Senin, 07 April 2014

Keludtus.

            Aku berlari terhuyung-huyung menuju ke pintu kafe. Batuk melandaku siang ini, tenggorokanku terasa sesak, kuman-kuman menutupnya dengan virus. Di sekitar kafe milikku, kulihat tak ada toko yang buka. Semua tutup. Debu vulkanik beterbangan ringan, menutup cerahnya mentari sehingga pagi ini mega tak dibiarkan bersinar untuk mencerahkan hari.
            Aku segera menutup pintu, tak akan kubiarkan partikel-partikel kecil yang memabukkan dari gunung Kelud itu menjadi pengunjung yang menodai kebersihan kafeku. Seluruh kursi kutata di atas meja, kuputuskan untuk membiarkan debu menghias meja kafe. Toh, tak ada yang akan peduli. Tak ada yang mengunjungi tempat ini.
            Radio kubiarkan menyala. Setidaknya, walaupun berisik, aku bisa mendengarkan apa yang terjadi di luar sana. Ku dengar debu vulkanik sudah beterbangan menuju Tasikmalaya. Aku berdecak heran. Dalam waktu hanya beberapa jam, debu-debu sialan hasil amukan Gunung Kelud itu main rusak dan menghancurkan kota saja.
            Aku mengambil tasku, kumasukkan beberapa buku catatan ke dalamnya kemudian mengambil kunci mobil. Aku memutuskan untuk segera pulang meski jam kerja belum habis. Baru saja aku akan berjalan menuju ke pintu belakang, ku dengar seorang wanita berteriak-teriak minta tolong di luar kafe.
            Aku menoleh.
            Seorang wanita menggedor-gedor pintu kafeku. Aku melongo. Hebat juga wanita ini. Dia menjerit meminta tolong di luar sana. Aku mengerutkan kening bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau aku membuka pintu dan mengizinkannya masuk, seluruh debu yang beterbangan tertiup angin di luar sana pasti ikut masuk. Tetapi jika aku membiarkan wanita itu berada di luar sana, dia bisa saja mati karena kehabisan nafas.
            Untung saja aku punya jiwa kemanusiaan. Kuputuskan untuk melangkahkan kaki menuju ke pintu, ku hasilkan sedikit celah. Benar saja, debu langsung menerpa wajahku dan membuat mataku terasa pedih.
            “Mau apa?” tanyaku sewot.
            Wanita itu terbatuk-batuk dengan tubuh tiba-tiba terjatuh lemas di kakiku. “Biarkan aku masuk,” jawabnya.
            Aku mengerutkan kening. “Untuk apa? Kafeku sudah tutup.”
            “Kumohon, izinkan aku masuk,” wanita itu berucap dengan nada memelas.
            Aku menatapnya iba. Kupersilakan dia masuk setelah berpikir sejenak. Wanita itu berusaha untuk bangkit. Tubuhnya terhuyung-huyung, refleks aku membantunya berdiri. Wanita itu terbatuk-batuk dan berpeluk pada dadaku. Seluruh rambutnya putih. Debu menyelimuti seluruh bagian mantel hitam yang dia pakai. Kulit telapak tangannya terasa kering dan kotor. Matanya tak dapat melihat dengan jelas.
            Aku mengambil sebuah kursi, ku bantu dia untuk duduk.
            “Mau apa?” tanyaku lagi.
            Wanita itu menatapku dengan mata separuh terpejam. “Boleh minta teh?”
            Aku mengeluh. Seharusnya hari ini aku libur, batinku kesal. “Tentu saja,” jawabku kemudian melangkah menuju ke balik bar.
            “Aku minta jangan terlalu banyak gula. Gula mengandung kalori yang sangat tinggi,” pesannya membuatku menatapnya sejenak, kemudian mengedikkan bahu dan kembali melanjutkan meracik teh.
            “Hujan debu benar-benar parah. Kau tak akan bisa melihat apa-apa di luar sana.”
            Aku mengangkat alis. Ku antarkan teh ke hadapan wanita itu. Dia sedang berusaha membersihkan debu di mantelnya. “Apa yang kau lakukan di luar sana? Bunuh diri?”
            “Tidak.” Wanita itu menatapku. “Aku sedang menikmati alam.”
            Aku mengerutkan kening bingung. Wanita di hadapanku ini sepertinya gila. Baru saja dia memperkenalkan diri, namanya Evelyn. “Apa maksudmu dengan ‘menikmati alam’?”
            Wanita itu mengangkat bahu, ia meneguk tehnya sejenak. “Angin menghembuskan pesan dan hujan debu menjadi isinya. Aku ingin mengetahui surat apa yang dikirim oleh alam melalui hujan debu dan angin. Mungkin alam ingin menyampaikan sesuatu melalu fenomenanya kali ini,” jawabnya.
