Laut.
Entah mengapa
aku mencintai bagian terbesar alam ini. Bukan hanya karena awal kehidupanku
berasal dari tempat ini, bukan juga karena penghasilan serta rezeki ayahku
bergantung pada milyaran liter penampung air ini, bukan juga karena aku pernah
mengakhiri kisah hidupku dari tempat ini. Tak ada penjelasan konkrit yang mampu
menjelaskan alasan mengapa aku mencintai pembatas jutaan pulau, ribuan negara,
dan satuan benua ini.
Yang jelas,
aku mencintai segalanya tentang laut. Berawal dari ombak yang berlomba mencumbu
darat, kemudian angin kencang yang seakan berbisik bahkan menjerit, “Lindungi
aku! Lindungi aku!” hingga batu karang yang berdiri kokoh menghalangi air
memperkosa kering. Aku mencintai segalanya tentang alam ini.
Laut pun
pernah membuat aku jatuh hati. Ia membuat aku mencintai seorang nelayan yang
mampu merebut rongga hati ini. Ia mampu membuat aku tak pernah menyesal pernah
merelakan hatiku untuk dia miliki hingga aku akhirnya mati. Ia membuatku
merelakan segalanya.
Aku duduk di
salah satu batu karang. Ombak menabraknya, mencoba menggusur dan mengikis
raksasa itu dengan kekuatannya yang semakin besar, bak prajurit yang melawan buto. Aku tak takut jatuh. Toh kalau aku
jatuh dan ombak menerkamku, aku tak akan mati lagi karena kini aku abadi.
Teringat aku
pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Di laut ini aku pernah bermain-main
bersama temanku, di laut ini aku pernah belajar mendorong perahu dan merenda
jaring untuk ayahku menangkap ikan, dan di laut ini aku pernah jatuh cinta pada
seorang nelayan, kawan ayahku bernama Mas Prabu, pria menawan yang disukai
semua gadis di pantai, pria mempesona yang dipuja-puja oleh semua orang tua,
pria yang dianggap sebagai menantu idaman, dan pria yang hingga sekarang tak
diketahui bahwa dia berdarah keji.
Aku tersenyum
mengingat kisahku walau sakit hati datang menderu, berputar dalam nostalgiku
ketika aku dan Mas Prabu merenda cinta berdua di bibir pantai, berlari
kesana-kemari sambil tertawa lepas, naik ke perahu dan berlayar pada sore hari,
berkisah tentang cinta kami pada laut, dan masih banyak lagi. Yang jelas,
kenangan itu membuat aku sangat mencintai Mas Prabu hingga saat ini, hingga aku
menunggu dia menyusulku di alam abadi.
Matahari mulai
melaju turun dari singgasana-nya. Perlahan-lahan hingga gelap datang. Aku
menelan ludah. Aku teringat pengalaman lima
tahun yang lalu, ketika pertengkaran antara aku dan Mas Prabu terjadi.
Aku menunjuk
wajahnya dengan marah ketika mendengar permohonannya. Dia bilang, kami sudah
lama menjadi sepasang kekasih, namun tidak lengkap rasanya kalau tidak
bersetubuh. Aku tersinggung. Harga diriku benar-benar dihancurkan.
Mas
Prabu terus memaksaku. Kini mulai mengancamku. Aku tak gentar dan tetap
bersikukuh pada pendirianku untuk tetap menjaga kesucianku. Aku mencintai dia,
tapi tidak untuk bersetubuh. Aku tunjuk dadaku dengan tegas. Aku tatap dia
dalam-dalam. Air mata mengalir deras ketika merasa bahwa Mas Prabu sama saja
dengan pria yang ada di luar sana .
“Aku
ini wanita! Aku ini gadis yang punya harga diri! Biarpun miskin dan hanya
seorang anak nelayan, aku tetap merasa bahwa aku ini gadis yang mulia! Tak ada
yang pantas mengambil kesucianku kecuali suamiku kelak!”
Mas
Prabu tertawa keras. “Hanya aku yang bakal jadi calon suamimu! Sebentar lagi
kita menikah, tak ada salahnya kita mencoba!”
“Aku
tak mau mencoba-coba. Cinta itu butuh kepastian. Kalau kamu cinta, tunggulah
hingga kita menikah!”
