Lebaran
sebentar lagi tiba. Aku sudah menyiapkan hati dan pikiran suciku untuk memaafkan
segala kesalahan yang orang-orang perbuat padaku. Tetapi, satu nama masih saja
mengganjal pikiranku. Satu nama, namamu. Daniel.
Aku
menghembuskan nafas panjang. Kembali pikiranku melayang. Otakku membawaku
bernostalgia kepada pengalaman tiga tahun yang lalu. Parahnya, hatiku yang peka
ikut-ikutan. Jadi, di suasana mendung begini, paling pas kan kalau kita bergalau ria?
Hmm, Daniel.
Tiga minggu kita menjalani ikatan, tiba-tiba kau pergi meninggalkanku begitu
saja. Tanpa alasan yang jelas. Kau tahu? Aku sangat terpuruk kala itu! Aku misuh-misuh, aku bilang aku membencimu,
tetapi aku tahu, aku ingin kau kembali.
Kau terlalu
jahat. Bisakah aku memaafkanmu? Pantaskah kau aku maafkan? Ragaku menjawab
tidak, hatiku menjawab ya. Lalu siapa yang bisa memberi kepastian? Tak ada. Aku
masih menanti, Daniel. Tiga minggu menjalani ikatan, tiga tahun penantian.
Aku membencimu.
Sungguh-sungguh membencimu. Sedetik kemudian aku sadar, aku masih menunggumu.
***
Uap teh hangat
di hadapanku masih menari-nari di atas bibir gelas. Aku membaca bukuku. Hujan
deras menetes di luar sana ,
menciptakan suasana dingin dan beku.
Bel pintu kafe
berbunyi, tanda bahwa seorang pengunjung datang. Suara pelayan terdengar
melayani. Aku tak bergeming, masih saja membaca kata demi kata yang ditulis
Pramoedya Ananta Toer di bukunya, Bumi Manusia.
Sang pelayan
menyebutkan satu per satu menu spesial yang ada di kafe ini. Begitu selesai,
pengunjung itu menjawab dengan suara yang… suara yang membuatku memalingkan
pandangan dari bukuku!
Kau berbalik.
Pandangan kita bertemu. Tiga detik kita terdiam dalam ragu, aku masih tak
percaya pada penglihatanku. Benarkah itu kau?
Aku melongo,
sementara kau mulai mengambil sikap. Kau tersenyum sambil melambaikan tangan.
Aku tak yakin kau menyapaku dengan sikapmu itu, kuarahkan pandanganku ke
seluruh kafe. Tidak ada siapa-siapa selain aku.
Pandanganku
kembali ke posisi semula. Aku cukup terkejut ketika kau sudah duduk di
hadapanku sambil tersenyum dengan segelas kopi hangat di tanganmu. Aku gugup,
apa yang harus aku lakukan?
“Hai,” sapamu.
Aku menelan
ludah. Suaramu masih sama. Masih yang dulu. “Hai,” balasku.
Kita terdiam
beberapa detik. Kita sama-sama menaruh perhatian pada hujan diluar di sana .
Kau
memandangku dengan tatapan menyelidiki, membuat tubuhku yang awalnya terasa
beku menjadi panas seketika. Kau tersenyum, dengan senyum khasmu. Senyummu
masih sama. Masih yang dulu.
“Kamu apa
kabar?”
Aku mencoba
menatapmu, mencoba tampak biasa di hadapanmu. Tapi, hati sialan ini membuatku
tak sanggup. Dasar bastard’s heart!
“Aku… aku
baik-baik aja, kok.”
“Ceilah,
baik-baik aja kok lemes gitu?”
Aku mencoba
tersenyum. Candamu masih sama. Candamu masih garing, masih jayus.
“Lagi ada
masalah,” jawabku sekenanya.
Kau tertawa.
Sialan. Kau tidak sadar ya? Bertemu denganmu adalah masalah! Kau ini, setelah meninggalkanku, apakah kau berubah jadi
tolol?
