Senin, 30 Desember 2013

Laut dan Elegi

Laut.
Entah mengapa aku mencintai bagian terbesar alam ini. Bukan hanya karena awal kehidupanku berasal dari tempat ini, bukan juga karena penghasilan serta rezeki ayahku bergantung pada milyaran liter penampung air ini, bukan juga karena aku pernah mengakhiri kisah hidupku dari tempat ini. Tak ada penjelasan konkrit yang mampu menjelaskan alasan mengapa aku mencintai pembatas jutaan pulau, ribuan negara, dan satuan benua ini.
Yang jelas, aku mencintai segalanya tentang laut. Berawal dari ombak yang berlomba mencumbu darat, kemudian angin kencang yang seakan berbisik bahkan menjerit, “Lindungi aku! Lindungi aku!” hingga batu karang yang berdiri kokoh menghalangi air memperkosa kering. Aku mencintai segalanya tentang alam ini.
Laut pun pernah membuat aku jatuh hati. Ia membuat aku mencintai seorang nelayan yang mampu merebut rongga hati ini. Ia mampu membuat aku tak pernah menyesal pernah merelakan hatiku untuk dia miliki hingga aku akhirnya mati. Ia membuatku merelakan segalanya.
Aku duduk di salah satu batu karang. Ombak menabraknya, mencoba menggusur dan mengikis raksasa itu dengan kekuatannya yang semakin besar, bak prajurit yang melawan buto. Aku tak takut jatuh. Toh kalau aku jatuh dan ombak menerkamku, aku tak akan mati lagi karena kini aku abadi.
Teringat aku pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Di laut ini aku pernah bermain-main bersama temanku, di laut ini aku pernah belajar mendorong perahu dan merenda jaring untuk ayahku menangkap ikan, dan di laut ini aku pernah jatuh cinta pada seorang nelayan, kawan ayahku bernama Mas Prabu, pria menawan yang disukai semua gadis di pantai, pria mempesona yang dipuja-puja oleh semua orang tua, pria yang dianggap sebagai menantu idaman, dan pria yang hingga sekarang tak diketahui bahwa dia berdarah keji.
Aku tersenyum mengingat kisahku walau sakit hati datang menderu, berputar dalam nostalgiku ketika aku dan Mas Prabu merenda cinta berdua di bibir pantai, berlari kesana-kemari sambil tertawa lepas, naik ke perahu dan berlayar pada sore hari, berkisah tentang cinta kami pada laut, dan masih banyak lagi. Yang jelas, kenangan itu membuat aku sangat mencintai Mas Prabu hingga saat ini, hingga aku menunggu dia menyusulku di alam abadi.
Matahari mulai melaju turun dari singgasana-nya. Perlahan-lahan hingga gelap datang. Aku menelan ludah. Aku teringat pengalaman lima tahun yang lalu, ketika pertengkaran antara aku dan Mas Prabu terjadi.
Aku menunjuk wajahnya dengan marah ketika mendengar permohonannya. Dia bilang, kami sudah lama menjadi sepasang kekasih, namun tidak lengkap rasanya kalau tidak bersetubuh. Aku tersinggung. Harga diriku benar-benar dihancurkan.
            Mas Prabu terus memaksaku. Kini mulai mengancamku. Aku tak gentar dan tetap bersikukuh pada pendirianku untuk tetap menjaga kesucianku. Aku mencintai dia, tapi tidak untuk bersetubuh. Aku tunjuk dadaku dengan tegas. Aku tatap dia dalam-dalam. Air mata mengalir deras ketika merasa bahwa Mas Prabu sama saja dengan pria yang ada di luar sana.
            “Aku ini wanita! Aku ini gadis yang punya harga diri! Biarpun miskin dan hanya seorang anak nelayan, aku tetap merasa bahwa aku ini gadis yang mulia! Tak ada yang pantas mengambil kesucianku kecuali suamiku kelak!”
            Mas Prabu tertawa keras. “Hanya aku yang bakal jadi calon suamimu! Sebentar lagi kita menikah, tak ada salahnya kita mencoba!”
            “Aku tak mau mencoba-coba. Cinta itu butuh kepastian. Kalau kamu cinta, tunggulah hingga kita menikah!”
            Lagi-lagi Mas Prabu tertawa. “Kau tak tahu tentang cinta! Tak ada yang tidak seperti kita! Semua pasangan pun pernah mencobanya meski mereka belum menikah, dan itulah cinta yang sebenarnya!”
            “Cinta atau nafsu?” tanyaku dengan nada menantang. “Aku tidak mau menjadi pasangan yang kebanyakan, aku mau kita tetap suci.”
            “Jangan sok suci! Kaupun dilahirkan dari seorang ibu yang dahulu pernah merenda dosa!”