Lagi-lagi
Mas Prabu tertawa. “Kau tak tahu tentang cinta! Tak ada yang tidak seperti
kita! Semua pasangan pun pernah mencobanya meski mereka belum menikah, dan
itulah cinta yang sebenarnya!”
“Cinta
atau nafsu?” tanyaku dengan nada menantang. “Aku tidak mau menjadi pasangan
yang kebanyakan, aku mau kita tetap suci.”
“Jangan
sok suci! Kaupun dilahirkan dari seorang ibu yang dahulu pernah merenda dosa!”
“Dosa
ibuku biarlah jadi dosa ibuku, aku tak mau!”
Mas
Prabu mencengkeram kedua pipiku dengan erat, tak peduli padaku yang langsung
meringis kesakitan. Ia menatapku tajam, tapi aku tak takut.
“Kalau
kau tetap membantahku, ku bunuh kau!”
Aku
menatapnya dengan mata nyalang. “Bunuh saja aku! Daripada aku melayanimu dan
menjadi seseorang yang terus menanggung malu selama hidupku.”
Mas
Prabu menatap kedua manik mataku. Aku tidak gentar dan tidak takut. Menyadari
bahwa aku serius dengan ucapan yang keluar dari bibirku, Mas Prabu melepaskan
cengkeramannya kemudian pergi dengan nafas terengah-engah karena menahan emosi.
Aku
bernafas lega.
***
Malam hari tiba. Keluargaku tidur
pulas begitu juga denganku. Aku tak bercerita apa-apa tentang perkelahianku dengan
Mas Prabu sore tadi kepada keluargaku. Semua menganggap aku baik-baik saja.
Hingga
akhirnya aku terbangun pada tengah malam. Kulihat sebuah bayangan hitam
berkelebat di dinding rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Aku merinding.
Ku awasi bayangan itu dan kulihat bayangan itu semakin lama semakin mendekat.
Aku
makin ketakutan. Bayangan itu menampakkan diri di pintu kamarku. Aku ingin
berteriak, tapi sosok itu langsung berlari ke arahku dan membekap bibirku. Aku
berusaha menjerit, tapi cengkeraman sosok itu di bibirku semakin erat. Aku tak
sanggup berbuat apa-apa.
Sosok
yang seluruh wajahnya tertutup oleh topeng dan tubuhnya tertutup oleh sarung
itu menggendongku, membawaku keluar kamar dan berlari menuju ke suatu tempat.
Aku menjerit tapi percuma; tak akan ada yang mendengar.
Dan
ternyata, sosok itu membawaku ke pantai. Dia menurunkan aku di tengah
kegelapan. Rembulan memancarkan sinarnya walau mendung membuatnya duka. Tak ada
bintang yang bersinar.
Sosok
itu membuka topengnya. Aku terkejut melihat siapa dia; Mas Prabu yang tertawa
dengan sisi sinis.
“Kamu
masih mau melawan?”
Aku
tak tahu harus bicara apa. Aku masih terkejut.
“Di
tempat ini, kamu tak akan mampu melawanku! Di tempat ini, serahkan kesucianmu!”
Aku
terkesima dengan ucapan Mas Prabu. Sosok yang selama ini lembut dan penuh cinta
rupanya bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat, menjadi keji dan tak punya
rasa kasih.
Aku
kembali menangis. “Aku tak akan pernah memberikannya kepadamu! Sejauh apapun
kamu memaksaku, aku tak akan pernah memberikannya!” balasku dengan tubuh
bergetar.
“Kamu
menghadapi aku sendirian, masih berani menantangku?”
“Aku
tidak menantangmu! Aku hanya mempertahankan diriku! Aku tak mau dan tak akan
pernah mau!”
Mas
Prabu menatapku. Dia benar-benar marah sekarang. Dikeluarkannya clurit dari
dalam saku yang dia bawa. Aku terkesima.
“Ku
bunuh kau!” katanya kemudian berlari menghampiri aku.
Aku
langsung menyadari apa yang akan dilakukan Mas Prabu padaku. Segera aku berlari
menjauh dengan nafas terengah-engah. Mas Prabu terus mengejarku dengan tangan
yang mengacungkan cluritnya.
Aku
berlari ketakutan namun Mas Prabu berlari lebih cepat.
Aku
tak memperhatikan sekitar, yang penting aku selamat. Tak aku sadari bahwa aku
sudah mencapai tepi laut yang memendam jutaan karang. Aku terus berlari, tak
peduli kakiku mulai berdarah dan terasa perih karena menginjak jutaan karang.