            Keningku makin berkerut. Aku benar-benar tidak mengerti. Ku tatap matanya, mencoba menerka-nerka apakah dia waras atau tidak. Dan dia tidak bergeming, malahan meneguk teh hangatnya lagi.
            Evelyn tiba-tiba tertawa dan mengibaskan tangannya di depan mataku. “Kau tidak akan mengerti,” sambungnya.
            “Aku memang tidak mengerti.”
            Evelyn memutar-mutar jemarinya di permukaan gelas. “Yah, memang tidak mudah mengerti ucapan alam. Ngomong-ngomong, teh buatanmu enak,” pujinya.
            Aku berterima kasih. Sedetik kemudian, aku mengingat toples berisi kue yang ada di meja bar. Segera aku beranjak dari tempat duduk, dan ku ambil kue itu kemudian menawarkannya kepada Evelyn.
            “Ambilah,” kataku.
            Evelyn tersenyum tidak nyaman.
            “Tak perlu sungkan. Ambilah,” kataku lagi membuat gadis itu mengambil beberapa kue. “Ambil lebih banyak.” Dan dia mengambil beberapa lagi.
            Aku kembali duduk di hadapan wanita itu. Ku tatap rona wajahnya yang agak kotor karena debu. Dagunya runcing, pipinya tirus, matanya hitam dan alisnya tebal. Barangkali dia cantik, aku tidak tahu. Namun dari ciri-ciri fisik yang aku lihat, gadis itu adalah gadis pemberani.
            “Lantas, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kembali mencoba untuk bunuh diri lagi?” tanyaku.
            Evelyn tertawa renyah. “Aku sudah bilang aku tidak bunuh diri,” jawabnya. “Mungkin aku akan menunggu hujan debu reda. Barusan ku dengar debu sedang mengarah ke samudra walau aku tidak tahu kapan.”
            “Tinggalah,” tawarku membuatnya menatapku.
            “Apa?”
            “Tinggalah. Untuk beberapa saat, sampai hujan reda.”
            “Dan kau?” tanyanya.
            “Apa?”
            “Bukankah kau akan pulang?” tanya Evelyn.
            Aku mengerutkan kening. “Dari mana kau tahu?”
            Wanita itu melirik kunci mobil di jemariku. “Sejak tadi kau memutar kunci mobil di jemarimu. Aku dengar nafasmu mendesah kesal. Dan tadi, di luar sana kulihat kau berjalan menuju ke pintu belakang.”
            Aku tercenung. Evelyn benar. Dia seperti membacaku. “Kau menafsir gerak-gerikku?”
            Evelyn tersenyum. “Tidak,” jawabnya. “Alam yang memberi tahuku.”
            “Apa? Apa maksudmu?”
            Evelyn kembali tertawa renyah. “Alam membuatmu terburu-buru. Kau tahu, desahan alam melalui hujan debu membuatku berlari ke sini—tidak ada toko dan kafe yang membuatku mau mampir ke tempat mereka—selain kafemu. Alam menyuruhku untuk memberi tahumu bahwa kau harus berhati-hati dan lebih baik tinggal di sini, sampai dia berhenti untuk menunjukkan betapa dia sangat berkuasa.”
             Aku tertawa. “Barangkali itu hanya feeling-mu. Kau ke sini karena tempat lain sudah tidak ada orangnya dan kau melihat aku.”
            “Tidak. Aku tidak setuju dengan ucapanmu. Aku merasa bahwa aku harus menjadi pengirim kabar untukmu.”
            Aku tertawa meremehkan. “Kau tahu benar tentang alam, ya? Apakah kau dewi? Atau malaikat pencabut nyawa?”
            “Jika kau melihatku sebagai pencabut nyawa, aku bisa saja tidak datang ke sini dan memberi tahumu apa yang akan terjadi. Aku lebih baik melihatmu dari jauh dan membiarkanmu mati karena kekuasaanku atau kekuatan alam.”
            Aku benar-benar tidak mengerti dengan wanita di hadapanku. Dia memang gila, sepertinya. Tidak, tidak, wanita di hadapanku memang gila. Tidak waras. Aneh. Dan terlalu berimajinasi.
            “Kau ini siapa sebenarnya?”
            Evelyn tersenyum. “Pembawa kabar untukmu. Setidaknya berusaha untuk menyampaikan sesuatu padamu. Aku manusia biasa, hanya saja aku adalah saudara alam.”
            “Saudara alam, huh?”
            Evelyn tampak mengangguk.
            “Apa yang akan terjadi setelah ini?”
            “Aku tidak tahu. Alam tidak bisa di tebak. Dia hanya berusaha untuk berkomunikasi, namun kadang tidak logis. Kepastian alam adalah ke-tidak-logisan manusia. Namun aku siap menerima apa yang akan terjadi setelah ini.”
            “Kau bilang kau saudara alam,” tukasku.
            Evelyn mengedikkan bahu. “Tapi alam juga punya rahasia, kan? Tidak semua dia beritahukan kepadaku.”
            “Kau aneh.”
            “Dan kau keras kepala.”
            Aku tercenung. Wanita ini… menantang. “Mau ke mana kau?” tanyaku.
            “Aku ingin melamar kerja tadi pagi. Aku pikir hujan debu tidak akan separah ini. Aku nekat dan yah… terjebak bersamamu.”
            Aku tersenyum menggoda. “Kau? Melamar kerja? Bukankah sebaiknya dan seharusnya wanita lebih baik menunggu dilamar? Kau tahu maksudku,” ucapku.
            Kulihat rona Evelyn memerah, setelah mendengar ucapanku. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Duduknya jadi tidak nyaman. Aku tertawa.
            “Aku hanya bercanda.”
            Evelyn tersenyum. “Aku tahu. Kau hanya bercanda,” katanya.
            “Kau sudah punya pacar?” tanyaku lagi, Evelyn langsung menatapku dengan kening berkerut.
            “Ada apa dengan pertanyaanmu?”
            Aku mengedikkan bahu. “Hanya ingin tahu,” jawabku.
            Evelyn menggeleng. “Belum. Kau?”
            “Bebas,” jawabku.
            Evelyn mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali menatap ke luar jendela. Angin berhembus, membuat seluruh benda yang ada di luar sana menjadi benda tak kasat mata. Kami bagaikan terdampar di sebuah tempat antah-berantah yang mengerikan. Hanya berdua dan tak ada yang lain.
            “Cuaca tambah parah!” kata Evelyn bingung.
            “Aku pikir Gunung Kelud marah.”
            “Tidak!” tukas gadis itu. “Dia tidak marah. Dia hanya sedang mencari perhatian. Dia hanya ingin orang-orang mengetahui bahwa dia bijaksana. Dia kuat dan pasti bisa meluluh-lantakkan seluruh Pulau Jawa. Dia hanya ingin, manusia di alam ini melihatnya dan bertobat,” jelasnya dengan nada menggebu-gebu dan bisikan pada tiga kata terakhir.
            Aku mengerutkan kening. “Apakah kau berpikir jika waktu kita di dunia sudah habis dan kita harus segera berdoa agar masuk surga?” tanyaku.
            Evelyn menggeleng. “Dia masih mengizinkan kita hidup, hanya saja dengan penuh kasih sayang kepada orang lain. Dia tidak ingin kita serakah setelah dia menunjukkan kekuatannya yang super duper hebat.”
            “Dia? Tuhan-kah?”
            “Bukan. Dia sebagai Gunung Kelud. Tuhan hanya sebatas pembuat pesan, sementara Gunung Kelud adalah sarananya. Seperti pemimpin negeri, yang mengamati perkembangan sikap anarki di negeri kita dan meminta para pasukannya untuk segera turun tangan dan membenahi segala yang ada untuk mencapai kebaikan.”
            Aku terpukau dengan ucapannya. Ku tatap Evelyn yang sedang mengikat rambutnya. Dia mempesona.
            “Kalau rupanya kau salah, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku menantangnya.
            Evelyn balas menatapku. “Barangkali membiarkan awan membawaku menuju ke alam keabadian dan berharap mereka menempatkan aku pada tempat paling bahagia di surga,” jawabnya.
            Aku melongo. Bingung apa lagi yang harus aku katakan untuk menyanggah ucapannya. Gadis itu mengikat, menjebak dan menjerat aku melalui ucapannya yang indah bagai balada dan puisi dewi-dewi.
            “Kalau kau?” Evelyn gantian menantangku.
            Aku tercekat. Ku tatap matanya dalam-dalam. “Menciummu sebelum mati, mungkin?” ucapku lembut.
            Evelyn terkesima. “Kau bahkan baru mengenalku sehari ini. Kau kah pria yang mudah mengucapkan godaan kepada wanita yang baru kau kenal?”
            “Cinta memang menjerat, bukan? Dia adalah akar. Mungkin alam berbisik kepadaku untuk mulai mencintaimu detik ini juga,” jawabku.
            Evelyn terpana. Wajahnya tak tanggung-tanggung memerah dan aku bisa merasakan darahnya yang mengalir cepat menuju ke otak. Dia tak lagi menjawab. Dia membiarkan aku mendekatkan wajah ke wajahnya dan bibir ke bibirnya. Tak lama kemudian, aku mengecup bibirnya yang lembut. Ku rasakan jantungnya berdegup.

            Seiring dengan desauan angin dan debu yang bertiup garang di luar sana, bumi bergolak. Seluruhnya bergerak dan berderak. Kelintingan garpu dan sendok terdengar. Berbagai barang berjatuhan. Aku memeluk Evelyn. Dan yakin, sebentar lagi alam menghantarkan kami kepada harapan kami masing-masing.