Aku
berlari terhuyung-huyung menuju ke pintu kafe. Batuk melandaku siang ini,
tenggorokanku terasa sesak, kuman-kuman menutupnya dengan virus. Di sekitar
kafe milikku, kulihat tak ada toko yang buka. Semua tutup. Debu vulkanik
beterbangan ringan, menutup cerahnya mentari sehingga pagi ini mega tak
dibiarkan bersinar untuk mencerahkan hari.
Aku
segera menutup pintu, tak akan kubiarkan partikel-partikel kecil yang
memabukkan dari gunung Kelud itu menjadi pengunjung yang menodai kebersihan
kafeku. Seluruh kursi kutata di atas meja, kuputuskan untuk membiarkan debu
menghias meja kafe. Toh, tak ada yang akan peduli. Tak ada yang mengunjungi
tempat ini.
Radio
kubiarkan menyala. Setidaknya, walaupun berisik, aku bisa mendengarkan apa yang
terjadi di luar sana .
Ku dengar debu vulkanik sudah beterbangan menuju Tasikmalaya. Aku berdecak
heran. Dalam waktu hanya beberapa jam, debu-debu sialan hasil amukan Gunung
Kelud itu main rusak dan menghancurkan kota
saja.
Aku
mengambil tasku, kumasukkan beberapa buku catatan ke dalamnya kemudian
mengambil kunci mobil. Aku memutuskan untuk segera pulang meski jam kerja belum
habis. Baru saja aku akan berjalan menuju ke pintu belakang, ku dengar seorang
wanita berteriak-teriak minta tolong di luar kafe.
Aku
menoleh.
Seorang
wanita menggedor-gedor pintu kafeku. Aku melongo. Hebat juga wanita ini. Dia
menjerit meminta tolong di luar sana .
Aku mengerutkan kening bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau aku
membuka pintu dan mengizinkannya masuk, seluruh debu yang beterbangan tertiup
angin di luar sana
pasti ikut masuk. Tetapi jika aku membiarkan wanita itu berada di luar sana , dia bisa saja mati
karena kehabisan nafas.
Untung
saja aku punya jiwa kemanusiaan. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju ke
pintu, ku hasilkan sedikit celah. Benar saja, debu langsung menerpa wajahku dan
membuat mataku terasa pedih.
“Mau
apa?” tanyaku sewot.
Wanita
itu terbatuk-batuk dengan tubuh tiba-tiba terjatuh lemas di kakiku. “Biarkan
aku masuk,” jawabnya.
Aku
mengerutkan kening. “Untuk apa? Kafeku sudah tutup.”
“Kumohon,
izinkan aku masuk,” wanita itu berucap dengan nada memelas.
Aku
menatapnya iba. Kupersilakan dia masuk setelah berpikir sejenak. Wanita itu
berusaha untuk bangkit. Tubuhnya terhuyung-huyung, refleks aku membantunya berdiri.
Wanita itu terbatuk-batuk dan berpeluk pada dadaku. Seluruh rambutnya putih.
Debu menyelimuti seluruh bagian mantel hitam yang dia pakai. Kulit telapak
tangannya terasa kering dan kotor. Matanya tak dapat melihat dengan jelas.
Aku
mengambil sebuah kursi, ku bantu dia untuk duduk.
“Mau
apa?” tanyaku lagi.
Wanita
itu menatapku dengan mata separuh terpejam. “Boleh minta teh?”
Aku
mengeluh. Seharusnya hari ini aku libur, batinku kesal. “Tentu saja,” jawabku
kemudian melangkah menuju ke balik bar.
“Aku
minta jangan terlalu banyak gula. Gula mengandung kalori yang sangat tinggi,”
pesannya membuatku menatapnya sejenak, kemudian mengedikkan bahu dan kembali
melanjutkan meracik teh.
“Hujan
debu benar-benar parah. Kau tak akan bisa melihat apa-apa di luar sana .”
Aku
mengangkat alis. Ku antarkan teh ke hadapan wanita itu. Dia sedang berusaha
membersihkan debu di mantelnya. “Apa yang kau lakukan di luar sana ? Bunuh diri?”
“Tidak.”
Wanita itu menatapku. “Aku sedang menikmati alam.”
Aku
mengerutkan kening bingung. Wanita di hadapanku ini sepertinya gila. Baru saja
dia memperkenalkan diri, namanya Evelyn. “Apa maksudmu dengan ‘menikmati
alam’?”
Wanita
itu mengangkat bahu, ia meneguk tehnya sejenak. “Angin menghembuskan pesan dan
hujan debu menjadi isinya. Aku ingin mengetahui surat apa yang dikirim oleh alam melalui
hujan debu dan angin. Mungkin alam ingin menyampaikan sesuatu melalu
fenomenanya kali ini,” jawabnya.
Keningku
makin berkerut. Aku benar-benar tidak mengerti. Ku tatap matanya, mencoba
menerka-nerka apakah dia waras atau tidak. Dan dia tidak bergeming, malahan
meneguk teh hangatnya lagi.
Evelyn
tiba-tiba tertawa dan mengibaskan tangannya di depan mataku. “Kau tidak akan
mengerti,” sambungnya.
“Aku
memang tidak mengerti.”
Evelyn
memutar-mutar jemarinya di permukaan gelas. “Yah, memang tidak mudah mengerti
ucapan alam. Ngomong-ngomong, teh buatanmu enak,” pujinya.
Aku
berterima kasih. Sedetik kemudian, aku mengingat toples berisi kue yang ada di
meja bar. Segera aku beranjak dari tempat duduk, dan ku ambil kue itu kemudian
menawarkannya kepada Evelyn.
“Ambilah,”
kataku.
Evelyn
tersenyum tidak nyaman.
“Tak
perlu sungkan. Ambilah,” kataku lagi membuat gadis itu mengambil beberapa kue.
“Ambil lebih banyak.” Dan dia mengambil beberapa lagi.
Aku
kembali duduk di hadapan wanita itu. Ku tatap rona wajahnya yang agak kotor
karena debu. Dagunya runcing, pipinya tirus, matanya hitam dan alisnya tebal.
Barangkali dia cantik, aku tidak tahu. Namun dari ciri-ciri fisik yang aku
lihat, gadis itu adalah gadis pemberani.
“Lantas,
apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kembali mencoba untuk bunuh diri lagi?”
tanyaku.
Evelyn
tertawa renyah. “Aku sudah bilang aku tidak bunuh diri,” jawabnya. “Mungkin aku
akan menunggu hujan debu reda. Barusan ku dengar debu sedang mengarah ke
samudra walau aku tidak tahu kapan.”
“Tinggalah,”
tawarku membuatnya menatapku.
“Apa?”
“Tinggalah.
Untuk beberapa saat, sampai hujan reda.”
“Dan
kau?” tanyanya.
“Apa?”
“Bukankah
kau akan pulang?” tanya Evelyn.
Aku
mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu?”
Wanita
itu melirik kunci mobil di jemariku. “Sejak tadi kau memutar kunci mobil di
jemarimu. Aku dengar nafasmu mendesah kesal. Dan tadi, di luar sana kulihat kau berjalan
menuju ke pintu belakang.”
Aku
tercenung. Evelyn benar. Dia seperti membacaku.
“Kau menafsir gerak-gerikku?”
Evelyn
tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Alam yang memberi tahuku.”
“Apa?
Apa maksudmu?”
Evelyn
kembali tertawa renyah. “Alam membuatmu terburu-buru. Kau tahu, desahan alam
melalui hujan debu membuatku berlari ke sini—tidak ada toko dan kafe yang
membuatku mau mampir ke tempat mereka—selain kafemu. Alam menyuruhku untuk
memberi tahumu bahwa kau harus berhati-hati dan lebih baik tinggal di sini,
sampai dia berhenti untuk menunjukkan betapa dia sangat berkuasa.”
Aku tertawa. “Barangkali itu hanya feeling-mu. Kau ke sini karena tempat
lain sudah tidak ada orangnya dan kau melihat aku.”
“Tidak.
Aku tidak setuju dengan ucapanmu. Aku merasa bahwa aku harus menjadi pengirim
kabar untukmu.”
Aku
tertawa meremehkan. “Kau tahu benar tentang alam, ya? Apakah kau dewi? Atau
malaikat pencabut nyawa?”
“Jika
kau melihatku sebagai pencabut nyawa, aku bisa saja tidak datang ke sini dan
memberi tahumu apa yang akan terjadi. Aku lebih baik melihatmu dari jauh dan
membiarkanmu mati karena kekuasaanku atau kekuatan alam.”
Aku
benar-benar tidak mengerti dengan wanita di hadapanku. Dia memang gila,
sepertinya. Tidak, tidak, wanita di hadapanku memang gila. Tidak waras. Aneh.
Dan terlalu berimajinasi.
“Kau
ini siapa sebenarnya?”
Evelyn
tersenyum. “Pembawa kabar untukmu. Setidaknya berusaha untuk menyampaikan
sesuatu padamu. Aku manusia biasa, hanya saja aku adalah saudara alam.”
“Saudara
alam, huh?”
Evelyn
tampak mengangguk.
“Apa
yang akan terjadi setelah ini?”
“Aku
tidak tahu. Alam tidak bisa di tebak. Dia hanya berusaha untuk berkomunikasi,
namun kadang tidak logis. Kepastian alam adalah ke-tidak-logisan manusia. Namun
aku siap menerima apa yang akan terjadi setelah ini.”
“Kau
bilang kau saudara alam,” tukasku.
Evelyn
mengedikkan bahu. “Tapi alam juga punya rahasia, kan ? Tidak semua dia beritahukan kepadaku.”
“Kau
aneh.”
“Dan
kau keras kepala.”
Aku
tercenung. Wanita ini… menantang. “Mau ke mana kau?” tanyaku.
“Aku
ingin melamar kerja tadi pagi. Aku pikir hujan debu tidak akan separah ini. Aku
nekat dan yah… terjebak bersamamu.”
Aku
tersenyum menggoda. “Kau? Melamar kerja? Bukankah sebaiknya dan seharusnya wanita
lebih baik menunggu dilamar? Kau tahu maksudku,” ucapku.
Kulihat
rona Evelyn memerah, setelah mendengar ucapanku. Dia berusaha menyembunyikan
wajahnya yang tersipu. Duduknya jadi tidak nyaman. Aku tertawa.
“Aku
hanya bercanda.”
Evelyn
tersenyum. “Aku tahu. Kau hanya bercanda,” katanya.
“Kau
sudah punya pacar?” tanyaku lagi, Evelyn langsung menatapku dengan kening
berkerut.
“Ada apa dengan
pertanyaanmu?”
Aku
mengedikkan bahu. “Hanya ingin tahu,” jawabku.
Evelyn
menggeleng. “Belum. Kau?”
“Bebas,”
jawabku.
Evelyn
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali menatap ke luar jendela. Angin
berhembus, membuat seluruh benda yang ada di luar sana menjadi benda tak kasat mata. Kami
bagaikan terdampar di sebuah tempat antah-berantah yang mengerikan. Hanya
berdua dan tak ada yang lain.
“Cuaca
tambah parah!” kata Evelyn bingung.
“Aku
pikir Gunung Kelud marah.”
“Tidak!”
tukas gadis itu. “Dia tidak marah. Dia hanya sedang mencari perhatian. Dia
hanya ingin orang-orang mengetahui bahwa dia bijaksana. Dia kuat dan pasti bisa
meluluh-lantakkan seluruh Pulau Jawa. Dia hanya ingin, manusia di alam ini melihatnya dan bertobat,” jelasnya
dengan nada menggebu-gebu dan bisikan pada tiga kata terakhir.
Aku
mengerutkan kening. “Apakah kau berpikir jika waktu kita di dunia sudah habis
dan kita harus segera berdoa agar masuk surga?” tanyaku.
Evelyn
menggeleng. “Dia masih mengizinkan kita hidup, hanya saja dengan penuh kasih
sayang kepada orang lain. Dia tidak ingin kita serakah setelah dia menunjukkan
kekuatannya yang super duper hebat.”
“Dia?
Tuhan-kah?”
“Bukan.
Dia sebagai Gunung Kelud. Tuhan hanya sebatas pembuat pesan, sementara Gunung
Kelud adalah sarananya. Seperti pemimpin negeri, yang mengamati perkembangan
sikap anarki di negeri kita dan meminta para pasukannya untuk segera turun
tangan dan membenahi segala yang ada untuk mencapai kebaikan.”
Aku
terpukau dengan ucapannya. Ku tatap Evelyn yang sedang mengikat rambutnya. Dia
mempesona.
“Kalau
rupanya kau salah, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku menantangnya.
Evelyn
balas menatapku. “Barangkali membiarkan awan membawaku menuju ke alam keabadian
dan berharap mereka menempatkan aku pada tempat paling bahagia di surga,”
jawabnya.
Aku
melongo. Bingung apa lagi yang harus aku katakan untuk menyanggah ucapannya.
Gadis itu mengikat, menjebak dan menjerat aku melalui ucapannya yang indah
bagai balada dan puisi dewi-dewi.
“Kalau
kau?” Evelyn gantian menantangku.
Aku
tercekat. Ku tatap matanya dalam-dalam. “Menciummu sebelum mati, mungkin?”
ucapku lembut.
Evelyn
terkesima. “Kau bahkan baru mengenalku sehari ini. Kau kah pria yang mudah
mengucapkan godaan kepada wanita yang baru kau kenal?”
“Cinta
memang menjerat, bukan? Dia adalah akar. Mungkin alam berbisik kepadaku untuk mulai
mencintaimu detik ini juga,” jawabku.
Evelyn
terpana. Wajahnya tak tanggung-tanggung memerah dan aku bisa merasakan darahnya
yang mengalir cepat menuju ke otak. Dia tak lagi menjawab. Dia membiarkan aku
mendekatkan wajah ke wajahnya dan bibir ke bibirnya. Tak lama kemudian, aku
mengecup bibirnya yang lembut. Ku rasakan jantungnya berdegup.
Seiring
dengan desauan angin dan debu yang bertiup garang di luar sana , bumi bergolak. Seluruhnya bergerak dan
berderak. Kelintingan garpu dan sendok terdengar. Berbagai barang berjatuhan.
Aku memeluk Evelyn. Dan yakin, sebentar lagi alam menghantarkan kami kepada
harapan kami masing-masing.