Mas
Prabu tetap mengejarku. Ia berlari, berlari, berlari sembari berteriak “KU
BUNUH KAU!”
Tapi
aku tidak gentar. Aku tetap berlari. Namun pada akhirnya, kakiku terantuk
karang yang cukup besar kemudian terjatuh. Aku menjerit kesakitan melihat
darahku yang mengalir dan luka terbuka yang terendam dalam air laut. Aku
menangis dan kulihat Mas Prabu mendekat. Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak
bisa berlari lagi; aku pasrah.
Mas
Prabu menghampiriku. Ia tertawa dengan penuh kemenangan. Cluritnya masih dalam
genggaman. “Masih mau melawan?” tantangnya.
“Aku
tidak akan pernah merelakan kesucianku padamu!”
Mas
Prabu menatap keseriusanku. Menyadari bahwa aku tetap kukuh pada pendirianku,
ia mengacungkan cluritnya yang tajam. Dalam kejadian yang amat sangat cepat, ia
menghunuskan cluritnya ke perutku. Terus dan terus, tak peduli padaku yang
menjerit dan menangis. Ia menancapkan cluritnya kepadaku, ke seluruh tubuhku.
Dan
ketika aku lumpuh dan tak sanggup menjerit lagi, ia menancapkan cluritnya
dalam-dalam di dadaku, membuat nafasku tak beraturan dan pandanganku kabur. Mas
Prabu menatapku dengan penuh kemenangan kemudian pergi meninggalkanku yang
masih telentang di tepi laut.
Takut
dia ketahuan membunuhku, Mas Prabu mendorong tubuhku yang melemas ke tengah,
membiarkan aku yang pasrah pada laut akhirnya hanyut dalam ombak yang
menggulung.
Dan
ketika aku sudah jauh dan terdengar bahwa ada nelayan datang, Mas Prabu
meninggalkan aku.
***
Aku masih duduk di atas batu
karang. Air mata kembali mengalir. Malam masih mengendap di tempat peraduanku.
Aku lihat obor mulai menyala di kejauhan dan bapak-bapak nelayan mulai
menyiapkan jaring dan alat mereka untuk menangkap ikan. Beberapa dari mereka
mendorong perahu. Salah satu di antaranya adalah ayahku yang masih berwajah
sendu karena anak gadisnya sudah tiada dan tidak ditemukan jenazahnya. Yang
satu lagi adalah Mas Prabu, yang mendorong perahu sambil tertawa keras-keras
bersama temannya.
Aku
menghela nafas panjang. Aku akan menunggunya, hingga akhirnya kami masuk ke
alam nirwana bersama-sama.
***
Beberapa bulan kemudian.
Mas Prabu
diam-diam mendorong perahunya ke tepi laut. Dia ingin mencari ikan, mendahului
teman-temannya. Aku yang melihat orang itu mulai berlayar dari atas karang
mengikutinya.
Mas
Prabu menebarkan jaring ke laut. Dia tak sadar aku ada di sekitarnya. Sesekali
ia bersenandung kecil untuk melepaskan sepi.
“Selamat
malam, Prabu,” sapaku.
Mas
Prabu yang membelakangiku langsung merinding. Perlahan-lahan dia memutar tubuh.
Dan ketika melihat aku tersenyum, Mas Prabu menatapku dengan tatapan tidak
percaya.
“Lastri?
Kamu… kamu Lastri!”
Aku
mengangguk. “Iya, Mas. Dingin, ya di sini?”
Mas
Prabu terkesima. “Kamu sudah mati!” katanya.
“Memang.
Tapi tetap merasa dingin,” kataku sembari mengulurkan tangan. “Mari pulang
bersamaku!”
“Tidak!
Tidak! Kamu sudah mati!” katanya sembari menghindari aku yang terus mendekat.
“Aku
hanya mengajakmu pulang,” balasku.
“Tidak!
Kamu sudah mati!” katanya.
Tanpa
menyadari dirinya masih di laut, Mas Prabu terpeleset dari dalam perahu. Dia
berusaha menyelamatkan diri, tapi karena takut ada aku di atas perahu, Mas
Prabu memutuskan untuk mencoba bertahan di dalam laut hingga aku pergi.
Namun
aku memutuskan tidak pergi.
Dan
akhirnya, Mas Prabu kehabisan nafas dan mati.