            “Dosa ibuku biarlah jadi dosa ibuku, aku tak mau!”
            Mas Prabu mencengkeram kedua pipiku dengan erat, tak peduli padaku yang langsung meringis kesakitan. Ia menatapku tajam, tapi aku tak takut.
            “Kalau kau tetap membantahku, ku bunuh kau!”
            Aku menatapnya dengan mata nyalang. “Bunuh saja aku! Daripada aku melayanimu dan menjadi seseorang yang terus menanggung malu selama hidupku.”
            Mas Prabu menatap kedua manik mataku. Aku tidak gentar dan tidak takut. Menyadari bahwa aku serius dengan ucapan yang keluar dari bibirku, Mas Prabu melepaskan cengkeramannya kemudian pergi dengan nafas terengah-engah karena menahan emosi.
            Aku bernafas lega.
***
Malam hari tiba. Keluargaku tidur pulas begitu juga denganku. Aku tak bercerita apa-apa tentang perkelahianku dengan Mas Prabu sore tadi kepada keluargaku. Semua menganggap aku baik-baik saja.
            Hingga akhirnya aku terbangun pada tengah malam. Kulihat sebuah bayangan hitam berkelebat di dinding rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Aku merinding. Ku awasi bayangan itu dan kulihat bayangan itu semakin lama semakin mendekat.
            Aku makin ketakutan. Bayangan itu menampakkan diri di pintu kamarku. Aku ingin berteriak, tapi sosok itu langsung berlari ke arahku dan membekap bibirku. Aku berusaha menjerit, tapi cengkeraman sosok itu di bibirku semakin erat. Aku tak sanggup berbuat apa-apa.
            Sosok yang seluruh wajahnya tertutup oleh topeng dan tubuhnya tertutup oleh sarung itu menggendongku, membawaku keluar kamar dan berlari menuju ke suatu tempat. Aku menjerit tapi percuma; tak akan ada yang mendengar.
            Dan ternyata, sosok itu membawaku ke pantai. Dia menurunkan aku di tengah kegelapan. Rembulan memancarkan sinarnya walau mendung membuatnya duka. Tak ada bintang yang bersinar.
            Sosok itu membuka topengnya. Aku terkejut melihat siapa dia; Mas Prabu yang tertawa dengan sisi sinis.
            “Kamu masih mau melawan?”
            Aku tak tahu harus bicara apa. Aku masih terkejut.
            “Di tempat ini, kamu tak akan mampu melawanku! Di tempat ini, serahkan kesucianmu!”
            Aku terkesima dengan ucapan Mas Prabu. Sosok yang selama ini lembut dan penuh cinta rupanya bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat, menjadi keji dan tak punya rasa kasih.
            Aku kembali menangis. “Aku tak akan pernah memberikannya kepadamu! Sejauh apapun kamu memaksaku, aku tak akan pernah memberikannya!” balasku dengan tubuh bergetar.
            “Kamu menghadapi aku sendirian, masih berani menantangku?”
            “Aku tidak menantangmu! Aku hanya mempertahankan diriku! Aku tak mau dan tak akan pernah mau!”
            Mas Prabu menatapku. Dia benar-benar marah sekarang. Dikeluarkannya clurit dari dalam saku yang dia bawa. Aku terkesima.
            “Ku bunuh kau!” katanya kemudian berlari menghampiri aku.
            Aku langsung menyadari apa yang akan dilakukan Mas Prabu padaku. Segera aku berlari menjauh dengan nafas terengah-engah. Mas Prabu terus mengejarku dengan tangan yang mengacungkan cluritnya.
            Aku berlari ketakutan namun Mas Prabu berlari lebih cepat.
            Aku tak memperhatikan sekitar, yang penting aku selamat. Tak aku sadari bahwa aku sudah mencapai tepi laut yang memendam jutaan karang. Aku terus berlari, tak peduli kakiku mulai berdarah dan terasa perih karena menginjak jutaan karang.
            Mas Prabu tetap mengejarku. Ia berlari, berlari, berlari sembari berteriak “KU BUNUH KAU!”
            Tapi aku tidak gentar. Aku tetap berlari. Namun pada akhirnya, kakiku terantuk karang yang cukup besar kemudian terjatuh. Aku menjerit kesakitan melihat darahku yang mengalir dan luka terbuka yang terendam dalam air laut. Aku menangis dan kulihat Mas Prabu mendekat. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak bisa berlari lagi; aku pasrah.
            Mas Prabu menghampiriku. Ia tertawa dengan penuh kemenangan. Cluritnya masih dalam genggaman. “Masih mau melawan?” tantangnya.
            “Aku tidak akan pernah merelakan kesucianku padamu!”
            Mas Prabu menatap keseriusanku. Menyadari bahwa aku tetap kukuh pada pendirianku, ia mengacungkan cluritnya yang tajam. Dalam kejadian yang amat sangat cepat, ia menghunuskan cluritnya ke perutku. Terus dan terus, tak peduli padaku yang menjerit dan menangis. Ia menancapkan cluritnya kepadaku, ke seluruh tubuhku.
            Dan ketika aku lumpuh dan tak sanggup menjerit lagi, ia menancapkan cluritnya dalam-dalam di dadaku, membuat nafasku tak beraturan dan pandanganku kabur. Mas Prabu menatapku dengan penuh kemenangan kemudian pergi meninggalkanku yang masih telentang di tepi laut.
            Takut dia ketahuan membunuhku, Mas Prabu mendorong tubuhku yang melemas ke tengah, membiarkan aku yang pasrah pada laut akhirnya hanyut dalam ombak yang menggulung.
            Dan ketika aku sudah jauh dan terdengar bahwa ada nelayan datang, Mas Prabu meninggalkan aku.
***
Aku masih duduk di atas batu karang. Air mata kembali mengalir. Malam masih mengendap di tempat peraduanku. Aku lihat obor mulai menyala di kejauhan dan bapak-bapak nelayan mulai menyiapkan jaring dan alat mereka untuk menangkap ikan. Beberapa dari mereka mendorong perahu. Salah satu di antaranya adalah ayahku yang masih berwajah sendu karena anak gadisnya sudah tiada dan tidak ditemukan jenazahnya. Yang satu lagi adalah Mas Prabu, yang mendorong perahu sambil tertawa keras-keras bersama temannya.
            Aku menghela nafas panjang. Aku akan menunggunya, hingga akhirnya kami masuk ke alam nirwana bersama-sama.
***
Beberapa bulan kemudian.
            Mas Prabu diam-diam mendorong perahunya ke tepi laut. Dia ingin mencari ikan, mendahului teman-temannya. Aku yang melihat orang itu mulai berlayar dari atas karang mengikutinya.
            Mas Prabu menebarkan jaring ke laut. Dia tak sadar aku ada di sekitarnya. Sesekali ia bersenandung kecil untuk melepaskan sepi.
            “Selamat malam, Prabu,” sapaku.
            Mas Prabu yang membelakangiku langsung merinding. Perlahan-lahan dia memutar tubuh. Dan ketika melihat aku tersenyum, Mas Prabu menatapku dengan tatapan tidak percaya.
            “Lastri? Kamu… kamu Lastri!”
            Aku mengangguk. “Iya, Mas. Dingin, ya di sini?”
            Mas Prabu terkesima. “Kamu sudah mati!” katanya.
            “Memang. Tapi tetap merasa dingin,” kataku sembari mengulurkan tangan. “Mari pulang bersamaku!”
            “Tidak! Tidak! Kamu sudah mati!” katanya sembari menghindari aku yang terus mendekat.
            “Aku hanya  mengajakmu pulang,” balasku.
            “Tidak! Kamu sudah mati!” katanya.
            Tanpa menyadari dirinya masih di laut, Mas Prabu terpeleset dari dalam perahu. Dia berusaha menyelamatkan diri, tapi karena takut ada aku di atas perahu, Mas Prabu memutuskan untuk mencoba bertahan  di dalam laut hingga aku pergi.
            Namun aku memutuskan tidak pergi.

            Dan akhirnya, Mas Prabu kehabisan nafas dan mati.

Sabtu, 28 Desember 2013

Selamat Natal, P.

Malam ini tidak jauh berbeda dengan malam yang biasanya. Sepi. Aku memandangi langit malam yang mendung tertutup awan. Lagu dari Nadia Fatira berjudul Bintang Yang Meredup layak melukiskan perasaanku hari ini. Ya, tak hanya awan yang merasa bahwa dia kehilangan bintangnya, tetapi juga aku yang merasa kehilangan kamu; bintangku.
            Pikiranku pun bernostalgi pada masa lalu. Tentang aku dan kamu; tentang kita berdua yang pernah sangat amat dekat dan menciptakan romansa tanpa sedikitpun keraguan. Tentang kita berdua yang pada awalnya sama-sama saling percaya seperti layaknya kekasih, walau sebenarnya tak ada hubungan apa-apa selain persahabatan. Tentang kita yang selalu saling menguatkan ketika tangis dan jatuh menghampiri. Tentang kita, tentang kita, dan tentang kita; berdua, yang sama-sama pernah melewati hari-hari bersama dengan tawa dan canda.
            Semua nostalgi tentang itu membuat aku tanpa sadar melengkungkan bibir dan tersenyum. Kenangan berdua denganmu memang sangat menyenangkan, walau berakhir menyakitkan.
            Ya, menyakitkan. Sangat amat menyakitkan.
            Senyumku perlahan-lahan memudar ketika teringat penantian dan rinduku yang tak pernah menemui ujung. Setahun sudah aku menunggumu untuk mengungkapkan perasaan yang sama padaku; namun segalanya terasa berbeda.
            Sejauh kita pernah bersama, kaupun tak pernah sedikitpun ada rasa yang sama denganku. Selama kita pernah saling terdiam dan bungkam dalam sebuah tatapan, kau tak pernah memandang sorot mata ini ke bagian yang paling dalam, yang akan menghantarkan kamu pada pengertian bahwa aku serius; aku sayang padamu.
            Segala kenangan tentangmu tak hanya membekas dalam kehidupanku. Segala kenangan bersamamu sudah merasuk dan menjadi bagian dalam jiwaku. Aku tidak menggombal, aku bicara tentang realita bahwa aku memang cinta.
            Sejenak, aku menertawakan diriku sendiri. Puih! Cinta? Tahu apa aku soal cinta? Jelas-jelas cintaku tidak berbalas, buat apa aku masih mengatakan dan merasakannya; terutama masih merasakannya padamu?
            Aku menelan ludah. Siapa yang salah? Apakah aku yang jatuh terlalu dalam? Apakah aku yang terlalu narsis? Apakah aku yang bodoh? Atau mungkin, kau yang brengsek; membiarkan aku terus-menerus terdiam dalam kesakitan dan terjatuh dalam lubang penantian hingga terperosok amat dalam?
            Aku tidak tahu. Yang jelas, kau membuatku berada dalam berbagai rasa. Antara menghidupkan dan menyakitkan, antara menyembuhkan dan melukai, antara menghibur dan menyakiti. Kau memang pejantan tangguh, yang mampu menjeratku layaknya tumbuhan Venus; menjadikan aku mangsa dengan aroma asmaramu, kemudian melahapku habis-habis dan ketika aku benar-benar mencoba dan berusaha untuk masuk menjadi bagian-mu, kau menelanku, membuangku, dan tak lagi menolehkan wajah kepadaku.
            Aku kembali menelan ludah. Dulu di malam penuh kesepian ini, kau selalu hadir menemaniku melalui pesan singkat; menghiburku dan menyatakan bahwa seolah-olah malam tak akan pernah sepi jika aku bersamamu; menyatakan dengan bahasa yang bermakna bahwa aku tercipta untukmu. Kau memang pencuri yang licik dan picik!
            Aku benci padamu! Tidak!
            Aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu dan yang jelas… masih merindukanmu. Sejahat apapun kamu melukai hatiku, selicik apapun kamu memainkan perasaanku, sekuat apapun kamu mendepakku pergi dari kehidupanmu, aku tak bisa melupakanmu dan tak akan pernah bisa.
            Kau kekuatanku, penyemangat belajar sekaligus penyebab rasa malasku, pencipta rindu yang diiringi tangis, perenda senyum dan pencetak tawa yang menghias rona wajahku. Kau segalanya untukku.
            Lagu dari Nadia Fatira berganti oleh lagu dari Maliq berjudul Kau yang Ada di Hatiku.
            Aku terdiam. Kutinggalkan nostalgi yang melayang liar di dalam otakku. Kuterka lirik yang dinyanyikan dalam alunan merdu suara Maliq. Dan ketika menyadari bahwa lagu itu benar-benar melukiskan perasaanku, tangis mengalir deras.
            Aku benar-benar merindukanmu. Aku benar-benar hancur. Tangisku sangat amat deras. Mengertikah kau? Mau-kah kau pahami aku sedikitpun? Tentu tidak. Kau sibuk dengan urusanmu sendiri, hingga akhirnya mengorbankan perasaanku yang berkobar-kobar bak api abadi.
            Yang jelas, aku menulis ini untukmu, sebagai tanda bahwa aku memang merindukanmu. Semoga kau membacanya.
            Aku hanya berharap kau tahu bahwa hingga saat ini, tak ada yang bisa menggerusmu dari dalam batin dan hatiku. Kau masih menjadi bagian-ku. Kau masih menjadi alasan dari air mataku dan kau masih menjadi yang nomor satu di dalam pikiranku.
            Dan sebagai kalimat terakhir tulisan ini, kuucapkan Selamat Natal. Semoga damai besertamu selalu. Maaf tidak mengirimkannya langsung, kini aku berbeda dari yang dulu. Aku sudah berevolusi menjadi seorang pengecut. Sebagai ungkapan yang terakhir, aku sayang padamu. Tidak salah kan bila hingga saat ini hanyalah dan masih tetap kau yang ada di hatiku?