Selamat malam, Stevanus.
Selamat atas satu tahun yang pernah kita lewati bersama. Selamat
atas dua belas bulan yang penuh cinta. Selamat atas ribuan hari yang bahkan aku
malas untuk menghitungya. Terima kasih untuk segala cinta, terima kasih untuk
semua ketulusan yang selama ini kamu berikan untuk aku.
Aku masih ingat, hari itu hari Jumat, bulan Maret, masih
tahun dua ribu empat belas. Untuk pertama kali, kamu datang ke rumahku. Dengan motor
beat merah mudamu, kamu bingung
mencari rumahku. Kita janjian pukul tujuh malam, tapi kamu datang nyaris jam setengah
sembilan malam. Untuk pertama kali pada malam itu, aku merasa canggung bicara
pada lawan jenis. Kamu canggung, aku canggung. Kita terlalu banyak diam malam
itu. Dan dari sekian tamu yang datang untuk aku, kamu yang pertama berani
pulang larut malam. Pukul sepuluh lebih, kamu meninggalkan rumahku setelah
jutaan detik kamu duduk di sampingku.
Aku masih ingat, hari Minggu, tanggal 13 April, masih tahun
dua ribu empat belas. Kali kedua kamu datang, aku menyuguhkan kepadamu segelas
coklat panas. Kamu nurut pada pesan galakku, “Jangan lupa bawa laptop!”. Setelah suguhan siap, kamu
nyalakan laptopmu dan aku tancapkan flash
disk-ku. Kita dengan asyik nonton film Kata Hati, sebuah film yang sudah
pernah aku tonton lebih dari sepuluh kali dan tak pernah membuatku merasa
jenuh, karena latar tempat pengambilan film berada di Jogja. Kamu tahu, aku
suka Jogja.
Sebelum film selesai, aku ingat betul aku memberanikan diri
bertanya kepadamu, “Kalo kamu, mas. Pernah nggak jatuh cinta?” Pertanyaan yang
sama dengan yang ada di film. Dan kamu menjawab pernah, membuatku sedikit
kecewa. Karena aku bukan yang pertama untuk kamu. Ketika kamu menanyakan hal
yang sama dan aku menjawab hal yang sama, entah apakah kamu kecewa. Apakah jawabanku
berpengaruh pada hatimu. Sepertinya kamu tidak begitu peduli.
Ketika film selesai, aku ingat, kita berdua sama-sama
terdiam. Kamu berbasa-basi meminum segelas coklat panasmu dan aku sibuk
memainkan flash disk-ku, bingung mau
bilang apa. Lalu kamu punya inisiatif, kamu berusaha menarik perhatianku,
mengajakku ngobrol sesuatu yang menurutmu menarik untuk aku. Tapi ternyata aku
tidak tertarik sama sekali dan itu terlihat jelas dari matamu. Seperti yang
sering kamu katakan, aku judes.
Tiba-tiba, ketika aku masih sibuk bermain dengan flash disk di tanganku, kamu menarik
tanganku, membuat aku menoleh. Dan ketika aku melihatmu, kamu tersenyum dan
menggenggam tanganku begitu erat. Kamu harus tahu, hingga saat ini, kejadian
itu masih menjadi momen paling utama dalam pikiranku. Sebuah momen yang tak
akan pernah aku lupakan, satu momen termanis dalam hidupku.
Kamu masih tersenyum dan aku masih memandangi kamu. Pada
malam yang begitu sepi, aku tahu, tanpa sedikitpun keraguan kamu mengatakan
padaku sesuatu yang selama ini aku anggap sebagai mimpi. “Maria Lalita, mau
nggak kamu jadi pacarku?”
Satu kalimat tanya, hanya tujuh kata. Tapi efeknya luar
biasa. Kamu harus tahu, kalimat tanya itu, walau hanya sederhana, diucapkan
tanpa sepucuk mawar, tanpa kejutan manis yang luar biasa, tanpa taburan bunga
ditengah lilin yang membentuk simbol cinta, kamu membuatnya sarat dengan makna.
Kamu mencintai aku, meski kita baru dua kali bertemu.
Sebenarnya aku agak ragu, kita baru sebentar saling tahu. Kamu
tak tahu apa kata teman-temanku, mereka bilang aku harus menolak kamu dulu dan
melihatmu berjuang untuk aku. Namun, senyummu yang begitu tulus dan genggaman
tanganmu yang begitu hangat di setiap sela jemariku, membuat otak dan hatiku
tak ingin membuatmu menunggu terlalu lama. Aku menerima kamu, aku mau jadi
pacarmu. Detik itu juga, aku sadar. Aku juga mencintai kamu.
Terima kasih untuk semua kenangan yang kamu beri untuk aku,
entah ketika kamu ada di sisiku atau tidak. Segala kenangan bersamamu, meski
pahit, akan selalu terasa manis.
Terima kasih atas segala perjalanan yang sedikit demi
sedikit mendewasakan aku. Bersama kamu, segala sesuatu terasa mudah, karena
meski kamu jauh, kamu ada untuk aku. Semoga, aku juga begitu.
Terima kasih untuk semua pesan manis yang kamu ucapkan
padaku, meski banyak typo dan ketika
kamu mencoba membuat puisi untuk aku, malah menjadikannya sederet kalimat wagu, lebay, aneh, lucu. Bukannya bikin
terharu, malah bikin ngakak terbahak-bahak! Biar begitu, kamu harus tahu,
hidupku berwarna karena puisi-puisimu.
Untuk Stevanus Aditya Pangestu,
Terima kasih atas segala cinta.
Dari pacarmu yang katanya galak, judes, bawel tapi
sebenernya kalem, imut, lucu, unyu-unyu dan bikin gemes.
Lalita, akan selalu sayang sama kamu.
*tanda tangan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar