Minggu, 04 Agustus 2013

Haruskah aku memaafkanmu, Mantan?

Lebaran sebentar lagi tiba. Aku sudah menyiapkan hati dan pikiran suciku untuk memaafkan segala kesalahan yang orang-orang perbuat padaku. Tetapi, satu nama masih saja mengganjal pikiranku. Satu nama, namamu. Daniel.
Aku menghembuskan nafas panjang. Kembali pikiranku melayang. Otakku membawaku bernostalgia kepada pengalaman tiga tahun yang lalu. Parahnya, hatiku yang peka ikut-ikutan. Jadi, di suasana mendung begini, paling pas kan kalau kita bergalau ria?
Hmm, Daniel. Tiga minggu kita menjalani ikatan, tiba-tiba kau pergi meninggalkanku begitu saja. Tanpa alasan yang jelas. Kau tahu? Aku sangat terpuruk kala itu! Aku misuh-misuh, aku bilang aku membencimu, tetapi aku tahu, aku ingin kau kembali.
Kau terlalu jahat. Bisakah aku memaafkanmu? Pantaskah kau aku maafkan? Ragaku menjawab tidak, hatiku menjawab ya. Lalu siapa yang bisa memberi kepastian? Tak ada. Aku masih menanti, Daniel. Tiga minggu menjalani ikatan, tiga tahun penantian.
Aku membencimu. Sungguh-sungguh membencimu. Sedetik kemudian aku sadar, aku masih menunggumu.
***
Uap teh hangat di hadapanku masih menari-nari di atas bibir gelas. Aku membaca bukuku. Hujan deras menetes di luar sana, menciptakan suasana dingin dan beku.
Bel pintu kafe berbunyi, tanda bahwa seorang pengunjung datang. Suara pelayan terdengar melayani. Aku tak bergeming, masih saja membaca kata demi kata yang ditulis Pramoedya Ananta Toer di bukunya, Bumi Manusia.
Sang pelayan menyebutkan satu per satu menu spesial yang ada di kafe ini. Begitu selesai, pengunjung itu menjawab dengan suara yang… suara yang membuatku memalingkan pandangan dari bukuku!
Kau berbalik. Pandangan kita bertemu. Tiga detik kita terdiam dalam ragu, aku masih tak percaya pada penglihatanku. Benarkah itu kau?
Aku melongo, sementara kau mulai mengambil sikap. Kau tersenyum sambil melambaikan tangan. Aku tak yakin kau menyapaku dengan sikapmu itu, kuarahkan pandanganku ke seluruh kafe. Tidak ada siapa-siapa selain aku.
Pandanganku kembali ke posisi semula. Aku cukup terkejut ketika kau sudah duduk di hadapanku sambil tersenyum dengan segelas kopi hangat di tanganmu. Aku gugup, apa yang harus aku lakukan?
“Hai,” sapamu.
Aku menelan ludah. Suaramu masih sama. Masih yang dulu. “Hai,” balasku.
Kita terdiam beberapa detik. Kita sama-sama menaruh perhatian pada hujan diluar di sana.
Kau memandangku dengan tatapan menyelidiki, membuat tubuhku yang awalnya terasa beku menjadi panas seketika. Kau tersenyum, dengan senyum khasmu. Senyummu masih sama. Masih yang dulu.
“Kamu apa kabar?”
Aku mencoba menatapmu, mencoba tampak biasa di hadapanmu. Tapi, hati sialan ini membuatku tak sanggup. Dasar bastard’s heart!
“Aku… aku baik-baik aja, kok.”
“Ceilah, baik-baik aja kok lemes gitu?”
Aku mencoba tersenyum. Candamu masih sama. Candamu masih garing, masih jayus.
“Lagi ada masalah,” jawabku sekenanya.
Kau tertawa. Sialan. Kau tidak sadar ya? Bertemu denganmu adalah masalah! Kau ini, setelah meninggalkanku, apakah kau berubah jadi tolol?
“Lebaran liburan kemana?”
Aku menggeleng. “Nggak kemana-kemana, di sini aja. Nulis.”
“Masih suka nulis?” tanyamu sambil meneguk kopimu.
Aku mengangguk. “Masih.”
“Masih belum nulis tentang aku?”
Jantungku berdegup. Apa maksud pertanyaanmu? Aku tak terkecoh, kau memang suka modus. “Nggak berminat,” kataku jujur.
Kau tertawa. Sialan, umpatku lagi. Mantan biadab! Mantan sialan! Mantan brengsek! Mantan terindah…
“Masih ingat tentang kita? Masih ingat kenangan kita?”
Jantungku berdegup makin tak pasti. Apa maksudnya ini? Aku tak tahu harus menjawab apa, tetapi tiba-tiba bibirku berkata, “Masih.”
Kau menatapku dalam-dalam. Sorot matamu nanar. Kemudian kau tersenyum dengan senyuman ambigu yang sulit diartikan.
“Kamu masih sama ya?”
Aku diam.
“Masih lucu. Masih suka ceplas-ceplos,” katamu.
“Tiga tahun ini, kamu kemana aja?” tanyaku tiba-tiba. Selain hati, ternyata bibir juga brengsek ya?!
Kau hanya tersenyum. Dengan gerakan tiba-tiba, kau menyentuh telapak tanganku yang terbuka. Buru-buru aku menariknya.
“Kemana aja, yang penting kamu nggak pernah punya pikiran kalau aku ninggalin kamu tiba-tiba.”
Bodoh! Kenapa kau tidak menjelaskannya dari dulu? Tolol!
“Kalau gitu, kenapa kamu nggak ngasih kabar?” tanyaku lagi.
Kau hanya terdiam.
“Karena emang kamu pengin ninggalin aku kan?” aku mulai menghujanimu dengan pertanyaan. Muak rasanya menahan perasaan ini!
“Enggak,” jawabmu tiba-tiba. Aku menatapmu, melongo. “Kalau kamu nggak percaya, mari kita nostalgia. Aku masih ingat segalanya, aku masih terngiang kisah kita.”
“Berapa tanggal jadian kita?” tanyaku langsung.
Kau terdiam. “9 April 2010.”
Sialan, kau masih ingat!
“Apa hobby kita berdua?”
“Magnum Time, menelusuri Jogja, baca buku bareng…”
            Sebuah senyum tercetak di bibirku, sementara kau masih berkoar-koar tentang kenangan kita. Kau masih ingat rupanya, ha? Aku menatapmu. Kau bercerita sambil tertawa, membuatku sesekali ikut tertawa. Kau memang pencuri hatiku.
            Tanpa alasan yang pasti, kita kembali berkisah. Sama seperti dulu, ribuan cerita selalu mengalir deras ketika kita berdua bertemu. Aku melupakan bebanku. Aku melupakan rasa benciku padamu. Kita sama-sama bernostalgia, sama-sama menertawakan kebodohan kita kala masih memiliki ikatan tetapi menghasilkan kenangan yang tak terlupakan.
            Aku sadar, tawa ini tiba-tiba datang, diawali benci yang menggebu-gebu dari dasar hatiku. Tanpa kusadari, aku memutuskan untuk memaafkanmu. Aku memaafkanmu sebelum Lebaran tiba. Hebat, ya?
            “Kamu masih sama,” katamu tiba-tiba.
            Aku menghentikan tawaku.
            “Tawamu masih sama seperti yang dulu. Senyummu juga. Suaramu masih sama seperti yang dulu. Gayamu juga.”
            Kau mengacungkan jari telunjuk. “Satu pertanyaan,” katamu.
            Aku mengerutkan kening. “Apa?”
            “Maukah kamu kembali menciptakan kenangan indah yang sama seperti dulu, bersamaku?”

            Mataku membulat. Apa maksudmu? Tentu saja aku mau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar