kening bingung. Wanita di hadapanku ini sepertinya gila. Baru saja dia memperkenalkan diri, namanya Evelyn. “Apa maksudmu dengan ‘menikmati alam’?”
            Wanita itu mengangkat bahu, ia meneguk tehnya sejenak. “Angin menghembuskan pesan dan hujan debu menjadi isinya. Aku ingin mengetahui surat apa yang dikirim oleh alam melalui hujan debu dan angin. Mungkin alam ingin menyampaikan sesuatu melalu fenomenanya kali ini,” jawabnya.
            Keningku makin berkerut. Aku benar-benar tidak mengerti. Ku tatap matanya, mencoba menerka-nerka apakah dia waras atau tidak. Dan dia tidak bergeming, malahan meneguk teh hangatnya lagi.
            Evelyn tiba-tiba tertawa dan mengibaskan tangannya di depan mataku. “Kau tidak akan mengerti,” sambungnya.
            “Aku memang tidak mengerti.”
            Evelyn memutar-mutar jemarinya di permukaan gelas. “Yah, memang tidak mudah mengerti ucapan alam. Ngomong-ngomong, teh buatanmu enak,” pujinya.
            Aku berterima kasih. Sedetik kemudian, aku mengingat toples berisi kue yang ada di meja bar. Segera aku beranjak dari tempat duduk, dan ku ambil kue itu kemudian menawarkannya kepada Evelyn.
            “Ambilah,” kataku.
            Evelyn tersenyum tidak nyaman.
            “Tak perlu sungkan. Ambilah,” kataku lagi membuat gadis itu mengambil beberapa kue. “Ambil lebih banyak.” Dan dia mengambil beberapa lagi.
            Aku kembali duduk di hadapan wanita itu. Ku tatap rona wajahnya yang agak kotor karena debu. Dagunya runcing, pipinya tirus, matanya hitam dan alisnya tebal. Barangkali dia cantik, aku tidak tahu. Namun dari ciri-ciri fisik yang aku lihat, gadis itu adalah gadis pemberani.
            “Lantas, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kembali mencoba untuk bunuh diri lagi?” tanyaku.
            Evelyn tertawa renyah. “Aku sudah bilang aku tidak bunuh diri,” jawabnya. “Mungkin aku akan menunggu hujan debu reda. Barusan ku dengar debu sedang mengarah ke samudra walau aku tidak tahu kapan.”
            “Tinggalah,” tawarku membuatnya menatapku.
            “Apa?”
            “Tinggalah. Untuk beberapa saat, sampai hujan reda.”
            “Dan kau?” tanyanya.
            “Apa?”
            “Bukankah kau akan pulang?” tanya Evelyn.
            Aku mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu?”
            Wanita itu melirik kunci mobil di jemariku. “Sejak tadi kau memutar kunci mobil di jemarimu. Aku dengar nafasmu mendesah kesal. Dan tadi, di luar sana kulihat kau berjalan menuju ke pintu belakang.”
            Aku tercenung. Evelyn benar. Dia seperti membacaku. “Kau menafsir gerak-gerikku?”
            Evelyn tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Alam yang memberi tahuku.”
            “Apa? Apa maksudmu?”
            Evelyn kembali tertawa renyah. “Alam membuatmu terburu-buru. Kau tahu, desahan alam melalui hujan debu membuatku berlari ke sini—tidak ada toko dan kafe yang membuatku mau mampir ke tempat mereka—selain kafemu. Alam menyuruhku untuk memberi tahumu bahwa kau harus berhati-hati dan lebih baik tinggal di sini, sampai dia berhenti untuk menunjukkan betapa dia sangat berkuasa.”
             Aku tertawa. “Barangkali itu hanya feeling-mu. Kau ke sini karena tempat lain sudah tidak ada orangnya dan kau melihat aku.”
            “Tidak. Aku tidak setuju dengan ucapanmu. Aku merasa bahwa aku harus menjadi pengirim kabar untukmu.”
            Aku tertawa meremehkan. “Kau tahu benar tentang alam, ya? Apakah kau dewi? Atau malaikat pencabut nyawa?”
            “Jika kau melihatku sebagai pencabut nyawa, aku bisa saja tidak datang ke sini dan memberi tahumu apa yang akan terjadi. Aku lebih baik melihatmu dari jauh dan membiarkanmu mati karena kekuasaanku atau kekuatan alam.”
            Aku benar-benar tidak mengerti dengan wanita di hadapanku. Dia memang gila, sepertinya. Tidak, tidak, wanita di hadapanku memang gila. Tidak waras. Aneh. Dan terlalu berimajinasi.
            “Kau ini siapa sebenarnya?”
            Evelyn tersenyum. “Pembawa kabar untukmu. Setidaknya berusaha untuk menyampaikan sesuatu padamu. Aku manusia biasa, hanya saja aku adalah saudara alam.”
            “Saudara alam, huh?”
            Evelyn tampak mengangguk.
            “Apa yang akan terjadi setelah ini?”
            “Aku tidak tahu. Alam tidak bisa di tebak. Dia hanya berusaha untuk berkomunikasi, namun kadang tidak logis. Kepastian alam adalah ke-tidak-logisan manusia. Namun aku siap menerima apa yang akan terjadi setelah ini.”
            “Kau bilang kau saudara alam,” tukasku.
            Evelyn mengedikkan bahu. “Tapi alam juga punya rahasia, kan? Tidak semua dia beritahukan kepadaku.”
            “Kau aneh.”
            “Dan kau keras kepala.”
            Aku tercenung. Wanita ini… menantang. “Mau ke mana kau?” tanyaku.
            “Aku ingin melamar kerja tadi pagi. Aku pikir hujan debu tidak akan separah ini. Aku nekat dan yah… terjebak bersamamu.”
            Aku tersenyum menggoda. “Kau? Melamar kerja? Bukankah sebaiknya dan seharusnya wanita lebih baik menunggu dilamar? Kau tahu maksudku,” ucapku.
            Kulihat rona Evelyn memerah, setelah mendengar ucapanku. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Duduknya jadi tidak nyaman. Aku tertawa.
            “Aku hanya bercanda.”
            Evelyn tersenyum. “Aku tahu. Kau hanya bercanda,” katanya.
            “Kau sudah punya pacar?” tanyaku lagi, Evelyn langsung menatapku dengan kening berkerut.
            “Ada apa dengan pertanyaanmu?”
            Aku mengedikkan bahu. “Hanya ingin tahu,” jawabku.
            Evelyn menggeleng. “Belum. Kau?”
            “Bebas,” jawabku.
            Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali menatap ke luar jendela. Angin berhembus, membuat seluruh benda yang ada di luar sana menjadi benda tak kasat mata. Kami bagaikan terdampar di sebuah tempat antah-berantah yang mengerikan. Hanya berdua dan tak ada yang lain.
            “Cuaca tambah parah!” kata Evelyn bingung.
            “Aku pikir Gunung Kelud marah.”
            “Tidak!” tukas gadis itu. “Dia tidak marah. Dia hanya sedang mencari perhatian. Dia hanya ingin orang-orang mengetahui bahwa dia bijaksana. Dia kuat dan pasti bisa meluluh-lantakkan seluruh Pulau Jawa. Dia hanya ingin, manusia di alam ini melihatnya dan bertobat,” jelasnya dengan nada menggebu-gebu dan bisikan pada tiga kata terakhir.
            Aku mengerutkan kening. “Apakah kau berpikir jika waktu kita di dunia sudah habis dan kita harus segera berdoa agar masuk surga?” tanyaku.
            Evelyn menggeleng. “Dia masih mengizinkan kita hidup, hanya saja dengan penuh kasih sayang kepada orang lain. Dia tidak ingin kita serakah setelah dia menunjukkan kekuatannya yang super duper hebat.”
            “Dia? Tuhan-kah?”
            “Bukan. Dia sebagai Gunung Kelud. Tuhan hanya sebatas pembuat pesan, sementara Gunung Kelud adalah sarananya. Seperti pemimpin negeri, yang mengamati perkembangan sikap anarki di negeri kita dan meminta para pasukannya untuk segera turun tangan dan membenahi segala yang ada untuk mencapai kebaikan.”
            Aku terpukau dengan ucapannya. Ku tatap Evelyn yang sedang mengikat rambutnya. Dia mempesona.
            “Kalau rupanya kau salah, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku menantangnya.
            Evelyn balas menatapku. “Barangkali membiarkan awan membawaku menuju ke alam keabadian dan berharap mereka menempatkan aku pada tempat paling bahagia di surga,” jawabnya.
            Aku melongo. Bingung apa lagi yang harus aku katakan untuk menyanggah ucapannya. Gadis itu mengikat, menjebak dan menjerat aku melalui ucapannya yang indah bagai balada dan puisi dewi-dewi.
            “Kalau kau?” Evelyn gantian menantangku.
            Aku tercekat. Ku tatap matanya dalam-dalam. “Menciummu sebelum mati, mungkin?” ucapku lembut.
            Evelyn terkesima. “Kau bahkan baru mengenalku sehari ini. Kau kah pria yang mudah mengucapkan godaan kepada wanita yang baru kau kenal?”
            “Cinta memang menjerat, bukan? Dia adalah akar. Mungkin alam berbisik kepadaku untuk mulai mencintaimu detik ini juga,” jawabku.
            Evelyn terpana. Wajahnya tak tanggung-tanggung memerah dan aku bisa merasakan darahnya yang mengalir cepat menuju ke otak. Dia tak lagi menjawab. Dia membiarkan aku mendekatkan wajah ke wajahnya dan bibir ke bibirnya. Tak lama kemudian, aku mengecup bibirnya yang lembut. Ku rasakan jantungnya berdegup.

            Seiring dengan desauan angin dan debu yang bertiup garang di luar sana, bumi bergolak. Seluruhnya bergerak dan berderak. Kelintingan garpu dan sendok terdengar. Berbagai barang berjatuhan. Aku memeluk Evelyn. Dan yakin, sebentar lagi alam menghantarkan kami kepada harapan kami masing-masing.