“Lebaran
liburan kemana?”
Aku
menggeleng. “Nggak kemana-kemana, di sini aja. Nulis.”
“Masih suka nulis?”
tanyamu sambil meneguk kopimu.
Aku mengangguk.
“Masih.”
“Masih belum nulis
tentang aku?”
Jantungku berdegup.
Apa maksud pertanyaanmu? Aku tak terkecoh, kau memang suka modus. “Nggak berminat,” kataku jujur.
Kau tertawa. Sialan,
umpatku lagi. Mantan biadab! Mantan sialan! Mantan brengsek! Mantan terindah…
“Masih ingat tentang
kita? Masih ingat kenangan kita?”
Jantungku berdegup
makin tak pasti. Apa maksudnya ini? Aku tak tahu harus menjawab apa, tetapi tiba-tiba
bibirku berkata, “Masih.”
Kau menatapku dalam-dalam.
Sorot matamu nanar. Kemudian kau tersenyum dengan senyuman ambigu yang sulit diartikan.
“Kamu masih sama
ya?”
Aku diam.
“Masih lucu. Masih
suka ceplas-ceplos,” katamu.
“Tiga tahun
ini, kamu kemana aja?” tanyaku tiba-tiba. Selain hati, ternyata bibir juga brengsek
ya?!
Kau hanya tersenyum.
Dengan gerakan tiba-tiba, kau menyentuh telapak tanganku yang terbuka. Buru-buru
aku menariknya.
“Kemana aja, yang
penting kamu nggak pernah punya pikiran kalau aku ninggalin kamu tiba-tiba.”
Bodoh! Kenapa
kau tidak menjelaskannya dari dulu? Tolol!
“Kalau gitu,
kenapa kamu nggak ngasih kabar?” tanyaku lagi.
Kau hanya
terdiam.
“Karena emang
kamu pengin ninggalin aku kan ?”
aku mulai menghujanimu dengan pertanyaan. Muak rasanya menahan perasaan ini!
“Enggak,”
jawabmu tiba-tiba. Aku menatapmu, melongo. “Kalau kamu nggak percaya, mari kita
nostalgia. Aku masih ingat segalanya, aku masih terngiang kisah kita.”
“Berapa
tanggal jadian kita?” tanyaku langsung.
Kau terdiam. “9
April 2010.”
Sialan, kau
masih ingat!
“Apa hobby kita berdua?”
“Magnum Time,
menelusuri Jogja, baca buku bareng…”
Sebuah
senyum tercetak di bibirku, sementara kau masih berkoar-koar tentang kenangan
kita. Kau masih ingat rupanya, ha? Aku menatapmu. Kau bercerita sambil tertawa,
membuatku sesekali ikut tertawa. Kau memang pencuri hatiku.
Tanpa
alasan yang pasti, kita kembali berkisah. Sama seperti dulu, ribuan cerita
selalu mengalir deras ketika kita berdua bertemu. Aku melupakan bebanku. Aku
melupakan rasa benciku padamu. Kita sama-sama bernostalgia, sama-sama menertawakan
kebodohan kita kala masih memiliki ikatan tetapi menghasilkan kenangan yang tak
terlupakan.
Aku
sadar, tawa ini tiba-tiba datang, diawali benci yang menggebu-gebu dari dasar
hatiku. Tanpa kusadari, aku memutuskan untuk memaafkanmu. Aku memaafkanmu sebelum
Lebaran tiba. Hebat, ya?
“Kamu
masih sama,” katamu tiba-tiba.
Aku
menghentikan tawaku.
“Tawamu
masih sama seperti yang dulu. Senyummu juga. Suaramu masih sama seperti yang
dulu. Gayamu juga.”
Kau
mengacungkan jari telunjuk. “Satu pertanyaan,” katamu.
Aku
mengerutkan kening. “Apa?”
“Maukah kamu kembali menciptakan kenangan indah yang sama seperti dulu, bersamaku?”
Mataku
membulat. Apa maksudmu? Tentu saja aku mau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar